Begitu cepatnya waktu berlalu, hari sudah senja. Setelah cukup lama dikejar hingga kehabisan tenaga, kedua pria itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di gubuk reyot yang sudah tidak memiliki pemiliknya. “Tempat macam apa ini?”“Tempat sewaktu aku tidak punya tempat tinggal. Aku selalu datang kemari karena jarang ada orang yang datang.”“Jarang? Itu artinya seseorang bisa saja datang, bukan?” “Diamlah, ini 'kan tempat bersembunyi.”Meski begitu mereka sadar tidak akan ada gunanya jika terus berada di gubuk reyot itu. Setelah mengumpulkan cukup tenaga, mereka kembali bergerak secara sembunyi-sembunyi menuju ke pintu gerbang Kota Lama. “Jalan satu-satunya hanya gerbang itu, begitu keluar kita pasti selamat. Setidaknya kita bisa mampir ke desa kecil atau mungkin langsung ke balai milikmu.” “Lihatlah penjagaan di sana.” Sudah tidak ada gunanya mengharapkan pintu gerbang yang kini dijaga ketat oleh prajurit dari Kerajaan Mulia. Bahkan lukisan wajah mereka juga terpasang di sana.
Sudah seharian penuh mereka menyamar dengan sempurna tapi begitu lengah sedikit maka semuanya bakal hancur. Najendra lantas berdiri tegap lalu melepas kerudung dan pakaian wanitanya. Sontak, semua prajurit itu pun terkejut.“Bukankah sudah tidak ada gunanya menyamar. Mau tidak mau kita harus menerobos mereka, benar?” Wira pun memahami apa maksud perkataannya. Sama seperti Najendra, dia melepas penyamarannya juga dan mulai bersiap melawan para prajurit Kerajaan Mulia. “Jangan melawan jika tidak ingin dibunuh!”“Jangan melawan katanya?”“Haha, padahal kita juga akan mati di tangan siapa pun.”Pemimpin dari kelompok tersebut memberikan kode pada rekan-rekannya dengan sekali anggukan kepala dan menunjukkan pergelangan tangan. “Apa artinya itu?” Najendra bertanya.“Hal seperti itu mana aku tahu. Tapi mungkin mereka akan membunuh kita.”Tidak lama setelah Wira mengatakannya, mereka membentuk formasi pengepungan yang lebih rapat, senjata dalam genggaman mereka siap mengambil nyawa penjaha
Keberuntungan tepat datang waktunya, namun apakah ini benar-benar sebuah keberuntungan? Seorang wanita berwajah manis datang menyelamatkan mereka, dia membawanya ke saluran air bawah tanah dan itu benar-benar berhasil membuat para prajurit kehilangan jejak. Langkah dan suara mereka menggaung di bawah tanah ini, namun takkan ada orang yang datang karena tempat ini sangat kotor dan menjijikan. Terlebih suara mereka tidak mungkin didengar oleh orang-orang yang berada di atas. “Siapa kau? Lalu kau punya tujuan apa sampai menyelamatkan kami? Kenal juga tidak,” cetus Najendra, yang mudah sekali mencurigai seseorang. Lantaran Najendra teringat dengan perkataan pria yang tinggal di desa, tentang seseorang yang membayar dia adalah seorang perempuan. Itulah sebabnya Najendra sangat mencurigai wanita ini. Sorot mata Najendra terlihat begitu tajam, dia menatap sinis padanya dan berharap mendengarkan jawaban yang memuaskan. “Aku hanya seorang pengembara biasa.” Dia tetap tersenyum meski ma
