"Ngapain kamu buka-buka ponselku?" tanya Rusdi.
"Em ... Nggak apa-apa, tadi ada yang telepon. Cuma nggak sempat aku angkat, teleponnya sudah mati," jawab Ratri. Rusdi mengambil ponselnya dari tangan Ratri, dan hendak pergi ke dalam kamar. "Tiana itu siapa, Mas?" Tiba-tiba Ratri bertanya seperti itu, karena penasaran. "Bukan siapa-siapa, hanya teman kerjaku," jawab Rusdi yang langsung menutup pintu kamar. Ratri terdiam, kemudian ia mendekati Gina. "Kok belum dibuka makanannya, Sayang. Katanya lapar?" tanya Ratri. Gina menggeleng, "Sudah, Bu ... Tapi kok ada sambalnya. Gina kan takut pedas, Bu. Apa ayah lupa?" sahut Gina. Ratri mengernyit, ia meraih bungkusan makanan itu dari tangan Gina. "Sini, Ibu lihat!" seru Ratri. Setelah bungkusan makanan itu dibuka, Ratri merasa heran. Makanan berupa sate yang sudah tercampur sambal. Ada beberapa tusuk sate, yang separuh dagingnya sudah tidak utuh. "Kenapa begini, ya?" gumam Ratri. Tak ingin berpikiran buruk tentang suaminya. Kini Ratri berusaha menghibur Gina yang tengah menatap makanan itu dengan kecewa. "Biar Ibu saja yang buatin makanan enak untuk Gina, ya! Yang ini kita simpan dulu di dapur. Kalau Gina merasa lapar, ibu buatin nasi goreng saja buat Gina. Bagaimana?" tanya Ratri. Gina terdiam, menggelengkan kepalanya penuh kecewa. Ia berlalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Setelah menyimpan sate itu ke dapur. Ratri kemudian masuk ke dalam kamarnya. Terlihat di dalam kamar, Rusdi tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur. "Mas, kamu lupa, yakalau Gina nggak kuat pedas?" tanya Ratri begitu ia duduk di samping Rusdi, yang tengah berbaring di atas tempat tidur. "Aku nggak lupa, memangnya kenapa?" tanya Rusdi balik. Ratri menghela nafas kasar, kemudian kembali bersuara. "Kamu membelikan sate tapi sudah dicampur dengan sambal. Gina terlihat kecewa," jawab Ratri. "Oh ... Aku sih pesannya ke penjualnya minta dipisah. Tapi ... Ya sudahlah, mungkin penjualnya saja yang teledor. Sudah, nggak usah dipikirkan. Nanti aku belikan lagi kalau ada yang memberiku uang tips," tukas Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian mulai merebahkan diri di samping Rusdi. Tengah malam, Rusdi terbangun karena ponselnya terus bergetar menandakan ada beberapa pesan masuk ke dalam ponselnya. "Rat, mungkin beberapa hari ini aku bakalan disibukan dengan banyaknya pekerjaan. Di kantor tempatku bekerja, akan mengadakan acara besar-besaran yang mengharuskan kami para office boy lembur. Jadi ... Untuk beberapa hari ini, aku bakalan menginap di kontrakan teman aku, dekat kantor tempat kami bekerja. Kamu nggak apa-apa, kan aku tinggal beberapa hari ini?" tanya Rusdi pagi itu. Ia sudah bersiap-siap mengenakan sepatu di teras rumah. "Iya, Mas ... Nggak apa-apa. Yang penting kamu harus selalu memberi kabar," sahut Ratri. Setelah Rusdi berangkat, seperti biasa Ratri akan mengantar Gina untuk sekolah. Dua hari kemudian "Uang aku tinggal segini lagi, apa akan cukup untuk sebulan?" Ratri memegangi dompetnya yang berisi uang sisa empat ratus ribu. Ia baru saja melunasi seragam sekolah Gina. Ratri berpikir keras bagaimana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kring! Kring! Kring! Tiba-tiba ponsel Ratri berdering. Ratriyang tengah duduk menunggu Gina, segera mengangkat panggilan telepon itu. "Halo ... Maaf dengan siapa, ya?" tanya Ratri,ketika nomor baru menghubunginya. "Halo, Ratri ... Ini aku, Rara. Bagaimana kabarmu, Rat? Sudah lama kita nggak ketemu, kangen banget aku sama kamu. Maaf ya, Rat ... Aku nggak bisa datang ke acara pernikahankamu. Lulus SMA, aku langsung dibawa pindah oleh orang tuaku, aku juga udah nikah di sana. Maaf, aku nggak bermaksud tidak ngundang kamu, karena waktu itu nomor kamu nggak aktif," ujar teman Ratri yang bernama Rara, di seberang telepon. "Rara! Ya ampun, kabar aku baik, Ra. Kabarmu sendiri gimana? Iya nggakapa-apa,Ra ... Aku juga kangen banget sama kamu. Aku sudah ganti nomor, karena ponselku yang dulu hilang, dan ini nomor baru aku. Kamu dapat dari mana nomor aku, Ra?" tanya Ratri. "Kabar aku juga baik, Ra. Biasalah, aku cari tahu dari teman sekolah kita dulu, yang kebetulan dia punya nomor baru kamu. Oh iya, Rat ... Aku lagi di daerah tempat kamu tinggal nih.Kebetulan suami aku sedang menjalani proyek kerjasama dengan perusahaan di