Share

Berlatih Mati-matian

Pada tahun kelahiran sang pangeran, semua menyambutnya dengan meriah. Lantaran anak lelaki itu sudah digadang-gadang akan menjadi raja berikutnya di Kerajaan Agung. Namanya Najendra.

Namun, sedari kecil fisiknya lemah. Sang Raja memutuskan untuk membuatnya belajar bela diri agar semakin lebih kuat meskipun kekuatan spiritualnya melebihi para orang dewasa.

“Bila pangeran memiliki kekuatan spiritual tinggi, maka beliau akan rentan terhadap segala jenis jin.” Itulah pesan yang disampaikan oleh sang ahli pengobatan.

Tidak buruk memiliki kekuatan spiritual tinggi namun Najendra kerap kali diserang oleh para jin, mereka merasuki tubuh Najendra dan mengendalikannya sesuka hati. Itulah yang membuat semua orang gemetar ketakutan.

Hingga suatu hari, Najendra merasa muak belajar, baik ilmu akademis maupun ilmu bela diri. Ayahnya pun mengalah dan kemudian memberikan "pelindung" miliknya yaitu Keris Sakti pada Najendra. Seiring berjalannya waktu, sang ayah pun turut menutup indera batin milik Najendra, kekuatan spiritualnya mulai dibatasi sejak usia 8 tahun.

Kembali pada saat ini.

“Bagaimana caraku melepas batasan itu? Aku ingin melepasnya.” Najendra bertanya.

“Mudah saja. Tuan hanya perlu bertarung melawan mereka sekuat tenaga, jadilah raja di alam para jin, Tuan Najendra.”

“Baiklah, aku akan mengalah sedikit. Bimbing aku.”

“Seperti biasa, harga dirimu paling tinggi.”

Penyebab Najendra tidak banyak disukai banyak orang adalah karena sifatnya, dia memiliki harga diri tinggi, angkuh, egois dan bersifat irasional. Orang yang enggan mengaku kalah meskipun sudah terjatuh berulang kali. Terlihat payah namun menyebalkan.

“Bara api, keluarlah dari tangan kananku!” seru Najendra. Sama seperti menyebut mantra, bola api muncul di telapak tangan kanannya yang kemudian secara perlahan menyebar ke bagian lengan hingga ke bagian tubuh Najendra sendiri.

“Tuan bisa membuat busur dan panah dengan api.”

“Seperti ini?” Najendra mengangkat lengan berapi itu ke depan dengan tangan mengepal lalu menarik lengan satunya seakan-akan sedang menarik busur dan panahnya.

Api yang menyebar kemudian membentuk anak panah itu, dia memadatkannya dengan sempurna lalu melepasnya ketika segerombolan mahluk itu berdatangan ke arahnya.

Tidak hanya satu panah api yang keluar dari genggamannya, puluhan hingga ratusan anak panah berapi muncul dan memukul mundur mereka dalam sekejap.

“Tuan memang hebat,” ucap si keris yang memujinya.

“Ha! Aku ini 'kan Pangeran Najendra. Kau pikir siapa aku yang tidak bisa menguasai satu atau dua ilmu ini?” kata Najendra menyombongkan diri.

“Iya, iya. Tuan memang hebat.”

***

Masih di hari yang sama, di rumah sederhana milik dukun dan putrinya.

“Intan, cepat siapkan air matang lagi ya!”

“Iya, bapak!”

Dari kejauhan mereka saling bersahutan satu sama lain. Setelah melaksanakan perintah ayahnya, anak gadis bernama Intan itu lekas kembali dari halaman belakang menuju ke depan rumah sambil melihat ke arah hutan.

“Sebentar lagi anak itu pasti akan kembali.”

“Bapak, boleh aku tanya satu hal?”

“Apa itu?”

“Ini tentang pria itu. Sebenarnya Intan tidak sengaja mencuri dengar percakapan kalian kemarin,” tutur Intan.

“Aku pikir kamu mau bilang apa, nduk. Ternyata hanya itu. Seperti yang kamu dengar, dia adalah Pangeran Najendra dari Kerajaan Agung yang sudah lenyap itu.”

“Kalau begitu—”

“Tidak perlu bersikap sopan pada pangeran yang sudah kehilangan posisinya. Sekarang dia hanya bocah tidak waras yang sombong,” ucap Jaka yang tidak pernah bisa berhenti menghina sosok pemuda malang itu.

“Baiklah.” Dengan malu-malu, Intan menjawab. Dia menyembunyikan ekspresi itu agar tidak ketahuan oleh ayahnya namun sayang ayahnya jauh lebih peka.

