Share

Gardapati

Penulis: Ndaka
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sesosok pemuda berambut hitam berdiri di atas genangan air, melihat penampilannya yang sedang mengenakan pakaian sederhana yang tidak cocok untuknya. Najendra terdiam sejenak lantas mendongakkan kepala, menghadap langit dengan memikirkan banyak hal.

“Sepertinya kamu sudah membiasakan diri dengan alam sekitar. Bagaimana keadaanmu?” tanya Dukun Jaka.

“Tidak ada hal yang spesial, guru. Aku seperti biasa, kepalaku pusing karena ocehan darimu setiap malam,” keluh Najendra seraya menghela napas.

“Pangeran Najendra, akan pergi sekarang?” tanya Intan dengan raut wajah cemas.

“Iya.”

“Tolong berhati-hatilah.”

“Iya, itu pasti.”

Dua tahun telah berlalu, ada perubahan sedikit dari dalam dirinya. Baik itu dari sikap atau sifat hingga kekuatannya. Tenaga dalam yang ditekan kuat hingga terlihat seperti orang biasa, takkan ada orang yang sadar tentang betapa kuatnya dia setelah lama berlatih.

“Semoga pangeran beruntung,” ucap Intan.

“Terima kasih. Tapi jangan sebut aku dengan panggilan itu.”

“Intan akan menunggu.”

Najendra diam dengan mata berkedip setelah mendengarnya berkata begitu. Lalu menghela napas sebelum pada akhirnya dia pergi meninggalkan rumah itu.

Hari yang dinantikan telah tiba, dengan keris terselip di belakang pinggang serta sebuah pedang yang berukuran sedang tergantung di punggungnya, Najendra berpamitan pergi menuju ke reruntuhan Kerajaan Agung.

“Hei keris sakti, bisakah kau membuat wajah baru. Aku ingin menyelinap masuk ke sana sebagai orang-orang mereka.”

“Tentu saja bisa, tuan.”

Hanya dalam hitungan detik, wajahnya berubah. Dengan postur yang sudah semakin tinggi dan berwajah tua, maka orang-orang takkan sadar siapa dirinya. Dia pun perlahan melangkah keluar dari hutan liar. Tepat di depan sana, ada sebuah balai yang dibangun tergesa-gesa menggantikan pondasi istana yang dulu.

“Kalau bukan di alam jin, kau tidak bisa keluar dengan leluasa bukan? Aku akan menyembunyikanmu di saku celana.”

“Baik, tuan.”

Beberapa orang terlihat mondar-mandir di sekitar. Secara langsung Najendra mendekati mereka.

“Hei, jangan bengong saja! Cepat kerja sana!” teriak salah satu dari mereka padanya.

“Ba-baik, aku mengerti!” jawab Najendra sedikit tergagap. Dia sedikit terkejut karena orang ini tiba-tiba memanggilnya.

Orang ini adalah mantan prajurit istana, dia menunjuk ke dalam balai, bermaksud mengarahkan Najendra untuk segera melakukan pekerjaannya yang ada di dalam. Entah apa pekerjaan itu, Najendra justru merasa ini adalah sebuah kesempatan besar.

“Ini kesempatan yang langka, aku bisa merasakan ada banyak orang di sini. Tapi di mana dia?”

Setiap melangkahkan kaki dan berpijak di balai, semua kejadian singkat di masa lampau menghantui isi kepala Najendra. Terus dibayangi dengan banyaknya kejadian buruk membuat pemuda itu berekspresi kesal.

Dia berusaha menahan amarah namun sulit tuk dilupakan begitu saja. Kejadian buruk itu membuatnya sulit berpikir, hingga jin yang selama ini bersama dengannya bertutur kata dan memperingatkan Najendra.

“Tuan harus bisa mengendalikan diri. Jika tidak, niat membunuhmu akan terpancar keluar.”

“Kau benar,” kata Najendra yang akhirnya tersadar.