daerah sini. Kamu sekarang ada di mana?" sahut Rara. Ratri tersenyum, ia tak menyangka jika teman lamanya semasa SMA menghubunginya, disaat dirinya sedang banyak pikiran. Seketika beban pikiran itu perlahan sedikit terlupakan dengan obrolan kecil mereka. "Oh ya? Bagus dong. Aku masih tinggal di sini, kok di rumah orang tuaku. Kebetulan kedua orang tuaku sudah meninggal. Aku, suami dan anak tinggal di sini," ujar Ratri. "Ya Tuhan ... Aku turut berduka cita ya, Rat. Aku baru tahu kalau orang tua kamu sudah tidak ada. Ya sudah kalau begitu, aku ke sana, ya! Bosan tahu nungguin suami aku di kantor. Dari tadi aku sendirian di kantin kantor. Aku ke sana sekarang, ya! Bye, Rat!" Rara mengakhiri panggilan teleponnya. Tepat pukul 10.00, sekolah Gina telah selesai. Ratri bergegas pulang, ingin menyambut kedatangan teman lamanya itu. Tok! Tok! Tok! Ketika Ratri telah berada di rumah, dari depan terdengar suara ketukan pintu. Gegas Ratri segera membuka pintu itu. Ceklek! "Assalamualaikum ... Ratri!" sapa tamu yang ternyata adalah Rara. "Wa'alaikumsalam ... Rara! Ya ampun, pangling aku lihat kamu.Tambah cantik aja! Ayo silahkan masuk, maaf rumah aku masih berantakan," sahut Ratri sembari bersalaman. "Nggak apa-apa, mana anakmu, Rat? Apa suami kamu sedang kerja?" tanya Rara. "Ada, biar aku panggilkan. Iya, suami aku lagi kerja, Ra," jawab Ratri. "Oh ya? Kerja apa?" tanya Rara. Ratri tersenyum, dari dulu Rara tidak berubah, orangnya memang bawel dan selalu banyak tanya. "Suami aku hanya seorang office boy, Ra," jawab Ratri yang disambut oleh anggukan Rara. Ratri kemudian pergi ke dapur hendak membuatkan teh. "Wah ... Ternyata Gina cantik sekali, ya! Duh ... Tante kalah nih cantiknya sama Gina." Di ruang tamu, Rara dan Gina tampak asyik bercengkerama. Tak jarang Rara seringkali menciumi pipi tembem Gina yang berkulit putih itu. Rara yang pada dasarnya menyukai anak kecil, ia begitu gemas ketika melihat Gina. "Apa kamu sudah punya anak, Ra?" tanya Ratri, yang disambut gelengan kepala Rara. Ratri mengusap lengan Rara sambil menatap teduh. Ting .... Terdapat sebuah pesan masuk ke ponsel Rara, ketika Rara tengah asyik mengobrol dengan Ratri. "Rat, suami aku nyuruh aku nyusul ke cafe. Ini sudah jam makan siang, dia ngajak makan bersama," ujar Rara. "Ya sudah kalau begitu, kalau mau pergi ke cafe nggak apa-apa," sahut Ratri. "Aku maunya kamu dan Gina ikut. Aku masih kangen tahu sama kamu dan Gina. Jarang loh bisa ngobrol kayak gini. Tenang, aku yang traktir kamu. Gina, Gina mau nggak ikut Tante makan di cafe?" tanya Rara. Gina mengangguk penuh semangat. "Tuh ... Gina saja mau. Ayo siap-siap!" ajak Rara. "Memangnya dikantor yang mana sih suami kamu menjalani kerjasama?" tanya Ratri sebelum beranjak masuk ke dalam kamar, untuk bersiap. "Itu di PT. Angkasa .Sudah cepat gih siap-siap," jawab Rara. Sampai di depan cafe, mereka turun dari mobil yang dikendarai Rara. "Itu suami aku, tapi ... Kok ngajak rekan kerjasamanya kesini!" tunjuk Rara pada dua orang pria yang tengah duduk berseberangan di meja cafe, yang salah satunya membelakangi posisi dimana Rara dan Ratri berdiri. "Tapi nggak apa-apa deh,kita gabung saja, Rat!" lanjut Rara. "Nggak deh, Ra ... Aku malu," tolak Ratri. Rara menggeleng, "Nggak usah malu, suami aku orangnya humble kok," paksa Rara. Terpaksa Ratri menerima ajakan Rara. Walau sebetulnya ia merasa malu jika harus berkumpul dengan orang asing. "Ibu sandal aku talinya copot!" Tiba-tiba Gina berjongkok sambil memegangi sandalnya. Dengan cepat Ratri membetulkan sandal Gina dengan posisi berjongkok pula. "Hai, Mas! Maaf lama ya nunggunya!" ucap Rara, membuat dua orang pria itu menoleh ke arah Rara. Dengan posisi masih berjongkok, Ratri bisa melihat dengan jelas kedua pria itu. Deg!Dengan cepat Ratri menoleh ke arah lain. Ia tak menyangka apa yang dilihatnya akan membuatnya syok."Sayang, perut Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa ya, kita pulang! Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi makan enak," imbuh Ratri, dengan cepat ia menuntun anaknya keluar dari cafe.Sementara di dalam cafe, Rara tampak kebingungan ketika menoleh ke belakang. "Loh, Ratri mana, ya?" gumam Rara."Cari siapa, Sayang? Ayo sini duduk, kita makan siang sekarang!" seru Dito, suami dari Rara.Dengan wajah bingung, Rara segera menjawab, "Aku lagi nyari teman aku dan anaknya. Tadi aku ajak mereka kensini, untuk makan siang bareng. Tapi kok sekarang nggak ada, ya!" sahut Rara."Mungkin teman kamu sedang ke toilet," ujar Dito.Rara menggedikkan bahu, kemudian duduk bergabung di meja bersama suami dan rekan kerjanya.Ting ....Rara mendapat pesan masuk ketika ia selesai memesan makanan."Maaf, Ra ... Tiba-tiba perut aku sakit. Lain kali saja kita makan barengnya, Ra. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ratri
