Kota Lama. Salah satu kota besar yang berada di luar daerah. Ini pertama kalinya Najendra keluar dari wilayah Kerajaan Agung dulu. “Rama selalu mengawasiku saat aku hendak pergi keluar terutama di tempat besar seperti ini. Tapi sekarang aku harus memastikan apakah informasi yang dibawa oleh pelindungku itu benar atau salah.” Dengan bantuan jin yang peka terhadap banyak suara, mereka mencari-cari seseorang yang mungkin sedang membahas keburukan tentang Kerajaan Agung. Hal itu berlangsung cukup lama hingga hari menjelang siang, suara yang tidak asing terdengar di telinga. ["Kurang ajar, aku pasti akan membalasnya si tuan rumah itu. Tapi sekarang aku sedang terluka. Jangankan membalasnya bahkan melakukan tugas saja akan sulit."]“Berhenti memperdengarkan banyak suara di telingaku selain suara yang terakhir itu. Lalu tunjukkan asal suaranya,” pinta Najendra pada jin itu. Segera mereka berlari ke sumber suara dan tentu saja Wira terkejut bukan kepalang. Niat ingin menghindari kontak s
Kasta terendah akan selamanya berada di titik terbawah sedangkan kasta tertinggi akan selamanya berada di puncak. Secara tidak langsung perbedaan kasta tersebut juga turut dirasakan oleh Wira, meskipun dia adalah anak dari salah satu pejabat. Sejak kecil, Wira pernah mengagumi seseorang. Usia mereka tidak terpaut jauh karena hanya selisih satu tahun dengan Wira yang lebih muda. Sebagai sesama lelaki, dia cukup penasaran dengan anak lelaki yang terus tersenyum periang meski selalu berada di halaman istana. Wira yang diam-diam mengintip di celah kecil dinding, berdecak kagum dibuatnya. Di hari berikutnya, Wira bertemu dengan anak lelaki itu di luar istana. “Kamu itu 'kan pange—”“Ssst, diam. Aku sedang bersembunyi,” ucap anak itu dengan lirih sambil membungkam mulut Wira. Orang yang dikaguminya tidak lain dan tidak bukan adalah Najendra sendiri. Semenjak hari itu, mereka berteman. Najendra selalu pergi menemuinya diam-diam lalu bermain sepuasnya di satu tempat ke tempat lainnya. Ke
“Kau sendiri berbuat apa saat ayahmu sekarat, hah?!” imbuh Wira dengan suara lantang, tanpa sadar dia juga menyinggung perasaan Najendra. “Diam kau!” teriak Najendra, marah. “Ayah dan aku ... bukanlah pengkhianat.” Sekali lagi Wira berucap dengan wajah yang sudah babak belur.Secercah harapan ditemukan namun ternyata hanya sebuah kepalsuan. Sebutan "Pengkhianat," membuat pikiran Najendra semakin kusut. Dia tidak bisa fokus pada hal yang terpenting sehingga membuat amarahnya meledak bagai lahar api yang menyembur keluar dari perut gunung. Rembulan malam datang menggantikan matahari, tatapan mata pemuda itu kini terlihat kosong seperti ikan mati. “Bukan pengkhianat, katamu? Lalu siapa ... selain Gardapati, siapa?!” Dia meringkukkan tubuhnya, menutup raut wajah dengan mata yang mendelik tajam. “Kenapa kau terlihat terobsesi seperti orang idiot? Dasar idiot, padahal kau masih hidup. Kau beruntung masih hidup, idiot. Tapi kau justru ingin membalas dendam dengan nyawamu sendiri?
