Hiruk-pikuk di pagi hari yang cerah, gelak tawa anak-anak kecil di sekeliling pun memeriahkan suasana di pasar setempat. Langit tampak mendukung, serasa kebahagiaan dan kedamaian akan senantiasa menjaga wilayah Kerajaan Agung ini.
Kerajaan Agung, Bagian Istana. Seorang lelaki berperawakan besar dan tinggi berjalan memasuki tempat peristirahatan raja dengan izin. Dia berlutut sambil memberi hormat sebelum akhirnya berbicara mengenai laporan pagi ini. “Kanjeng Sinuwun, saya datang untuk melaporkan.” “Ternyata kau sudah datang, Raden Adipati. Jangan terlalu formal, di sini tidak ada orang lain.” Terlihat Sang Raja, Susuhunan Timur Agung, Maheswara bangkit dari ranjangnya lalu menyibak tirai yang menghalangi pandangan di antara mereka. Beliau tersenyum dan meminta Patih yang barusan datang untuk mengangkat kepalanya. “Tapi ....,” “Aku akan memanggil namamu, Gardapati, jadi berbicaralah lebih santai,” pintanya. Barulah lelaki besar itu menurut untuk mengangkat kepala. Namun tetap dalam posisinya berlutut, ia kemudian berbicara santai sesuai yang diinginkan oleh beliau. Laporan yang diberikan adalah tentang seseorang asing yang mencoba untuk menyelinap masuk ke wilayah kerajaan akhir-akhir ini. Patih merasa kecewa karena keamanan jadi longgar karena berpikir kedamaian akan selalu terjadi. Meski berita ini tidak sampai ke telinga orang-orang sudra (kalangan rendah/masyarakat umum), tapi sebagai seorang Patih, dia tetap merasa bersalah. “Kedamaian memang sulit dipertahankan. Walau sudah bertahun-tahun, kerajaan kecil ini pun akan runtuh. Gardapati, aku berharap padamu untuk bisa menjaga anakku nanti jika keruntuhan itu terjadi.” “Tidak! Itu tidak akan terjadi, Kanjeng Sinuwun. Saya pasti akan mempertahankan kerajaan ini bagaimanapun caranya.” Gardapati berucap lantang dan tegas, ketakutan terlihat jelas di sorot matanya yang sedikit memelas itu. Seperti biasa, Susuhunan Maheswara hanya tersenyum kecil seolah yang dihadapinya hanyalah masalah kecil. Beliau sedang terserang penyakit dan hal itu hanya diketahui oleh sedikit dari orang-orang istana. Bahkan putranya saja tidak tahu. “Maafkan saya yang bodoh ini. Saya pamit undur diri, Kanjeng Sinuwun.” “Ya.” Tidak ada hal yang bisa dilakukan oleh Patih selain menjaga keamanaan kerajaan ini. Begitu dia keluar dari ruangan itu, ekspresinya berubah total. Dari yang memelas dan penuh kesedihan, kini raut wajahnya seperti iblis yang sedang marah. “Raden Adipati, Gardapati. Senang bertemu denganmu,” ucap seorang pemuda berusia 22 tahun menyapa lelaki besar itu. Terkejut ada seseorang yang barusan menyapa, langkahnya pun terhenti. Arah mata Gardapati tertuju pada si pemuda itu. “Ampun Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Saya telah bertindak tidak sopan,” ucap Gardapati sambil menundukkan kepalanya dengan sopan sebagai tanda dia sedang meminta maaf sedalam-dalamnya. Pemuda itu bernama Najendra, dia merupakan keturunan sang raja, dia adalah seorang pangeran, kelak, dialah yang akan menggantikan posisi Ayahnya, Maheswara. “Bukan masalah, Raden Adipati. Sepertinya aku sedang menghalangi jalanmu, ya?” “Tidak, pangeran. Saya lah yang menghalangi.” “Raut wajahmu terlihat seperti sedang marah. Apakah terjadi sesuatu?” tanya Najendra. “Saya terlalu berpikir keras akhir-akhir ini. Tapi pangeran tidak perlu cemas.” Terlihat jelas bagaimana Gardapati mencoba untuk menghindari pertanyaan pangeran. Pemuda itu pun merasakannya tapi karena tidak begitu tertarik dengan politik atau apa pun yang berkaitan dengan istana, dia pun langsung pergi meninggalkan Patih. “Baiklah.” Pemuda yang dikenal sebagai pangeran Najendra adalah sosok orang yang cukup egois, dia juga sombong. Aura yang terpancar darinya pun sungguh berbeda dengan sang ayah. Sifat-sifat keburukan justru melekat