Kasta terendah akan selamanya berada di titik terbawah sedangkan kasta tertinggi akan selamanya berada di puncak. Secara tidak langsung perbedaan kasta tersebut juga turut dirasakan oleh Wira, meskipun dia adalah anak dari salah satu pejabat. Sejak kecil, Wira pernah mengagumi seseorang. Usia mereka tidak terpaut jauh karena hanya selisih satu tahun dengan Wira yang lebih muda. Sebagai sesama lelaki, dia cukup penasaran dengan anak lelaki yang terus tersenyum periang meski selalu berada di halaman istana. Wira yang diam-diam mengintip di celah kecil dinding, berdecak kagum dibuatnya. Di hari berikutnya, Wira bertemu dengan anak lelaki itu di luar istana. “Kamu itu 'kan pange—”“Ssst, diam. Aku sedang bersembunyi,” ucap anak itu dengan lirih sambil membungkam mulut Wira. Orang yang dikaguminya tidak lain dan tidak bukan adalah Najendra sendiri. Semenjak hari itu, mereka berteman. Najendra selalu pergi menemuinya diam-diam lalu bermain sepuasnya di satu tempat ke tempat lainnya. Ke
“Kau sendiri berbuat apa saat ayahmu sekarat, hah?!” imbuh Wira dengan suara lantang, tanpa sadar dia juga menyinggung perasaan Najendra. “Diam kau!” teriak Najendra, marah. “Ayah dan aku ... bukanlah pengkhianat.” Sekali lagi Wira berucap dengan wajah yang sudah babak belur.Secercah harapan ditemukan namun ternyata hanya sebuah kepalsuan. Sebutan "Pengkhianat," membuat pikiran Najendra semakin kusut. Dia tidak bisa fokus pada hal yang terpenting sehingga membuat amarahnya meledak bagai lahar api yang menyembur keluar dari perut gunung. Rembulan malam datang menggantikan matahari, tatapan mata pemuda itu kini terlihat kosong seperti ikan mati. “Bukan pengkhianat, katamu? Lalu siapa ... selain Gardapati, siapa?!” Dia meringkukkan tubuhnya, menutup raut wajah dengan mata yang mendelik tajam. “Kenapa kau terlihat terobsesi seperti orang idiot? Dasar idiot, padahal kau masih hidup. Kau beruntung masih hidup, idiot. Tapi kau justru ingin membalas dendam dengan nyawamu sendiri?
Di balik pria yang tinggal di desa ternyata ada seseorang lainnya. Ini di luar dugaan, Najendra bahkan tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini. Masalahnya menjadi rumit. “Apakah benar-benar ada pengkhianat? Atau ini hanya sekadar orang iseng?” Pernah sekali dia berpikir seperti ini namun isi hatinya tak sesuai. Pikiran dan hatinya selalu berbanding terbalik. “Aku perlu meluruskan pikiranku,” gumamnya lantas beranjak pergi dari sana. Pria itu merasa bersyukur karena orang yang barusan mengancamnya kini telah pergi. ***Najendra kembali ke balai, namun dia memilih untuk tidak menggunakan pintu depan melainkan masuk dari jendela kamar. Berniat menghindari kontak dengan siapa pun, dia malah bertemu dengan Jaka yang berada di sekitar. “Malam-malam begini, kau sedang apa?” tanya Najendra. “Seharusnya aku yang bertanya, anak laki-laki sepertimu malah keluyuran.”“Aku hanya menyelesaikan urusanku sebentar.”“Oh, begitu rupanya.” Jaka terlihat mencurigainya, seakan tahu ada hal yang
Najendra melangkah keluar dengan ekspresi bahagia. Senyum tersungging lebar, terkadang dia juga sedikit tertawa. Dia menertawakan alasan pria itu yang ingin membunuh Intan. “Haha, lucu sekali. Ada ya orang yang berniat membunuh seorang wanita karena telah menolaknya?” gumam Najendra. Tawa ringan selayaknya ejekan. Dia memberi tatapan sinis ketika menengadah ke atas langit malam, suara burung hantu yang terdengar pun seakan bersorak untuknya. Tidak ada jalan kembali setelah mengotori tangan sendiri, karena memang sedari awal Najendra bukanlah sosok pria yang terikat oleh banyak aturan. “Tinggal di istana memang tidak cocok untukku. Bahkan Gardapati sendiri bilang, aku tidak cocok menduduki kursi raja,” gumam Najendra. Sejam telah berlalu, Najendra menapaki jalan menuju ke hutan liar. Begitu sampai di tempat latihannya, seperti biasa dia bermeditasi di atas baru sambil menunggu fajar menyingsing.Aliran tenaga dalamnya semakin terasa besar dan kuat, para jin yang sejenak keluar hany
