Begitu dia membuka mata, Kerajaan Timur sudah berada di ujung tanduk. Tidak menunggu lama hingga kobaran api meluluhlantakkan semua hal. Bangunan, jalanan dan manusia. Jerit tangis selalu terdengar setiap saat, derita hidup dari banyak kalangan bagai penghuni di alam neraka. Api membumihanguskan seluruh bagian dari Kerajaan, termasuk beberapa daerah yang dikuasainya. Keluarga Ningrat pun tidak ada yang selamat, kejadian itu benar-benar membuat seseorang jadi gila. Sudah lama ini direncanakan, lebih tepatnya semenjak Pangeran Najendra mulai beranjak dewasa. Sosok jenderal perang yang sekarang berjabat patih lah adalah si pengkhianat. Dia memulai perang karena inisiatifnya sendiri. Dia berpikir, “Pangeran itu tidak akan mampu memimpin kami. Dia berbeda dengan Kanjeng Sinuwun. Pangeran tidak pantas, dia bahkan tidak jauh lebih kuat dari anak buahku.” Tentang Najendra, dia selalu meremehkan. Tetapi itu benar adanya. Sosok pangeran yang dihadapkan dengan kehancuran kerajaannya sendiri
Intan datang setelah mendengar suara teriakan dari dalam kamar Najendra. Kedatangannya membuat Najendra terkejut namun dia merasa tenang karena berkatnya, siluman ular itu pergi. Tempat yang saat ini mereka singgahi adalah bekas Kerajaan Agung, balai utama yang pernah ditempati oleh Gardapati. “Pangeran tidak apa-apa?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Najendra dengan sedikit gugup, dia mengalihkan pandangan karena malu. Sedetik kemudian Intan baru tersadar dengan pakaian Najendra yang setengah terbuka, secara spontan Intan berbalik badan. Lalu berkata, “Saya mohon ampun, Pangeran Najendra. Ah, bukan ... maksudnya saya memohon maaf karena tidak melihat pangeran sedang berganti pakaian. Saya pergi.” Setelah itu Intan pergi. “Eh?” Dengan bodohnya Najendra baru sadar akan hal itu, ia pun bergegas membenahi pakaian yang dikenakannya. “Dasar siluman itu!” ucap Najendra memaki.“Tuan memanggil saya?” Ekor ular itu muncul dan menahan kedua tangan Najendra. Siluman ini malah kembali mu
Malam sudah tiba, rembulan mulai menampakkan diri di balik awan. Balai yang dipikir tidak ada penghuninya ternyata hanya sekadar sepi saja. Pengembara itu melirik ke arah kanan dan kirinya seakan sedang mencari sesuatu. “Kau pemilik tempat ini?” “Tidak juga,” jawab Najendra ambigu. Pengembara itu lantas menghela napas, merasa menyesal karena sudah bertanya. “Apa yang kau tunggu? Duduklah di dekat meja pendek di sana, sebentar lagi makanannya akan datang.”"Jangan bilang yang akan mengantarkan makanan adalah jin atau setan?" pikirnya dalam benak. “Sepertinya aku belum mengenal siapa dirimu. Pertama-tama perkenalkan namaku Wira. Aku seorang pengembara yang kebetulan sedang cari makan.”“Hm, ya.” Najendra hanya berdeham dan menjawab singkat."Tuan rumah yang tidak ramah. Menyebabkan," gerutu Wira dalam batin.Setelah menunggu beberapa saat, seorang gadis cantik berambut ikal dengan jepitan manis yang sedikit mengikat bagian rambutnya datang sambil membawakan nampan yang penuh dengan
Dalam kesengsaraan, Najendra terus berjuang menghadapi kondisinya saat ini. Seperti anomali ataupun terserang penyakit ghaib, tubuhnya mendadak kejang begitu sampai di kamar sendiri. Najendra tidak bisa fokus, matanya yang mendelik namun sulit melihat ke sekitarnya. Kondisi itu terus berlanjut sampai pada akhirnya dia kembali terjatuh di tempat, Najendra sangat yakin ini adalah ulah para jin yang sekarang bersemayam dalam tubuhnya. "Tenaga dalamku terhambat. Padahal sebelumnya aku sudah mengontrol dengan baik tapi sekarang kembali seperti di awal kondisi. Menyebalkan," gerutunya dalam benak. “Tuan terlihat kesakitan, saya tidak tahu harus apa tapi akan lebih baik tuan berbaring di ranjang,” ucap Intan.“Aku tahu, Intan. Tapi aku sulit bergerak saat ini,” tutur Najendra dengan wajah yang semakin pucat. Intan sedikit panik, dia hendak menuntun tubuh Najendra tetapi itu adalah hal sulit baginya karena perbedaan berat badan yang cukup jelas. “Kalau begitu berbaringlah di atas pahaku,