Balai ini tidak lebih besar dari istana, ukurannya hanya kurang dari setengah bagian istana namun cukup besar untuk dijelajahi. Beberapa Abdi dalem mulai terlihat saat Najendra memasuki bagian balai lebih dalam.

“Tuan prajurit. Yang Mulia Gardapati ingin seseorang mendatanginya,” ucap seorang Abdi Dalem sembari menundukkan kepala dan memberi hormat.

“Apa itu harus aku?” tanya Najendra.

"Ini terlalu aneh, sejak tadi kebetulan terus terjadi padaku." Najendra berpikir begitu dalam batin.

“Iya, tuan. Beliau menginginkan siapa pun prajurit yang pertama kali saya temui.”

“Baiklah. Tunjukkan tempatnya.”

“Tempat? Ah ..., ampun, mari saya tunjukkan.” Awalnya dia merasa aneh, tapi dia merasa tidak berhak bertanya lebih lanjut sehingga akan menunjukkan jalan padanya.

"Benar saja. Aku tidak tahu tempatnya karena bukan bawahannya. Seharusnya dia merasa aneh tapi dia malah benar-benar menunjukkan tempat orang itu," pikir Najendra dalam benak.

Sejak awal Najendra mulai merasa ada yang tidak beres tapi dia mencoba untuk bersikap tenang. Meskipun rasa gugup dan kesal kerap dia rasakan. Begitu sampai di tempat Gardapati berada, dia begitu tercengang.

Semua ukiran atau ornamen khas sama persis bentuk dan letaknya dengan Kerajaan Agung. Termasuk kursi tahkta, tempat di mana seorang raja singgah. Di sanalah Gardapati yang disebut "Yang Mulia", oleh orang-orangnya duduk dengan angkuh sembari menatapnya tajam.

Najendra kesulitan mengendalikan ekspresi, dia kembali mencoba bertahan namun tangannya tetap mengepal. Najendra yang menyamar sebagai prajurit bawahannya secara terburu-buru, duduk bersimpuh lalu memberinya hormat serta salam.

“Saya datang menghadap Yang Mulia,” ucap Najendra dengan suara yang diberat-beratkan.

Kejadian di mana Gardapati membunuh sang raja seolah terulang kembali di tempat ini. Suasananya terasa begitu berat, ada perasaan cemas tak tergambarkan saat Najendra mencoba untuk melihat ke depan. Apa yang Najendra lihat adalah senyuman lebar Gardapati. Seakan-akan sedang menertawakan dirinya.

“Seorang Pangeran yang dulu begitu angkuh sekarang berlutut di hadapanku?”

Jantungnya mulai berdegup kencang tak karuan, pemuda itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tenang tapi ini sudah di luar kendalinya. Pikiran Najendra mulai berkecamuk, panik. Tangannya pun sudah bersiap meraih senjata. Namun dia menahannya.

“Siapa Yang Mulia maksud? Saya tidak mengerti,” sahut Najendra.

“Siapa lagi yang kumaksud selain dirimu, Pangeran Najendra? Ajian saktimu bahkan tidak lebih kuat dari ayahmu.”

"Ah, sepertinya memang sudah tidak mungkin merahasiakan hal ini," batin Najendra yang mulai sadar bahwa Gardapati sudah mengetahuinya.

Sudah tidak ada gunanya lagi tuk saling menyembunyikan rahasia. Panggung penuh drama sudah berakhir dalam waktu singkat bahkan semenjak Najendra masuk ke ruangan ini.

“Kau pasti ingin membalaskan dendam, Pangeran Najendra.”

Secara perlahan Najendra mengangkat kepalanya, menghadap sang pengkhianat dengan tatapan tajam. Kemudian, dalam sekejap Najendra melesat ke arahnya sambil mengarahkan sebilah pedang.

“Memang sudah tidak mungkin melampaui dirimu dalam waktu singkat, Gardapati.”

