"Ayah pulang ...."
"Ye ... Ayah pulang, pasti bawa makanan enak lagi." Teriakkan Gina, anak perempuan yang baru berusia 4 tahun itu begitu menggema di sebuah rumah kecil. Ia berhambur mengambil bungkusan makanan dari tangan ayahnya. Rusdi, sang ayah yang baru pulang bekerja sebagai office boy itu, langsung masuk ke dalam rumah, disambuthangat oleh istrinya yang bernama Ratri. "Wah ayam goreng, tapi kok ada bekas gigitan," ujar Gina, yang baru saja membuka bungkusan makanan itu. "Masa sih, Nak? Sini coba ibu lihat!" Ratri melihat ayam goreng tersebut. "Loh iya, kok ada bekas gigitan, Mas," imbuh Ratri. "Em ... Mungkin penjual ayam goreng itu salah memasukan ayamnya karena saking ramainya pembeli. Makan saja ya yang ada, mungkin itu bukan bekas gigitan. Masa iya sih bekas gigitan dimasukin dan dijual," sahut Rusdi. Gina yang menatap ayam itu, mengangguk lalu memakan ayam goreng itu dengan lahap. Ratri tersenyum melihat putri semata wayangnya itu begitu menikmati makanan itu. Sudah beberapa hari ini, Rusdi selalu membelikan Gina makanan enak, setiap sehabis kerja.Ia berpikir, mungkin Rusdi menggunakan sebagian jatah transportnya atau uang tips untuk membeli makanan itu, demi membahagiakan putrinya.
Melihat itu, Ratri bersyukur, walau pun ia hanya bisa makan seadanya, tapi baginya, melihat perhatian Rusdi terhadap putrinya, tentu menjadi kebahagiannya tersendiri.
"Mas ... Apakah gaji kamu sudah cair hari ini? Aku belum bayar listrik dan air. Sebentar lagi Gina juga akan ma‐suk sekolah TK," ujar Ratri. Rusdi tersenyum, seraya mengeluarkan sebuah amplop coklat dan menyerahkannya kepada Ratri. "Ini gaji aku sudah cair, kamu cukup-cukupin, ya! Di dalamnya ada satu juta lima ratus. Aku minta sedikit buat biaya transportasi untuk sebulan pergi kerja, ya!" seru Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian ia menyerahkan lima ratus ribu kepada Rusdi. Kini uang di tangan Ratri tersisa satu juta lagi. "Mungkin bulan ini aku harus lebih hemat. Yang penting kebutuhan sekolah Gina tercukupi," batin Ratri. "Kenapa?" tanya Rusdi membuyarkan lamunan Ratri. "Eh nggak apa-apa, aku simpan dulu uangnya." Ratri masuk ke dalam kamar. Ini adalah tahun ke lima pernikahan Ratri dan Rusdi. Namun sayangnya, selama pernikahan mereka, Rusdi hanya mampu menafkahi Ratri satu juta perbulan, itu juga kadang tidak utuh. Ratri harus membaginya dengan ibu mertuanya. Namun beruntung, mereka tak perlu mengontrak rumah. Mereka menempati rumah peninggalan orang tua Ratri yang telah meninggal. Setelah Gina menghabiskan makanannya dan terlelap tidur di kamarnya. Ratri berpindah ke kamarnya. Ratri melewati ruang keluarga di mana Rusdi tampak asyik menyaksikan acara televisi seorang diri. Ratri merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit yang sudah bolong termakan usia. "Rat, kamu belum tidur?" tanya Rusdi yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ratri menoleh kemudian menggeleng, "Belum, Mas ...." Rusdi berbaring di sebelah Ratri, kemudian sama-sama menatap langit-langit. "Tadi ibu telepon, katanya butuh uang. Em ... Apa kamu tidak apa-apa, kalau aku minta sedikit uang dari kamu untuk ibuku?" tanya Rusdi. Ratri menghela nafas, kemudian mengangguk, "Ya, tidak apa-apa." Jika harus jujur, Ratri keberatan jika harus