Sedari kecil, Najendra selalu bermain dengan girang walau hanya sendiri. Waktu yang dia habiskan dari pagi hingga menjelang malam membuat para Abdi dalem kewalahan. Pada saat itu tanpa sengaja Najendra melihat ada seseorang yang diam-diam menggerutu, memaki ayahnya yang merupakan seorang raja. “Kanjeng tidak mengerti ... Mahendra, pria itu ... tidak memahami apa-apa, menyebalkan.” ***“Aku baru ingat ada kejadian seperti itu. Itu bukan Gardapati melainkan orang lain.” Kembali pada saat ini. Pada awalnya si keris sakti berkata bahwa apa yang dimimpikan oleh Najendra itu kenyataan, ruh Gardapati sendiri yang mengatakannya. Lalu membawa Najendra ke desa kecil, letak desa itu berada di luar daerah kawasan wilayah Kerajaan Agung.“Apa Tuan Najendra sudah tahu siapa pengkhianatnya?” “Aku hanya ingat wajahnya. Nama ataupun jabatan, kalau itu aku tidak tahu.”“Saya khawatir ini akan membuat tuan gelisah.”“Bisa-bisanya mahluk sepertimu mengkhawatirkan aku.”“Tentu saja. Mahluk setengah
Najendra menghilang dalam kegelapan, Wira tak dapat mengejarnya.“Tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi. Dasar orang aneh,” gerutu Wira. Di satu sisi, Najendra berpindah ke alam jin. Meski itu hanya ruh-nya saja namun Najendra tetap bisa merasakan sakit di tempat ini. Dalam keadaan dirantai di bagian kedua tangan dan kakinya secara terpisah, Najendra menggeram kesal terhadap semua jin yang ada di sekitarnya. “Tiba-tiba menarik diriku kemari. Apa kalian sebegitunya ingin membunuhku?” Para jin lantas menertawakannya. Tak satupun dari mereka yang diam, mereka memperlakukan Najendra seperti barang dan mempermalukannya seperti ini. "Tawa yang menggelikan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka," batin Najendra merasa muak.“Najendra adalah seorang pangeran. Ini cukup ironis, dulu kau dilindungi dari kami lalu sekarang menjadi perantara.” Jin dengan siluet hitam, tak tentu bagaimana wujudnya itu berbicara dengan suara serak.“Perantara? Kupikir kita hanya saling bersepakat saja.”
Cuaca terlihat cerah, tak ada tanda-tanda hujan turun atau badai akan datang. Melihat pemandangan dari jendela, Najendra berpikir itu terlihat bagus dan membuatnya tenang walau hanya sejenak saja. Keris sakti yang selalu mendampinginya kini berdiri jauh di sudut ruangan, dalam wujud manusia, dia menunggu apa perintah majikannya. “Apakah mungkin pengkhianat yang pernah kau katakan ada di desa itu adalah Wira? Tapi sepertinya bukan, karena kau tidak mengatakan apa pun saat dia datang.”Keris sakti mengangguk lemah dengan ekspresi cemas seakan-akan telah terjadi sesuatu yang tak terduga. “Itu ... memang bukan, tuan. Pria itu bukanlah pengkhianat yang dimaksud, saya rasa begitu.”“Hei, bicara yang benar!” teriak Najendra kesal.“Maafkan saya, Tuan Najendra. Mengenai pengkhianat itu benar, saya sudah sempat ke sana dan mendengar pembicaraan lalu-lalang juga. Mahluk-mahluk itu yang ada di desa itu yang mengatakannya,” ungkapnya lugas. Kini Najendra memahami tentang maksud si keris sakt
“Kau tetaplah di sini, jaga wanita itu.” Itulah yang diperintahkan Najendra sebagai majikan pada bawahannya. Keris Sakti yang kini berwujud sebagai manusia hanya terdiam tanpa menjawabnya sepatah kata pun. Najendra tidak begitu memikirkannya lantas pergi menuju ke desa kecil. Meski tidak menjawab perintah, dia tetap melakukan tugas itu dengan berdiri diam di sudut ruangan sembari memperhatikannya. "Tuan memberiku perintah, aku tidak boleh mengecewakannya. Tetapi gara-gara perempuan itu, tuan jadi lebih lemah. Seharusnya dia mati saja," pikirnya membenak.Rasa iri serta kesal turut bercampur menjadi satu. Wujud manusia ghaib-nya takkan mudah dilihat oleh orang biasa seperti Intan, sehingga mudah bagi dia tuk mendekat lalu membunuhnya.Jarak di antara mereka sudah semakin dekat, Intan yang tidak bisa merasakan keberadaannya sekarang sedang sibuk menulis hal lain sambil tersenyum bahagia. Ada nama "Najendra," dan beberapa kalimat manis yang tertulis. Seketika si keris sakti itu tersen