Ujung pedang tersangkut di sandaran kursi, leher yang nyaris tertusuk pedang itu sedikit gemetar. Rupa dari pemuda itu sedikit demi sedikit kembali seperti semula sementara Gardapati tetap tersenyum seakan takdir memihaknya.

Kesempatan takkan datang lagi, serangan Najendra bukan meleset melainkan Gardapati yang mampu menghindar di waktu yang singkat itu.

“Jangan lengah meski dulu kita saling kenal,” ucap Gardapati. Lantas dirinya menarik pedang, Najendra melompat mundur sambil mencabut pedangnya dari sana sebelum ujung bilang Gardapati menyerang.

Di luar sana, langit sudah berubah jadi gelap gulita. Tanda cuaca buruk akan datang sebentar lagi. Situasi yang intens terasa saat mereka mulai beradu pedang. Seluruh tubuh Najendra pun tegang dan kaku karena sulit beradaptasi dengan gaya serangan Gardapati yang baru.

“Sepertinya kemampuanmu jauh berbeda dari yang pernah aku ingat dulu,” ucap Najendra.

“Pangeran, hanya dengan pedang, mana mungkin kau mampu mengalahkan aku. Keluarkan saja keris itu, karena dengan itu kau bisa membunuhku!” seru Gardapati.

Bersamaan dengan suaranya yang keras dan lantang, dia mengayunkan pedang berulang kali dan membuat Najendra hanya bisa bertahan hingga terpojok lalu terpelanting ke belakang.

“Argh! Ini benar-benar tidak mudah. Tak kusangka latihanku jadi sia-sia,” gerutu Najendra.

“Latihan tuan tidaklah sia-sia. Menurutku wajar saja jika sekarang ini tuan kalah telak karena perbedaan berat di antara kalian,” ujar si keris sakti.

Meskipun begitu, saat Najendra kembali bangkit dan memposisikan dirinya sambil memegang pedang, Gardapati kembali menyerang. Kali ini serangan pria ini jauh lebih berat sampai membuat pedang Najendra patah dan dia pun terluka di bagian dada.

Bab terkait

  • NAJENDRA   Raja dari Para Jin

    “Pangeran, bukan ... sekarang aku hanya perlu memanggilmu dengan nama saja, Najendra.” “Bersikaplah acuh seperti biasa, Gardapati. Etika kesopanan itu tidak diperlukan saat berhadapan dengan musuh,” ucap Najendra. Dia kembali berdiri setelah terjatuh, tubuhnya sedikit lunglai dengan pendarahan yang tidak sedikit ini. Mengatur napas saja sudah kesusahan, tangannya pula gemetaran. Najendra sulit memenangkan pertarungan ini sampai di titik di mana dia harus memaksakan dirinya sendiri. “Aku mungkin lebih lemah darimu, Gardapati!” Seraya berteriak, Najendra mendorong telapak tangan yang berlumur kobaran api. Gardapati terkejut, tubuhnya terdorong mundur cukup jauh hingga di kursi tahktanya. “Ajian ini ...,”Gardapati cukup terkejut dengan ajian yang dimiliki oleh Najendra. Kemudian dia bertanya, “Kau belajar dari siapa?” “Tidak ada gunanya menanyakan hal itu. Lagi pula kau akan mati. Jangan kau pikir aku tidak tahu apa ajian milikmu, sehingga aku dengan mudah mengantisipasi hal in

