Dengan cepat Ratri menoleh ke arah lain. Ia tak menyangka apa yang dilihatnya akan membuatnya syok.
"Sayang, perut Ibu sakit. Jadi, nggak apa-apa ya, kita pulang! Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi makan enak," imbuh Ratri, dengan cepat ia menuntun anaknya keluar dari cafe. Sementara di dalam cafe, Rara tampak kebingungan ketika menoleh ke belakang. "Loh, Ratri mana, ya?" gumam Rara. "Cari siapa, Sayang? Ayo sini duduk, kita makan siang sekarang!" seru Dito, suami dari Rara. Dengan wajah bingung, Rara segera menjawab, "Aku lagi nyari teman aku dan anaknya. Tadi aku ajak mereka kensini, untuk makan siang bareng. Tapi kok sekarang nggak ada, ya!" sahut Rara. "Mungkin teman kamu sedang ke toilet," ujar Dito. Rara menggedikkan bahu, kemudian duduk bergabung di meja bersama suami dan rekan kerjanya. Ting .... Rara mendapat pesan masuk ketika ia selesai memesan makanan. "Maaf, Ra ... Tiba-tiba perut aku sakit. Lain kali saja kita makan barengnya, Ra. Sekali lagi aku minta maaf," ucap Ratri di pesan tersebut. Rara menghela nafas panjang. "Oh iya, Sayang. Ini rekan kerjasama aku di kotanini.nNamanyanPak Rusdi. Pak Rusdi, ini istri saya namanya Rara." Di tempat lain, Ratri dan Gina menyetop mobil angkutan umum, hendak pulang ke rumahnya. Di perjalanan pulang, Ratri terdiam dengan hati yang berkecamuk. "Tidak, mataku tidak salah lihat. Dia memang mas Rusdi. Tapi kenapa dia berpakaian rapi layaknya seorang pegawai kantoran? Lalu sedang apa di di cafe?" batin Ratri. Ratri menatap lurus ke depan. Ingin mengenyahkan pikiran buruk tentang suaminya. Namun, entah kenapa sangat sulit ia lakukan. "Ibu, gang rumahnya sudah kelewat." Gina membuyarkan lamunan Ratri. "Ya ampun, Bang ... Berhenti di sini!" ujar Ratri. Ibu dan anak itu turun dari dalam mobil. Mereka berjalan menuju gang rumahnya, yang sedikit terlewat tadi. "Ibu kok diam saja, apa perutnya masih sakit?" tanya Gina. Ratri tersenyum kecil kemudian mengangguk. "Masih sakit, Nak ... Tapi nggak apa-apa, istirahat sebentar juga pasti akan sembuh," dusta Ratri. Sampai di rumah, Ratri membiarkan Gina bermain masak-masakan menggunakan sendok dan piring plastik di dalam kamarnya. Ratri yang tengah duduk di ruang tengah, ia meraih ponselnya kemudian mencoba menghubungi Rusdi lewat pesan singkat. "Mas, kamu lagi apa sekarang? Kapan pulang, aku sudah kangen sekali sama kamu?" tanya Ratri mencoba mengetes kejujuran suaminya. Lama pesan Ratri belum dibuka, hingga sekitar sepuluh menit kemudian pesan Ratri berubah menjadi centang dua berwarna biru. Terlihat di layar atas, Rusdi tengah mengetikkan balasan pesan Ratri. Ting.... "Aku baru saja makan siang di kantin. Sekarang lagi lanjut kerja lagi. Aku lagi siap-siap mau ngepel lantai dasar," balas Rusdi. Ratri membuang nafas kasar, ia tak menyangka jika suaminya ternyata bisa membohonginya. Ratri tidak membalas pesan Rusdi, melainkan melakukan video call ke nomor Rusdi. Lagi-lagi hal menyakitkan terjadi lagi. Dengan cepat Rusdi menolak panggilan video Ratri. "Kamu sudah mulai berbohong sama aku, Mas! Entah dari sejak kapan kebohongan itu kamu lakukan di belakang aku," gumam Ratri. Kring! Kring!K ring! Seseorang melakukan panggilan ke nomor Ratri. Ia kemudian menatap layar ponsel, yang tertera nama Rara yang sedang melakukan panggilan itu. "Halo, Ra!" sapa Ratri ketika panggilan itu ia terima. "Halo, Rat ... Bagaimana keadaankamu? Apakah perut kamu masih sakit? Maaf, Rat aku nggak nganterin kamu pulang. Kamu keluar dari cafe saja aku nggak tahu," ucap Rara. "Nggak apa-apa, Ra. Sebentar lagi sembuh kalau istirahat. Oh iya, aku mau