Di balik pria yang tinggal di desa ternyata ada seseorang lainnya. Ini di luar dugaan, Najendra bahkan tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Masalahnya menjadi rumit. “Apakah benar-benar ada pengkhianat? Atau ini hanya sekadar orang iseng?” Pernah sekali dia berpikir seperti ini namun isi hatinya tak sesuai. Pikiran dan hatinya selalu berbanding terbalik. “Aku perlu meluruskan pikiranku,” gumamnya lantas beranjak pergi dari sana. Pria itu merasa bersyukur karena orang yang barusan mengancamnya kini telah pergi. ***Najendra kembali ke balai, namun dia memilih untuk tidak menggunakan pintu depan melainkan masuk dari jendela kamar. Berniat menghindari kontak dengan siapa pun, dia malah bertemu dengan Jaka yang berada di sekitar. “Malam-malam begini, kau sedang apa?” tanya Najendra. “Seharusnya aku yang bertanya, anak laki-laki sepertimu malah keluyuran.”“Aku hanya menyelesaikan urusanku sebentar.”“Oh, begitu rupanya.” Jaka terlihat mencurigainya, seakan tahu ada hal yang
Najendra melangkah keluar dengan ekspresi bahagia. Senyum tersungging lebar, terkadang dia juga sedikit tertawa. Dia menertawakan alasan pria itu yang ingin membunuh Intan. “Haha, lucu sekali. Ada ya orang yang berniat membunuh seorang wanita karena telah menolaknya?” gumam Najendra. Tawa ringan selayaknya ejekan. Dia memberi tatapan sinis ketika menengadah ke atas langit malam, suara burung hantu yang terdengar pun seakan bersorak untuknya. Tidak ada jalan kembali setelah mengotori tangan sendiri, karena memang sedari awal Najendra bukanlah sosok pria yang terikat oleh banyak aturan. “Tinggal di istana memang tidak cocok untukku. Bahkan Gardapati sendiri bilang, aku tidak cocok menduduki kursi raja,” gumam Najendra. Sejam telah berlalu, Najendra menapaki jalan menuju ke hutan liar. Begitu sampai di tempat latihannya, seperti biasa dia bermeditasi di atas baru sambil menunggu fajar menyingsing.Aliran tenaga dalamnya semakin terasa besar dan kuat, para jin yang sejenak keluar hany
Kekacauan yang dilakukan oleh Najendra dan Wira sudah menjadi bahan perbincangan hangat di Kota Lama. Bahkan Kerajaan Mulia, Raja Anshar juga sudah mengambil tindakan keras. Meskipun segelintir orang dalam istana mulai bertanya-tanya. “Saya bingung kenapa baginda memberi perintah untuk membunuh mereka yang hanya membuat kekacauan?”“Jangan tanyakan hal itu di sini, lebih baik abaikan. Perintah baginda adalah hal mutlak.” Abdi dalem dan bahkan para pejabat yang datang hanya bisa menyetujui permintaan itu. Tidak semua orang tahu alasannya kecuali Raja Anshar sendiri dan beberapa orang lainnya. “Kakanda, perintahmu itu terlalu kejam terhadap mereka. Bukankah setidaknya hukuman kurungan, bisa saja mereka membuat masalah bukan karena sengaja.” Istri dari Raja Anshar berbicara padanya saat di kamar. Sang Raja menggelengkan kepala lalu menyodorkan goresan wajah yang tergambar di kulit pohon itu pada istrinya. “Lihat dia.” Kemudian Raja Anshar menunjuk ke salah satu gambar tersebut. Bet
Semua orang dihebohkan oleh Wira yang menyandera seorang wanita tanpa belas kasihan sama sekali. “Lepaskan wanita itu!”“Aku tidak akan melakukannya jika kalian melepaskan aku!”“Omong kosong! Melihatnya berperilaku seperti sekarang ini, pasti dia juga lah yang membunuh Tuan Aji!” seru salah seorang warga, menuding Wira. “Membunuh ... dia sudah mati?” Justru respon yang di luar dugaan membuat orang-orang terdiam heran. “Apa pria bernama Aji itu sudah mati?” tanya Wira pada sanderanya.“Iya, dia tiada saat malam hari.” Kabar yang sungguh tidak enak didengar, kesempatan makan gratis selamanya pun hilang dalam sekejap. Wira menghela napas, dengan kecewa berat dia melangkah pergi meninggalkan gang. “Jangan biarkan dia lolos! Cepat tangkap dia!”Lukisan wajah yang dipajang di berbagai tempat di Kota Lama membuat semua jadi mengetahui wajahnya. Dia sebagai orang yang dicari, diburon oleh Kerajaan Mulia karena sesuatu hal. Namun setelah mendengar kliennya meninggal pada malam hari, di
