"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
"Mobil siapa, ini?" gumam Ratri, ketika menatap mobil mewah itu.Ratri kemudian berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Ia juga melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Gina, kenapa pintunya kebuka le ...." Ratri tidak meneruskan ucapannya, ketika ia melihat dua orang wanita sedang duduk di sofa ruang tamu. Sementara Gina duduk di lantai sambil menunduk."Ibu!" Gina berhambur memeluk saat Ratri masuk ke dalam rumah."Tiana, Lulu, mau apa kalian ke sini?" tanya Ratri.Tiana dan Lulu bangkit dari duduk mereka."Apa kabar, Ratri? Kedatangan kami ke sini hanya untuk melihat keadaan kalian. Bagaimanapun, kita ini adalah istrinya mas Rusdi, walaupun mas Rusdi lebih nyaman tinggal bersamaku. Em ... Maksud aku kesini baik kok, Rat. Kami ke sini hanya untuk mengirim makanan dan pakaian buat kalian," ujar Tiana.Sementara Lulu, ia menatap sekeliling rumah Ratri. Termasuk melihat penampilan Ratri yang sedikit berbeda."Maaf, Tiana ... Bukan saya menolak rejeki dari kamu. Tapi kami tidak kekurangan m
"Kesel banget aku, Kak. Masa si Ratri beraninya ngusir kita. Memangnya dia siapa? Orang miskin saja kok belagu." Sepanjang jalan, Lulu terus saja menggerutu tak hentinya. Ia merasa tersinggung atas pengusiran yang Ratri lakukan terhadapnya dan juga Tiana."Ya ... Aku juga kesal, Lu. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah ngusir kita, masa kita harus tetap diam di rumah itu. Tapi aku puas sih, ternyata dugaan kita semua benar. Ratri memang nggak bisa apa-apa . Dia hanya bisa bergantung kepada mas Rusdi. Tapi aku juga kesal sama mas Rusdi. Kenapa dia memberikan uang lebih kepada Ratri, sampai dia bisa membeli baju bagus dan bisa perawatan wajah? Sejak kapan mas Rusdi nggak terbuka sama aku," sahut Tiana, sambil fokus menyetir mobil."Aku akan bilang ini sama ibu dan mas Rusdi. Aku nggak terima diusir kayak gitu. Pengen rasanya aku acak-acak muka si Ratri itu sampai hancur dan berubah lebih jelek. Hehhh ... Geram aku, Kak," gerutu Lulu."Sudah-sudah, lebih baik kita makan saja, aku lapar. Na
Sebulan setelah rencana untuk membangun gudang produksi makanan. Kini, rencana itu telah terealisasikan walaupun sederhana. Penghasilan dari pendapatan novel yang Ratri buat, ia pergunakan untuk memulai usaha barunya.Di dalam gudang itu, Ratri berkutat dengan penggorengan. Ia tengah memasak menu sederhana. Namun, tentunya dengan resep rahasia yang ia buat. Berbagai menu ia coba dengan resep bumbu rahasia yang ia miliki. Mungkin karena di tangan yang tepat, makanan sederhana itu jadi terasa lezat.Hari pertama masih sepi, hari kedua, ketiga, sampai seminggu, pelanggan satu persatu berdatangan. Walaupun hasilnya belum banyak, akan tetapi tekad Ratri ingin sukses membuatnya terus dan terus berusaha. Selain jualan offline, Ratri juga menjualnya dengan cara online. Ia juga sering memasarkan makanannya secara online diberbagai media sosial.Di Minggu kedua, ternyata pelanggan Ratri kian bertambah. Mereka mengaku, makanan Ratri memang lezat. Ada juga yang dapat rekomendasi dari pelanggan ya
