"Ngapain kamu buka-buka ponselku?" tanya Rusdi.
"Em ... Nggak apa-apa, tadi ada yang telepon. Cuma nggak sempat aku angkat, teleponnya sudah mati," jawab Ratri. Rusdi mengambil ponselnya dari tangan Ratri, dan hendak pergi ke dalam kamar. "Tiana itu siapa, Mas?" Tiba-tiba Ratri bertanya seperti itu, karena penasaran. "Bukan siapa-siapa, hanya teman kerjaku," jawab Rusdi yang langsung menutup pintu kamar. Ratri terdiam, kemudian ia mendekati Gina. "Kok belum dibuka makanannya, Sayang. Katanya lapar?" tanya Ratri. Gina menggeleng, "Sudah, Bu ... Tapi kok ada sambalnya. Gina kan takut pedas, Bu. Apa ayah lupa?" sahut Gina. Ratri mengernyit, ia meraih bungkusan makanan itu dari tangan Gina. "Sini, Ibu lihat!" seru Ratri. Setelah bungkusan makanan itu dibuka, Ratri merasa heran. Makanan berupa sate yang sudah tercampur sambal. Ada beberapa tusuk sate, yang separuh dagingnya sudah tidak utuh. "Kenapa begini, ya?" gumam Ratri. Tak ingin berpikiran buruk tentang suaminya. Kini Ratri berusaha menghibur Gina yang tengah menatap makanan itu dengan kecewa. "Biar Ibu saja yang buatin makanan enak untuk Gina, ya! Yang ini kita simpan dulu di dapur. Kalau Gina merasa lapar, ibu buatin nasi goreng saja buat Gina. Bagaimana?" tanya Ratri. Gina terdiam, menggelengkan kepalanya penuh kecewa. Ia berlalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Setelah menyimpan sate itu ke dapur. Ratri kemudian masuk ke dalam kamarnya. Terlihat di dalam kamar, Rusdi tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur. "Mas, kamu lupa, yakalau Gina nggak kuat pedas?" tanya Ratri begitu ia duduk di samping Rusdi, yang tengah berbaring di atas tempat tidur. "Aku nggak lupa, memangnya kenapa?" tanya Rusdi balik. Ratri menghela nafas kasar, kemudian kembali bersuara. "Kamu membelikan sate tapi sudah dicampur dengan sambal. Gina terlihat kecewa," jawab Ratri. "Oh ... Aku sih pesannya ke penjualnya minta dipisah. Tapi ... Ya sudahlah, mungkin penjualnya saja yang teledor. Sudah, nggak usah dipikirkan. Nanti aku belikan lagi kalau ada yang memberiku uang tips," tukas Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian mulai merebahkan diri di samping Rusdi. Tengah malam, Rusdi terbangun karena ponselnya terus bergetar menandakan ada beberapa pesan masuk ke dalam ponselnya. "Rat, mungkin beberapa hari ini aku bakalan disibukan dengan banyaknya pekerjaan. Di kantor tempatku bekerja, akan mengadakan acara besar-besaran yang mengharuskan kami para office boy lembur. Jadi ... Untuk beberapa hari ini, aku bakalan menginap di kontrakan teman aku, dekat kantor tempat kami bekerja. Kamu nggak apa-apa, kan aku tinggal beberapa hari ini?" tanya Rusdi pagi itu. Ia sudah bersiap-siap mengenakan sepatu di teras rumah. "Iya, Mas ... Nggak apa-apa. Yang penting kamu harus selalu memberi kabar," sahut Ratri. Setelah Rusdi berangkat, seperti biasa Ratri akan mengantar Gina untuk sekolah. Dua hari kemudian "Uang aku tinggal segini lagi, apa akan cukup untuk sebulan?" Ratri memegangi dompetnya yang berisi uang sisa empat ratus ribu. Ia baru saja melunasi seragam sekolah Gina. Ratri berpikir keras bagaimana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kring! Kring! Kring! Tiba-tiba ponsel Ratri berdering. Ratriyang tengah duduk menunggu Gina, segera mengangkat panggilan telepon itu. "Halo ... Maaf dengan siapa, ya?" tanya Ratri,ketika nomor baru menghubunginya. "Halo, Ratri ... Ini aku, Rara. Bagaimana kabarmu, Rat? Sudah lama kita nggak ketemu, kangen banget aku sama kamu. Maaf ya, Rat ... Aku nggak bisa datang ke acara pernikahankamu. Lulus SMA, aku langsung dibawa pindah oleh orang tuaku, aku juga udah nikah di sana. Maaf, aku nggak bermaksud tidak ngundang kamu, karena waktu itu nomor kamu