membagi lagi uang itu. Bukan karena tak ikhlas berbagi dengan mertua. Hanya saja, uang pemberian Rusdi jauh dari kata cukup untuk biaya sehari-hari, ditambah Gina akan masuk sekolah TK. Ratri beranjak, kemudian mengambil dompet miliknya di dalam lemari. "Ini, Mas!" Ratri menyerahkan uang sebesar tiga ratus ribu kepada Rusdi, untuk diserahkan kepada ibunya. Rusdi tersenyum kemudian menerimanya. Setelah menyimpan uang itu, Rusdi menepuk bantal di sebelahnya,menyuruh Ratri untuk tidur di sampingnya. "Aku akan kasih uang ini ke ibu besok lewat mini ATM," ujar Rusdi yang disambut anggukan kepala Ratri. Setelah berkata demikian, Rusdi tiba-tiba terdiam sebentar menatap wajah Ratri. "Kok sekarang kamu agak hitam dan jerawatan, ya!" celetuk Rusdi ketika tangannya menyentuh wajah Ratri. "Ah nggak apa-apa, sudah lama aku nggak pakai make up, jadi kelihatan kusam dan jerawatan," sahut Ratri sam‐bil memalingkan wajahnya. "Harusnya kamu bisa rawat wajah kamu, Rat. Biar kata, suami kamu hanya seorang office boy, tapi aku mau kamu tetap terlihat cantik," ujar Rusdi. Mendengar perkataan Rusdi barusan, sebenarnya banyak unek-unek yang ingin Ratri lontarkan. Namun, Ratri berusaha menahannya demi menjaga perasaan suaminya. Tak berselang lama, terdengar suara dengkuran dari mulut Rusdi. Esoknya, Ratri bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan bekal untuk Rusdi dan Gina. Namun, karena uang yang terbatas, keduanya hanya bisa makan lauk seadanya. Bahkan, setelah mengantar Gina, Ratri hanya makan nasi dengan taburan bubuk cabai dan garam. Semuanya Ratri lakukan demi menghemat keburuhan keluarganya selama beberapa hari kedepan. "Bu, hari ini aku ulang tahun loh! Boleh kan aku minta dibelikan makan yang enak sama ayah?" Sepulang sekolah, Gina dengan wajah semringah berkata pada Ratri. Sebagai ibu, tentu saja Ratri ingin sekali mengabulkan permintaan anaknya. Sambil mengangguk dan mengelus kepala putrinya, Ratri berucap, "Tentu, Nak. Nanti Ibu bilang sama ayah." Malamnya, Gina tengah sibuk menyibak gorden, menunggu ayahnya pulang. Ratri yang melihat tingkah laku putrinya itu, hanya tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala. "Bu, kok ayah belum pulang juga, ya! Apa ayah lupa ya kalau hari ini ulang tahun aku?" tanya Gina dengan raut wajah yang terlihat gelisah. Ratri mendekat, mengusap rambut ikal Gina, berusaha menenangkannya. "Sabar, ayah pasti pulang. Tidak mungkin ayah lupa sama hari ulang tahun kamu, Nak. Mungkin ayah sedang ter‐jebak macet di jalan. Jadi pulangnya sedikit terlambat," jawab Ratri memberi pengertian. Gina masih merengut, ia terus saja menatap gelisah ke arah halaman rumahnya, dari celah gorden yang terusdisingkapnya sedari tadi. Beberapa kali Ratri melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 20.20, Rusdi belum kunjung pulang. "Gina kalau ngantuk, tidur saja dulu, Nak. Nanti kalau ayah pulang, Ibu bangunin, ya!" seru Ratri. Gina menggeleng, ia enggan untuk sekedar beranjak dari tempatnya berdiam diri. Tak berselang lama, terdengar suara motor dari depan rumah. Membuat Gina berjingkrak kesenangan ketikamelihat ayahnya pulang, dari balik gorden. "Ye ... Akhirnya ayah pulang, Bu. Asyik, pasti ayah beliin aku makanan enak. Aku sudah nggak sabar, aku lapar." Gina loncat-loncat