tanya. Pria yang bersama suami kamu itu siapa, ya? Apakah dia rekan kerjasama suami kamu di kota ini?" tanya Ratri, begitu penasaran tentang status pekerjaan suaminya. "Iya, Ra ... Dia pak Rusdi. Dia rekan kerjasama suami aku di kota ini. Dia salah satu orang penting yang dipercaya menghandle proyek kerjasama ini. Memangnya kenapa, Rat, apa kamu kenal sama dia?" Rara balik bertanya. "Ah nggak, hanya seperti pernah ketemu sekilas saja. Sudah dulu ya, Ra. Aku mau ke kamar kecil dulu!" seru Ratri, ingin mengakhiri obrolannya dengan Rara. "Ya sudah kalau begitu. Sampai jumpa, Rat. Bye!" Ratri memegangi dadanya yang begitu sesak. Sakit sekali apa yang ia alami saat ini. Tanpa terasa, air mata meluncur begitu saja membasahi pipi Ratri. Suami yang sangat ia cintai, yang ia banggakan, ternyata tak lain hanyalah seorang pembohong. "Jika kamu seorang yang penting, tentu gaji kamu pasti akan sangat besar, Mas. Lalu, kenapa kamu hanya memberiku nafkah satu juta, itu juga aku harus membaginya lagi dengan ibu kamu. Kemanakan sisa gaji kamu?" batin Ratri menangis. Ia baru sadar, jika ia telah disiksa secara batin selama ini. "Aku memang bodoh, kenapa aku begitu percaya sama kamu, Mas. Sejak kapan kamu menjadi orang kepercayaan kantor, dan sejak kapan kamu berbohong dan tidak lagi bekerja sebagai office boy. Oke, Mas ... Jika seperti ini yang kamu mau, aku akan ikuti alur yang kamu buat ini. Aku ingin tahu, sampai mana kamu akan membohongiku," gumam Ratri. Ratri kemudian merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Sembari terisak menahan perih di hati. Untuk mengobati lukanya, Ratri membuka aplikasi biru, dan membuka grup dimana orang-orang sering memposting kisah-kisah nyata yang mereka alami, maupun fiksi. Dengan menyamarkan nama, tempat, dan sedikit bumbu fiksi berupa cerbung, Ratri pun menyalurkan cerita apa yang tengah ia alami saat ini. Dengan begitu, perasaan sakit Ratri sedikit berkurang, dan merasa sedikit lega setelah mencurahkan kesakitan ini di grup di aplikasi biru itu. "Huhhh!" Ratri menghembuskan nafas kasar. Kemudian ia mulai memejamkan matanya hingga ia terlelap. Eso kpagi Ratri terbangun dan memeriksa ponselnya. Memastikan apakah Rusdi menghubunginya atau tidak. "Ah ... Ternyata tidak. Aku terlalu berharap," gumam Ratri. Di atas layar ponselnya, terdapat beberapa notifikasi komentar dari aplikasi biru. Sebelum melakukan aktivitasnya, Ratri membuka notifikasi itu terlebih dahulu. "Lanjut!" "Nyesek!" "Kok sakit banget ya bacanya." "Lanjutin dong kak ceritanya seru!" Ratri begitu kaget, ternyata banyak yang menyukai postingannya semalam. Masih banyak komentar lainnya yang meminta Ratri untuk melanjutkan cerita semalam. Selesai membaca komentar-komentar daripembaca di grup itu. Ratri gegas ke kamar mandi, kemudian membersihkan diri bersiap untuk mengantar Gina sekolah lagi. Seminggu kemudian Rusdi belum kunjung pulang ke rumah. Membuat Ratri menunggu dan terus menunggu hingga ia merasa kesal sendiri. Terlebih setiap malam, Gina selalu menanyakan kapan ayahnya pulang. Ratri mencoba menghubungi nomor Rusdi. Namun, kali ini nomornya tidak aktif. Terkahirkali Rusdi menghubunginya sekitar tiga hari yang lalu. "Baiklah kalau begitu, aku akan mencari tahu sendiri. Apa yang disembunyikan oleh kamu, Mas. Apa kamu masih akan berbohong, setelah aku tahu apa yang kamu lakukan padaku?" batin Ratri. Saat Gina sekolah, Ratri terpaksa menitipkannya kepada saudara sepupunya. Ratri tidak akan membawa Gina, saat dirinya akan menyelidiki Rusdi. Pukul delapan,saat jam kantor sudah dimulai. Ratri datang dan berhenti di depan pos