  • NAJENDRA   Masalah Mimpi

    Begitu dia membuka mata, Kerajaan Timur sudah berada di ujung tanduk. Tidak menunggu lama hingga kobaran api meluluhlantakkan semua hal. Bangunan, jalanan dan manusia. Jerit tangis selalu terdengar setiap saat, derita hidup dari banyak kalangan bagai penghuni di alam neraka. Api membumihanguskan seluruh bagian dari Kerajaan, termasuk beberapa daerah yang dikuasainya. Keluarga Ningrat pun tidak ada yang selamat, kejadian itu benar-benar membuat seseorang jadi gila. Sudah lama ini direncanakan, lebih tepatnya semenjak Pangeran Najendra mulai beranjak dewasa. Sosok jenderal perang yang sekarang berjabat patih lah adalah si pengkhianat. Dia memulai perang karena inisiatifnya sendiri. Dia berpikir, “Pangeran itu tidak akan mampu memimpin kami. Dia berbeda dengan Kanjeng Sinuwun. Pangeran tidak pantas, dia bahkan tidak jauh lebih kuat dari anak buahku.” Tentang Najendra, dia selalu meremehkan. Tetapi itu benar adanya. Sosok pangeran yang dihadapkan dengan kehancuran kerajaannya sendiri

  • NAJENDRA   Pengembara Liar Bagian I

    Intan datang setelah mendengar suara teriakan dari dalam kamar Najendra. Kedatangannya membuat Najendra terkejut namun dia merasa tenang karena berkatnya, siluman ular itu pergi. Tempat yang saat ini mereka singgahi adalah bekas Kerajaan Agung, balai utama yang pernah ditempati oleh Gardapati. “Pangeran tidak apa-apa?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Najendra dengan sedikit gugup, dia mengalihkan pandangan karena malu. Sedetik kemudian Intan baru tersadar dengan pakaian Najendra yang setengah terbuka, secara spontan Intan berbalik badan. Lalu berkata, “Saya mohon ampun, Pangeran Najendra. Ah, bukan ... maksudnya saya memohon maaf karena tidak melihat pangeran sedang berganti pakaian. Saya pergi.” Setelah itu Intan pergi. “Eh?” Dengan bodohnya Najendra baru sadar akan hal itu, ia pun bergegas membenahi pakaian yang dikenakannya. “Dasar siluman itu!” ucap Najendra memaki.“Tuan memanggil saya?” Ekor ular itu muncul dan menahan kedua tangan Najendra. Siluman ini malah kembali mu

  • NAJENDRA   Pengembara Liar Bagian II

    Malam sudah tiba, rembulan mulai menampakkan diri di balik awan. Balai yang dipikir tidak ada penghuninya ternyata hanya sekadar sepi saja. Pengembara itu melirik ke arah kanan dan kirinya seakan sedang mencari sesuatu. “Kau pemilik tempat ini?” “Tidak juga,” jawab Najendra ambigu. Pengembara itu lantas menghela napas, merasa menyesal karena sudah bertanya. “Apa yang kau tunggu? Duduklah di dekat meja pendek di sana, sebentar lagi makanannya akan datang.”"Jangan bilang yang akan mengantarkan makanan adalah jin atau setan?" pikirnya dalam benak. “Sepertinya aku belum mengenal siapa dirimu. Pertama-tama perkenalkan namaku Wira. Aku seorang pengembara yang kebetulan sedang cari makan.”“Hm, ya.” Najendra hanya berdeham dan menjawab singkat."Tuan rumah yang tidak ramah. Menyebabkan," gerutu Wira dalam batin.Setelah menunggu beberapa saat, seorang gadis cantik berambut ikal dengan jepitan manis yang sedikit mengikat bagian rambutnya datang sambil membawakan nampan yang penuh dengan

  • NAJENDRA   Melemah

    Dalam kesengsaraan, Najendra terus berjuang menghadapi kondisinya saat ini. Seperti anomali ataupun terserang penyakit ghaib, tubuhnya mendadak kejang begitu sampai di kamar sendiri. Najendra tidak bisa fokus, matanya yang mendelik namun sulit melihat ke sekitarnya. Kondisi itu terus berlanjut sampai pada akhirnya dia kembali terjatuh di tempat, Najendra sangat yakin ini adalah ulah para jin yang sekarang bersemayam dalam tubuhnya. "Tenaga dalamku terhambat. Padahal sebelumnya aku sudah mengontrol dengan baik tapi sekarang kembali seperti di awal kondisi. Menyebalkan," gerutunya dalam benak. “Tuan terlihat kesakitan, saya tidak tahu harus apa tapi akan lebih baik tuan berbaring di ranjang,” ucap Intan.“Aku tahu, Intan. Tapi aku sulit bergerak saat ini,” tutur Najendra dengan wajah yang semakin pucat. Intan sedikit panik, dia hendak menuntun tubuh Najendra tetapi itu adalah hal sulit baginya karena perbedaan berat badan yang cukup jelas. “Kalau begitu berbaringlah di atas pahaku,