nggak aktif," ujar teman Ratri yang bernama Rara, di seberang telepon. "Rara! Ya ampun, kabar aku baik, Ra. Kabarmu sendiri gimana? Iya nggakapa-apa,Ra ... Aku juga kangen banget sama kamu. Aku sudah ganti nomor, karena ponselku yang dulu hilang, dan ini nomor baru aku. Kamu dapat dari mana nomor aku, Ra?" tanya Ratri. "Kabar aku juga baik, Ra. Biasalah, aku cari tahu dari teman sekolah kita dulu, yang kebetulan dia punya nomor baru kamu. Oh iya, Rat ... Aku lagi di daerah tempat kamu tinggal nih.Kebetulan suami aku sedang menjalani proyek kerjasama dengan perusahaan di daerah sini. Kamu sekarang ada di mana?" sahut Rara. Ratri tersenyum, ia tak menyangka jika teman lamanya semasa SMA menghubunginya, disaat dirinya sedang banyak pikiran. Seketika beban pikiran itu perlahan sedikit terlupakan dengan obrolan kecil mereka. "Oh ya? Bagus dong. Aku masih tinggal di sini, kok di rumah orang tuaku. Kebetulan kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku, suami dan anak tinggal di sini," ujar Ratri. "Ya Tuhan ... Aku turut berduka cita ya, Rat. Aku baru tahu kalau orang tua kamu sudah tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku ke sana, ya! Bosan tahu nungguin suami aku di kantor. Dari tadi aku sendirian di kantin kantor. Aku ke sana sekarang, ya! Bye, Rat!" Rara mengakhiri panggilan teleponnya. Tepat pukul 10.00, sekolah Gina telah selesai. Ratri bergegas pulang, ingin menyambut kedatangan teman lamanya itu. Tok! Tok! Tok! Ketika Ratri telah berada di rumah, dari depan terdengar suara ketukan pintu. Gegas Ratri segera membuka pintu itu. Ceklek! "Assalamualaikum ... Ratri!" sapa tamu yang ternyata adalah Rara. "Wa'alaikumsalam ... Rara! Ya ampun, pangling aku lihat kamu.Tambah cantik aja! Ayo silahkan masuk, maaf rumah aku masih berantakan," sahut Ratri sembari bersalaman. "Nggak apa-apa, mana anakmu, Rat? Apa suami kamu sedang kerja?" tanya Rara. "Ada, biar aku panggilkan. Iya, suami aku lagi kerja, Ra," jawab Ratri. "Oh ya? Kerja apa?" tanya Rara. Ratri tersenyum, dari dulu Rara tidak berubah, orangnya memang bawel dan selalu banyak tanya. "Suami aku hanya seorang office boy, Ra," jawab Ratri yang disambut oleh anggukan Rara. Ratri kemudian pergi ke dapur hendak membuatkan teh. "Wah ... Ternyata Gina cantik sekali, ya! Duh ... Tante kalah nih cantiknya sama Gina." Di ruang tamu, Rara dan Gina tampak asyik bercengkerama. Tak jarang Rara seringkali menciumi pipi tembem Gina yang berkulit putih itu. Rara yang pada dasarnya menyukai anak kecil, ia begitu gemas ketika melihat Gina. "Apa kamu sudah punya anak, Ra?" tanya Ratri, yang disambut gelengan kepala Rara. Ratri mengusap lengan Rara sambil menatap teduh. Ting .... Terdapat sebuah pesan masuk ke ponsel Rara, ketika Rara tengah asyik mengobrol dengan Ratri. "Rat, suami aku nyuruh aku nyusul ke cafe. Ini sudah jam makan siang, dia ngajak makan bersama," ujar Rara. "Ya sudah kalau begitu, kalau mau pergi ke cafe nggak apa-apa," sahut Ratri. "Aku maunya kamu dan Gina ikut. Aku masih kangen tahu sama kamu dan Gina. Jarang loh bisa ngobrol kayak gini. Tenang, aku yang traktir kamu. Gina, Gina mau nggak ikut Tante makan di cafe?" tanya Rara. Gina mengangguk penuh semangat. "Tuh ... Gina saja mau. Ayo siap-siap!" ajak Rara. "Memangnya dikantor yang mana sih suami kamu menjalani kerjasama?" tanya Ratri sebelum beranjak masuk ke dalam kamar, untuk bersiap. "Itu di PT. Angkasa .Sudah cepat gih siap-siap," jawab Rara. Sampai di depan cafe, mereka turun dari mobil yang dikendarai Rara. "Itu suami aku, tapi ... Kok ngajak rekan kerjasamanya kesini!" tunjuk Rara pada dua orang pria yang tengah duduk berseberangan di meja cafe, yang salah satunya membelakangi posisi dimana Rara dan Ratri berdiri. "Tapi