Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.
Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni.
"Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi.
"Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.
Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.
Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting.
"Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi.
"Halo, Mas!" sapa Ratri.
"Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi.
"Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya.
"Oh ... Ini, Rat, aku cuma mau kasih tahu. Barusan aku ditelepon lagi sama bos aku. Katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi kemungkinan aku bakalan pulang telat. Nggak apa-apa, kan?" tanya Rusdi.
Ratri menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Entah kenapa, feeling Ratri mengatakan, jika Rusdi sedang berbohong. Apakah Ratri harus mempercayainya lagi?
"Halo, Rat ... Kamu masih di situ, kan?" tanya Rusdi.
"Em ... Iya, nggak apa-apa. Tentunya pekerjaan kamu lebih penting kan, dari pada anakku," jawab Ratri.
"Kok ngomongnya gitu, aku ...." Belum sempat Rusdi berbicara lagi, Ratri telah memutuskan teleponnya.
Sampai di pertigaan jalan, Rusdi berbelok ke arah gang dan berhenti di depan rumah yang terbilang cukup besar dari rumah-rumah yang lain, kemudian memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Ratri mengernyit merasa bingung, ia tidak tahu rumah yang dikunjungi Rusdi itu rumah siapa.
Jarak antara kantor ke rumah itu memakan waktu sekitar satu jam lamanya.
"Mas Rusdi kok ke sini? Ini rumah siapa sebenarnya?" gumam Ratri. Ia tak bisa menerka-nerka. Ia hanya bisa memantau Rusdi dari jauh saja sambil bertanya-tanya dalam hati.
"Bang, berhenti di sini. Abang tunggu di sini, ya! Jangan kemana-mana," imbuh Ratri yang disambut anggukan kepala tukang ojek itu.
Rusdi keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan hendak menuju rumah itu. Rasa penasaran Ratri kian membuncah. Namun, ada debaran aneh di setiap detak jantungnya. Debaran yang seperti menyiratkan akan adanya sesuatu yang entah apa itu.
Ratri membuntuti Rusdi yang telah masuk ke dalam pelataran rumah itu. Terlihat, di pelataran rumah yang tidak dipasang pagar itu, Ratri melihat motor Rusdi terparkir rapi di sana. Membuat Ratri yang melihatnya tambah kebingungan. Ada apa sebenarnya? Kenapa motor Rusdi ada di depan rumah itu?
Rusdi hendak berjalan menuju teras rumah itu. Namun tiba-tiba suara langkah kaki berlari terdengar nyaring dari dalam rumah itu.
Ceklek!
Dari dalam rumah, seseorang membukakan pintu lalu menyambut hangat Rusdi yang berdiri di depan pintu.
"Papa ...."
Deg!
Seperti disambar petir disiang bolong, Ratri mendengar ucapan yang begitu menyayat hati. Apa? Papa? Siapa anak itu? Kenapa memanggil Rusdi dengan sebutan papa. Ratri membekap mulutnya sendiri tak percaya.
Anak perempuan yang baru saja memanggil Rusdi papa, memeluk dan bergelantungan di lengan Rusdi. Mungkin jika orang lain yang melihatnya, akan menyangka jika mereka adalah sepasang ayah dan anak.
Belum apa-apa air mata Ratri telah berlinang dan dengan mudahnya terjatuh membasahi pipinya. Berkali-kali Ratri memukulkan tangannya ke pohon yang ada di hadapannya. Membuat buku-buku tangannya berubah menjadi merah dan sedikit mengeluarkan cairan merah.
Ratri masih berdiam diri di tempat semula. Ia berdiri di balik pohon berukuran cukup besar, sambil memandangi Rusdi yang terlihat menggendong ria seorang anak kecil itu. Diperkirakan mungkin anak perempuan itu seumuran Gina.
Kemudian keluar seorang wanita dari dalam rumah itu. Ia berjalan menghampiri Rusdi dan anak kecil itu.
"Mas, sudah pulang? Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang saja, yuk! Aku sudah lapar, nih. Aku dan Cherly belum makan dari tadi. Kami sengaja nungguin kamu pulang. Ngomong-ngomong, kita makannya di cafe ontohod saja, ya!" ujar seorang wanita cantik berambut hitam dan panjang sambil terus tersenyum ke arah Rusdi.
Ratri tidak tahu siapa wanita itu. Tidak ingin menerka-nerka sebelum semuanya jelas. Ratri berniat akan kembali mengikuti mereka sampai Ratri tahu, siapa sebenarnya wanita cantik dan anak perempuan itu. Dan ada hubungan apa mereka dengan Rusdi?