Kekacauan yang dilakukan oleh Najendra dan Wira sudah menjadi bahan perbincangan hangat di Kota Lama. Bahkan Kerajaan Mulia, Raja Anshar juga sudah mengambil tindakan keras. Meskipun segelintir orang dalam istana mulai bertanya-tanya. “Saya bingung kenapa baginda memberi perintah untuk membunuh mereka yang hanya membuat kekacauan?”“Jangan tanyakan hal itu di sini, lebih baik abaikan. Perintah baginda adalah hal mutlak.” Abdi dalem dan bahkan para pejabat yang datang hanya bisa menyetujui permintaan itu. Tidak semua orang tahu alasannya kecuali Raja Anshar sendiri dan beberapa orang lainnya. “Kakanda, perintahmu itu terlalu kejam terhadap mereka. Bukankah setidaknya hukuman kurungan, bisa saja mereka membuat masalah bukan karena sengaja.” Istri dari Raja Anshar berbicara padanya saat di kamar. Sang Raja menggelengkan kepala lalu menyodorkan goresan wajah yang tergambar di kulit pohon itu pada istrinya. “Lihat dia.” Kemudian Raja Anshar menunjuk ke salah satu gambar tersebut. Bet
Semua orang dihebohkan oleh Wira yang menyandera seorang wanita tanpa belas kasihan sama sekali. “Lepaskan wanita itu!”“Aku tidak akan melakukannya jika kalian melepaskan aku!”“Omong kosong! Melihatnya berperilaku seperti sekarang ini, pasti dia juga lah yang membunuh Tuan Aji!” seru salah seorang warga, menuding Wira. “Membunuh ... dia sudah mati?” Justru respon yang di luar dugaan membuat orang-orang terdiam heran. “Apa pria bernama Aji itu sudah mati?” tanya Wira pada sanderanya.“Iya, dia tiada saat malam hari.” Kabar yang sungguh tidak enak didengar, kesempatan makan gratis selamanya pun hilang dalam sekejap. Wira menghela napas, dengan kecewa berat dia melangkah pergi meninggalkan gang. “Jangan biarkan dia lolos! Cepat tangkap dia!”Lukisan wajah yang dipajang di berbagai tempat di Kota Lama membuat semua jadi mengetahui wajahnya. Dia sebagai orang yang dicari, diburon oleh Kerajaan Mulia karena sesuatu hal. Namun setelah mendengar kliennya meninggal pada malam hari, di
Begitu cepatnya waktu berlalu, hari sudah senja. Setelah cukup lama dikejar hingga kehabisan tenaga, kedua pria itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di gubuk reyot yang sudah tidak memiliki pemiliknya. “Tempat macam apa ini?”“Tempat sewaktu aku tidak punya tempat tinggal. Aku selalu datang kemari karena jarang ada orang yang datang.”“Jarang? Itu artinya seseorang bisa saja datang, bukan?” “Diamlah, ini 'kan tempat bersembunyi.”Meski begitu mereka sadar tidak akan ada gunanya jika terus berada di gubuk reyot itu. Setelah mengumpulkan cukup tenaga, mereka kembali bergerak secara sembunyi-sembunyi menuju ke pintu gerbang Kota Lama. “Jalan satu-satunya hanya gerbang itu, begitu keluar kita pasti selamat. Setidaknya kita bisa mampir ke desa kecil atau mungkin langsung ke balai milikmu.” “Lihatlah penjagaan di sana.” Sudah tidak ada gunanya mengharapkan pintu gerbang yang kini dijaga ketat oleh prajurit dari Kerajaan Mulia. Bahkan lukisan wajah mereka juga terpasang di sana.
Sudah seharian penuh mereka menyamar dengan sempurna tapi begitu lengah sedikit maka semuanya bakal hancur. Najendra lantas berdiri tegap lalu melepas kerudung dan pakaian wanitanya. Sontak, semua prajurit itu pun terkejut.“Bukankah sudah tidak ada gunanya menyamar. Mau tidak mau kita harus menerobos mereka, benar?” Wira pun memahami apa maksud perkataannya. Sama seperti Najendra, dia melepas penyamarannya juga dan mulai bersiap melawan para prajurit Kerajaan Mulia. “Jangan melawan jika tidak ingin dibunuh!”“Jangan melawan katanya?”“Haha, padahal kita juga akan mati di tangan siapa pun.”Pemimpin dari kelompok tersebut memberikan kode pada rekan-rekannya dengan sekali anggukan kepala dan menunjukkan pergelangan tangan. “Apa artinya itu?” Najendra bertanya.“Hal seperti itu mana aku tahu. Tapi mungkin mereka akan membunuh kita.”Tidak lama setelah Wira mengatakannya, mereka membentuk formasi pengepungan yang lebih rapat, senjata dalam genggaman mereka siap mengambil nyawa penjaha