kuat padanya. Dengan pakaian bertelanjang dada, minim aksesori yang nampak. Langkah tegap menyusuri bagian dalam istana sembari melirik ke arah bawah dengan tatapan tajam. Najendra sempat terhenti saat berada di hadapan kamar ayahnya, dia berpikir untuk mampir sebentar tapi niatnya terurung setelah Abdi Dalem (pelayan) datang. "Aku harus berhenti memikirkan hal yang tidak berguna. Aku mencoba untuk mengabaikannya tapi aku benar-benar merasa muak di sini," batin Najendra yang tiba-tiba merasa lelah. Beban pikiran sebagai penguasa kelak membuat Najendra pusing tujuh keliling. Dirinya sempat berpikir untuk kabur dari istana sebab tidak ada keinginan untuk menjadi seorang raja. “Membosankan ...,” Langkahnya yang selalu maju tanpa ragu kini berbeda lagi. Najendra berdecak kesal begitu sampai di halaman belakang, melempar selop yang dia kenakan ke sembarang arah lantas duduk dengan posisi setengah bersila di bawah rindangnya pohon. “Begini terasa nyaman. Ketika tidak ada orang, rasanya seperti aku sendiri.” Tentu saja sikap yang tidak benar-benar mencerminkan seorang ningrat itu sudah diketahui oleh banyak orang terutama para Abdi Dalem yang selalu berkeliling di istana ini. Namun tak satupun dari mereka yang berani menanggapi kecuali satu orang yang melayaninya itu. “Ampun Kanjeng Kanjeng Gusti Pangeran, tolong lebih perhatikan postur duduknya.” Abdi Dalem, seorang pria berlutut memintanya untuk duduk lebih sopan. “Kau tidak perlu mengikuti sampai sini jika hanya mengomentari cara dudukku ini!” sentak Najendra seraya mengalihkan wajah. Perasaan kesal kerap kali dirasakan, membuatnya semakin murka begitu seseorang yang dikenal yakni Ibunya sendiri lewat di hadapan Najendra. Pemuda itu pun lekas pergi sebelum sang ibu datang menghampiri, dia hanya tidak ingin mendapat ocehan lagi. “Hah ... semua orang sama saja! Selalu saja mengaturku! Padahal aku ini pangeran, seharusnya mereka membiarkan aku saja!” pekiknya sembari menendang pintu kamar sendiri. Abdi Dalem yang sedari tadi mengikutinya terkejut diam. “Kau tidak perlu ikut masuk ke dalam! Pergi sana!” usir Najendra dengan perangai kasarnya. Lalu segera masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Hingga langit cerah berubah menjadi langit yang gelap gulita. Selang beberapa waktu saat Najendra tertidur lelap, sesuatu menyengatnya dengan panas dan membuat dia terbangun begitu cepat. “Ya ampun, panas sekali! Dan terang!” Ada yang aneh dengan malam hari ini, Najendra segera pergi keluar dan betapa terkejutnya dia melihat kobaran api melahap bagian istana ini. “Kanjeng Gusti Pangeran Najendra, segeralah pergi menyelamatkan diri!” pinta Abdi Dalem setianya yang berusaha membujuk agar pangeran itu mau pergi. Tetapi Najendra enggan pergi begitu saja, akhirnya dia mengabaikan Abdi Dalem itu lalu berlari masuk menuju ke kamar sang ayah guna mencarinya. “Ini bukan kebakaran biasa. Sudah pasti ada sesuatu,” pikir Najendra. Jerit tangis terdengar di sekitar, kobaran api makin menjadi-jadi dan semakin sulit untuknya melewati jalan bagian dalam. Beberapa orang terbaring tak bernyawa dan sebagian besar dari mereka sudah berlarian keluar termasuk sanak saudaranya namun sepanjang perjalanan dia tidak berjumpa dengan sang raja maupun sang ratu. Malam yang seharusnya begitu gelap sekarang begitu terang karena kobaran api semakin menjalar hampir ke seluruh bagian istana ini.Malam yang seharusnya begitu gelap sekarang begitu terang karena kobaran api semakin menjalar hampir ke seluruh bagian istana ini. Kerajaan Agung sedang dalam bahaya, saat Pangeran Najendra menyadari hal itu, dia pun bergegas menuju ke kamar orang tuanya. “Rama, Ibu!” Najendra memanggil mereka begitu sampai. Namun, saat dirinya bergegas membuka pintu dengan cara mendobrak sekeras mungkin hingga pintu itu hancur, terlihat di depan mata, Najendra menyaksikan seseorang yang begitu familiar sedang menghunuskan pedang pendeknya ke tubuh sang ayah. Sementara sang ibu sudah tergeletak di bawah dan nyaris terlalap oleh api.