Pertengkaran mereka berhenti begitu pria berbadan besar dan tinggi datang. Pria dengan pakaian zirah lengkap dan tampak mewah. Najendra dan Wira tersentak kaget karena aura yang dipancarkannya terasa mengerikan. “Aku melihat sepertinya ada tikus yang mencoba menyelinap. Bisakah aku mengetahui apa yang terjadi di sini?” Dia bertanya, meski biasa saja namun suaranya seakan bergema di telinga mereka. “Kami hanya tersesat,” ucap Wira spontan. “Ya. Kami bertengkar hanya karena tersesat,” imbuh Najendra yang gugup. Namun, berbanding terbalik dengan alasan mereka, Rahma justru bersikap sok lugu. “Tuan, mohon ampuni saya!” Dia sengaja meninggikan nada suara lalu duduk berlutut di hadapannya dengan pakaian dan rambut yang berantakan. Entah sejak kapan penampilan Rahma berubah seperti itu, tetapi itu akan membuat orang yang ada di hadapan mereka berpikir kalau Rahma sedang dalam masalah besar. "Apa yang dia katakan di saat seperti ini?!" Najendra dan Wira memikirkan hal yang sama, batin
Sungguh keberuntungan selalu berada di pihak mereka. Raja Anshar meringankan hukuman yang tak terbayang oleh mereka sendiri. Mereka dipindahkan ke kurungan khusus yang masih berada di dalam istana kerajaan. Letaknya di ruang bawah tanah, tempatnya sangat kecil, gelap, lembab dan sunyi. Persis seperti penjara yang akan membiarkan mereka mati kelaparan. “Najendra, aku minta maaf padamu.” Di tengah kesunyian yang tak pasti kapan mereka bisa dibebaskan, Najendra duduk bersila sembari menutup mata. Pendengarannya tidak mungkin melewatkan kalimat yang diucapkan oleh Wira namun dia sengaja tidak menyahut karena masih kesal. “Kau mengabaikan aku? Hei!” Wira adalah pria terbodoh yang pernah ada. Dia mempercayai seorang wanita asing begitu mudah sehingga inilah hasilnya, mereka dikurung karena berbagai alasan. “Kalau memang tidak mau bicara ya sudah. Aku memang menyesali perbuatanku. Tapi tetap saja kau juga melakukan kesalahan sehingga dikurung. Kenapa juga kau membunuh orang penting?”W
Balai Agung, di kamar Najendra saat ini sedang dihuni oleh beberapa jin dan satu siluman. Di antaranya ada siluman ular (Blorong) yang memiliki wujud setengah ular dan setengah manusia perempuan, lalu jin api yang kerap disebut sebagai Banaspati yang tidak punya tubuh utuh, dia hanya berupa tengkorak kepala yang berselimutkan api. Kemudian ada jin batu akik yang memiliki wujud manusia namun itu bukanlah wujud aslinya. Ada dua jin lainnya yang masih belum menunjukkan sosoknya, mereka hanya bersembunyi di dalam kegelapan seolah malu bertemu dengan sesamanya. Mereka semua berkumpul karena memiliki firasat buruk tentang majikan mereka, yakni Najendra. “Kita tidak bisa kembali.”“Itu mungkin hanya kebetulan, bagaimana bisa kau menyimpulkannya sebelum pergi menemui tuan lagi?” Dua jin misterius itu saling berbincang, satunya selalu berpikir positif sedangkan satunya lebih cepat gelisah. “Jangan berpikir kita dibuang atau semacamnya. Tuan tidak akan melakukannya setelah bersepakat denga
Malam itu, Blorong dan lainnya menceritakan masalah mereka dan Najendra. Pada awalnya terlihat baik-baik saja, saat pergi ke pasar untuk membeli sayuran buah, mereka pikir itu akan berjalan lancar namun begitu bertemu Wira, semuanya berubah. “Jadi maksud kalian, Najendra terlibat masalah dengan pemuda pengembara yang pernah kalian ceritakan itu?”“Iya, benar. Orang itu membuat tuan ikut dikejar-kejar dan pada akhirnya tuan ditangkap oleh prajurit Kerajaan Mulia.”“Bukankah wilayah kerajaan itu sangat jauh dari pasar Kota Lama? Kenapa mereka bisa sampai ke sana?” tanya Jaka dengan heran. “Jalan menuju keluar Kota Lama ditutup, mau tidak mau ya mereka harus berputar dan menemukan pintu belakang. Lalu karena pintu belakang merupakan wilayah kota Purnama yang berdekatan dengan istana, jadi seperti itulah.” Banaspati mengatakannya dengan pasrah. “Nasib mereka tidak beruntung.”“Awalnya kami mengira situasinya mudah diatasi, dan lagi ada seseorang yang membantu tetapi sayangnya dia berkh
