Share

NAJENDRA
NAJENDRA
Author: Ndaka

Malam yang Terang

Hiruk-pikuk di pagi hari yang cerah, gelak tawa anak-anak kecil di sekeliling pun memeriahkan suasana di pasar setempat. Langit tampak mendukung, serasa kebahagiaan dan kedamaian akan senantiasa menjaga wilayah Kerajaan Agung ini.

Kerajaan Agung, Bagian Istana.

Seorang lelaki berperawakan besar dan tinggi berjalan memasuki tempat peristirahatan raja dengan izin. Dia berlutut sambil memberi hormat sebelum akhirnya berbicara mengenai laporan pagi ini.

“Kanjeng Sinuwun, saya datang untuk melaporkan.”

“Ternyata kau sudah datang, Raden Adipati. Jangan terlalu formal, di sini tidak ada orang lain.”

Terlihat Sang Raja, Susuhunan Timur Agung, Maheswara bangkit dari ranjangnya lalu menyibak tirai yang menghalangi pandangan di antara mereka. Beliau tersenyum dan meminta Patih yang barusan datang untuk mengangkat kepalanya.

“Tapi ....,”

“Aku akan memanggil namamu, Gardapati, jadi berbicaralah lebih santai,” pintanya.

Barulah lelaki besar itu menurut untuk mengangkat kepala. Namun tetap dalam posisinya berlutut, ia kemudian berbicara santai sesuai yang diinginkan oleh beliau.

Laporan yang diberikan adalah tentang seseorang asing yang mencoba untuk menyelinap masuk ke wilayah kerajaan akhir-akhir ini. Patih merasa kecewa karena keamanan jadi longgar karena berpikir kedamaian akan selalu terjadi. Meski berita ini tidak sampai ke telinga orang-orang sudra (kalangan rendah/masyarakat umum), tapi sebagai seorang Patih, dia tetap merasa bersalah.

“Kedamaian memang sulit dipertahankan. Walau sudah bertahun-tahun, kerajaan kecil ini pun akan runtuh. Gardapati, aku berharap padamu untuk bisa menjaga anakku nanti jika keruntuhan itu terjadi.”

“Tidak! Itu tidak akan terjadi, Kanjeng Sinuwun. Saya pasti akan mempertahankan kerajaan ini bagaimanapun caranya.” Gardapati berucap lantang dan tegas, ketakutan terlihat jelas di sorot matanya yang sedikit memelas itu.

Seperti biasa, Susuhunan Maheswara hanya tersenyum kecil seolah yang dihadapinya hanyalah masalah kecil. Beliau sedang terserang penyakit dan hal itu hanya diketahui oleh sedikit dari orang-orang istana. Bahkan putranya saja tidak tahu.

“Maafkan saya yang bodoh ini. Saya pamit undur diri, Kanjeng Sinuwun.”

“Ya.”

Tidak ada hal yang bisa dilakukan oleh Patih selain menjaga keamanaan kerajaan ini. Begitu dia keluar dari ruangan itu, ekspresinya berubah total. Dari yang memelas dan penuh kesedihan, kini raut wajahnya seperti iblis yang sedang marah.

“Raden Adipati, Gardapati. Senang bertemu denganmu,” ucap seorang pemuda berusia 22 tahun menyapa lelaki besar itu.

Terkejut ada seseorang yang barusan menyapa, langkahnya pun terhenti. Arah mata Gardapati tertuju pada si pemuda itu.

“Ampun Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Saya telah bertindak tidak sopan,” ucap Gardapati sambil menundukkan kepalanya dengan sopan sebagai tanda dia sedang meminta maaf sedalam-dalamnya.

Pemuda itu bernama Najendra, dia merupakan keturunan sang raja, dia adalah seorang pangeran, kelak, dialah yang akan menggantikan posisi Ayahnya, Maheswara.

“Bukan masalah, Raden Adipati. Sepertinya aku sedang menghalangi jalanmu, ya?”

“Tidak, pangeran. Saya lah yang menghalangi.”

“Raut wajahmu terlihat seperti sedang marah. Apakah terjadi sesuatu?” tanya Najendra.

“Saya terlalu berpikir keras akhir-akhir ini. Tapi pangeran tidak perlu cemas.”

Terlihat jelas bagaimana Gardapati mencoba untuk menghindari pertanyaan pangeran. Pemuda itu pun merasakannya tapi karena tidak begitu tertarik dengan politik atau apa pun yang berkaitan dengan istana, dia pun langsung pergi meninggalkan Patih.