  • NAJENDRA   Yang Diincar

    Sedari kecil, Najendra selalu bermain dengan girang walau hanya sendiri. Waktu yang dia habiskan dari pagi hingga menjelang malam membuat para Abdi dalem kewalahan. Pada saat itu tanpa sengaja Najendra melihat ada seseorang yang diam-diam menggerutu, memaki ayahnya yang merupakan seorang raja. “Kanjeng tidak mengerti ... Mahendra, pria itu ... tidak memahami apa-apa, menyebalkan.” ***“Aku baru ingat ada kejadian seperti itu. Itu bukan Gardapati melainkan orang lain.” Kembali pada saat ini. Pada awalnya si keris sakti berkata bahwa apa yang dimimpikan oleh Najendra itu kenyataan, ruh Gardapati sendiri yang mengatakannya. Lalu membawa Najendra ke desa kecil, letak desa itu berada di luar daerah kawasan wilayah Kerajaan Agung.“Apa Tuan Najendra sudah tahu siapa pengkhianatnya?” “Aku hanya ingat wajahnya. Nama ataupun jabatan, kalau itu aku tidak tahu.”“Saya khawatir ini akan membuat tuan gelisah.”“Bisa-bisanya mahluk sepertimu mengkhawatirkan aku.”“Tentu saja. Mahluk setengah

  • NAJENDRA   Kesepakatan dengan Para Jin

    Najendra menghilang dalam kegelapan, Wira tak dapat mengejarnya.“Tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi. Dasar orang aneh,” gerutu Wira. Di satu sisi, Najendra berpindah ke alam jin. Meski itu hanya ruh-nya saja namun Najendra tetap bisa merasakan sakit di tempat ini. Dalam keadaan dirantai di bagian kedua tangan dan kakinya secara terpisah, Najendra menggeram kesal terhadap semua jin yang ada di sekitarnya. “Tiba-tiba menarik diriku kemari. Apa kalian sebegitunya ingin membunuhku?” Para jin lantas menertawakannya. Tak satupun dari mereka yang diam, mereka memperlakukan Najendra seperti barang dan mempermalukannya seperti ini. "Tawa yang menggelikan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka," batin Najendra merasa muak.“Najendra adalah seorang pangeran. Ini cukup ironis, dulu kau dilindungi dari kami lalu sekarang menjadi perantara.” Jin dengan siluet hitam, tak tentu bagaimana wujudnya itu berbicara dengan suara serak.“Perantara? Kupikir kita hanya saling bersepakat saja.”

  • NAJENDRA   Pengkhianat itu Siapa Lagi?

    Cuaca terlihat cerah, tak ada tanda-tanda hujan turun atau badai akan datang. Melihat pemandangan dari jendela, Najendra berpikir itu terlihat bagus dan membuatnya tenang walau hanya sejenak saja. Keris sakti yang selalu mendampinginya kini berdiri jauh di sudut ruangan, dalam wujud manusia, dia menunggu apa perintah majikannya. “Apakah mungkin pengkhianat yang pernah kau katakan ada di desa itu adalah Wira? Tapi sepertinya bukan, karena kau tidak mengatakan apa pun saat dia datang.”Keris sakti mengangguk lemah dengan ekspresi cemas seakan-akan telah terjadi sesuatu yang tak terduga. “Itu ... memang bukan, tuan. Pria itu bukanlah pengkhianat yang dimaksud, saya rasa begitu.”“Hei, bicara yang benar!” teriak Najendra kesal.“Maafkan saya, Tuan Najendra. Mengenai pengkhianat itu benar, saya sudah sempat ke sana dan mendengar pembicaraan lalu-lalang juga. Mahluk-mahluk itu yang ada di desa itu yang mengatakannya,” ungkapnya lugas. Kini Najendra memahami tentang maksud si keris sakt