saking senangnya. Ceklek! Pintu pun terbuka, terlihat Rusdi menenteng sebuah kresek berwarna putih. "Sayang, ini makanannya. Semoga kamu suka, ya! Selamat ulang tahun ...." imbuh Rusdi memberikan kantong kresek itu kepada Gina. "Mas, apa kamu terjebak macet? Tumben pulangnya telat?" tanya Ratri. "Iya, tadi macet parah, jadi telat deh pulangnya. Maaf, ya!" ucap Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian Rusdi gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ratri hendak ke kamar, untuk mengambilkan baju ganti. Namun, langkahnya terhenti ketika ponsel Rusdi yang ia tinggalkan di atas meja, berdering. "Siapa yang nelepon?" gumam Ratri. "Tiana? Siapa dia?" gumam Ratri ketika melihat layar ponsel itu. Ratri meraih ponsel Rusdi, hendak mengangkat panggilan telepon itu. Akan tetapi panggilan telepon itu berhentisebelum Ratri sempat mengangkatnya. Ratri menggedikkan bahu, kemudian hendak menyimpan kembali ponsel itu ke tempat semula. Ting .... Belum sampai ponsel itu Ratri letakkan, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel Rusdi. "Mas, kenapa kamu cepat pulang. Padahal ulang ...." Ehem! Ratri terjingkat, ketika Rusdi tengah berdiri di belakangnya. "Ngapain kamu buka-buka ponselku?""Ngapain kamu buka-buka ponselku?" tanya Rusdi."Em ... Nggak apa-apa, tadi ada yang telepon. Cuma nggak sempat aku angkat, teleponnya sudah mati," jawab Ratri.Rusdi mengambil ponselnya dari tangan Ratri, dan hendak pergi ke dalam kamar. "Tiana itu siapa, Mas?" Tiba-tiba Ratri bertanya seperti itu, karena penasaran."Bukan siapa-siapa, hanya teman kerjaku," jawab Rusdi yang langsung menutup pintu kamar.Ratri terdiam, kemudian ia mendekati Gina."Kok belum dibuka makanannya, Sayang. Katanya lapar?" tanya Ratri.Gina menggeleng, "Sudah, Bu ... Tapi kok ada sambalnya. Gina kan takut pedas, Bu. Apa ayah lupa?" sahut Gina.Ratri mengernyit, ia meraih bungkusan makanan itu dari tangan Gina. "Sini, Ibu lihat!" seru Ratri.Setelah bungkusan makanan itu dibuka, Ratri merasa heran. Makanan berupa sate yang sudah tercampur sambal. Ada beberapa tusuk sate, yang separuh dagingnya sudah tidak utuh."Kenapa begini, ya?" gumam Ratri.Tak ingin berpikiran buruk tentang suaminya. Kini Ratri berusaha
Dengan cepat Ratri menoleh ke arah lain. Ia tak menyangka apa yang dilihatnya akan membuatnya syok."Sayang, perut Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa ya, kita pulang! Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi makan enak," imbuh Ratri, dengan cepat ia menuntun anaknya keluar dari cafe.Sementara di dalam cafe, Rara tampak kebingungan ketika menoleh ke belakang. "Loh, Ratri mana, ya?" gumam Rara."Cari siapa, Sayang? Ayo sini duduk, kita makan siang sekarang!" seru Dito, suami dari Rara.Dengan wajah bingung, Rara segera menjawab, "Aku lagi nyari teman aku dan anaknya. Tadi aku ajak mereka kensini, untuk makan siang bareng. Tapi kok sekarang nggak ada, ya!" sahut Rara."Mungkin teman kamu sedang ke toilet," ujar Dito.Rara menggedikkan bahu, kemudian duduk bergabung di meja bersama suami dan rekan kerjanya.Ting ....Rara mendapat pesan masuk ketika ia selesai memesan makanan."Maaf, Ra ... Tiba-tiba perut aku sakit. Lain kali saja kita makan barengnya, Ra. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ratri