Benteng yang berada di wilayah istana, terlebih di bagian belakang akan semakin diperkuat pelindungnya. Pelindung yang mencegah berbagai mahluk dunia lain datang tetapi ternyata hal itu tidak berlaku pada jin yang memiliki hawa keberadaan lemah. “Hantu ... ini yang aku pikirkan saat melihat dia?”“Apa pun sebutannya dia tetaplah jin, Wira.” Tuyul si pencuri dan suka sekali dengan uang, emas atau apa pun yang merupakan harta berharga bagi manusia. Dia membantu Najendra dan Wira untuk tetap bertahan di dalam kurungan ini. “Aku sangat berterima kasih atas bantuannya,” ucap Najendra sambil mengelus kepala anak itu. “Hehe, terima kasih. Tapi aku ingin bayarannya,” kata Tuyul sambil mengulurkan telapak tangan.“Saat ini aku tidak punya uang lebih.” Najendra memberikan sepeser uang yang belum digunakannya saat akan belanja di pasar tadi.“Uang tetaplah uang, aku akan menerimanya.”“Melihatmu yang seperti seorang penguasa, aku yakin kau mengenali Raja di kerajaan ini,” ucap Najendra, dia
Segala jenis jin berkumpul dalam satu tempat dan mengepung mereka. Tidak ada waktu untuk mengurus antek-antek itu, Najendra berlari dengan kecepatan penuh menuju siluman laba-laba yang merupakan ibunya sendiri. “Aku ibumu, jadi turuti aku! Jangan membantah!”Najendra menghela napas kasar, dahinya berkerut, tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya lagi seperti saat pertemuan mereka sebelumnya. Mahluk yang sudah bukan berwujud manusia, seekor laba-laba besar, Tarantula. “Ibu seharusnya sudah mati. Aku yakin dengan hal itu.”Ratu Cahyaningrum memang benar-benar sudah mati sejak awal dan itu karena sang raja sendiri. Karena Mahendra sadar apa rencana busuk istrinya maka dengan tangan sendiri dia membunuhnya. “Aku hidup mengorbankan jiwaku, Najendra! Jadi kemarilah, ikuti aku menuju ke langit! Lalu menguasai kota, negeri, benua dan dunia ini!” Ambisinya sebesar ini, padahal sudah jelas ambisi itu tergolong mustahil. “Seseorang pernah berkata, tak ada yang mustahil tapi kau pikir ada man
Wira berhadapan dengan Rahma yang memiliki tubuh aneh. Tubuhnya tidak merasakan sakit, tidak terdengar pula suara detak jantung bahkan setelah kepalanya tertusuk belati, dia dengan mudahnya mencabut belati itu tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Wira yang melihat fenomena aneh ini lantas terdiam di tempat sembari memikirkan terbuat dari apa tubuh wanita itu.“Yang benar saja?” “Kau pasti sangat terkejut melihatku seperti ini. Apa barusan kau mengira aku ini sama sepertimu?” “Tidak. Aku berpikir kita berdua tetap berbeda. Aku ini merasuki tubuh mayat, meskipun tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuh ini tapi aku bisa merasakan sakit karena jiwaku yang terhubung dengan tubuh ini.” “Yang kau katakan masuk akal,” ucap Rahma setuju. Dia melempar-tangkap belati itu sendiri seakan sedang bermain.“Sekilas kita terlihat sama, tapi aku hanyalah hantu.”“Hantu itu 'kan roh? Bukankah sama saja?” pikirnya kembali, merasa ada yang tidak beres. “Roh manusia yang bergentayangan bisa dis
