Share

Gardapati

Sesosok pemuda berambut hitam berdiri di atas genangan air, melihat penampilannya yang sedang mengenakan pakaian sederhana yang tidak cocok untuknya. Najendra terdiam sejenak lantas mendongakkan kepala, menghadap langit dengan memikirkan banyak hal.

“Sepertinya kamu sudah membiasakan diri dengan alam sekitar. Bagaimana keadaanmu?” tanya Dukun Jaka.

“Tidak ada hal yang spesial, guru. Aku seperti biasa, kepalaku pusing karena ocehan darimu setiap malam,” keluh Najendra seraya menghela napas.

“Pangeran Najendra, akan pergi sekarang?” tanya Intan dengan raut wajah cemas.

“Iya.”

“Tolong berhati-hatilah.”

“Iya, itu pasti.”

Dua tahun telah berlalu, ada perubahan sedikit dari dalam dirinya. Baik itu dari sikap atau sifat hingga kekuatannya. Tenaga dalam yang ditekan kuat hingga terlihat seperti orang biasa, takkan ada orang yang sadar tentang betapa kuatnya dia setelah lama berlatih.

“Semoga pangeran beruntung,” ucap Intan.

“Terima kasih. Tapi jangan sebut aku dengan panggilan itu.”

“Intan akan menunggu.”

Najendra diam dengan mata berkedip setelah mendengarnya berkata begitu. Lalu menghela napas sebelum pada akhirnya dia pergi meninggalkan rumah itu.

Hari yang dinantikan telah tiba, dengan keris terselip di belakang pinggang serta sebuah pedang yang berukuran sedang tergantung di punggungnya, Najendra berpamitan pergi menuju ke reruntuhan Kerajaan Agung.

“Hei keris sakti, bisakah kau membuat wajah baru. Aku ingin menyelinap masuk ke sana sebagai orang-orang mereka.”

“Tentu saja bisa, tuan.”

Hanya dalam hitungan detik, wajahnya berubah. Dengan postur yang sudah semakin tinggi dan berwajah tua, maka orang-orang takkan sadar siapa dirinya. Dia pun perlahan melangkah keluar dari hutan liar. Tepat di depan sana, ada sebuah balai yang dibangun tergesa-gesa menggantikan pondasi istana yang dulu.

“Kalau bukan di alam jin, kau tidak bisa keluar dengan leluasa bukan? Aku akan menyembunyikanmu di saku celana.”

“Baik, tuan.”

Beberapa orang terlihat mondar-mandir di sekitar. Secara langsung Najendra mendekati mereka.

“Hei, jangan bengong saja! Cepat kerja sana!” teriak salah satu dari mereka padanya.

“Ba-baik, aku mengerti!” jawab Najendra sedikit tergagap. Dia sedikit terkejut karena orang ini tiba-tiba memanggilnya.

Orang ini adalah mantan prajurit istana, dia menunjuk ke dalam balai, bermaksud mengarahkan Najendra untuk segera melakukan pekerjaannya yang ada di dalam. Entah apa pekerjaan itu, Najendra justru merasa ini adalah sebuah kesempatan besar.

“Ini kesempatan yang langka, aku bisa merasakan ada banyak orang di sini. Tapi di mana dia?”

Setiap melangkahkan kaki dan berpijak di balai, semua kejadian singkat di masa lampau menghantui isi kepala Najendra. Terus dibayangi dengan banyaknya kejadian buruk membuat pemuda itu berekspresi kesal.

Dia berusaha menahan amarah namun sulit tuk dilupakan begitu saja. Kejadian buruk itu membuatnya sulit berpikir, hingga jin yang selama ini bersama dengannya bertutur kata dan memperingatkan Najendra.

“Tuan harus bisa mengendalikan diri. Jika tidak, niat membunuhmu akan terpancar keluar.”

“Kau benar,” kata Najendra yang akhirnya tersadar.

Balai ini tidak lebih besar dari istana, ukurannya hanya kurang dari setengah bagian istana namun cukup besar untuk dijelajahi. Beberapa Abdi dalem mulai terlihat saat Najendra memasuki bagian balai lebih dalam.

“Tuan prajurit. Yang Mulia Gardapati ingin seseorang mendatanginya,” ucap seorang Abdi Dalem sembari menundukkan kepala dan memberi hormat.

“Apa itu harus aku?” tanya Najendra.

"Ini terlalu aneh, sejak tadi kebetulan terus terjadi padaku." Najendra berpikir begitu dalam batin.

“Iya, tuan. Beliau menginginkan siapa pun prajurit yang pertama kali saya temui.”

“Baiklah. Tunjukkan tempatnya.”

“Tempat? Ah ..., ampun, mari saya tunjukkan.” Awalnya dia merasa aneh, tapi dia merasa tidak berhak bertanya lebih lanjut sehingga akan menunjukkan jalan padanya.