Begitu cepatnya waktu berlalu, hari sudah senja. Setelah cukup lama dikejar hingga kehabisan tenaga, kedua pria itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di gubuk reyot yang sudah tidak memiliki pemiliknya. “Tempat macam apa ini?”“Tempat sewaktu aku tidak punya tempat tinggal. Aku selalu datang kemari karena jarang ada orang yang datang.”“Jarang? Itu artinya seseorang bisa saja datang, bukan?” “Diamlah, ini 'kan tempat bersembunyi.”Meski begitu mereka sadar tidak akan ada gunanya jika terus berada di gubuk reyot itu. Setelah mengumpulkan cukup tenaga, mereka kembali bergerak secara sembunyi-sembunyi menuju ke pintu gerbang Kota Lama. “Jalan satu-satunya hanya gerbang itu, begitu keluar kita pasti selamat. Setidaknya kita bisa mampir ke desa kecil atau mungkin langsung ke balai milikmu.” “Lihatlah penjagaan di sana.” Sudah tidak ada gunanya mengharapkan pintu gerbang yang kini dijaga ketat oleh prajurit dari Kerajaan Mulia. Bahkan lukisan wajah mereka juga terpasang di sana.
Segala jenis jin berkumpul dalam satu tempat dan mengepung mereka. Tidak ada waktu untuk mengurus antek-antek itu, Najendra berlari dengan kecepatan penuh menuju siluman laba-laba yang merupakan ibunya sendiri. “Aku ibumu, jadi turuti aku! Jangan membantah!”Najendra menghela napas kasar, dahinya berkerut, tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya lagi seperti saat pertemuan mereka sebelumnya. Mahluk yang sudah bukan berwujud manusia, seekor laba-laba besar, Tarantula. “Ibu seharusnya sudah mati. Aku yakin dengan hal itu.”Ratu Cahyaningrum memang benar-benar sudah mati sejak awal dan itu karena sang raja sendiri. Karena Mahendra sadar apa rencana busuk istrinya maka dengan tangan sendiri dia membunuhnya. “Aku hidup mengorbankan jiwaku, Najendra! Jadi kemarilah, ikuti aku menuju ke langit! Lalu menguasai kota, negeri, benua dan dunia ini!” Ambisinya sebesar ini, padahal sudah jelas ambisi itu tergolong mustahil. “Seseorang pernah berkata, tak ada yang mustahil tapi kau pikir ada man
Wira berhadapan dengan Rahma yang memiliki tubuh aneh. Tubuhnya tidak merasakan sakit, tidak terdengar pula suara detak jantung bahkan setelah kepalanya tertusuk belati, dia dengan mudahnya mencabut belati itu tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Wira yang melihat fenomena aneh ini lantas terdiam di tempat sembari memikirkan terbuat dari apa tubuh wanita itu.“Yang benar saja?” “Kau pasti sangat terkejut melihatku seperti ini. Apa barusan kau mengira aku ini sama sepertimu?” “Tidak. Aku berpikir kita berdua tetap berbeda. Aku ini merasuki tubuh mayat, meskipun tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuh ini tapi aku bisa merasakan sakit karena jiwaku yang terhubung dengan tubuh ini.” “Yang kau katakan masuk akal,” ucap Rahma setuju. Dia melempar-tangkap belati itu sendiri seakan sedang bermain.“Sekilas kita terlihat sama, tapi aku hanyalah hantu.”“Hantu itu 'kan roh? Bukankah sama saja?” pikirnya kembali, merasa ada yang tidak beres. “Roh manusia yang bergentayangan bisa dis