Kebebasan dan hak yang dimiliki oleh Najendra ternyata telah benar-benar mempengaruhinya. Ucapan ratu didengar dan dilakukan oleh Najendra tanpa ragu. Hal itu membuat ratu semakin senang. “Benar, pergilah sepuasmu, putraku. Dengan begitu kau tidak perlu merasa canggung dengan dunia yang akan kau pimpin nanti,” celetuk Cahyaningrum.***Semua, segala hal diberikan oleh Cahyaningrum pada Najendra seorang. Dia yang terlihat sebentar lagi akan mati itu kini menyunggingkan senyum lebar. “Aku ingin menjadikanmu sebagai Raja yang ideal bagiku, sosok pemimpin yang akan menguasai dunia hingga alam jin sekalipun.” Dia berkata dengan bangga seakan mimpi itu akan terwujud. “Itu tidak mungkin,” sangkal Najendra. “Kamu hanya tidak terlalu paham, Najendra. Suatu saat nanti kamu akan benar-benar melampaui langit itu sendiri,” ucap Cahyaningrum. Mimpinya bahkan terdengar lebih konyol dari mimpi anak-anak. Dia memiliki fantasi yang luar biasa kuat sehingga membuatnya mengambil langkah hina dan men
Cahyaningrum merupakan gadis yang serakah. Tidak cukup hanya posisi ratu di tempat itu, dia berniat merenggut posisi raja juga. “Akan aku buktikan bahwa aku jauh lebih pantas menyandar gelar yang lebih berharga darimu!” Sembari melampiaskan emosinya, Cahyaningrum membuat rencana diam-diam. Mulai dari mencari setiap kesalahan Mahendra dan berbagai hal yang akan membuatnya dibenci oleh para pejabat atau prajurit lainnya. Namun semua hal itu ternyata tidak bisa. “Melakukan ini sia-sia. Aku bisa dihukum jika melakukannya terang-terangan.”Selama kurang lebih dua tahun lamanya, dia pun mengandung anak raja. Saat lahir, anak lelaki itu memiliki kemiripan dengan ayahnya. Saking miripnya membuat ratu muak. “Anak ini adalah anak dia,” gumam Cahyaningrum. Berbeda dengan Cahyaningrum yang tidak senang dengan kehadiran buah hatinya, Mahendra justru sangat senang. Dia menangis bahagia.“Aku sangat senang akhirnya kita punya keturunan, istriku.” Mahendra kemudian mengecup keningnya lembut.“Iy
Rahma mendorong dua pintu di hadapannya dengan sekuat tenaga. Pintu itu sedikit berat sehingga membutuhkan waktu beberapa saat agar pintunya terbuka lebar. Ruangan di dalamnya begitu luas bahkan juga minim barang yang tertata. Hanya sekarang kursi dan meja di bagian sudut kiri. Lalu meja dengan belasan laci disertai beberapa pot kecil di bagian sudut kanan.Tidak ada pilar yang menjadi pembatas, selain karpet yang terbuat dari kulit harimau di lantai depan sana, ada seseorang sedang duduk santai di kursi panjang. Sekilas terlihat seperti singgasana seorang raja. Dialah sosok pengkhianat itu, seorang wanita. Namun belum ada setengah langkah setelah memasuki ruangan, Najendra terkejut dan mematung diam di tempat. “Najendra, apa yang sedang kau lakukan? Lihat ke depan dan beritahu aku itu siapa?” tanya Wira berbisik-bisik.“Dia ibuku,” jawab Najendra.“Hah?!” Tanpa sengaja Wira berteriak, saking dia terkejutnya dengan jawaban barusan. Setelah sadar dia berteriak, dengan cepat Wira mem
Pendopo yang dibangun di atas bukit, rasanya tidak masuk akal namun mengingat ini adalah alam jin, ini bukanlah hal yang mustahil. “Kalian semua jangan keluar dari tubuhku sebelum aku menyuruh,” titah Najendra yang kemudian berjalan mendaki bukit.Bukit yang mereka daki seharusnya tidak begitu tinggi namun lambat laun mulai terasa bahwa pemilik wilayah tidak mengijinkan dia masuk dengan mudah. Najendra menyeringai bukan karena senang melainkan tertantang. Sedangkan Wira yang berada di bawahnya justru terlalu sering menghela napas saking lelahnya dia mendaki. Padahal tubuh yang dia gunakan adalah mayat. “Kau masih bisa merasakan lelah meskipun kau sekarang adalah mayat?” tanya Najendra.“A-aku ...,”“Jangan bilang kau ingin kabur. Aku butuh kekuatanmu, jadi jangan harap kau melarikan diri.” Tinggal selangkah lagi mereka sampai, melihat Wira yang begitu lamban, Najendra lantas menarik kerah pakaian pria pengecut itu lalu melemparnya ke atas. “Wah!!” teriak Wira terkejut. “Tak kus