Rusdi mengangguk, kemudian membukakan mobil itu untuk wanita dan anak itu.
Gegas Ratri berlari mendekati tukang ojek tadi. Ia bersembunyi dengan cara memalingkan wajahnya ketika mobil yang dikendarai Rusdi melintas di hadapannya.
"Bang, ikuti lagi mobil itu. Jangan sampai kita kehilangan jejak," ujar Ratri menepuk bahu, menginterupsi tukang ojek itu.
Tukang ojek itu mengangguk, lalu menghidupkan mesin motornya dan berusaha mengikuti mobil itu dengan sangat hati-hati.
Sepanjang jalan, hati Ratri merasakan nyeri, walau pun ia belum tahu jelas kebenarannya. Namun, wanita mana yang tidak curiga melihat suaminya seperti itu.
Terlebih hubungan rumah tangganya dilandasi dengan kebohongan, yang Ratri sendiri baru tahu sekarang.
"Sabar, Ratri, semuanya belum jelas. Sabar ...." Ratri berusaha menghibur dirinya sendiri sepanjang motor yang ditumpanginya melaju.
Sampai di depan cafe yang dituju, mobil yang dikendarai Rusdi berhenti. Mereka bertiga keluar dari dalam mobil itu. Tampak wanita itu bergandengan tangan dengan Rusdi memasuki cafe tersebut dengan anak kecil itu berjalan di depan mereka.
"Abang tunggu saya lagi, ya! Jangan kemana-mana. Saya mau masuk dulu," titah Ratri.
Dengan cepat, Ratri masuk ke dalam cafe tersebut.
Dengan penyamaran menggunakan masker, ia mencari tempat duduk yang tak jauh dari tempat Rusdi dan wanita itu duduk.
"Tega kamu, Mas ... Di rumah, aku hanya makan berlaukan garam dan cabai saja. Sementara kamu, enak-enakan dengan wanita lain makan di cafe." Batin Ratri menggerutu dengan tubuh yang bergetar hebat. Ia menelan salivanya kasar.
"Mas, jadi benar hari ini mau pulang? Padahal aku dan Cherly masih ingin bersama kamu terus." Ratri mendengarkan percakapan mereka sambil berpura-pura memainkan ponselnya supaya mereka tidak curiga. Ia sedang memata-matai Rusdi dan wanita itu dari dekat. Namun, tentu tanpa ketahuan oleh mereka.
"Ya ... mau bagaimana lagi, Sayang? Anak aku nanyain aku terus. Malas sih sebenarnya pulang, tapi ya ... Aku bingung," sahut Rusdi sambil menggedikkan bahu.
Wanita itu tampak menghela nafas kasar.
"Padahal Cherly anak kamu juga loh, Mas. Ya ... walau pun dia hanya anak sambung. Tapi dia lebih membutuhkan kasih sayang kamu dibanding anak kamu itu," ujar wanita itu.
"Hanya kamu pria yang sangat disayangi Cherly. Dia anakmu, anakmu juga, Mas!" lanjut wanita itu menegaskan.
"Ya Tuhan ...." Ratri membekap mulutnya sendiri dengan sebelah tangan.
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
"Mobil siapa, ini?" gumam Ratri, ketika menatap mobil mewah itu.Ratri kemudian berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Ia juga melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Gina, kenapa pintunya kebuka le ...." Ratri tidak meneruskan ucapannya, ketika ia melihat dua orang wanita sedang duduk di sofa ruang tamu. Sementara Gina duduk di lantai sambil menunduk."Ibu!" Gina berhambur memeluk saat Ratri masuk ke dalam rumah."Tiana, Lulu, mau apa kalian ke sini?" tanya Ratri.Tiana dan Lulu bangkit dari duduk mereka."Apa kabar, Ratri? Kedatangan kami ke sini hanya untuk melihat keadaan kalian. Bagaimanapun, kita ini adalah istrinya mas Rusdi, walaupun mas Rusdi lebih nyaman tinggal bersamaku. Em ... Maksud aku kesini baik kok, Rat. Kami ke sini hanya untuk mengirim makanan dan pakaian buat kalian," ujar Tiana.Sementara Lulu, ia menatap sekeliling rumah Ratri. Termasuk melihat penampilan Ratri yang sedikit berbeda."Maaf, Tiana ... Bukan saya menolak rejeki dari kamu. Tapi kami tidak kekurangan m