"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya."Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni."Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya."Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar."Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdiyang bernama Lulu.Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-liha
Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni."Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi."Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting."Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi."Halo, Mas!" sapa Ratri."Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi."Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya."Oh ... Ini, Rat, a
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
Gina kemudian mematikan teleponnya, lalu menyelesaikan aktivitas mencuci piringnya."Ayok kita pulang, Sayang. Em ... Lena, terima kasih, ya. Kamu sudah repot-repot masak banyak buat kami," ucap Rusdi.Lena tersenyum sambil mengangguk kecil."Tak apa, Mas. Aku senang kita bisa makan bersama seperti ini," sahut tante Lena.Rusdi dan Gina pun berpamitan pulang. Sampai di rumah, Gina masuk ke dalam kamar. Ia terdiam, teringat akan percakapan Cherly dengan seorang lelaki di sambungan telepon tadi."Kok aku kayak nggak asing dengan suara itu, siapa kira-kira lelaki yang bersama Cherly tadi?" Dalam hati, Gina bertanya-tanya.Malam semakin larut, Gina pun memutuskan untuk istirahat. Ia berusaha membuang jauh pikiran buruk tentang Cherly. Toh yang ia tahu, Cherly adalah saudarinya yang baik. Tidak mungkin Cherly berbuat yang tidak-tidak. Itulah yang Gina lakukan, berpikir positif walau pun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih bertanya-tanya.Keesokan harinya, Gina yang telah samp
"Gina!" Wanita yang sudah tidak muda itu pun tak kalah terkejutnya saat melihat Gina."Ayah, apakah benar Tante Lena ini calon istri Ayah?" tanya Gina.Rusdi mengernyitkan dahinya, ia kemudian mengangguk membenarkan."Jadi, kamu sudah kenal dengan Tante Lena?" tanya Rusdi, yang disambut oleh anggukan kepala Gina."Tante Lena ini tantenya Tessa teman aku di kampus dan pemilik kedai bakso. Kebetulan aku dan Cherly juga sering jajan di sana," jawab Gina.Semua serba kebetulan, mungkin ini yang disebut dengan takdir. Tak menyangka jika Rusdi hendak menikah dengan wanita yang Gina kenal."Ya Tuhan, kok bisa kebetulan gini, ya. Tapi tidak apa-apa, Tante sangat bahagia setelah mengetahui ternyata kamu anaknya Mas Rusdi. Sebentar lagi kamu akan menjadi anakku, kamu anak baik dan Tante sangat menyukai kamu, Sayang. Sebaiknya kita ngobrol di dalam saja. Ayok, Mas, Gina, silahkan masuk!" seru tante Lena.Rusdi dan Gina pun masuk, dan dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu."Aku mau tahu dan sang