satpam, di PT. Angkasa. "Maaf, Pak ... Saya sedang mencari saudara saya. Katanya sih dia kerja di sini. Apa Bapak kenal dengan saudara saya yang ada di foto ini? Kebetulan saya saudara jauhnya dari kampung dan sudah janjian dengannya. Katanya dia mau masukin saya kerja di sini," Ratri bertanya dan menunjukkan foto Rusdi kepada satpam yang berjaga. Satpam itu mengamati foto yang Ratri tunjukkan. "Oh ini, ini sih pak Rusdi. Dia memang bekerja di sini," jawab satpam itu. "Oh berarti benar, ya kalau mas Rusdi ini bekerja sebagai office boy di kantor ini. Wah ... Ck ck ck, hebat ya mas Rusdi. Bisa bekerja di kantor sebesar ini," imbuh Ratri. "Oh bukan, Mbak ... Pak Rusdi itu bukan office boy, tapi manager. Mbak mau bertemu dengan pak Rusdi? Tapi sepertinya sekarang belum bisa. Pak Rusdi sedang ada meeting dengan ceo perusahaan ini. Mbak bisa menemuinya di jam istirahat," sahut satpam itu. Sebenarnya Ratri geram setelah mendengar itu. "Oh ya? Bapak serius? Ternyata mas Rusdi orangnya suka merendah juga. Bilangnya office boy, tapi ternyata manager. Ya sudah kalau begitu nanti saya ke sini lagi menemuinya. Terima kasih ya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Ratri. Setelah mendapatkan informasi akurat. Ratri kemudian kembali ke rumahnya. Namun, ia berencana pada jam pulang kantor, ia akan kembali dan menyelidiki Rusdi lebih lanjut. "Oke, mas. Ini baru permulaan!”"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya."Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni."Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya."Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar."Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdiyang bernama Lulu.Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-liha
Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni."Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi."Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting."Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi."Halo, Mas!" sapa Ratri."Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi."Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya."Oh ... Ini, Rat, a
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keesokan paginya, suasana di kampung yang Gina tinggali saat ini, telah ramai dengan suara-suara orang-orang yang hendak pergi ke ladang.Gina yang telah bangun dari subuh, kini ia tengah membantu nek Sarti memasak di dapur."Setelah sarapan, Nenek mau pergi ke ladang. Mau melanjutkan memanen sayuran. Kamu tidak apa-apa, kan ditinggal sendiri di sini?" tanya nek Sarti. Ia tengah mengipasi nasi yang baru saja diangkat dari dandang.Gina menoleh ke arah nek Sarti, menghentikan aktivitas mengaduk masakannya."Pergi ke ladang? Aku mau ikut, Nek. Boleh?" sahut Gina."Jangan, nanti kamu capek. Biar Nenek saja yang pergi ke sana. Kamu tunggu saja di sini. Nenek tidak akan lama, kok!" tolak nek Sarti.Gina melanjutkan mengaduk masakannya. Wajahnya berubah cemberut saat nek Sarti melarangnya untuk ikut."Jangan cemberut, anak cantik. Ya sudah, kamu boleh ikut Nenek. Tapi, kamu tidak boleh capek-capek. Kamu kan tamu Nenek," ujar nek Sarti, akhirnya mengizinkan.Gina yang sebelumnya cemberut, ki