“Jangan pernah menyimpan perasaan padanya. Aku akan carikan lelaki lain yang lebih baik dari anak durjana itu.”

“Intan tidak menyimpan perasaan apa-apa!” sahut Intan dengan berteriak lantaran dia terkejut.

Matahari telah berada di atas kepala, dengan cuaca sepanas ini rasanya seperti akan meleleh. Setelah sekian lama duduk mematung di atas batu, Najendra kembali membuka kedua matanya lalu memuntahkan darah segar.

“Ugh! Apa yang kurasakan ini?!”

Dia kemudian terjatuh ke bawah dengan tubuh lemah tak berdaya. Napasnya tersengal berat, sekujur tubuh Najendra pun tidak pernah berhenti gemetar. Keris yang sebelumnya ada di pangkuan juga ikut terjatuh.

“Tuan, janganlah terlalu memaksakan diri. Berhari-hari ini tuan bertarung dalam wujud roh. Jadi wajar saja tubuhmu melemah.”

“Berhari-hari? Tapi aku tidak merasa hari sudah berganti,” pikir Najendra seraya mendongakkan kepala dengan dahi berkernyit.

“Sepertinya begitu.”

Elemen api yang dimilikinya telah melimpah ruah semenjak berlatih tarung di dalam alam jin. Meski di saat yang sama itu menghabiskan banyak tenaga dalam.

“Ini berbeda dari meditasi yang aku bayangkan. Tak kusangka dukun itu benar-benar ingin membunuhku,” gerutu Najendra.

Setelah sedikit staminanya pulih, Najendra lekas kembali menuju ke rumah si dukun.

“Rupanya kau sudah datang, anak manja dan sombong!” seru Dukun Jaka.

“Kau pikir aku siapa? Aku sudah menyelesaikan latihan itu bersama seseorang. Seperti katamu, kau tidak mengajariku apa-apa. Bahkan bisa saja sekarang aku lebih unggul darimu, pak tua.”

Lagi dan lagi Najendra menyombongkan diri. Tampaknya dia memang tidak pernah belajar. Akibatnya, dukun yang merasa tertantang kini mencoba untuk duel dengan Najendra.

“Maju sini kalau kau berani,” ucap Jaka sambil tersenyum.

“Berlutut di hadapanku jika aku menang, nanti!”

Dan pada akhirnya Najendra kalah telak, dia dibuat jatuh pingsan dalam sekejap.

“Bisanya hanya omong kosong. Dasar pangeran sombong.”

Meskipun memiliki sesuatu yang spesial namun itu bukan berarti akan menjadikannya kuat secara instan. Begitu terbangun, Najendra terdiam menahan rasa malu terutama di hadapan Intan, sosok gadis yang dia sukai.

“Pangeran Najendra, silahkan dimakan. Maaf kami hanya bisa menyiapkan ini saja.” Intan menyodorkan sepiring nasi dengan sayur.

“Tidak apa. Lalu jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku yang sekarang bukan lagi seorang pangeran.”

Intan lantas tersenyum dan berkata, “Pangeran pasti dapat merebut hak milik yang seharusnya jadi milikmu.”

Seketika Najendra teringat dengan Gardapati yang menghunuskan pedang ke tubuh sang raja. Najendra mengalihkan pandangan dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dia berusaha menahan amarah selagi bisa dikendalikan, rasanya tidak pantas jika melampiaskan emosi begitu saja.

“Aku pasti akan membunuhnya dengan tanganku sendiri,” gumam Najendra.

Mengetahui dan sadar betapa lemah dirinya, Najendra memohon bimbingan pada Dukun Jaka. Dia meminta untuk diajarkan bagaimana cara mengendalikan kekuatan miliknya sendiri. Tentu saja keris sakti itu juga membantu.

Dari hari ke hari hingga sudah terhitung mingguan, Najendra pantang pulang sebelum menyempurnakan ilmu miliknya di hutan liar. Seringkali dia berjumpa dengan seekor macan, namun hal tersebut tidaklah mengganggunya. Justru sebaliknya, dia menjadikan macan itu sebagai lawan.

“Sudah waktunya kau istirahat, nak!”

“Jangan panggil aku nak! Panggil aku Pangeran Najendra!”

“Ternyata kau bersikap sombong hanya padaku rupanya, kemari kau!”

Meskipun Najendra sering kali melupakan waktu istirahatnya, Dukun Jaka pasti akan menyeretnya setelah dua mingguan tidak pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status