Setelah berkata demikian, bu Jamal pun pergi. Kini Ratri yang mulai penasaran, apa yang dimaksud bu Jamal mengenai rumahnya? Seketika perasaan Ratri menjadi tak enak.Gegas Ratri meninggalkan gudang, ia berjalan cepat menuju rumahnya."Ya Tuhan!" pekik Ratri, ketika melihat rumahnya dalam keadaan berantakan.Pintu rumah terbuka lebar, banyak barang-barang yang berserakan di lantai. Di teras pun pot bunga sudah tak beraturan.Ratri berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mendengar ada kegaduhan di dalam ruangan lain.Ratri berjalan cepat ke ruangan tengah. Ternyata disana ada Rusdi, ibunya dan Lulu berdiri menatap kedatangan Ratri."Apa-apaan ini? Kenapa kalian mengacak-acak rumah saya?" sentak Ratri, tak terima atas perlakuan Rusdi dan keluarganya yang tidak sopan."Nah tuh! Akhirnya dia pulang juga, Mas. Menantu durhaka, bisa-bisanya mempermalukan dan menghina Ibuku di tempat umum," tukas Lulu yang langsung menyemprot Ratri dengan ucapan pedas.Ratri mengernyit, tak mengerti dengan ucapan
"Kenapa Mas nggak ceraikan dia saja sih. Dia juga minta kok, kenapa kamu seperti ini?"Esok hari di kediaman bu Nunik, Rusdi, bu Nunik dan Lulu tengah duduk bersama di ruang keluarga. Sementara Tiana, ia tidak ikut ke rumah bu Nunik."Ini bukan urusan kamu, Lulu. Ini rumah tangga Mas, jadi hanya Mas yang boleh nentuin apakah harus menceraikannya atau tidak. Lagipula, Mas berat terhadap Gina. Dia anak Mas, dan Mas sangat menyayanginya," sanggah Rusdi.Bu Nunik kemudian duduk di sofa. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Ibu ngerti, Rusdi ... Ibu juga sayang sama Gina. Tapi kamu juga harus memikirkan perasaan Tiana dan Cherly. Mereka juga tanggung jawab kamu, Rusdi," timpal bu Nunik.Rusdi terdiam, sambil mengangguk lesu."Bu, aku boleh pinjam uang?" tanya Rusdi di tengah keheningan.Sontak bu Nunik dan Lulu menoleh ke arah Rusdi."Pinjam uang? Lah ... Mas kan banyak uang. Kenapa pinjam ke Ibu?" tanya Lulu.Rusdi mengusap wajahnya kasar."Uang cash aku tinggal sedikit lagi. Sement
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Gina tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus.Sebenarnya Gina merasa malas, setiap hari ia harus berhati-hati dengan keadaan kampus. Ah, bukan keadaan tepatnya, melainkan ketiga monster kampus yang selalu membuatnya kesal. Beberapa kali Gina mengalami bullying seperti dilempar telur, disiram air, dilempar tepung, dan masih banyak lagi. Tak habis pikir, ketiga monster kampus itu masih tetap saja aman di kampus itu. Dari sekian banyaknya mahasiswa di sana, tak ada seorang pun yang berani melawan atau melapor mereka. Pernah beberapa kali, Gina ingin melaporkan kasus bullying itu. Namun, selalu gagal karena ketiga monster itu tidak membiarkan Gina melakukannya."Sayang, sepertinya aku bakalan pulang cepat lagi nanti. Em ... Aku mau makan siang sama kamu berdua di pinggir danau," ujar Saga, saat mereka sedang sarapan pagi."Ehem ... Jadi hanya berdua nih? Aku sama Andres nggak diajak?" timpal Gina sambil melirik Andres."Hanya kami berdua,
Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa ragu sama seperti yang dirasakan Tessa.Kosan yang baru saja disewa Cherly terlihat tidak terawat. Bukan berarti kumuh, akan tetapi, keadaanya yang terlihat lembab."Entahlah, aku juga ragu, Tes. Kosan ini juga berada di paling ujung berbatasan dengan kebun pisang," sahut Gina."Em ... Apa kita kasih saran saja sama Cherly, buat cari lagi kosan yang lain? Aku saja sekarang ini, kok kurang nyaman, ya!" seru Tessa.Gina terdiam, ucapan Tessa ada benarnya juga. Namun, apakah Cherly setuju?"Tapi Cherly sudah membayar sewa selama beberapa bulan ke depan, Tes. Tapi ... Kita coba tanyakan saja nanti kalau dia sudah kembali," sahut Gina.Tak berselang lama, Cherly kembali dengan membawa 3 cup minuman dingin yang ditenteng di dalam kantong kresek bening."Ini buat kalian, huhhh haus banget," ujar Cherly, lantas memberikan 2 cup minuman itu kepada Gina dan Tessa."Terima kasih, Cher. Em ... Cher, kamu yakin mau tinggal di kosan ini?" tanya Gina memasti