“Kau! Apa yang kau lakukan, Raden Adipati!” jerit Najendra penuh amarah. Setengah pakaiannya sudah terbakar semenjak perjalanan menuju ke ruangan ini, kulit kuning langsat itu pun ternodai oleh abu. Amarah sepenuhnya ditujukan hanya untuk si pengkhianat tersebut.“Tidak, Najendra ...pergilah! Jangan sampai kau juga mati di tangannya!” teriak sang Ayah seraya mengulurka
Hari telah berganti, pertukaran nyawa seringkali terjadi. Matahari dan bulan yang berganti peran dengan cepat, jejak kerajaannya pun sekarang lenyap. Kini satu-satunya keturunan ada di sini dan hidup. “Kerajaan Agung lenyap?”“Ya. Lalu kau sendiri itu siapa? Tidak mungkin orang biasa sepertimu bisa memegang keris.”“Biar aku beritahu, akulah Pangeran Najendra. Aku adalah bagian dari Kerajaan Agung yang sudah lenyap itu!” Lagi-lagi pria tua itu tertawa bahak-bahak. Dia menertawakan Najendra sebab berpikir itu adalah lelucon yang paling lucu. “Kau pikir ini lucu 'kan?” “Iya, iya ... itu lucu sekali. Lalu?” “Jika kau membawaku ke tempat Gardapati maka kau pasti bisa hidup mewah. Bahkan jika itu hanya kepalaku saja,” tutur Najendra serius, seolah-olah ingin menyerahkan nyawa begitu saja.“Bicara apa sih, anak muda ini? Aku tidak tertarik dengan benda-benda mewah yang mungkin akan membuatku kaya. Ikutlah denganku.” Najendra terdiam seribu kata, matanya membelak kaget saat mendapati
Tanah yang tandus namun pepohonan berdiri tegak seolah hidup. Meski yang tersisa hanya ranting dan dedaunan yang kering, dengan diliputi cuaca panas bak neraka ini, Najendra menyadari ada mahluk hidup di sini. “Tempat apa ini sebenarnya? Perasaanku aneh, aku memiliki firasat buruk di sini.” “Tuan, engkau sedang berada di alam jin. Di sini adalah tempat tinggal mahluk mistis dan sejenisnya,” jawab seseorang. Merasa tidak sedang ditemani siapa pun, ya, seharusnya begitu. Najendra menoleh ke sumber suara dan dia begitu terkejut ketika mendapati sesosok lelaki yang memiliki rupa dan suara yang sama dengannya. “Kau siapa?” tanya Najendra sambil menatap tajam, dia melangkah mundur dan bersikap waspada. “Saya adalah keris milikmu, tuan. Saya yang melindungimu saat tertebas tombak di hari itu juga. Apa Tuan Najendra sudah sadar?” “Keris? Keris itu 'kan benda mati. Ah, tunggu sebentar ...,”Keris memang benda mati tapi itu bukanlah keris biasa. Keris itu nyatanya memang benar-benar tela
Pada tahun kelahiran sang pangeran, semua menyambutnya dengan meriah. Lantaran anak lelaki itu sudah digadang-gadang akan menjadi raja berikutnya di Kerajaan Agung. Namanya Najendra. Namun, sedari kecil fisiknya lemah. Sang Raja memutuskan untuk membuatnya belajar bela diri agar semakin lebih kuat meskipun kekuatan spiritualnya melebihi para orang dewasa. “Bila pangeran memiliki kekuatan spiritual tinggi, maka beliau akan rentan terhadap segala jenis jin.” Itulah pesan yang disampaikan oleh sang ahli pengobatan. Tidak buruk memiliki kekuatan spiritual tinggi namun Najendra kerap kali diserang oleh para jin, mereka merasuki tubuh Najendra dan mengendalikannya sesuka hati. Itulah yang membuat semua orang gemetar ketakutan. Hingga suatu hari, Najendra merasa muak belajar, baik ilmu akademis maupun ilmu bela diri. Ayahnya pun mengalah dan kemudian memberikan "pelindung" miliknya yaitu Keris Sakti pada Najendra. Seiring berjalannya waktu, sang ayah pun turut menutup indera batin milik