Bab terbaru

  • NAJENDRA   Jadilah Langit Untukku

    Segala jenis jin berkumpul dalam satu tempat dan mengepung mereka. Tidak ada waktu untuk mengurus antek-antek itu, Najendra berlari dengan kecepatan penuh menuju siluman laba-laba yang merupakan ibunya sendiri. “Aku ibumu, jadi turuti aku! Jangan membantah!”Najendra menghela napas kasar, dahinya berkerut, tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya lagi seperti saat pertemuan mereka sebelumnya. Mahluk yang sudah bukan berwujud manusia, seekor laba-laba besar, Tarantula. “Ibu seharusnya sudah mati. Aku yakin dengan hal itu.”Ratu Cahyaningrum memang benar-benar sudah mati sejak awal dan itu karena sang raja sendiri. Karena Mahendra sadar apa rencana busuk istrinya maka dengan tangan sendiri dia membunuhnya. “Aku hidup mengorbankan jiwaku, Najendra! Jadi kemarilah, ikuti aku menuju ke langit! Lalu menguasai kota, negeri, benua dan dunia ini!” Ambisinya sebesar ini, padahal sudah jelas ambisi itu tergolong mustahil. “Seseorang pernah berkata, tak ada yang mustahil tapi kau pikir ada man

  • NAJENDRA   Menghadapi Amukan Sang Ratu

    Wira berhadapan dengan Rahma yang memiliki tubuh aneh. Tubuhnya tidak merasakan sakit, tidak terdengar pula suara detak jantung bahkan setelah kepalanya tertusuk belati, dia dengan mudahnya mencabut belati itu tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Wira yang melihat fenomena aneh ini lantas terdiam di tempat sembari memikirkan terbuat dari apa tubuh wanita itu.“Yang benar saja?” “Kau pasti sangat terkejut melihatku seperti ini. Apa barusan kau mengira aku ini sama sepertimu?” “Tidak. Aku berpikir kita berdua tetap berbeda. Aku ini merasuki tubuh mayat, meskipun tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuh ini tapi aku bisa merasakan sakit karena jiwaku yang terhubung dengan tubuh ini.” “Yang kau katakan masuk akal,” ucap Rahma setuju. Dia melempar-tangkap belati itu sendiri seakan sedang bermain.“Sekilas kita terlihat sama, tapi aku hanyalah hantu.”“Hantu itu 'kan roh? Bukankah sama saja?” pikirnya kembali, merasa ada yang tidak beres. “Roh manusia yang bergentayangan bisa dis

  • NAJENDRA   Mengubah Wujudnya

    Kebebasan dan hak yang dimiliki oleh Najendra ternyata telah benar-benar mempengaruhinya. Ucapan ratu didengar dan dilakukan oleh Najendra tanpa ragu. Hal itu membuat ratu semakin senang. “Benar, pergilah sepuasmu, putraku. Dengan begitu kau tidak perlu merasa canggung dengan dunia yang akan kau pimpin nanti,” celetuk Cahyaningrum.***Semua, segala hal diberikan oleh Cahyaningrum pada Najendra seorang. Dia yang terlihat sebentar lagi akan mati itu kini menyunggingkan senyum lebar. “Aku ingin menjadikanmu sebagai Raja yang ideal bagiku, sosok pemimpin yang akan menguasai dunia hingga alam jin sekalipun.” Dia berkata dengan bangga seakan mimpi itu akan terwujud. “Itu tidak mungkin,” sangkal Najendra. “Kamu hanya tidak terlalu paham, Najendra. Suatu saat nanti kamu akan benar-benar melampaui langit itu sendiri,” ucap Cahyaningrum. Mimpinya bahkan terdengar lebih konyol dari mimpi anak-anak. Dia memiliki fantasi yang luar biasa kuat sehingga membuatnya mengambil langkah hina dan men