“Baiklah.”

Pemuda yang dikenal sebagai pangeran Najendra adalah sosok orang yang cukup egois, dia juga sombong. Aura yang terpancar darinya pun sungguh berbeda dengan sang ayah. Sifat-sifat keburukan justru melekat kuat padanya.

Dengan pakaian bertelanjang dada, minim aksesori yang nampak. Langkah tegap menyusuri bagian dalam istana sembari melirik ke arah bawah dengan tatapan tajam. Najendra sempat terhenti saat berada di hadapan kamar ayahnya, dia berpikir untuk mampir sebentar tapi niatnya terurung setelah Abdi Dalem (pelayan) datang.

"Aku harus berhenti memikirkan hal yang tidak berguna. Aku mencoba untuk mengabaikannya tapi aku benar-benar merasa muak di sini," batin Najendra yang tiba-tiba merasa lelah.

Beban pikiran sebagai penguasa kelak membuat Najendra pusing tujuh keliling. Dirinya sempat berpikir untuk kabur dari istana sebab tidak ada keinginan untuk menjadi seorang raja.

“Membosankan ...,”

Langkahnya yang selalu maju tanpa ragu kini berbeda lagi. Najendra berdecak kesal begitu sampai di halaman belakang, melempar selop yang dia kenakan ke sembarang arah lantas duduk dengan posisi setengah bersila di bawah rindangnya pohon.

“Begini terasa nyaman. Ketika tidak ada orang, rasanya seperti aku sendiri.”

Tentu saja sikap yang tidak benar-benar mencerminkan seorang ningrat itu sudah diketahui oleh banyak orang terutama para Abdi Dalem yang selalu berkeliling di istana ini. Namun tak satupun dari mereka yang berani menanggapi kecuali satu orang yang melayaninya itu.

“Ampun Kanjeng Kanjeng Gusti Pangeran, tolong lebih perhatikan postur duduknya.” Abdi Dalem, seorang pria berlutut memintanya untuk duduk lebih sopan.

“Kau tidak perlu mengikuti sampai sini jika hanya mengomentari cara dudukku ini!” sentak Najendra seraya mengalihkan wajah.

Perasaan kesal kerap kali dirasakan, membuatnya semakin murka begitu seseorang yang dikenal yakni Ibunya sendiri lewat di hadapan Najendra. Pemuda itu pun lekas pergi sebelum sang ibu datang menghampiri, dia hanya tidak ingin mendapat ocehan lagi.

“Hah ... semua orang sama saja! Selalu saja mengaturku! Padahal aku ini pangeran, seharusnya mereka membiarkan aku saja!” pekiknya sembari menendang pintu kamar sendiri.

Abdi Dalem yang sedari tadi mengikutinya terkejut diam.

“Kau tidak perlu ikut masuk ke dalam! Pergi sana!” usir Najendra dengan perangai kasarnya. Lalu segera masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu.

Hingga langit cerah berubah menjadi langit yang gelap gulita. Selang beberapa waktu saat Najendra tertidur lelap, sesuatu menyengatnya dengan panas dan membuat dia terbangun begitu cepat.

“Ya ampun, panas sekali! Dan terang!”

Ada yang aneh dengan malam hari ini, Najendra segera pergi keluar dan betapa terkejutnya dia melihat kobaran api melahap bagian istana ini.

“Kanjeng Gusti Pangeran Najendra, segeralah pergi menyelamatkan diri!” pinta Abdi Dalem setianya yang berusaha membujuk agar pangeran itu mau pergi.

Tetapi Najendra enggan pergi begitu saja, akhirnya dia mengabaikan Abdi Dalem itu lalu berlari masuk menuju ke kamar sang ayah guna mencarinya.

“Ini bukan kebakaran biasa. Sudah pasti ada sesuatu,” pikir Najendra.

Jerit tangis terdengar di sekitar, kobaran api makin menjadi-jadi dan semakin sulit untuknya melewati jalan bagian dalam. Beberapa orang terbaring tak bernyawa dan sebagian besar dari mereka sudah berlarian keluar termasuk sanak saudaranya namun sepanjang perjalanan dia tidak berjumpa dengan sang raja maupun sang ratu.

Malam yang seharusnya begitu gelap sekarang begitu terang karena kobaran api semakin menjalar hampir ke seluruh bagian istana ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status