Di balik pria yang tinggal di desa ternyata ada seseorang lainnya. Ini di luar dugaan, Najendra bahkan tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Masalahnya menjadi rumit. “Apakah benar-benar ada pengkhianat? Atau ini hanya sekadar orang iseng?” Pernah sekali dia berpikir seperti ini namun isi hatinya tak sesuai. Pikiran dan hatinya selalu berbanding terbalik. “Aku perlu meluruskan pikiranku,” gumamnya lantas beranjak pergi dari sana. Pria itu merasa bersyukur karena orang yang barusan mengancamnya kini telah pergi. ***Najendra kembali ke balai, namun dia memilih untuk tidak menggunakan pintu depan melainkan masuk dari jendela kamar. Berniat menghindari kontak dengan siapa pun, dia malah bertemu dengan Jaka yang berada di sekitar. “Malam-malam begini, kau sedang apa?” tanya Najendra. “Seharusnya aku yang bertanya, anak laki-laki sepertimu malah keluyuran.”“Aku hanya menyelesaikan urusanku sebentar.”“Oh, begitu rupanya.” Jaka terlihat mencurigainya, seakan tahu ada hal yang
Najendra melangkah keluar dengan ekspresi bahagia. Senyum tersungging lebar, terkadang dia juga sedikit tertawa. Dia menertawakan alasan pria itu yang ingin membunuh Intan. “Haha, lucu sekali. Ada ya orang yang berniat membunuh seorang wanita karena telah menolaknya?” gumam Najendra. Tawa ringan selayaknya ejekan. Dia memberi tatapan sinis ketika menengadah ke atas langit malam, suara burung hantu yang terdengar pun seakan bersorak untuknya. Tidak ada jalan kembali setelah mengotori tangan sendiri, karena memang sedari awal Najendra bukanlah sosok pria yang terikat oleh banyak aturan. “Tinggal di istana memang tidak cocok untukku. Bahkan Gardapati sendiri bilang, aku tidak cocok menduduki kursi raja,” gumam Najendra. Sejam telah berlalu, Najendra menapaki jalan menuju ke hutan liar. Begitu sampai di tempat latihannya, seperti biasa dia bermeditasi di atas baru sambil menunggu fajar menyingsing.Aliran tenaga dalamnya semakin terasa besar dan kuat, para jin yang sejenak keluar hany
Kekacauan yang dilakukan oleh Najendra dan Wira sudah menjadi bahan perbincangan hangat di Kota Lama. Bahkan Kerajaan Mulia, Raja Anshar juga sudah mengambil tindakan keras. Meskipun segelintir orang dalam istana mulai bertanya-tanya. “Saya bingung kenapa baginda memberi perintah untuk membunuh mereka yang hanya membuat kekacauan?”“Jangan tanyakan hal itu di sini, lebih baik abaikan. Perintah baginda adalah hal mutlak.” Abdi dalem dan bahkan para pejabat yang datang hanya bisa menyetujui permintaan itu. Tidak semua orang tahu alasannya kecuali Raja Anshar sendiri dan beberapa orang lainnya. “Kakanda, perintahmu itu terlalu kejam terhadap mereka. Bukankah setidaknya hukuman kurungan, bisa saja mereka membuat masalah bukan karena sengaja.” Istri dari Raja Anshar berbicara padanya saat di kamar. Sang Raja menggelengkan kepala lalu menyodorkan goresan wajah yang tergambar di kulit pohon itu pada istrinya. “Lihat dia.” Kemudian Raja Anshar menunjuk ke salah satu gambar tersebut. Bet
Semua orang dihebohkan oleh Wira yang menyandera seorang wanita tanpa belas kasihan sama sekali. “Lepaskan wanita itu!”“Aku tidak akan melakukannya jika kalian melepaskan aku!”“Omong kosong! Melihatnya berperilaku seperti sekarang ini, pasti dia juga lah yang membunuh Tuan Aji!” seru salah seorang warga, menuding Wira. “Membunuh ... dia sudah mati?” Justru respon yang di luar dugaan membuat orang-orang terdiam heran. “Apa pria bernama Aji itu sudah mati?” tanya Wira pada sanderanya.“Iya, dia tiada saat malam hari.” Kabar yang sungguh tidak enak didengar, kesempatan makan gratis selamanya pun hilang dalam sekejap. Wira menghela napas, dengan kecewa berat dia melangkah pergi meninggalkan gang. “Jangan biarkan dia lolos! Cepat tangkap dia!”Lukisan wajah yang dipajang di berbagai tempat di Kota Lama membuat semua jadi mengetahui wajahnya. Dia sebagai orang yang dicari, diburon oleh Kerajaan Mulia karena sesuatu hal. Namun setelah mendengar kliennya meninggal pada malam hari, di
Begitu cepatnya waktu berlalu, hari sudah senja. Setelah cukup lama dikejar hingga kehabisan tenaga, kedua pria itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di gubuk reyot yang sudah tidak memiliki pemiliknya. “Tempat macam apa ini?”“Tempat sewaktu aku tidak punya tempat tinggal. Aku selalu datang kemari karena jarang ada orang yang datang.”“Jarang? Itu artinya seseorang bisa saja datang, bukan?” “Diamlah, ini 'kan tempat bersembunyi.”Meski begitu mereka sadar tidak akan ada gunanya jika terus berada di gubuk reyot itu. Setelah mengumpulkan cukup tenaga, mereka kembali bergerak secara sembunyi-sembunyi menuju ke pintu gerbang Kota Lama. “Jalan satu-satunya hanya gerbang itu, begitu keluar kita pasti selamat. Setidaknya kita bisa mampir ke desa kecil atau mungkin langsung ke balai milikmu.” “Lihatlah penjagaan di sana.” Sudah tidak ada gunanya mengharapkan pintu gerbang yang kini dijaga ketat oleh prajurit dari Kerajaan Mulia. Bahkan lukisan wajah mereka juga terpasang di sana.