David menghentikan tawanya, ia melirik ke sana kemari, saat orang-orang di perpustakaan itu serempak melihat ke arahnya."Ini, coba baca buku ini. Lucu sekali," jawab David, ia memperlihatkan isi buku yang baru saja ia baca.Gina tersenyum garing, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Entah di mana letak lucunya. Namun, terlihat David begitu terhibur dengan isi buku itu."Lucu, ya?" tanya Gina.David mengangguk, ia kemudian melanjutkan bacaannya."Sst ... Sst, Gina!" Dari ambang pintu, kepala Cherly terlihat menyembul dan melambaikan tangan, menyuruh Gina mendekatinya.Gina yang melihat itu, segera bangkit berdiri kemudian mendekati Cherly."Iya, kenapa, Cher?" tanya Gina."Kamu yang kenapa? Apa kamu nggak sadar, orang yang ada di hadapan kamu itu si David, monster kampus ini. Apa kamu nggak takut dikerjain lagi sama orang itu?" tanya Cherly tak habis pikir.Gina menoleh ke arah David yang masih sibuk membaca buku. Dengan segera, Gina menarik tangan Cherly dan mengajaknya bicara di
Gina menuruti permintaan Rusdi, ia duduk di sebelah Rusdi setelah menyalami semua yang ada di ruang tamu.Penampilan Rusdi sedikit berbeda dari sebelumnya. Yang semula rambutnya sebagian telah berwarna putih, kini seluruhnya telah berganti warna menjadi hitam. Sehingga tampak terlihat muda dari sebelumnya."Sayang, kamu habis ke mana dulu? Kok baru pulang?" tanya Saga."Aku mampir dulu di kostan Cherly, Yah!" jawab Gina.Ratri menatap wajah Ratri yang terlihat sedikit berbeda."Kamu kenapa, Nak? Kok wajah kamu terlihat sembab?" tanya Ratri, yang disambut oleh gelengan kepala Gina."Aku tidak apa-apa, Bu. Aku hanya lelah saja, hari ini kan hari pertama aku kembali masuk kuliah. Aku jadi belum terbiasa lagi menjalani aktivitas di kampus. Makanya aku mampir dulu di kostan Cherly, untuk mengusir rasa lelahku," dalih Gina.Ratri mengangguk, walau pun perasaannya sebagai seorang ibu, tahu jika putrinya seperti sedang ada masalah. Namun, ia tak ingin memaksakan bertanya, ia takut jika memaks
Gina menerima tisu itu, kemudian menyeka air matanya."Terima kas ...." Gina menghentikan ucapannya, saat ia melihat seseorang yang baru saja menyodorkan tisu kepadanya."Kamu!" gumam Gina, ia menatap orang itu tanpa kedip."Hapus air mata kamu, jangan sampai kamu menjadi pusat perhatian orang-orang di tempat ini," ujar David.Gina mengedarkan pandangan ke berbagai arah. Tampak beberapa orang tengah memperhatikannya yang sedang terisak menangis."Aku antar kamu pulang! Tunjukkan alamat rumahmu di mana," ujar David.Gina membuang muka, ia merasa was-was jika bertemu dengan lelaki ini."Mau apa? Mau bully aku lagi?" tanya Gina.Mata David mendelik ke atas, ia membuang nafas kasar."Di saat-saat seperti ini, bisa-bisanya kamu curiga sama orang yang berniat baik sama kamu," sanggah David.Gina terdiam, ia menatap David begitu tajam."Tidak usah, aku bisa pulang sendiri," tolak Gina, ia kemudian beranjak dan pergi begitu saja meninggalkan David.Gina berjalan kaki menyusuri jalanan di bawa
"Hai, Denis!" seru Gina menyapa Denis setelah ia berada di depan gerbang kampus.Denis menoleh sambil tersenyum kecil. Ia kemudian menyerahkan helm kepada Gina, dan menyuruhnya untuk menaiki motornya."Kita bicaranya di taman saja," ujar Denis, yang langsung disambut oleh anggukan kepala Gina.Gina menaiki motor Denis, bergegas Denis pun menghidupkan dan mengendarai motor itu menuju taman kota.Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan sama sekali di antara mereka. Denis yang tengah fokus mengendarai motor, sementara Gina fokus menatap jalanan sekitar, hiruk pikuk dan bisingnya keadaan jalanan itu."Bagaimana keadaan mama kamu, aku kangen sama mama kamu," ujar Gina akhirnya lebih dulu membuka obrolan di antara mereka."Baik, keadaan mama aku baik dan sehat. Hanya saja harus siap obat untuk jaga-jaga di waktu darurat," sahut Denis.Gina tersenyum, ingin sekali ia menemui tante Rima. Sudah pasti wanita paruh baya itu akan sangat senang jika Gina datang menemuinya.Sesampainya di taman ko