Surat balasan datang begitu cepat. Najendra hari itu terlihat sangat bersemangat sekali. Tentu saja penyebabnya adalah surat itu. Sesampainya di balai, dia pun menceritakannya. “Ada surat yang datang setelah aku mengirim surat untuk dia,” ucap Najendra seraya menunjukkan isi surat tersebut. “Surat ini dari siapa?” tanya Wira.“Dari pengkhianat,” jawab Najendra. Seketika semua yang ada di sana pun terkejut dalam diam. Termasuk Wira yang tidak menyangka akan hal itu. “Jangan bercanda.”“Aku tidak bercanda, Wira.” Najendra terkekeh mendengar Wira masih saja tidak mempercayai perkataannya. Kemudian Najendra menceritakan apa saja yang terjadi sampai seperti sekarang ini.Bermula saat bertemu dengan Abimanyu di dalam benteng, di sana Tuyul dan Najendra menyepakati sesuatu. Najendra memintanya untuk terus mengawasi wanita bernama Rahma, maka Najendra akan memberikan uang sebanyak yang dia mau. Tuyul itu tidak bisa menolak karena tawarannya, terlebih dia sudah menjadi bagian dari Najend
Sebulan telah berlalu, waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan kekuatan. Hari-hari yang tidak cukup tenang mengingat Najendra masih dicari banyak orang. Di suatu tempat, berdekatan dengan gunung mati, terdapat sebuah pendapa yang dibangun di atas bukit kecil. Rahma kembali bersama burung gagaknya lalu berlutut memberi hormat pada sosok wanita yang duduk di kursi panjang. Wanita itu duduk dengan anggun sambil tersenyum, dia menyambut kedatangan Rahma. “Gusti Kanjeng Ratu, saya telah kembali. Sesuai permintaan ratu, saya bersikap akrab dengan pangeran lalu mengawasinya dari kejauhan.”“Ya, aku sudah memanggilmu kembali sudah sejak lama, tapi sepertinya kau betah juga.”“Ratu bicara hal yang sudah jelas. Tentu saja Dwi Rahma adalah bagian dari ratu sendiri,” ucap Rahma. “Kau benar. Kau betah di sana karena aku menginginkannya ... berada dekat dengan putraku,” tutur sang ratu lantas tertawa lirih.Pakaian khas ningrat masih melekat, dengan minim aksesori dan rambut yang disanggu
Ritual malam yang dilakukannya untuk memanggil jiwa Wira telah berhasil. Jiwa Wira muncul dengan wujud transparan sebagai mahluk setengah siluman. Ternyata jiwa manusia Wira telah menyatu dengan jiwa siluman yang hidup di dalam tubuhnya. Alasan Najendra menginginkan Wira selain pengetahuannya tentang negeri ini, dia juga menginginkan kemampuan wujud siluman itu. Pada awalnya Najendra sangat tidak suka jika mengandalkan kekuatan siluman namun selama beberapa waktu dia sadar, ajian saja tidak cukup. Di lain sisi, Najendra merasa enggan jika harus menyatu dengan pelindungnya sendiri sehingga dia berpikir untuk memanfaatkan Wira yang memiliki kemampuan itu. Sebagai kawan lama, Wira tidak berniat menolak setelah akhirnya dia menyalahpahami sesuatu terkait "mengikat jiwa." Najendra mengorbankan tubuh sebagai perantara agar Wira dapat menggunakan kekuatan silumannya.Wira pun berpikir, “Bukankah itu sama saja? Siluman milikmu juga bisa melakukan itu. Bahkan tanpa diriku, kau mampu, Najen