Kebebasan dan hak yang dimiliki oleh Najendra ternyata telah benar-benar mempengaruhinya. Ucapan ratu didengar dan dilakukan oleh Najendra tanpa ragu. Hal itu membuat ratu semakin senang. “Benar, pergilah sepuasmu, putraku. Dengan begitu kau tidak perlu merasa canggung dengan dunia yang akan kau pimpin nanti,” celetuk Cahyaningrum.***Semua, segala hal diberikan oleh Cahyaningrum pada Najendra seorang. Dia yang terlihat sebentar lagi akan mati itu kini menyunggingkan senyum lebar. “Aku ingin menjadikanmu sebagai Raja yang ideal bagiku, sosok pemimpin yang akan menguasai dunia hingga alam jin sekalipun.” Dia berkata dengan bangga seakan mimpi itu akan terwujud. “Itu tidak mungkin,” sangkal Najendra. “Kamu hanya tidak terlalu paham, Najendra. Suatu saat nanti kamu akan benar-benar melampaui langit itu sendiri,” ucap Cahyaningrum. Mimpinya bahkan terdengar lebih konyol dari mimpi anak-anak. Dia memiliki fantasi yang luar biasa kuat sehingga membuatnya mengambil langkah hina dan men
Wira berhadapan dengan Rahma yang memiliki tubuh aneh. Tubuhnya tidak merasakan sakit, tidak terdengar pula suara detak jantung bahkan setelah kepalanya tertusuk belati, dia dengan mudahnya mencabut belati itu tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Wira yang melihat fenomena aneh ini lantas terdiam di tempat sembari memikirkan terbuat dari apa tubuh wanita itu.“Yang benar saja?” “Kau pasti sangat terkejut melihatku seperti ini. Apa barusan kau mengira aku ini sama sepertimu?” “Tidak. Aku berpikir kita berdua tetap berbeda. Aku ini merasuki tubuh mayat, meskipun tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuh ini tapi aku bisa merasakan sakit karena jiwaku yang terhubung dengan tubuh ini.” “Yang kau katakan masuk akal,” ucap Rahma setuju. Dia melempar-tangkap belati itu sendiri seakan sedang bermain.“Sekilas kita terlihat sama, tapi aku hanyalah hantu.”“Hantu itu 'kan roh? Bukankah sama saja?” pikirnya kembali, merasa ada yang tidak beres. “Roh manusia yang bergentayangan bisa dis
Segala jenis jin berkumpul dalam satu tempat dan mengepung mereka. Tidak ada waktu untuk mengurus antek-antek itu, Najendra berlari dengan kecepatan penuh menuju siluman laba-laba yang merupakan ibunya sendiri. “Aku ibumu, jadi turuti aku! Jangan membantah!”Najendra menghela napas kasar, dahinya berkerut, tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya lagi seperti saat pertemuan mereka sebelumnya. Mahluk yang sudah bukan berwujud manusia, seekor laba-laba besar, Tarantula. “Ibu seharusnya sudah mati. Aku yakin dengan hal itu.”Ratu Cahyaningrum memang benar-benar sudah mati sejak awal dan itu karena sang raja sendiri. Karena Mahendra sadar apa rencana busuk istrinya maka dengan tangan sendiri dia membunuhnya. “Aku hidup mengorbankan jiwaku, Najendra! Jadi kemarilah, ikuti aku menuju ke langit! Lalu menguasai kota, negeri, benua dan dunia ini!” Ambisinya sebesar ini, padahal sudah jelas ambisi itu tergolong mustahil. “Seseorang pernah berkata, tak ada yang mustahil tapi kau pikir ada man
Hiruk-pikuk di pagi hari yang cerah, gelak tawa anak-anak kecil di sekeliling pun memeriahkan suasana di pasar setempat. Langit tampak mendukung, serasa kebahagiaan dan kedamaian akan senantiasa menjaga wilayah Kerajaan Agung ini. Kerajaan Agung, Bagian Istana. Seorang lelaki berperawakan besar dan tinggi berjalan memasuki tempat peristirahatan raja dengan izin. Dia berlutut sambil memberi hormat sebelum akhirnya berbicara mengenai laporan pagi ini. “Kanjeng Sinuwun, saya datang untuk melaporkan.”“Ternyata kau sudah datang, Raden Adipati. Jangan terlalu formal, di sini tidak ada orang lain.”Terlihat Sang Raja, Susuhunan Timur Agung, Maheswara bangkit dari ranjangnya lalu menyibak tirai yang menghalangi pandangan di antara mereka. Beliau tersenyum dan meminta Patih yang barusan datang untuk mengangkat kepalanya. “Tapi ....,”“Aku akan memanggil namamu, Gardapati, jadi berbicaralah lebih santai,” pintanya.Barulah lelaki besar itu menurut untuk mengangkat kepala. Namun tetap dala
