Share

NAFKAH YANG TERBAGI
NAFKAH YANG TERBAGI
Penulis: Yuni Masrifah

Bab 1 Bekas Gigitan

"Ayah pulang ...."

"Ye ... Ayah pulang, pasti bawa makanan enak lagi."

Teriakkan Gina, anak perempuan yang baru berusia 4 tahun itu begitu menggema di sebuah rumah kecil. Ia berhambur mengambil bungkusan makanan dari tangan ayahnya.

Rusdi, sang ayah yang baru pulang bekerja sebagai office boy itu, langsung masuk ke dalam rumah, disambuthangat oleh istrinya yang bernama Ratri.

"Wah ayam goreng, tapi kok ada bekas gigitan," ujar Gina, yang baru saja membuka bungkusan makanan itu.

"Masa sih, Nak? Sini coba ibu lihat!" Ratri melihat ayam goreng tersebut.

"Loh iya, kok ada bekas gigitan, Mas," imbuh Ratri.

"Em ... Mungkin penjual ayam goreng itu salah memasukan ayamnya karena saking ramainya pembeli. Makan saja ya yang ada, mungkin itu bukan bekas gigitan. Masa iya sih bekas gigitan dimasukin dan dijual," sahut Rusdi.

Gina yang menatap ayam itu, mengangguk lalu memakan ayam goreng itu dengan lahap.

Ratri tersenyum melihat putri semata wayangnya itu begitu menikmati makanan itu. Sudah beberapa hari ini, Rusdi selalu membelikan Gina makanan enak, setiap sehabis kerja.

Ia berpikir, mungkin Rusdi menggunakan sebagian jatah transportnya atau uang tips untuk membeli makanan itu, demi membahagiakan putrinya.

Melihat itu, Ratri bersyukur, walau pun ia hanya bisa makan seadanya, tapi baginya, melihat perhatian Rusdi terhadap putrinya, tentu menjadi kebahagiannya tersendiri.

"Mas ... Apakah gaji kamu sudah cair hari ini? Aku belum bayar listrik dan air. Sebentar lagi Gina juga akan ma‐suk sekolah TK," ujar Ratri.

Rusdi tersenyum, seraya mengeluarkan sebuah amplop coklat dan menyerahkannya kepada Ratri.

"Ini gaji aku sudah cair, kamu cukup-cukupin, ya! Di dalamnya ada satu juta lima ratus. Aku minta sedikit buat biaya transportasi untuk sebulan pergi kerja, ya!" seru Rusdi.

Ratri mengangguk, kemudian ia menyerahkan lima ratus ribu kepada Rusdi. Kini uang di tangan Ratri tersisa satu juta lagi.

"Mungkin bulan ini aku harus lebih hemat. Yang penting kebutuhan sekolah Gina tercukupi," batin Ratri.

"Kenapa?" tanya Rusdi membuyarkan lamunan Ratri.

"Eh nggak apa-apa, aku simpan dulu uangnya." Ratri masuk ke dalam kamar.

Ini adalah tahun ke lima pernikahan Ratri dan Rusdi. Namun sayangnya, selama pernikahan mereka, Rusdi hanya mampu menafkahi Ratri satu juta perbulan, itu juga kadang tidak utuh. 

Ratri harus membaginya dengan ibu mertuanya. Namun beruntung, mereka tak perlu mengontrak rumah. Mereka menempati rumah peninggalan orang tua Ratri yang telah meninggal.

Setelah Gina menghabiskan makanannya dan terlelap tidur di kamarnya. Ratri berpindah ke kamarnya. Ratri melewati ruang keluarga di mana Rusdi tampak asyik menyaksikan acara televisi seorang diri.

Ratri merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit yang sudah bolong termakan usia.

"Rat, kamu belum tidur?" tanya Rusdi yang baru saja masuk ke dalam kamar.

Ratri menoleh kemudian menggeleng, "Belum, Mas ...."

Rusdi berbaring di sebelah Ratri, kemudian sama-sama menatap langit-langit.

"Tadi ibu telepon, katanya butuh uang. Em ... Apa kamu tidak apa-apa, kalau aku minta sedikit uang dari kamu untuk ibuku?" tanya Rusdi.

Ratri menghela nafas, kemudian mengangguk, "Ya, tidak apa-apa."

Jika harus jujur, Ratri keberatan jika harus membagi lagi uang itu. Bukan karena tak ikhlas berbagi dengan mertua. 

Hanya saja, uang pemberian Rusdi jauh dari kata cukup untuk biaya sehari-hari, ditambah Gina akan masuk sekolah TK.

Ratri beranjak, kemudian mengambil dompet miliknya di dalam lemari.

"Ini, Mas!" Ratri menyerahkan uang sebesar tiga ratus ribu kepada Rusdi, untuk diserahkan kepada ibunya.

Rusdi tersenyum kemudian menerimanya. Setelah menyimpan uang itu, Rusdi menepuk bantal di sebelahnya,menyuruh Ratri untuk tidur di sampingnya.