Sesosok pemuda berambut hitam berdiri di atas genangan air, melihat penampilannya yang sedang mengenakan pakaian sederhana yang tidak cocok untuknya. Najendra terdiam sejenak lantas mendongakkan kepala, menghadap langit dengan memikirkan banyak hal. “Sepertinya kamu sudah membiasakan diri dengan alam sekitar. Bagaimana keadaanmu?” tanya Dukun Jaka.“Tidak ada hal yang spesial, guru. Aku seperti biasa, kepalaku pusing karena ocehan darimu setiap malam,” keluh Najendra seraya menghela napas. “Pangeran Najendra, akan pergi sekarang?” tanya Intan dengan raut wajah cemas.“Iya.” “Tolong berhati-hatilah.”“Iya, itu pasti.”Dua tahun telah berlalu, ada perubahan sedikit dari dalam dirinya. Baik itu dari sikap atau sifat hingga kekuatannya. Tenaga dalam yang ditekan kuat hingga terlihat seperti orang biasa, takkan ada orang yang sadar tentang betapa kuatnya dia setelah lama berlatih. “Semoga pangeran beruntung,” ucap Intan.“Terima kasih. Tapi jangan sebut aku dengan panggilan itu.”“Inta
“Pangeran, bukan ... sekarang aku hanya perlu memanggilmu dengan nama saja, Najendra.” “Bersikaplah acuh seperti biasa, Gardapati. Etika kesopanan itu tidak diperlukan saat berhadapan dengan musuh,” ucap Najendra. Dia kembali berdiri setelah terjatuh, tubuhnya sedikit lunglai dengan pendarahan yang tidak sedikit ini. Mengatur napas saja sudah kesusahan, tangannya pula gemetaran. Najendra sulit memenangkan pertarungan ini sampai di titik di mana dia harus memaksakan dirinya sendiri. “Aku mungkin lebih lemah darimu, Gardapati!” Seraya berteriak, Najendra mendorong telapak tangan yang berlumur kobaran api. Gardapati terkejut, tubuhnya terdorong mundur cukup jauh hingga di kursi tahktanya. “Ajian ini ...,”Gardapati cukup terkejut dengan ajian yang dimiliki oleh Najendra. Kemudian dia bertanya, “Kau belajar dari siapa?” “Tidak ada gunanya menanyakan hal itu. Lagi pula kau akan mati. Jangan kau pikir aku tidak tahu apa ajian milikmu, sehingga aku dengan mudah mengantisipasi hal in
Begitu dia membuka mata, Kerajaan Timur sudah berada di ujung tanduk. Tidak menunggu lama hingga kobaran api meluluhlantakkan semua hal. Bangunan, jalanan dan manusia. Jerit tangis selalu terdengar setiap saat, derita hidup dari banyak kalangan bagai penghuni di alam neraka. Api membumihanguskan seluruh bagian dari Kerajaan, termasuk beberapa daerah yang dikuasainya. Keluarga Ningrat pun tidak ada yang selamat, kejadian itu benar-benar membuat seseorang jadi gila. Sudah lama ini direncanakan, lebih tepatnya semenjak Pangeran Najendra mulai beranjak dewasa. Sosok jenderal perang yang sekarang berjabat patih lah adalah si pengkhianat. Dia memulai perang karena inisiatifnya sendiri. Dia berpikir, “Pangeran itu tidak akan mampu memimpin kami. Dia berbeda dengan Kanjeng Sinuwun. Pangeran tidak pantas, dia bahkan tidak jauh lebih kuat dari anak buahku.” Tentang Najendra, dia selalu meremehkan. Tetapi itu benar adanya. Sosok pangeran yang dihadapkan dengan kehancuran kerajaannya sendiri
Intan datang setelah mendengar suara teriakan dari dalam kamar Najendra. Kedatangannya membuat Najendra terkejut namun dia merasa tenang karena berkatnya, siluman ular itu pergi. Tempat yang saat ini mereka singgahi adalah bekas Kerajaan Agung, balai utama yang pernah ditempati oleh Gardapati. “Pangeran tidak apa-apa?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Najendra dengan sedikit gugup, dia mengalihkan pandangan karena malu. Sedetik kemudian Intan baru tersadar dengan pakaian Najendra yang setengah terbuka, secara spontan Intan berbalik badan. Lalu berkata, “Saya mohon ampun, Pangeran Najendra. Ah, bukan ... maksudnya saya memohon maaf karena tidak melihat pangeran sedang berganti pakaian. Saya pergi.” Setelah itu Intan pergi. “Eh?” Dengan bodohnya Najendra baru sadar akan hal itu, ia pun bergegas membenahi pakaian yang dikenakannya. “Dasar siluman itu!” ucap Najendra memaki.“Tuan memanggil saya?” Ekor ular itu muncul dan menahan kedua tangan Najendra. Siluman ini malah kembali mu