nggak apa-apa deh,kita gabung saja, Rat!" lanjut Rara. "Nggak deh, Ra ... Aku malu," tolak Ratri. Rara menggeleng, "Nggak usah malu, suami aku orangnya humble kok," paksa Rara. Terpaksa Ratri menerima ajakan Rara. Walau sebetulnya ia merasa malu jika harus berkumpul dengan orang asing. "Ibu sandal aku talinya copot!" Tiba-tiba Gina berjongkok sambil memegangi sandalnya. Dengan cepat Ratri membetulkan sandal Gina dengan posisi berjongkok pula. "Hai, Mas! Maaf lama ya nunggunya!" ucap Rara, membuat dua orang pria itu menoleh ke arah Rara. Dengan posisi masih berjongkok, Ratri bisa melihat dengan jelas kedua pria itu. Deg!Dengan cepat Ratri menoleh ke arah lain. Ia tak menyangka apa yang dilihatnya akan membuatnya syok."Sayang, perut Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa ya, kita pulang! Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi makan enak," imbuh Ratri, dengan cepat ia menuntun anaknya keluar dari cafe.Sementara di dalam cafe, Rara tampak kebingungan ketika menoleh ke belakang. "Loh, Ratri mana, ya?" gumam Rara."Cari siapa, Sayang? Ayo sini duduk, kita makan siang sekarang!" seru Dito, suami dari Rara.Dengan wajah bingung, Rara segera menjawab, "Aku lagi nyari teman aku dan anaknya. Tadi aku ajak mereka kensini, untuk makan siang bareng. Tapi kok sekarang nggak ada, ya!" sahut Rara."Mungkin teman kamu sedang ke toilet," ujar Dito.Rara menggedikkan bahu, kemudian duduk bergabung di meja bersama suami dan rekan kerjanya.Ting ....Rara mendapat pesan masuk ketika ia selesai memesan makanan."Maaf, Ra ... Tiba-tiba perut aku sakit. Lain kali saja kita makan barengnya, Ra. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ratri
"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya."Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni."Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya."Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar."Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdiyang bernama Lulu.Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-liha
Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni."Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi."Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting."Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi."Halo, Mas!" sapa Ratri."Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi."Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya."Oh ... Ini, Rat, a
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Gila, kamu sudah gila, Rika. Lepaskan, saya mau pulang!" sergah Saga, ia begitu emosi dengan tingkah gila Rika."Aku memang gila, Om. Aku gila karena Om, aku tergila-gila. Aku mohon, terima aku sebagai kekasih Om. Lambat laun, Om pasti akan nyaman denganku. Aku bisa membahagiakan Om, aku janji," sahut Rika.Saga terus memberontak ingin melepaskan diri. Namun, Rika tak membiarkannya lepas begitu saja. Sekuat tenaga ia kerahkan untuk menahan Saga supaya tidak pergi dari tempat itu.Saga akhirnya terdiam, ia menyentuh punggung tangan Rika."Kamu yakin akan ucapanmu itu?" tanya Saga mulai luluh.Mendengar pertanyaan itu, tentu Rika merasa senang. Seperti ada harapan yang menghampiri, di saat dirinya susah payah membuat Saga luluh."Tentu saja, Om. Aku tidak akan main-main dengan ucapanku. Aku cinta sama Om, apa pun akan aku lakukan demi Om. Asal Om terima cinta aku," jawab Rika."Apa pun?" tanya Saga."Tentu, Om!""Lepaskan dulu saya, saya tidak bisa bergerak leluasa jika kamu memeluk sa