"Gina, kamu kenapa?" tanya nek Sarti, bingung melihat Gina yang terus menatap wanita yang sedang bersamanya.Gina segera menggelengkan kepalanya. Ia segera bergabung bersama mereka."Ini ibunya Farrel, dia Ayumi." Nek Sarti memperkenalkan wanita itu. Gina pun langsung menyalaminya.Melihat Ayumi, Gina menyimpan pertanyaan yang sangat membuatnya penasaran. Namun, ia merasa tidak enak, takut jika Ayumi akan tersinggung oleh pertanyaannya, jika Gina nekat bertanya."Aku sudah masak yang banyak, sebaiknya kita makan sekarang. Aku akan panggilkan Farrel dulu," ujar Ayumi.Nek Sarti mengangguk, ia pun segera menyiapkan makanan yang telah tersimpan di atas meja.Gina masih terus menatap Ayumi sampai ia menghilang di balik pintu."Apakah ada yang aneh dengan Ayumi?" tanya nek Sarti, membuat Gina menggelengkan kepalanya cepat."Ah nggak ada yang aneh kok, Nek. Hanya saja ... Aku seperti pernah melihatnya. Tapi mungkin, hanya mirip saja kali, ya dengan wanita yang pernah aku lihat. Oh iya, apak
Gina terbangun mendengar seseorang berbicara dengan begitu nyaring."Huam!" Gina menggeliatkan tubuhnya sambil terus menguap. Namun, saat matanya terbuka lebar, ia terkejut saat melihat orang yang baru saja membangunkannya."Ka-kamu!" Gina terbelalak saat melihat pria yang tak sengaja ia temui tadi di bangunan kosong."Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu bisa naik ke mobil ini?" tanya pria itu.Gina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum getir menatap pria itu."Maaf, aku terpaksa naik dan bersembunyi di mobil ini. Aku dikejar sama preman. Tidak ada pilihan lain jadi aku nekat sembunyi di sini," jawab Gina."Oh ... Jadi kamu pacarnya preman tadi? Tahu begini aku bilang saja kamu ada di mobil ini," celetuk pria itu.Gina membelalakkan matanya, ia kesal terhadap pria itu."Amit-amit, siapa juga yang mau jadi pacar dia. Kenal juga nggak! Oh iya, ini sekarang aku ada di mana?" tanya Gina.Pria itu mengangkat sebelah alisnya, hingga temannya yang pemilik mobil menghampiri."Lo
"Jangan menangis, Nona. Atau kamu akan mengundang orang jahat yang selalu berkeliaran di sini," ujar seorang pria, yang baru saja bangun dari tidurnya.Gina masih beringsut mundur menjauhi pria itu.Melihat ekspresi dan sikap Gina, membuat pria itu terkekeh dan terus menatap Gina."Jangan mendekat, atau aku teriak dan kamu akan tahu akibatnya," ancam Gina.Pria itu semakin terkekeh mendengar ancaman Gina."Lah, memangnya saya mau ngapain kamu? Hei, jangan GeEr, kamu! Siapa kamu, kepedean sekali saya mau berbuat macam-macam sama kamu," cetus pria itu.Gina terdiam, sambil mengawasi gerak-gerik pria itu."Sepertinya kamu habis menikah, kok bisa, ada seorang pengantin ada di tempat seperti ini? Oh ... Aku tahu jangan-jangan-""Diam, kamu! Bukan urusan kamu juga!" potong Gina, ia membuang muka."Oh, ok!"Pria itu kemudian mendekati Gina dan menatapnya dengan lekat. Membuat Gina kembali menjauh."Mau apa, kamu dekat-dekat? Jangan sampai aku teriak, ya! Kamu akan tahu akibatnya," ujar Gina.
"Mbak-mbak, bangun! Ini sudah sampai," ujar bapak-bapak kondektur.Gina terbangun dari tidurnya, ia kemudian bangkit dari kursi penumpang.Ternyata semua kursi penumpang telah kosong. Tampaknya hanya Gina penumpang yang terakhir saat itu.Gina turun dari bus tersebut, ia menatap sekeliling tempat itu yang tampak sangat asing, tempat yang tidak pernah ia kunjungi sama sekali sebelumnya."Aduh, perut aku lapar. Aku lupa kalau aku belum makan dari tadi," gumam Gina, sambil memegangi perutnya.Gina mengedarkan pandangan, mencari penjual makanan di tempat itu. Gina menemukan sebuah warteg di tempat itu. Bergegas Gina segera menghampiri sebuah warteg yang berada di pinggir jalan."Bu, aku pesan nasi ayam satu," ujar Gina, setelah ia masuk ke dalam warteg tersebut.Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Gina telah siap. Lantas Gina segera menyantapnya dengan sangat lahap.Suasana di tempat itu begitu ramai dan membuat Gina merasa gerah. Lantas Gina membuka jaket yang sedari tadi ia pakai.