Malam yang seharusnya begitu gelap sekarang begitu terang karena kobaran api semakin menjalar hampir ke seluruh bagian istana ini. Kerajaan Agung sedang dalam bahaya, saat Pangeran Najendra menyadari hal itu, dia pun bergegas menuju ke kamar orang tuanya. “Rama, Ibu!” Najendra memanggil mereka begitu sampai. Namun, saat dirinya bergegas membuka pintu dengan cara mendobrak sekeras mungkin hingga pintu itu hancur, terlihat di depan mata, Najendra menyaksikan seseorang yang begitu familiar sedang menghunuskan pedang pendeknya ke tubuh sang ayah. Sementara sang ibu sudah tergeletak di bawah dan nyaris terlalap oleh api.“Kau! Apa yang kau lakukan, Raden Adipati!” jerit Najendra penuh amarah. Setengah pakaiannya sudah terbakar semenjak perjalanan menuju ke ruangan ini, kulit kuning langsat itu pun ternodai oleh abu. Amarah sepenuhnya ditujukan hanya untuk si pengkhianat tersebut.“Tidak, Najendra ...pergilah! Jangan sampai kau juga mati di tangannya!” teriak sang Ayah seraya mengulurka
Hari telah berganti, pertukaran nyawa seringkali terjadi. Matahari dan bulan yang berganti peran dengan cepat, jejak kerajaannya pun sekarang lenyap. Kini satu-satunya keturunan ada di sini dan hidup. “Kerajaan Agung lenyap?”“Ya. Lalu kau sendiri itu siapa? Tidak mungkin orang biasa sepertimu bisa memegang keris.”“Biar aku beritahu, akulah Pangeran Najendra. Aku adalah bagian dari Kerajaan Agung yang sudah lenyap itu!” Lagi-lagi pria tua itu tertawa bahak-bahak. Dia menertawakan Najendra sebab berpikir itu adalah lelucon yang paling lucu. “Kau pikir ini lucu 'kan?” “Iya, iya ... itu lucu sekali. Lalu?” “Jika kau membawaku ke tempat Gardapati maka kau pasti bisa hidup mewah. Bahkan jika itu hanya kepalaku saja,” tutur Najendra serius, seolah-olah ingin menyerahkan nyawa begitu saja.“Bicara apa sih, anak muda ini? Aku tidak tertarik dengan benda-benda mewah yang mungkin akan membuatku kaya. Ikutlah denganku.” Najendra terdiam seribu kata, matanya membelak kaget saat mendapati
Tanah yang tandus namun pepohonan berdiri tegak seolah hidup. Meski yang tersisa hanya ranting dan dedaunan yang kering, dengan diliputi cuaca panas bak neraka ini, Najendra menyadari ada mahluk hidup di sini. “Tempat apa ini sebenarnya? Perasaanku aneh, aku memiliki firasat buruk di sini.” “Tuan, engkau sedang berada di alam jin. Di sini adalah tempat tinggal mahluk mistis dan sejenisnya,” jawab seseorang. Merasa tidak sedang ditemani siapa pun, ya, seharusnya begitu. Najendra menoleh ke sumber suara dan dia begitu terkejut ketika mendapati sesosok lelaki yang memiliki rupa dan suara yang sama dengannya. “Kau siapa?” tanya Najendra sambil menatap tajam, dia melangkah mundur dan bersikap waspada. “Saya adalah keris milikmu, tuan. Saya yang melindungimu saat tertebas tombak di hari itu juga. Apa Tuan Najendra sudah sadar?” “Keris? Keris itu 'kan benda mati. Ah, tunggu sebentar ...,”Keris memang benda mati tapi itu bukanlah keris biasa. Keris itu nyatanya memang benar-benar tela
Pada tahun kelahiran sang pangeran, semua menyambutnya dengan meriah. Lantaran anak lelaki itu sudah digadang-gadang akan menjadi raja berikutnya di Kerajaan Agung. Namanya Najendra. Namun, sedari kecil fisiknya lemah. Sang Raja memutuskan untuk membuatnya belajar bela diri agar semakin lebih kuat meskipun kekuatan spiritualnya melebihi para orang dewasa. “Bila pangeran memiliki kekuatan spiritual tinggi, maka beliau akan rentan terhadap segala jenis jin.” Itulah pesan yang disampaikan oleh sang ahli pengobatan. Tidak buruk memiliki kekuatan spiritual tinggi namun Najendra kerap kali diserang oleh para jin, mereka merasuki tubuh Najendra dan mengendalikannya sesuka hati. Itulah yang membuat semua orang gemetar ketakutan. Hingga suatu hari, Najendra merasa muak belajar, baik ilmu akademis maupun ilmu bela diri. Ayahnya pun mengalah dan kemudian memberikan "pelindung" miliknya yaitu Keris Sakti pada Najendra. Seiring berjalannya waktu, sang ayah pun turut menutup indera batin milik