"Ayah, jemput aku di rumah teman. Aku mau pulang, ini aku pakai nomor temanku. Ini aku Gina, jangan hubungi nomorku, ponsel aku mati." Saga menerima sebuah pesan dari nomor baru yang mengaku sebagai Gina. Kemudian mengirimkan alamat rumah yang Saga pun belum tahu rumah teman Gina yang mana."Oke, Ayah akan ke situ. Ayah bersiap dulu, sekarang sudah waktunya jam pulang," balas Saga.Saga bergegas membereskan semua berkas, menutup laptop dan menjinjing tas kerjanya hendak pulang.Saga mengemudikan mobilnya, hendak menuju tempat di mana Gina berada.Jalanan cukup macet, karena saat ini jam menunjukkan pukul 4 sore. Di mana kebanyakan orang-orang baru saja selesai bekerja, dan hendak pulang ke rumah masing-masing.Sampai Saga menunggu 15 menit di dalam kemacetan yang cukup parah. Akhirnya mobil Saga terbebas dari drama kemacetan yang menghambat setiap pergerakan di sore itu.Sore telah beranjak malam, Saga telah menemukan alamat yang dikirim Gina. Dengan cepat, ia turun dari dalam mobil,
Perlahan, penutup kotak makanan itu terbuka, menampakkan sesuatu yang membuat Gina terpaku."Siapa kira-kira yang menitipkan ini pada Dudung? Apakah David lagi? Ah ... Rasanya nggak mungkin," gumam Gina.Di dalam kotak makanan itu, terdapat makanan yang dibentuk menyerupai wajah berkerudung."Ehem ... Apaan itu? Bagus banget," ujar Cherly yang mengejutkan Gina."Entah, tadi Dudung yang ngasih ini sama aku. Katanya ini titipan buatku," sahut Gina."Dudung? Apa jangan-jangan dari kak David? Soalnya kan waktu itu juga, dia yang disuruh David buat ngasih kertas surat buat kamu. Tapi ... Apa iya, ini dari kak David? Kok aku percaya nggak percaya ya!" timpal Tessa.Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa bingung."Ah entahlah, mau nggak nih Tes?" Gina menyodorkan kotak makanan tersebut kepada Tessa."Serius ini buat aku? Tapi sayang loh, ini bagus banget. Kok bisa sih dibentuk kayak wajah kamu? Jadi nggak tega makannya," sahut Tessa."Ya sudah kalau nggak mau, aku kasih saja sama satpam d
Gina dan Rusdi terbelalak mendengar suara Cherly yang sepertinya sedang ketakutan."Ayah, itu Cherly kenapa?" ujar Gina merasa khawatir, begitu pun dengan Rusdi.Mereka saling melempar pandang, dalam tatapan penuh kecemasan."Coba buka, apakah pintunya dikunci? Takutnya ada orang yang mau berbuat jahat kepada Cherly," imbuh Rusdi.Gina mengangguk, lantas ia memutar kenop pintu itu dengan cepat.Ceklek!Gina merasa lega, pintu kosan Cherly ternyata tidak dikunci. Sehingga memudahkan keduanya masuk ke dalam kamar Cherly tanpa hambatan apa pun.Gina dan Rusdi berlari masuk ke dalam. Langkah mereka terhenti, saat mendapati Cherly tengah duduk di atas kasur, dengan posisi membelakanginya."Cherly," panggil Gina.Cherly menoleh mendengar suara Gina. Ia tersenyum dengan keadaan wajah sudah dipenuhi keringat."Gina, kamu ke sini?" tanya Cherly.Gina dan Rusdi menatap heran ke arah Cherly. Baru saja mereka mendengar Cherly teriak ketakutan. Namun, yang mereka lihat saat ini, Cherly terlihat ba
"Kayaknya ada tamu," gumam Gina, setelah ia keluar dari mobil.Pintu utama tampak terbuka lebar, menjadikan Gina berasumsi seperti itu.Gina berjalan masuk menuju pintu utama. Saat kakinya melangkah mulai menapaki ruang tamu, ia terperanjat ketika melihat seseorang yang tengah duduk berkumpul di sofa bersama Ratri dan juga Saga."A-ayah," gumam Gina, ia begitu terpaku sehingga dirinya berdiam di ambang pintu."Gina!" Seru Rusdi, saat dirinya melihat Gina yang baru saja datang.Rusdi terlihat berubah setelah lama ditahan. Sebagian rambutnya telah memutih dan tubuhnya tampak kurus."Ayah!" Gina berjalan cepat, kemudian memeluk Rusdi begitu erat.Gina dan Rusdi menangis di dalam pelukan. Mereka menumpahkan rasa rindu yang salam ini terpendam di dalam diri mereka masing-masing."Ayah ada di sini?" Terdengar suara Gina parau karena tangisan yang tumpah."Iya, Nak. Ayah sudah bebas kemarin, kita bisa bertemu kapan pun yang kita mau. Ayah sudah bebas, Nak," sahut Rusdi dengan suara bergetar.