"Aaargh!" Gina terkejut, saat seseorang menyiramkan 1 ember air ke seluruh tubuhnya, hingga bajunya basah kuyup.Ingin marah, akan tetapi di sana ia tidak mendapati siapa pun. Entah ini pekerjaan siapa, Gina tidak tahu."Perbuatan siapa ini?" teriak Gina lantang.Gina menoleh ke sana kemari, siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai mengenai hal itu. Namun, sayangnya tidak ada siapa pun di sana.Prok! Prok! Prok!Dari arah ruangan di samping Gina, pintu seketika terbuka lebar dan menampakkan 3 orang yang ia kenali. Salah satu dari mereka tepuk tangan dengan puas melihat Gina basah kuyup."Kamu!" gumam Gina.David tersenyum puas, menampakkan deretan gigi putihnya."Bagaimana, apakah kamu masih tidak takut sama saya?" tanya David.Kini Gina mengerti, ternyata ini perbuatan David, si monster kampus dan kedua temannya.Gina menyeka wajahnya yang penuh air dengan kasar. Ia tak habis pikir, kenapa orang seperti David masih dipertahankan di kampus itu. Padahal, banyak sekali orang-orang yang
Gina berusaha memberontak, saat seseorang yang tidak ia ketahui siapa itu terus menariknya hendak menuju kamar.Ingin berteriak, apa daya, suara Gina tertahan karena tangan itu terus membungkam mulut Gina."Ya Tuhan, siapa orang ini? Jangan sampai dia mencelakaiku," batin Gina ketakutan.Gina terus berusaha melepaskan diri, hingga terlintas di kepalanya, untuk menginjak kaki orang itu.Buk!"Aw!" pekik orang itu, merasa kesakitan akibat diinjak cukup kuat oleh Gina.Gina terperanjat, ia merasa tidak asing dengan suara itu. Orang itu kemudian melepaskan tangannya dari mulut Gina. Saat Gina membalikkan badan menghadapnya, ia terkejut saat melihat orang itu."Sakit tahu!" seru orang itu."Cherly, ya ampun! Ternyata ini kerjaan kamu," imbuh Gina terbelalak.Cherly mengangguk, seraya duduk di pinggiran ranjang sambil mengaduh kesakitan pada kakinya. Gina kemudian duduk di sampingnya."Hehe ... Maaf ya, Saudari. Aku hanya mau memberi kejutan," ucap Cherly tersenyum tengil. Namun, ia masih m
"Hai, Gina!" Rika tersenyum ke arah Gina.Gina berdiri mematung, begitu pun dengan Tessa, ia terkejut melihat Rika ada di dalam mobil bersama Saga."Ayah, kenapa Rika bisa bersama Ayah?" tanya Gina, ia urung untuk masuk ke dalam mobil.Saga mengerutkan dahinya, ia merasa aneh dengan sikap putrinya itu. Pasalnya ia tidak tahu menahu tentang Rika seperti apa. Gina maupun Ratri belum memberitahu Saga, jika Rika berusaha mendekatinya, dan berusaha membuat rumah tangganya bersama Ratri hancur."Kok kamu nanyanya gitu, Nak. Rika kan teman kamu, memangnya kenapa kalau Rika ikut kita sekalian. Tadi Ayah lihat dia terjatuh di jalan, kakinya sakit kayaknya. Jadi, Ayah ajak saja Rika untuk pulang bareng," jelas Saga.Gina menatap tajam ke arah Rika, yang melemparkan senyuman penuh kemenangan."Pokoknya aku nggak mau satu mobil dengan Rika," ujar Gina menegaskan.Saga semakin aneh dengan sikap Gina. Ia kemudian turun dari dalam mobil, lalu mendekatinya."Kamu kenapa sih, kok jadi gitu? Dia teman