"Aku akan kasih uang ini ke ibu besok lewat mini ATM," ujar Rusdi yang disambut anggukan kepala Ratri.

Setelah berkata demikian, Rusdi tiba-tiba terdiam sebentar menatap wajah Ratri.

"Kok sekarang kamu agak hitam dan jerawatan, ya!" celetuk Rusdi ketika tangannya menyentuh wajah Ratri.

"Ah nggak apa-apa, sudah lama aku nggak pakai make up, jadi kelihatan kusam dan jerawatan," sahut Ratri sam‐bil memalingkan wajahnya.

"Harusnya kamu bisa rawat wajah kamu, Rat. Biar kata, suami kamu hanya seorang office boy, tapi aku mau kamu tetap terlihat cantik," ujar Rusdi.

Mendengar perkataan Rusdi barusan, sebenarnya banyak unek-unek yang ingin Ratri lontarkan. Namun, Ratri berusaha menahannya demi menjaga perasaan suaminya.

Tak berselang lama, terdengar suara dengkuran dari mulut Rusdi.

Esoknya, Ratri bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan bekal untuk Rusdi dan Gina.

Namun, karena uang yang terbatas, keduanya hanya bisa makan lauk seadanya.

Bahkan, setelah mengantar Gina, Ratri hanya makan nasi dengan taburan bubuk cabai dan garam.

Semuanya Ratri lakukan demi menghemat keburuhan keluarganya selama beberapa hari kedepan.

"Bu, hari ini aku ulang tahun loh! Boleh kan aku minta dibelikan makan yang enak sama ayah?"

Sepulang sekolah, Gina dengan wajah semringah berkata pada Ratri.

Sebagai ibu, tentu saja Ratri ingin sekali mengabulkan permintaan anaknya.

Sambil mengangguk dan mengelus kepala putrinya, Ratri berucap, "Tentu, Nak. Nanti Ibu bilang sama ayah."

Malamnya, Gina tengah sibuk menyibak gorden, menunggu ayahnya pulang. Ratri yang melihat tingkah laku putrinya itu, hanya tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala.

"Bu, kok ayah belum pulang juga, ya! Apa ayah lupa ya kalau hari ini ulang tahun aku?" tanya Gina dengan raut wajah yang terlihat gelisah.

Ratri mendekat, mengusap rambut ikal Gina, berusaha menenangkannya.

"Sabar, ayah pasti pulang. Tidak mungkin ayah lupa sama hari ulang tahun kamu, Nak. Mungkin ayah sedang ter‐jebak macet di jalan. Jadi pulangnya sedikit terlambat," jawab Ratri memberi pengertian.

Gina masih merengut, ia terus saja menatap gelisah ke arah halaman rumahnya, dari celah gorden yang terusdisingkapnya sedari tadi.

Beberapa kali Ratri melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 20.20, Rusdi belum kunjung pulang.

"Gina kalau ngantuk, tidur saja dulu, Nak. Nanti kalau ayah pulang, Ibu bangunin, ya!" seru Ratri.

Gina menggeleng, ia enggan untuk sekedar beranjak dari tempatnya berdiam diri.

Tak berselang lama, terdengar suara motor dari depan rumah. Membuat Gina berjingkrak kesenangan ketikamelihat ayahnya pulang, dari balik gorden.

"Ye ... Akhirnya ayah pulang, Bu. Asyik, pasti ayah beliin aku makanan enak. Aku sudah nggak sabar, aku lapar." Gina loncat-loncat saking senangnya.

Ceklek!

Pintu pun terbuka, terlihat Rusdi menenteng sebuah kresek berwarna putih.

"Sayang, ini makanannya. Semoga kamu suka, ya! Selamat ulang tahun ...." imbuh Rusdi memberikan kantong kresek itu kepada Gina.

"Mas, apa kamu terjebak macet? Tumben pulangnya telat?" tanya Ratri.

"Iya, tadi macet parah, jadi telat deh pulangnya. Maaf, ya!" ucap Rusdi.

Ratri mengangguk, kemudian Rusdi gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ratri hendak ke kamar, untuk mengambilkan baju ganti. Namun, langkahnya terhenti ketika ponsel Rusdi yang ia tinggalkan di atas meja, berdering.

"Siapa yang nelepon?" gumam Ratri.

"Tiana? Siapa dia?" gumam Ratri ketika melihat layar ponsel itu.

Ratri meraih ponsel Rusdi, hendak mengangkat panggilan telepon itu. Akan tetapi panggilan telepon itu berhentisebelum Ratri sempat mengangkatnya.

Ratri menggedikkan bahu, kemudian hendak menyimpan kembali ponsel itu ke tempat semula.

Ting ....

Belum sampai ponsel itu Ratri letakkan, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel Rusdi.

"Mas, kenapa kamu cepat pulang. Padahal ulang ...."

Ehem!

Ratri terjingkat, ketika Rusdi tengah berdiri di belakangnya.

"Ngapain kamu buka-buka ponselku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status