  • NAJENDRA   Ambisi serta Kerakusan

    Cahyaningrum merupakan gadis yang serakah. Tidak cukup hanya posisi ratu di tempat itu, dia berniat merenggut posisi raja juga. “Akan aku buktikan bahwa aku jauh lebih pantas menyandar gelar yang lebih berharga darimu!” Sembari melampiaskan emosinya, Cahyaningrum membuat rencana diam-diam. Mulai dari mencari setiap kesalahan Mahendra dan berbagai hal yang akan membuatnya dibenci oleh para pejabat atau prajurit lainnya. Namun semua hal itu ternyata tidak bisa. “Melakukan ini sia-sia. Aku bisa dihukum jika melakukannya terang-terangan.”Selama kurang lebih dua tahun lamanya, dia pun mengandung anak raja. Saat lahir, anak lelaki itu memiliki kemiripan dengan ayahnya. Saking miripnya membuat ratu muak. “Anak ini adalah anak dia,” gumam Cahyaningrum. Berbeda dengan Cahyaningrum yang tidak senang dengan kehadiran buah hatinya, Mahendra justru sangat senang. Dia menangis bahagia.“Aku sangat senang akhirnya kita punya keturunan, istriku.” Mahendra kemudian mengecup keningnya lembut.“Iy

  • NAJENDRA   Ibu

    Rahma mendorong dua pintu di hadapannya dengan sekuat tenaga. Pintu itu sedikit berat sehingga membutuhkan waktu beberapa saat agar pintunya terbuka lebar. Ruangan di dalamnya begitu luas bahkan juga minim barang yang tertata. Hanya sekarang kursi dan meja di bagian sudut kiri. Lalu meja dengan belasan laci disertai beberapa pot kecil di bagian sudut kanan.Tidak ada pilar yang menjadi pembatas, selain karpet yang terbuat dari kulit harimau di lantai depan sana, ada seseorang sedang duduk santai di kursi panjang. Sekilas terlihat seperti singgasana seorang raja. Dialah sosok pengkhianat itu, seorang wanita. Namun belum ada setengah langkah setelah memasuki ruangan, Najendra terkejut dan mematung diam di tempat. “Najendra, apa yang sedang kau lakukan? Lihat ke depan dan beritahu aku itu siapa?” tanya Wira berbisik-bisik.“Dia ibuku,” jawab Najendra.“Hah?!” Tanpa sengaja Wira berteriak, saking dia terkejutnya dengan jawaban barusan. Setelah sadar dia berteriak, dengan cepat Wira mem

  • NAJENDRA   Dibuat Menunggu

    Pendopo yang dibangun di atas bukit, rasanya tidak masuk akal namun mengingat ini adalah alam jin, ini bukanlah hal yang mustahil. “Kalian semua jangan keluar dari tubuhku sebelum aku menyuruh,” titah Najendra yang kemudian berjalan mendaki bukit.Bukit yang mereka daki seharusnya tidak begitu tinggi namun lambat laun mulai terasa bahwa pemilik wilayah tidak mengijinkan dia masuk dengan mudah. Najendra menyeringai bukan karena senang melainkan tertantang. Sedangkan Wira yang berada di bawahnya justru terlalu sering menghela napas saking lelahnya dia mendaki. Padahal tubuh yang dia gunakan adalah mayat. “Kau masih bisa merasakan lelah meskipun kau sekarang adalah mayat?” tanya Najendra.“A-aku ...,”“Jangan bilang kau ingin kabur. Aku butuh kekuatanmu, jadi jangan harap kau melarikan diri.” Tinggal selangkah lagi mereka sampai, melihat Wira yang begitu lamban, Najendra lantas menarik kerah pakaian pria pengecut itu lalu melemparnya ke atas. “Wah!!” teriak Wira terkejut. “Tak kus