"Aaaaargh!" Rika berdiri dengan mulut menganga. Rambut dan bajunya basah karena guyuran air itu."Kurang ajar," pekik Rika.Semua orang di kantin terpana atas apa yang dilakukan Gina.Gina tersenyum, ia kemudian menyimpan kembali botol air mineral itu ke atas meja."Bagiamana rasanya? Tidak enak, kan? Itu juga yang aku rasakan tadi, setelah kamu menyebar gosip murahan, yang jauh dari kebenarannya," cetus Gina dengan santainya.Rika menatap Gina tajam. Ia mengepalkan tangannya kuat, mulai terpancing emosi."Jadi kamu mau balas dendam?" tanya Rika.Gina tersenyum miring seraya melipat kedua tangannya di depan dada."Jadi ... Kamu merasa aku ini sedang balas dendam sama kamu? Dari ucapanmu barusan saja, sudah terbukti kalau kamu memang mau mencari masalah denganku. Tapi sayangnya, aku tidak ada maksud balas dendam. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yang suka playing victim seperti kamu. Miris sekali, tidak mendapatkan ayahnya, kamu malah memfitnah anaknya," ujar Gina sambil
Hari-hari telah berlalu, kini Gina tengah bersantai di kursi teras depan, sambil memakan camilan kesukaannya. Beruntung, setelah pertengkaran Gina dan Rika tempo hari di mobil, Rika tidak pernah datang lagi ke rumah. Gina berharap, Rika segera menyadari kesalahannya. Ia tidak mau jika kedua orang tuanya menjadi korban atas ambisi Rika yang keterlaluan itu.Seperti ucapan Rika saat menginap, kini ia telah menjadi mahasiswi di kampus yang sama dengan Gina. Namun, pertengkaran itu lantas menjadikan mereka seperti seorang musuh. Bukan musuh tepatnya, tapi Gina berusaha menjaga jarak dengan Rika. Ia tidak ingin hal buruk terjadi jika terus berdekatan dengan orang sepertinya.Keesokan harinya, Gina telah bersiap untuk pergi ke kampus, dengan ditemani oleh Saga. Karena letak kampus searah dengan kantor tempatnya bekerja, maka sekalian Saga yang mengantarkan Gina kuliah."Kamu yang semangat belajarnya. Buat ibu sama Ayahmu ini bangga, Nak," pesan Saga sebelum Gina keluar dari mobil."Iya, Yah
"Ma-maksud kamu?" tanya Rika tergugup."Jalan, Pak!" titah Gina pada sopir.Pak Mukidi mengangguk, kemudian mulai menyalakan mobilnya.Di perjalanan, Gina tampak terdiam mengacuhkan Rika. Ia sangat kesal pada kelakuan Rika yang sangat tidak sopan itu."Gina, aku tidak bermaksud-""Stop, Rika! Sebaiknya kamu tidak usah datang lagi ke rumahku. Di depan aku saja, kamu sudah berani bersikap kurang ajar sama ayahku. Apa maksud kamu, Rika? Dia ayahku, dia suami ibuku. Dia sudah tua, jauh berbeda usianya dengan kamu. Apa nggak ada lelaki lain yang kamu incar?" potong Gina, ia merasa geram dengan sikap Rika.Rika terdiam, tatapannya berubah sinis."Kenapa? Kamu takut ayah kamu aku rebut? Atau jangan-jangan ... Kamu juga suka sama Om Saga? Secara dia kan ayah tiri kamu," pungkas Rika.Gina terbelalak, terkejut mendengar ucapan Rika."Apa maksud kamu bicara seperti itu, Rik? Mana mungkin aku suka sama ayahku sendiri. Memang benar ayah Saga itu ayah tiriku. Tapi dia yang merawat aku dari kecil.
"Ayah, temani aku ke rumah Nenek. Tidak usah menunggu Ibu, biar nanti Ayah telepon Ibu dan suruh menyusul saja," ajak Gina.Saga mengangguk, ia setuju dengan usulan Gina."Iya, Sayang. Kalau begitu, Ayah siap-siap dulu," sahut Saga.Saga melangkah menuju kamarnya. Kemudian Gina pun segera berganti baju di kamarnya."Sebaiknya kamu pulang, Rika. Aku sama Ayah mau pergi," pinta Gina."Ya ... Baru saja aku mau bilang ikut. Jadi gimana ini, aku kan mau nginap lagi di sini," sahut Rika.Gina menghembuskan nafas kasar. Lalu menatap Rika dengan tajam. Perasaannya yang sedang sakit, kini ditambah oleh kelakuan Rika, seketika membuat Gina menjadi kesal dan ilfil."Maaf, Rika. Kamu punya rumah, kamu masih memiliki orang tua. Tidak seharusnya kamu sering-sering menginap di rumah orang. Maaf, bukan aku melarang kamu. Tapi, hargai tuan rumah. Kamu tidak bisa seenaknya seperti itu," pungkas Gina. Terpaksa ia harus berbicara tegas terhadap Rika.Mendengar ucapan Gina, Rika merasa kesal. Namun, ia be