"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya."Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni."Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya."Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar."Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdiyang bernama Lulu.Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-liha
Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni."Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi."Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting."Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi."Halo, Mas!" sapa Ratri."Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi."Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya."Oh ... Ini, Rat, a
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu
Semua tampak bingung atas permintaan Romi. Farrel, Gina dan pak Reno saling melempar pandang."Maksud Ayah?" tanya Farrel."Jangan pergi ke mana-mana, cukup kalian di sini dan tunggu sebentar lagi. Kalian pasti akan mengetahui semuanya," jawab Romi.Mereka semakin tidak mengerti dengan segala ucapan yang terlontar dari mulut Romi. Terutama Farrel, wajahnya menunjukkan seakan menuntut penjelasan dari sang ayah."Sebentar lagi kalian akan paham maksud Ayah. Kalian sebaiknya bersembunyi, jangan sampai menampakkan batang hidung kalian saat dia datang. Ayah akan jelaskan semuanya setelah dia pergi. Tapi, Ayah minta salah satu dari kalian, bawakan Ayah air kelapa sebanyak-banyaknya," pinta Romi.Setiap perkataan Romi, begitu banyak menyimpan teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Namun, mereka akan menuruti perkataan Romi, mereka akan menunggu dan bersembunyi."Biar saya saja yang akan memesan air kelapa. Saya akan menyuruh ART saya," imbuh pak Reno, yang kemudian menghubungi ART-nya.Dari
"Loh iya, ya!" sahut Gina, mereka mulai menyusuri arah bau bangkai yang mereka cium.Farrel mengajak Gina untuk pergi ke dapur. Sesampainya di sana, mereka melihat banyaknya makanan berceceran di lantai. Isi kulkas yang menyimpan bahan makanan mentah, semua sudah berada di lantai. Dan ternyata bau bangkai yang tercium berasal dari daging mentah yang telah dikerubuti lalat hijau dan belatung.Sontak membuat mereka berdua membekap hidungnya, tak tahan dengan bau yang sangat tidak enak dan menyengat itu."Farrel, aku mau muntah!" Gina berlari ke arah kamar mandi ART di dekat dapur.Gina menumpahkan semua isi perutnya. Isi perutnya yang terasa diaduk, hingga akhirnya semua sarapan yang ia santap tadi, terkuras habis."Farrel, jangan berlama-lama di sini. Aku takut muntah lagi," ujar Gina, sehingga matanya mengeluarkan banyak air.Farrel mengangguk, mereka menjauh dari dapur. Farrel kemudian mengajak Gina untuk menuju lantai atas, kamar ayahnya.Mereka mulai menaiki anak tangga. Rumah itu
"Loh iya, ya. Kenapa bisa pecah, ya? Mungkin ada orang iseng melempar batu kali, ya!" sahut Farrel, ia pun mengamati jendela itu."Rel, apakah kita langsung masuk saja? Tapi ... Apakah tante Rumiah ada di dalam? Sebaiknya kita harus berhati-hati. Dia sangat jahat, bahkan tidak segan untuk menyakiti orang lain," ujar Gina."Tapi di sana tidak ada mobil sama sekali di garasi, semuanya tidak ada. Apa ayahku dan juga Rumiah lagi keluar, ya? Tapi kok satpam juga tidak kelihatan. Kondisi halaman juga tidak sebersih seperti biasanya," sahut Farrel.Lama mereka berdua berdiam diri sambil mengamati rumah itu. Farrel pun segera mengajak Gina untuk masuk. Ia begitu penasaran dengan kondisi di dalam. Sungguh aneh sekali. Kaca pecah, beberapa mobil yang dimiliki tidak ada satu pun yang terparkir, bahkan satpam penjaga rumah pun tidak ada. Lantas ke mana semua?Farrel mulai membuka pintu gerbang yang ternyata tidak terkunci itu. Membuat mereka senang, karena tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rum