"Benar saja. Aku tidak tahu tempatnya karena bukan bawahannya. Seharusnya dia merasa aneh tapi dia malah benar-benar menunjukkan tempat orang itu," pikir Najendra dalam benak.

Sejak awal Najendra mulai merasa ada yang tidak beres tapi dia mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun rasa gugup dan kesal kerap dia rasakan. Begitu sampai di tempat Gardapati berada, dia begitu tercengang.

Semua ukiran atau ornamen khas sama persis bentuk dan letaknya dengan Kerajaan Agung. Termasuk kursi tahkta, tempat di mana seorang raja singgah. Di sanalah Gardapati yang disebut "Yang Mulia", oleh orang-orangnya duduk dengan angkuh sembari menatapnya tajam.

Najendra kesulitan mengendalikan ekspresi, dia kembali mencoba bertahan namun tangannya tetap mengepal. Najendra yang menyamar sebagai prajurit bawahannya secara terburu-buru, duduk bersimpuh lalu memberinya hormat serta salam.

“Saya datang menghadap Yang Mulia,” ucap Najendra dengan suara yang diberat-beratkan.

Kejadian di mana Gardapati membunuh sang raja seolah terulang kembali di tempat ini. Suasananya terasa begitu berat, ada perasaan cemas tak tergambarkan saat Najendra mencoba untuk melihat ke depan. Apa yang Najendra lihat adalah senyuman lebar Gardapati. Seakan-akan sedang menertawakan dirinya.

“Seorang Pangeran yang dulu begitu angkuh sekarang berlutut di hadapanku?”

Jantungnya mulai berdegup kencang tak karuan, pemuda itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tenang tapi ini sudah di luar kendalinya. Pikiran Najendra mulai berkecamuk, panik. Tangannya pun sudah bersiap meraih senjata. Namun dia menahannya.

“Siapa Yang Mulia maksud? Saya tidak mengerti,” sahut Najendra.

“Siapa lagi yang kumaksud selain dirimu, Pangeran Najendra? Ajian saktimu bahkan tidak lebih kuat dari ayahmu.”

"Ah, sepertinya memang sudah tidak mungkin merahasiakan hal ini," batin Najendra yang mulai sadar bahwa Gardapati sudah mengetahuinya.

Sudah tidak ada gunanya lagi tuk saling menyembunyikan rahasia. Panggung penuh drama sudah berakhir dalam waktu singkat bahkan semenjak Najendra masuk ke ruangan ini.

“Kau pasti ingin membalaskan dendam, Pangeran Najendra.”

Secara perlahan Najendra mengangkat kepalanya, menghadap sang pengkhianat dengan tatapan tajam. Kemudian, dalam sekejap Najendra melesat ke arahnya sambil mengarahkan sebilah pedang.

“Memang sudah tidak mungkin melampaui dirimu dalam waktu singkat, Gardapati.”

Ujung pedang tersangkut di sandaran kursi, leher yang nyaris tertusuk pedang itu sedikit gemetar. Rupa dari pemuda itu sedikit demi sedikit kembali seperti semula sementara Gardapati tetap tersenyum seakan takdir memihaknya.

Kesempatan takkan datang lagi, serangan Najendra bukan meleset melainkan Gardapati yang mampu menghindar di waktu yang singkat itu.

“Jangan lengah meski dulu kita saling kenal,” ucap Gardapati. Lantas dirinya menarik pedang, Najendra melompat mundur sambil mencabut pedangnya dari sana sebelum ujung bilang Gardapati menyerang.

Di luar sana, langit sudah berubah jadi gelap gulita. Tanda cuaca buruk akan datang sebentar lagi. Situasi yang intens terasa saat mereka mulai beradu pedang. Seluruh tubuh Najendra pun tegang dan kaku karena sulit beradaptasi dengan gaya serangan Gardapati yang baru.

“Sepertinya kemampuanmu jauh berbeda dari yang pernah aku ingat dulu,” ucap Najendra.

“Pangeran, hanya dengan pedang, mana mungkin kau mampu mengalahkan aku. Keluarkan saja keris itu, karena dengan itu kau bisa membunuhku!” seru Gardapati.

Bersamaan dengan suaranya yang keras dan lantang, dia mengayunkan pedang berulang kali dan membuat Najendra hanya bisa bertahan hingga terpojok lalu terpelanting ke belakang.

“Argh! Ini benar-benar tidak mudah. Tak kusangka latihanku jadi sia-sia,” gerutu Najendra.

“Latihan tuan tidaklah sia-sia. Menurutku wajar saja jika sekarang ini tuan kalah telak karena perbedaan berat di antara kalian,” ujar si keris sakti.

Meskipun begitu, saat Najendra kembali bangkit dan memposisikan dirinya sambil memegang pedang, Gardapati kembali menyerang. Kali ini serangan pria ini jauh lebih berat sampai membuat pedang Najendra patah dan dia pun terluka di bagian dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status