"Perut aku sakit, aku mau ke toilet dulu, ya. Kalian berdua makan saja, nanti aku balik lagi ke sini," pamit Gina, ia memegangi perutnya yang terasa sakit."Iya cepat sana, jangan lama-lama," sahut Cherly.Gina mengangguk, kemudian berlari menuju toilet. Setelah menuntaskan urusannya di toilet, bergegas Gina keluar. Saat ia berjalan hendak kembali ke kantin, tak sengaja Gina melihat Denis yang baru saja keluar dari toilet pria.Gina tersenyum, kemudian ia hendak menghampiri lelaki itu. Namun, langkahnya terhenti saat David memanggil Denis.Karena jarak yang cukup jauh, dan suara riuh mahasiswa lain, membuat Gina tidak bisa mendengar percakapan di antara Denis dan David. Namun, dari ekspresi keduanya, tampak mereka bersitegang seperti tengah bertengkar. Tampak David menunjuk-nunjuk wajah Denis dengan jari telunjuknya.Merasa penasaran, Gina mencoba berjalan mendekat. Ia berdiri di balik tembok yang tak jauh dari tempat mereka berdiri."Ingat ya, kamu tidak usah sok jagoan. Kita tidak a
Sayangnya, lagi dan lagi nomor asing itu langsung mati saat Gina membalas. Pesan Gina tidak terkirim dan hanya centang satu abu-abu.Gina menggerutu kesal, ia kembali mengedarkan pandangan ke seluruh arah. Mencari seseorang yang mencurigakan. Namun, ia tak menemukan orang-orang yang terlihat mencurigakan. Semua tampak biasa saja, mereka terlihat tengah melakukan aktivitas biasa.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Gina pun memilih kembali ke rumah. Jika lama-lama di luar, Gina khawatir jika pemilik nomor asing itu, akan berbuat jahat lebih dari waktu itu.Gina menyeberangi jalanan, ia kembali memasuki perumahan tempat tinggalnya.Tin!Gina menoleh ke belakang, ia melihat mobil Saga berhenti di belakang Gina.Gina mengerutkan dahi, bukankah pagi ini ayah sambungnya itu harusnya bekerja?Gina mendekati mobil itu, kemudian membuka pintunya."Kamu ngapain di jalan? Kamu tidak boleh keluar sendiri. Ingat, kita tidak tahu apakah ada orang jahat yang mengintai? Pokoknya Ayah tidak mau, kej
Gina menautkan kedua alisnya, tatkala Denis memanggilnya Cher."Em ... Maaf, Gin. Bukan ke kamu, aku kira kamu Chera sepupu aku. Dari tadi beberapa kali dia nelepon aku terus. Oh iya, ada apa kamu nelepon?" tanya Denis, tanpa Gina sadari, di seberang telepon Denis menahan kegugupannya."Oh sepupu kamu. Ini aku mau kasih tahu kamu, jam tangan kamu tadi jatuh di sini," jawab Gina.Denis merasa lega, ternyata Gina percaya dengan alasan yang dibuatnya. Denis kemudian melihat pergelangan tangannya, ternyata ia baru sadar jika jam tangannya memang sudah tidak ada di tangannya."Ya ampun, iya aku nggak sadar kalau jam aku jatuh. Kalau kamu nggak kasih tahu, mungkin aku akan terus lupa. Terima kasih sudah kasih tahu, nanti aku ambil ke rumah kamu," ucap Denis.Gina tersenyum mengangguk, mendengar suara Denis saja, membuat Gina merasa bahagia."Kok diam, ada yang ingin dibicarakan lagi?" tanya Denis.Gina tersenyum sembari tertunduk. Wajahnya memerah merona, walau pun sudah tentu Denis tidak a