Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.
Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni.
"Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi.
"Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.
Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.
Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting.
"Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi.
"Halo, Mas!" sapa Ratri.
"Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi.
"Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya.
"Oh ... Ini, Rat, aku cuma mau kasih tahu. Barusan aku ditelepon lagi sama bos aku. Katanya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi kemungkinan aku bakalan pulang telat. Nggak apa-apa, kan?" tanya Rusdi.
Ratri menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Entah kenapa, feeling Ratri mengatakan, jika Rusdi sedang berbohong. Apakah Ratri harus mempercayainya lagi?
"Halo, Rat ... Kamu masih di situ, kan?" tanya Rusdi.
"Em ... Iya, nggak apa-apa. Tentunya pekerjaan kamu lebih penting kan, dari pada anakku," jawab Ratri.
"Kok ngomongnya gitu, aku ...." Belum sempat Rusdi berbicara lagi, Ratri telah memutuskan teleponnya.
Sampai di pertigaan jalan, Rusdi berbelok ke arah gang dan berhenti di depan rumah yang terbilang cukup besar dari rumah-rumah yang lain, kemudian memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Ratri mengernyit merasa bingung, ia tidak tahu rumah yang dikunjungi Rusdi itu rumah siapa.
Jarak antara kantor ke rumah itu memakan waktu sekitar satu jam lamanya.
"Mas Rusdi kok ke sini? Ini rumah siapa sebenarnya?" gumam Ratri. Ia tak bisa menerka-nerka. Ia hanya bisa memantau Rusdi dari jauh saja sambil bertanya-tanya dalam hati.
"Bang, berhenti di sini. Abang tunggu di sini, ya! Jangan kemana-mana," imbuh Ratri yang disambut anggukan kepala tukang ojek itu.
Rusdi keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan hendak menuju rumah itu. Rasa penasaran Ratri kian membuncah. Namun, ada debaran aneh di setiap detak jantungnya. Debaran yang seperti menyiratkan akan adanya sesuatu yang entah apa itu.
Ratri membuntuti Rusdi yang telah masuk ke dalam pelataran rumah itu. Terlihat, di pelataran rumah yang tidak dipasang pagar itu, Ratri melihat motor Rusdi terparkir rapi di sana. Membuat Ratri yang melihatnya tambah kebingungan. Ada apa sebenarnya? Kenapa motor Rusdi ada di depan rumah itu?
Rusdi hendak berjalan menuju teras rumah itu. Namun tiba-tiba suara langkah kaki berlari terdengar nyaring dari dalam rumah itu.
Ceklek!
Dari dalam rumah, seseorang membukakan pintu lalu menyambut hangat Rusdi yang berdiri di depan pintu.
"Papa ...."
Deg!
Seperti disambar petir disiang bolong, Ratri mendengar ucapan yang begitu menyayat hati. Apa? Papa? Siapa anak itu? Kenapa memanggil Rusdi dengan sebutan papa. Ratri membekap mulutnya sendiri tak percaya.
Anak perempuan yang baru saja memanggil Rusdi papa, memeluk dan bergelantungan di lengan Rusdi. Mungkin jika orang lain yang melihatnya, akan menyangka jika mereka adalah sepasang ayah dan anak.
Belum apa-apa air mata Ratri telah berlinang dan dengan mudahnya terjatuh membasahi pipinya. Berkali-kali Ratri memukulkan tangannya ke pohon yang ada di hadapannya. Membuat buku-buku tangannya berubah menjadi merah dan sedikit mengeluarkan cairan merah.
Ratri masih berdiam diri di tempat semula. Ia berdiri di balik pohon berukuran cukup besar, sambil memandangi Rusdi yang terlihat menggendong ria seorang anak kecil itu. Diperkirakan mungkin anak perempuan itu seumuran Gina.
Kemudian keluar seorang wanita dari dalam rumah itu. Ia berjalan menghampiri Rusdi dan anak kecil itu.
"Mas, sudah pulang? Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang saja, yuk! Aku sudah lapar, nih. Aku dan Cherly belum makan dari tadi. Kami sengaja nungguin kamu pulang. Ngomong-ngomong, kita makannya di cafe ontohod saja, ya!" ujar seorang wanita cantik berambut hitam dan panjang sambil terus tersenyum ke arah Rusdi.