Sudah seharian penuh mereka menyamar dengan sempurna tapi begitu lengah sedikit maka semuanya bakal hancur. Najendra lantas berdiri tegap lalu melepas kerudung dan pakaian wanitanya. Sontak, semua prajurit itu pun terkejut.“Bukankah sudah tidak ada gunanya menyamar. Mau tidak mau kita harus menerobos mereka, benar?” Wira pun memahami apa maksud perkataannya. Sama seperti Najendra, dia melepas penyamarannya juga dan mulai bersiap melawan para prajurit Kerajaan Mulia. “Jangan melawan jika tidak ingin dibunuh!”“Jangan melawan katanya?”“Haha, padahal kita juga akan mati di tangan siapa pun.”Pemimpin dari kelompok tersebut memberikan kode pada rekan-rekannya dengan sekali anggukan kepala dan menunjukkan pergelangan tangan. “Apa artinya itu?” Najendra bertanya.“Hal seperti itu mana aku tahu. Tapi mungkin mereka akan membunuh kita.”Tidak lama setelah Wira mengatakannya, mereka membentuk formasi pengepungan yang lebih rapat, senjata dalam genggaman mereka siap mengambil nyawa penjaha
Keberuntungan tepat datang waktunya, namun apakah ini benar-benar sebuah keberuntungan? Seorang wanita berwajah manis datang menyelamatkan mereka, dia membawanya ke saluran air bawah tanah dan itu benar-benar berhasil membuat para prajurit kehilangan jejak. Langkah dan suara mereka menggaung di bawah tanah ini, namun takkan ada orang yang datang karena tempat ini sangat kotor dan menjijikan. Terlebih suara mereka tidak mungkin didengar oleh orang-orang yang berada di atas. “Siapa kau? Lalu kau punya tujuan apa sampai menyelamatkan kami? Kenal juga tidak,” cetus Najendra, yang mudah sekali mencurigai seseorang. Lantaran Najendra teringat dengan perkataan pria yang tinggal di desa, tentang seseorang yang membayar dia adalah seorang perempuan. Itulah sebabnya Najendra sangat mencurigai wanita ini. Sorot mata Najendra terlihat begitu tajam, dia menatap sinis padanya dan berharap mendengarkan jawaban yang memuaskan. “Aku hanya seorang pengembara biasa.” Dia tetap tersenyum meski ma
Pertengkaran mereka berhenti begitu pria berbadan besar dan tinggi datang. Pria dengan pakaian zirah lengkap dan tampak mewah. Najendra dan Wira tersentak kaget karena aura yang dipancarkannya terasa mengerikan. “Aku melihat sepertinya ada tikus yang mencoba menyelinap. Bisakah aku mengetahui apa yang terjadi di sini?” Dia bertanya, meski biasa saja namun suaranya seakan bergema di telinga mereka. “Kami hanya tersesat,” ucap Wira spontan. “Ya. Kami bertengkar hanya karena tersesat,” imbuh Najendra yang gugup. Namun, berbanding terbalik dengan alasan mereka, Rahma justru bersikap sok lugu. “Tuan, mohon ampuni saya!” Dia sengaja meninggikan nada suara lalu duduk berlutut di hadapannya dengan pakaian dan rambut yang berantakan. Entah sejak kapan penampilan Rahma berubah seperti itu, tetapi itu akan membuat orang yang ada di hadapan mereka berpikir kalau Rahma sedang dalam masalah besar. "Apa yang dia katakan di saat seperti ini?!" Najendra dan Wira memikirkan hal yang sama, batin