Kebebasan dan hak yang dimiliki oleh Najendra ternyata telah benar-benar mempengaruhinya. Ucapan ratu didengar dan dilakukan oleh Najendra tanpa ragu. Hal itu membuat ratu semakin senang. “Benar, pergilah sepuasmu, putraku. Dengan begitu kau tidak perlu merasa canggung dengan dunia yang akan kau pimpin nanti,” celetuk Cahyaningrum.***Semua, segala hal diberikan oleh Cahyaningrum pada Najendra seorang. Dia yang terlihat sebentar lagi akan mati itu kini menyunggingkan senyum lebar. “Aku ingin menjadikanmu sebagai Raja yang ideal bagiku, sosok pemimpin yang akan menguasai dunia hingga alam jin sekalipun.” Dia berkata dengan bangga seakan mimpi itu akan terwujud. “Itu tidak mungkin,” sangkal Najendra. “Kamu hanya tidak terlalu paham, Najendra. Suatu saat nanti kamu akan benar-benar melampaui langit itu sendiri,” ucap Cahyaningrum. Mimpinya bahkan terdengar lebih konyol dari mimpi anak-anak. Dia memiliki fantasi yang luar biasa kuat sehingga membuatnya mengambil langkah hina dan men
Cahyaningrum merupakan gadis yang serakah. Tidak cukup hanya posisi ratu di tempat itu, dia berniat merenggut posisi raja juga. “Akan aku buktikan bahwa aku jauh lebih pantas menyandar gelar yang lebih berharga darimu!” Sembari melampiaskan emosinya, Cahyaningrum membuat rencana diam-diam. Mulai dari mencari setiap kesalahan Mahendra dan berbagai hal yang akan membuatnya dibenci oleh para pejabat atau prajurit lainnya. Namun semua hal itu ternyata tidak bisa. “Melakukan ini sia-sia. Aku bisa dihukum jika melakukannya terang-terangan.”Selama kurang lebih dua tahun lamanya, dia pun mengandung anak raja. Saat lahir, anak lelaki itu memiliki kemiripan dengan ayahnya. Saking miripnya membuat ratu muak. “Anak ini adalah anak dia,” gumam Cahyaningrum. Berbeda dengan Cahyaningrum yang tidak senang dengan kehadiran buah hatinya, Mahendra justru sangat senang. Dia menangis bahagia.“Aku sangat senang akhirnya kita punya keturunan, istriku.” Mahendra kemudian mengecup keningnya lembut.“Iy
Rahma mendorong dua pintu di hadapannya dengan sekuat tenaga. Pintu itu sedikit berat sehingga membutuhkan waktu beberapa saat agar pintunya terbuka lebar. Ruangan di dalamnya begitu luas bahkan juga minim barang yang tertata. Hanya sekarang kursi dan meja di bagian sudut kiri. Lalu meja dengan belasan laci disertai beberapa pot kecil di bagian sudut kanan.Tidak ada pilar yang menjadi pembatas, selain karpet yang terbuat dari kulit harimau di lantai depan sana, ada seseorang sedang duduk santai di kursi panjang. Sekilas terlihat seperti singgasana seorang raja. Dialah sosok pengkhianat itu, seorang wanita. Namun belum ada setengah langkah setelah memasuki ruangan, Najendra terkejut dan mematung diam di tempat. “Najendra, apa yang sedang kau lakukan? Lihat ke depan dan beritahu aku itu siapa?” tanya Wira berbisik-bisik.“Dia ibuku,” jawab Najendra.“Hah?!” Tanpa sengaja Wira berteriak, saking dia terkejutnya dengan jawaban barusan. Setelah sadar dia berteriak, dengan cepat Wira mem