Gina mematung dengan perasaan was-was, takut jika oma Wulan mengenalinya, lalu marah dan memaksanya untuk masuk kembali ke dalam hotel. Gina tidak bisa membayangkan, jika pernikahan ini terjadi. Mungkin, pernikahan ini akan menjadi neraka baginya, karena didasari oleh kebohongan yang dilakukan oleh David.Gina tidak berani menoleh ke belakang. Ia terdiam bagaikan patung, tidak bergerak sama sekali.Oma Wulan kemudian berjalan dan berdiri di hadapan Gina."Uangnya jatuh, tadi saya melihat uang kamu nongol dan jatuh dari saku jaket. Lain kali, kamu hati-hati, ya kalau nyimpan uang," imbuh oma Wulan, kemudian menyerahkan uang pemberian Lena yang tidak sadar terjatuh dari saku jaket yang Gina kenakan.Gina lantas menerimanya, ia merasa lega karena ternyata oma Wulan tidak mencurigainya."Terima kasih, Bu!" ucap Gina, dengan suara yang terdengar serak dan batuk. Sengaja ia lakukan, untuk mengelabuhi oma Wulan.Oma Wulan mengangguk seraya tersenyum. Namun, dari belakang terdengar seseorang
Gina menatap seorang wanita yang berdiri di dekat pintu. Wanita itu tampak mengenakan dress selutut dan jaket, selendang yang menutupi kepalanya, serta kacamata hitam dan masker.Bergegas wanita itu menutup pintu itu rapat. Ia menghampiri Gina yang berada di dekat cermin itu."Siapa, kamu?" tanya Gina, ia menatap wanita itu dari atas hingga ke bawah.Wanita itu lantas membuka kacamata hitam dan maskernya. Menampakkan wajah yang pernah Gina lihat beberapa kali, beberapa waktu yang lalu."Ana, kamu Ana?" tanya Gina, ia terkejut melihat wanita itu berada di dalam kamar yang sama dengan Gina."Ssst ... Iya, aku Ana. Gina, apa kamu yakin mau menikah dengan David?" tanya Ana, ia tampak gelisah saat bertanya kepada Gina.Gina menganggukkan kepalanya pelan."Iya, aku dan David akan menikah hari ini. Memangnya kenapa?" tanya Gina.Ana mengusap perutnya yang belum terlalu membesar. Kemudian menatap Gina dengan tatapan sayu."Lalu, bagaimana dengan anak ini? Sementara ayahnya akan melangsungkan
"Em ... Maaf, Bu Wulan. Apakah pernikahan ini dilakukan atas dasar cinta?" tanya Lena.Oma Wulan menoleh ke arah Lena. Ia mengangkat sebelah alisnya, seakan menuntut jawaban atas pertanyaan Lena barusan."Kenapa kamu nanyanya seperti itu? Gina menerima tanpa ada penekanan. Jadi, saya rasa, kamu tidak perlu bertanya seperti itu," imbuh oma Wulan.Gina menunduk, sekilas ia melirik ke arah Lena. Lena pun sekilas mengamati Gina."Em ... Maaf, Bu Wulan. Maksud istri saya baik. Berharap pernikahan Gina bahagia dengan orang yang dicintainya. Kami, sebagai orang tua Gina juga, mengharapkan kebahagiaan putri kami dalam melakukan apa pun. Apalagi menikah, merupakan ibadah panjang. Kami ingin yang terbaik untuk Gina," timpal Rusdi berusaha menengahi, supaya tidak terjadi kesalahpahaman di antara Lena dan oma Wulan.Rusdi mengusap lengan Lena. Menyuruhnya untuk diam."Oh begitu? Kalian tidak usah khawatir. Saya kenal siapa calon suami Gina dan siapa ibunya. Sebagai Omanya Gina, saya juga berharap
"Gina!" panggil seseorang saat Gina baru saja turun dari dalam mobil, ia hendak masuk ke kampus.Gina menoleh ke belakang, dan mendapati Cherly yang tengah berlari menghampirinya.Dengan nafas tersengal, Cherly kemudian menarik tangan Gina, dan mengajaknya pergi ke taman kampus."Gina, coba jelaskan apakah benar, kamu mau menikah dengan David?" tanya Cherly.Gina terdiam, menatap Cherly yang seakan tengah menginterogasi lewat tatapan matanya yang tajam."Jawab, Gina!" sentak Cherly.Gina mengangguk mengiyakan pertanyaan Cherly. Membuat wanita itu terperangah mengetahui hal itu langsung dari Gina."Tapi kenapa, Gina? Memangnya tidak ada lelaki lain, yang bisa kamu nikahi apa? Kenapa harus David, Gina?" tanya Cherly tak habis pikir.Gina menghela nafas panjang, kemudian menatap Cherly."Ceritanya rumit, Cher. Ini masalah kemanusiaan. Aku tidak bisa menolak perjodohan ini," jawab Gina.Cherly mengernyitkan dahinya, menatap lekat ke arah Gina."Oh, jadi kamu dijodohkan sama keluarga kamu