Ratri tidak tahu siapa wanita itu. Tidak ingin menerka-nerka sebelum semuanya jelas. Ratri berniat akan kembali mengikuti mereka sampai Ratri tahu, siapa sebenarnya wanita cantik dan anak perempuan itu. Dan ada hubungan apa mereka dengan Rusdi?
Rusdi mengangguk, kemudian membukakan mobil itu untuk wanita dan anak itu.
Gegas Ratri berlari mendekati tukang ojek tadi. Ia bersembunyi dengan cara memalingkan wajahnya ketika mobil yang dikendarai Rusdi melintas di hadapannya.
"Bang, ikuti lagi mobil itu. Jangan sampai kita kehilangan jejak," ujar Ratri menepuk bahu, menginterupsi tukang ojek itu.
Tukang ojek itu mengangguk, lalu menghidupkan mesin motornya dan berusaha mengikuti mobil itu dengan sangat hati-hati.
Sepanjang jalan, hati Ratri merasakan nyeri, walau pun ia belum tahu jelas kebenarannya. Namun, wanita mana yang tidak curiga melihat suaminya seperti itu.
Terlebih hubungan rumah tangganya dilandasi dengan kebohongan, yang Ratri sendiri baru tahu sekarang.
"Sabar, Ratri, semuanya belum jelas. Sabar ...." Ratri berusaha menghibur dirinya sendiri sepanjang motor yang ditumpanginya melaju.
Sampai di depan cafe yang dituju, mobil yang dikendarai Rusdi berhenti. Mereka bertiga keluar dari dalam mobil itu. Tampak wanita itu bergandengan tangan dengan Rusdi memasuki cafe tersebut dengan anak kecil itu berjalan di depan mereka.
"Abang tunggu saya lagi, ya! Jangan kemana-mana. Saya mau masuk dulu," titah Ratri.
Dengan cepat, Ratri masuk ke dalam cafe tersebut.
Dengan penyamaran menggunakan masker, ia mencari tempat duduk yang tak jauh dari tempat Rusdi dan wanita itu duduk.
"Tega kamu, Mas ... Di rumah, aku hanya makan berlaukan garam dan cabai saja. Sementara kamu, enak-enakan dengan wanita lain makan di cafe." Batin Ratri menggerutu dengan tubuh yang bergetar hebat. Ia menelan salivanya kasar.
"Mas, jadi benar hari ini mau pulang? Padahal aku dan Cherly masih ingin bersama kamu terus." Ratri mendengarkan percakapan mereka sambil berpura-pura memainkan ponselnya supaya mereka tidak curiga. Ia sedang memata-matai Rusdi dan wanita itu dari dekat. Namun, tentu tanpa ketahuan oleh mereka.
"Ya ... mau bagaimana lagi, Sayang? Anak aku nanyain aku terus. Malas sih sebenarnya pulang, tapi ya ... Aku bingung," sahut Rusdi sambil menggedikkan bahu.
Wanita itu tampak menghela nafas kasar.
"Padahal Cherly anak kamu juga loh, Mas. Ya ... walau pun dia hanya anak sambung. Tapi dia lebih membutuhkan kasih sayang kamu dibanding anak kamu itu," ujar wanita itu.
"Hanya kamu pria yang sangat disayangi Cherly. Dia anakmu, anakmu juga, Mas!" lanjut wanita itu menegaskan.
"Ya Tuhan ...." Ratri membekap mulutnya sendiri dengan sebelah tangan.