  • NAJENDRA   Pendopo di Alam Jin

    Surat balasan datang begitu cepat. Najendra hari itu terlihat sangat bersemangat sekali. Tentu saja penyebabnya adalah surat itu. Sesampainya di balai, dia pun menceritakannya. “Ada surat yang datang setelah aku mengirim surat untuk dia,” ucap Najendra seraya menunjukkan isi surat tersebut. “Surat ini dari siapa?” tanya Wira.“Dari pengkhianat,” jawab Najendra. Seketika semua yang ada di sana pun terkejut dalam diam. Termasuk Wira yang tidak menyangka akan hal itu. “Jangan bercanda.”“Aku tidak bercanda, Wira.” Najendra terkekeh mendengar Wira masih saja tidak mempercayai perkataannya. Kemudian Najendra menceritakan apa saja yang terjadi sampai seperti sekarang ini.Bermula saat bertemu dengan Abimanyu di dalam benteng, di sana Tuyul dan Najendra menyepakati sesuatu. Najendra memintanya untuk terus mengawasi wanita bernama Rahma, maka Najendra akan memberikan uang sebanyak yang dia mau. Tuyul itu tidak bisa menolak karena tawarannya, terlebih dia sudah menjadi bagian dari Najend

  • NAJENDRA   Surat Penentuan

    Sebulan telah berlalu, waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan kekuatan. Hari-hari yang tidak cukup tenang mengingat Najendra masih dicari banyak orang. Di suatu tempat, berdekatan dengan gunung mati, terdapat sebuah pendapa yang dibangun di atas bukit kecil. Rahma kembali bersama burung gagaknya lalu berlutut memberi hormat pada sosok wanita yang duduk di kursi panjang. Wanita itu duduk dengan anggun sambil tersenyum, dia menyambut kedatangan Rahma. “Gusti Kanjeng Ratu, saya telah kembali. Sesuai permintaan ratu, saya bersikap akrab dengan pangeran lalu mengawasinya dari kejauhan.”“Ya, aku sudah memanggilmu kembali sudah sejak lama, tapi sepertinya kau betah juga.”“Ratu bicara hal yang sudah jelas. Tentu saja Dwi Rahma adalah bagian dari ratu sendiri,” ucap Rahma. “Kau benar. Kau betah di sana karena aku menginginkannya ... berada dekat dengan putraku,” tutur sang ratu lantas tertawa lirih.Pakaian khas ningrat masih melekat, dengan minim aksesori dan rambut yang disanggu

  • NAJENDRA   Sosok Keris Sakti

    Ritual malam yang dilakukannya untuk memanggil jiwa Wira telah berhasil. Jiwa Wira muncul dengan wujud transparan sebagai mahluk setengah siluman. Ternyata jiwa manusia Wira telah menyatu dengan jiwa siluman yang hidup di dalam tubuhnya. Alasan Najendra menginginkan Wira selain pengetahuannya tentang negeri ini, dia juga menginginkan kemampuan wujud siluman itu. Pada awalnya Najendra sangat tidak suka jika mengandalkan kekuatan siluman namun selama beberapa waktu dia sadar, ajian saja tidak cukup. Di lain sisi, Najendra merasa enggan jika harus menyatu dengan pelindungnya sendiri sehingga dia berpikir untuk memanfaatkan Wira yang memiliki kemampuan itu. Sebagai kawan lama, Wira tidak berniat menolak setelah akhirnya dia menyalahpahami sesuatu terkait "mengikat jiwa." Najendra mengorbankan tubuh sebagai perantara agar Wira dapat menggunakan kekuatan silumannya.Wira pun berpikir, “Bukankah itu sama saja? Siluman milikmu juga bisa melakukan itu. Bahkan tanpa diriku, kau mampu, Najen

DMCA.com Protection Status