Lelaki itu menatap Gina, tanpa terganggu sedikit pun dengan bau yang berasal dari pakaian Gina."Mari aku bantu berdiri!" seru lelaki itu."Aku-""Gina, ya ampun!" Dari kejauhan, Tessa dan Cherly berlari saat melihat Gina sudah dalam kondisi kacau."Ya Tuhan ... Kenapa baju kamu bisa kotor seperti ini, Gina?" tanya Cherly, kemudian membantu Gina berdiri."Biasa, aku kena bully lagi. Aku sudah seperti seekor keledai. Jatuh di lubang yang sama," jawab Gina sambil tersenyum getir.Tessa dan Cherly menarik tangan Gina hendak membawanya ke kosan Cherly. Sementara laki-laki yang baru saja menabrak Gina, menatap Gina sampai ia tak terlihat lagi."Kok bisa kamu kena bully lagi?" tanya Cherly, setelah mereka berada di kosan.Kini, Gina telah berganti baju milik Cherly.Gina pun menceritakan awal kenapa ia sampai terkena bully lagi, sampai keadaannya lebih parah dari sebelumnya."Ya Tuhan ... Memang benar-benar ya mereka. Kesal sekali aku, semoga mereka mendapatkan balasan," timpal Tessa yang m
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Gina tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus.Sebenarnya Gina merasa malas, setiap hari ia harus berhati-hati dengan keadaan kampus. Ah, bukan keadaan tepatnya, melainkan ketiga monster kampus yang selalu membuatnya kesal. Beberapa kali Gina mengalami bullying seperti dilempar telur, disiram air, dilempar tepung, dan masih banyak lagi. Tak habis pikir, ketiga monster kampus itu masih tetap saja aman di kampus itu. Dari sekian banyaknya mahasiswa di sana, tak ada seorang pun yang berani melawan atau melapor mereka. Pernah beberapa kali, Gina ingin melaporkan kasus bullying itu. Namun, selalu gagal karena ketiga monster itu tidak membiarkan Gina melakukannya."Sayang, sepertinya aku bakalan pulang cepat lagi nanti. Em ... Aku mau makan siang sama kamu berdua di pinggir danau," ujar Saga, saat mereka sedang sarapan pagi."Ehem ... Jadi hanya berdua nih? Aku sama Andres nggak diajak?" timpal Gina sambil melirik Andres."Hanya kami berdua,
Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa ragu sama seperti yang dirasakan Tessa.Kosan yang baru saja disewa Cherly terlihat tidak terawat. Bukan berarti kumuh, akan tetapi, keadaanya yang terlihat lembab."Entahlah, aku juga ragu, Tes. Kosan ini juga berada di paling ujung berbatasan dengan kebun pisang," sahut Gina."Em ... Apa kita kasih saran saja sama Cherly, buat cari lagi kosan yang lain? Aku saja sekarang ini, kok kurang nyaman, ya!" seru Tessa.Gina terdiam, ucapan Tessa ada benarnya juga. Namun, apakah Cherly setuju?"Tapi Cherly sudah membayar sewa selama beberapa bulan ke depan, Tes. Tapi ... Kita coba tanyakan saja nanti kalau dia sudah kembali," sahut Gina.Tak berselang lama, Cherly kembali dengan membawa 3 cup minuman dingin yang ditenteng di dalam kantong kresek bening."Ini buat kalian, huhhh haus banget," ujar Cherly, lantas memberikan 2 cup minuman itu kepada Gina dan Tessa."Terima kasih, Cher. Em ... Cher, kamu yakin mau tinggal di kosan ini?" tanya Gina memasti
"Aaargh!" Gina terkejut, saat seseorang menyiramkan 1 ember air ke seluruh tubuhnya, hingga bajunya basah kuyup.Ingin marah, akan tetapi di sana ia tidak mendapati siapa pun. Entah ini pekerjaan siapa, Gina tidak tahu."Perbuatan siapa ini?" teriak Gina lantang.Gina menoleh ke sana kemari, siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai mengenai hal itu. Namun, sayangnya tidak ada siapa pun di sana.Prok! Prok! Prok!Dari arah ruangan di samping Gina, pintu seketika terbuka lebar dan menampakkan 3 orang yang ia kenali. Salah satu dari mereka tepuk tangan dengan puas melihat Gina basah kuyup."Kamu!" gumam Gina.David tersenyum puas, menampakkan deretan gigi putihnya."Bagaimana, apakah kamu masih tidak takut sama saya?" tanya David.Kini Gina mengerti, ternyata ini perbuatan David, si monster kampus dan kedua temannya.Gina menyeka wajahnya yang penuh air dengan kasar. Ia tak habis pikir, kenapa orang seperti David masih dipertahankan di kampus itu. Padahal, banyak sekali orang-orang yang