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
"Mobil siapa, ini?" gumam Ratri, ketika menatap mobil mewah itu.Ratri kemudian berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Ia juga melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Gina, kenapa pintunya kebuka le ...." Ratri tidak meneruskan ucapannya, ketika ia melihat dua orang wanita sedang duduk di sofa ruang tamu. Sementara Gina duduk di lantai sambil menunduk."Ibu!" Gina berhambur memeluk saat Ratri masuk ke dalam rumah."Tiana, Lulu, mau apa kalian ke sini?" tanya Ratri.Tiana dan Lulu bangkit dari duduk mereka."Apa kabar, Ratri? Kedatangan kami ke sini hanya untuk melihat keadaan kalian. Bagaimanapun, kita ini adalah istrinya mas Rusdi, walaupun mas Rusdi lebih nyaman tinggal bersamaku. Em ... Maksud aku kesini baik kok, Rat. Kami ke sini hanya untuk mengirim makanan dan pakaian buat kalian," ujar Tiana.Sementara Lulu, ia menatap sekeliling rumah Ratri. Termasuk melihat penampilan Ratri yang sedikit berbeda."Maaf, Tiana ... Bukan saya menolak rejeki dari kamu. Tapi kami tidak kekurangan m
Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu
Semua tampak bingung atas permintaan Romi. Farrel, Gina dan pak Reno saling melempar pandang."Maksud Ayah?" tanya Farrel."Jangan pergi ke mana-mana, cukup kalian di sini dan tunggu sebentar lagi. Kalian pasti akan mengetahui semuanya," jawab Romi.Mereka semakin tidak mengerti dengan segala ucapan yang terlontar dari mulut Romi. Terutama Farrel, wajahnya menunjukkan seakan menuntut penjelasan dari sang ayah."Sebentar lagi kalian akan paham maksud Ayah. Kalian sebaiknya bersembunyi, jangan sampai menampakkan batang hidung kalian saat dia datang. Ayah akan jelaskan semuanya setelah dia pergi. Tapi, Ayah minta salah satu dari kalian, bawakan Ayah air kelapa sebanyak-banyaknya," pinta Romi.Setiap perkataan Romi, begitu banyak menyimpan teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Namun, mereka akan menuruti perkataan Romi, mereka akan menunggu dan bersembunyi."Biar saya saja yang akan memesan air kelapa. Saya akan menyuruh ART saya," imbuh pak Reno, yang kemudian menghubungi ART-nya.Dari
"Loh iya, ya!" sahut Gina, mereka mulai menyusuri arah bau bangkai yang mereka cium.Farrel mengajak Gina untuk pergi ke dapur. Sesampainya di sana, mereka melihat banyaknya makanan berceceran di lantai. Isi kulkas yang menyimpan bahan makanan mentah, semua sudah berada di lantai. Dan ternyata bau bangkai yang tercium berasal dari daging mentah yang telah dikerubuti lalat hijau dan belatung.Sontak membuat mereka berdua membekap hidungnya, tak tahan dengan bau yang sangat tidak enak dan menyengat itu."Farrel, aku mau muntah!" Gina berlari ke arah kamar mandi ART di dekat dapur.Gina menumpahkan semua isi perutnya. Isi perutnya yang terasa diaduk, hingga akhirnya semua sarapan yang ia santap tadi, terkuras habis."Farrel, jangan berlama-lama di sini. Aku takut muntah lagi," ujar Gina, sehingga matanya mengeluarkan banyak air.Farrel mengangguk, mereka menjauh dari dapur. Farrel kemudian mengajak Gina untuk menuju lantai atas, kamar ayahnya.Mereka mulai menaiki anak tangga. Rumah itu
"Loh iya, ya. Kenapa bisa pecah, ya? Mungkin ada orang iseng melempar batu kali, ya!" sahut Farrel, ia pun mengamati jendela itu."Rel, apakah kita langsung masuk saja? Tapi ... Apakah tante Rumiah ada di dalam? Sebaiknya kita harus berhati-hati. Dia sangat jahat, bahkan tidak segan untuk menyakiti orang lain," ujar Gina."Tapi di sana tidak ada mobil sama sekali di garasi, semuanya tidak ada. Apa ayahku dan juga Rumiah lagi keluar, ya? Tapi kok satpam juga tidak kelihatan. Kondisi halaman juga tidak sebersih seperti biasanya," sahut Farrel.Lama mereka berdua berdiam diri sambil mengamati rumah itu. Farrel pun segera mengajak Gina untuk masuk. Ia begitu penasaran dengan kondisi di dalam. Sungguh aneh sekali. Kaca pecah, beberapa mobil yang dimiliki tidak ada satu pun yang terparkir, bahkan satpam penjaga rumah pun tidak ada. Lantas ke mana semua?Farrel mulai membuka pintu gerbang yang ternyata tidak terkunci itu. Membuat mereka senang, karena tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rum