Pendopo yang dibangun di atas bukit, rasanya tidak masuk akal namun mengingat ini adalah alam jin, ini bukanlah hal yang mustahil. “Kalian semua jangan keluar dari tubuhku sebelum aku menyuruh,” titah Najendra yang kemudian berjalan mendaki bukit.Bukit yang mereka daki seharusnya tidak begitu tinggi namun lambat laun mulai terasa bahwa pemilik wilayah tidak mengijinkan dia masuk dengan mudah. Najendra menyeringai bukan karena senang melainkan tertantang. Sedangkan Wira yang berada di bawahnya justru terlalu sering menghela napas saking lelahnya dia mendaki. Padahal tubuh yang dia gunakan adalah mayat. “Kau masih bisa merasakan lelah meskipun kau sekarang adalah mayat?” tanya Najendra.“A-aku ...,”“Jangan bilang kau ingin kabur. Aku butuh kekuatanmu, jadi jangan harap kau melarikan diri.” Tinggal selangkah lagi mereka sampai, melihat Wira yang begitu lamban, Najendra lantas menarik kerah pakaian pria pengecut itu lalu melemparnya ke atas. “Wah!!” teriak Wira terkejut. “Tak kus
Surat balasan datang begitu cepat. Najendra hari itu terlihat sangat bersemangat sekali. Tentu saja penyebabnya adalah surat itu. Sesampainya di balai, dia pun menceritakannya. “Ada surat yang datang setelah aku mengirim surat untuk dia,” ucap Najendra seraya menunjukkan isi surat tersebut. “Surat ini dari siapa?” tanya Wira.“Dari pengkhianat,” jawab Najendra. Seketika semua yang ada di sana pun terkejut dalam diam. Termasuk Wira yang tidak menyangka akan hal itu. “Jangan bercanda.”“Aku tidak bercanda, Wira.” Najendra terkekeh mendengar Wira masih saja tidak mempercayai perkataannya. Kemudian Najendra menceritakan apa saja yang terjadi sampai seperti sekarang ini.Bermula saat bertemu dengan Abimanyu di dalam benteng, di sana Tuyul dan Najendra menyepakati sesuatu. Najendra memintanya untuk terus mengawasi wanita bernama Rahma, maka Najendra akan memberikan uang sebanyak yang dia mau. Tuyul itu tidak bisa menolak karena tawarannya, terlebih dia sudah menjadi bagian dari Najend
Sebulan telah berlalu, waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan kekuatan. Hari-hari yang tidak cukup tenang mengingat Najendra masih dicari banyak orang. Di suatu tempat, berdekatan dengan gunung mati, terdapat sebuah pendapa yang dibangun di atas bukit kecil. Rahma kembali bersama burung gagaknya lalu berlutut memberi hormat pada sosok wanita yang duduk di kursi panjang. Wanita itu duduk dengan anggun sambil tersenyum, dia menyambut kedatangan Rahma. “Gusti Kanjeng Ratu, saya telah kembali. Sesuai permintaan ratu, saya bersikap akrab dengan pangeran lalu mengawasinya dari kejauhan.”“Ya, aku sudah memanggilmu kembali sudah sejak lama, tapi sepertinya kau betah juga.”“Ratu bicara hal yang sudah jelas. Tentu saja Dwi Rahma adalah bagian dari ratu sendiri,” ucap Rahma. “Kau benar. Kau betah di sana karena aku menginginkannya ... berada dekat dengan putraku,” tutur sang ratu lantas tertawa lirih.Pakaian khas ningrat masih melekat, dengan minim aksesori dan rambut yang disanggu
Ritual malam yang dilakukannya untuk memanggil jiwa Wira telah berhasil. Jiwa Wira muncul dengan wujud transparan sebagai mahluk setengah siluman. Ternyata jiwa manusia Wira telah menyatu dengan jiwa siluman yang hidup di dalam tubuhnya. Alasan Najendra menginginkan Wira selain pengetahuannya tentang negeri ini, dia juga menginginkan kemampuan wujud siluman itu. Pada awalnya Najendra sangat tidak suka jika mengandalkan kekuatan siluman namun selama beberapa waktu dia sadar, ajian saja tidak cukup. Di lain sisi, Najendra merasa enggan jika harus menyatu dengan pelindungnya sendiri sehingga dia berpikir untuk memanfaatkan Wira yang memiliki kemampuan itu. Sebagai kawan lama, Wira tidak berniat menolak setelah akhirnya dia menyalahpahami sesuatu terkait "mengikat jiwa." Najendra mengorbankan tubuh sebagai perantara agar Wira dapat menggunakan kekuatan silumannya.Wira pun berpikir, “Bukankah itu sama saja? Siluman milikmu juga bisa melakukan itu. Bahkan tanpa diriku, kau mampu, Najen