"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.
Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya.
"Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni.
"Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.
Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya.
"Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.
Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar.
"Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdi
yang bernama Lulu.
Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-lihat baju baru serta sepatu baru, tanpa mempersilahkan Ratri masuk ke dalam.
"Maaf, Bu, apa boleh aku masuk?" tanya Ratri sedikit sungkan.
"Ya!" sahut ibu Nunik. Matanya menatap menantunya itu dengan sinis.
Ratri melangkah masuk kemudian bergabung bersama mereka. Tak ada sapaan yang mereka lontarkan kepada Ratri.
"Bu, kak Tiana baik banget ya, Bu. Beruntung dia menjadi anggota keluarga kita." Lulu tengah memuji seseorang.
Tiana?! Bukankah itu nama yang aku temukan di ponsel Mas Rusdi?
Ingatan Ratri kembali saat ia tak sengaja membaca pesan yang masuk ke ponsel suaminya.
"Maaf, Bu ... Tiana siapa, ya? Dia anggota keluarga kita? Kok aku tidak tahu, ya!" ujar Ratri.
Bu Nunik menoleh ke arah Ratri.
"Tentunya dia wanita yang sangat royal dan nggak pernah pelit sama Ibu. Bukan memberikan uang hanya tiga ratus ribu setiap bulan. Oh iya, kamu ada apa datang ke sini?" tanya bu Nunik, ucapannya terdengar tidak mengenakkan seolah sedang menyindirnya.
Bahkan ia sama sekali tidak menanyakan kabar cucunya.
"Mohon maaf, Bu ... Jika maksud Ibu menyindir aku. Aku bisa jelaskan. Jika mas Rusdi memberi saya nafkah cukup, aku nggak akan memberikan Ibu uang hanya sedikit. Tapi jika aku hanya diberi nafkah jauh dari kata cukup, apa yang mesti aku kasih, Bu? Terkadang untuk kami saja aku harus memutar otak. Maaf ya, Bu ... Bukan maksud aku lancang. Tapi aku harus meluruskan masalah ini. Jangan dulu menilai buruk aku, Bu." Ratri berusaha menjelaskan. Namun, bu Nunik seakan tak peduli dengan penjelasan Ratri.
"Maksud kedatangan aku kemari, aku mau tanya, apakah mas Rusdi seminggu ini menginap di sini?" tanya Ratri.
Bukan tanpa alasan, ia merasa tidak percaya jika Rusdi menginap di kontrakan temannya. Apalagi setelah mendengar status pekerjaannya. Membuat Ratri minim kepercayaan terhadap suaminya.
"Lah ... Kamu kan istrinya. Kenapa tanya ke saya? Rusdi nggak ada datang ke sini," jawab bu Nunik ketus.
"Iya, nih ... Masa tanya ke kami. Mas Rusdi kan sudah kamu miliki, Mbak. Sudah kamu kuasai. Kenapa sekarang malah tanya ke sini? Mbak kalau ada masalah, urus saja sendiri. Jangan bawa-bawa kami," seloroh Lulu.
Ratri menghela nafas kasar. Dari semenjak menikah dengan Rusdi, perangai mereka memang seperti ini. Tidak ada kata ramah, kecuali di hadapan orang-orang, hanya untuk pencitraan semata.
"Sepatunya bagus banget ya, Bu? Pasti harganya sangat mahal!" ujar Lulu dengan tatapan mendelik sinis ke arah Ratri.
Diam, mungkin itu lebih baik. Jika dilawan, mungkin akan lebih parah melawan Ratri. Terlebih Ratri masih menghormati bu Nunik. Tak ingin ia mencari masalah dengan wanita paruh baya itu.
Ratri menunduk, semakin bingung dengan keadaan ini. Terlebih melihat sikap mertua dan adik iparnya, terlihat tidak suka akan kedatangan Ratri.
"Mohon maaf, aku hanya bertanya. Aku kira dia menginap di sini. Soalnya sudah seminggu ini dia tidak pulang." Tak ada sahutan sama sekali dari mereka berdua. Keduanya sibuk mencoba sepatu baru.
Ratri terdiam sambil melihat mereka berdua. Sudah lama Ratri tidak berkunjung ke rumah mertuanya.
Namun, sekalinya ia berkunjung, hanya sambutan tak mengenakan yang ia dapat. Apakah seburuk itu menantu perempuan di keluarga sang suami?
"Bu, Gina sudah masuk sekolah. Dia ... Sudah masuk TK," imbuh Ratri, memberitahu mertuanya tentang cucunya. Ia berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang ini.
"Oh ya? Bagus ... Urus yang benar anak kamu," sahut bu Nunik.
"Apa ... Ibu nggak kangen gitu sama Gina?" tanya Ratri.
Lagi-lagi hanya diam yang menyelimuti ruangan itu. Mereka enggan untuk sekedar ngobrol dengan Ratri.
Melihat perangai mereka, Ratri memutuskan untuk pulang saja. Rasanya akan percuma jika bertanya kepada mereka. Ratri pun berpamitan pulang.
***
Pukul 16.00, Ratri telah berada di depan kantor Rusdi. Sengaja Ratri berdiam di seberang kantor, menunggu dengan menggunakan masker.
Tak berselang lama, pria yang sangat ia kenali keluar sambil berbincang dengan salah satu pegawai di sana.
Ratri menilik keadaan di sana. Namun, ia tak melihat motor yang biasanya Rusdi gunakan. Lalu, jika motornya tidak ada, Rusdi akan naik kendaraan apa?
Ratri kemudian mencoba menghubungi nomor Rusdi. Ia mulai menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Aktif," batin Ratri.
Rusdi yang mendengar ponselnya berdering, segera melihat layar ponselnya tersebut. Segera Rusdi menerima panggilan telepon itu.
"Halo, Rat ... Ada apa?" tanya Rusdi yang berdiri di samping mobil mewah. Apakah itu mobilnya?
Dengan hati-hati, Ratri menjawab pertanyaan Rusdi.
"Nggak apa-apa, Mas ... Aku hanya ingin bertanya, kapan acara di kantor tempat kamu kerja selesai? Aku dan Gina sangat merindukanmu. Apakah kamu bisa pulang sebentar saja, temui kami dan hibur Gina supaya dia nggak sedih lagi. Dia juga kangen dibelikan makanan enak oleh kamu," jawab Ratri.
Terlihat Rusdi menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Ia seperti sedang berpikir.
"Mas, apa kamu nggak bisa menemui anakmu sebentar saja? Apakah kerjaan kamu begitu banyak, sehingga kamu enggan menemuinya walau hanya sebentar?" tanya Ratri ketika Rusdi terdiam.
"Ya sudah, aku pulang sekarang. Aku pasti belikan makanan enak lagi buat Gina," jawab Rusdi.
Mendengar itu, Ratri sedikit lega. Walau ia merasa kecewa dengan kebohongan tentang status pekerjaannya. Namun, setidaknya Rusdi masih ada rasa peduli kepada Gina.
"Ya sudah, Mas ... Aku tunggu!"
Rusdi mengakhiri obrolannya dengan Ratri. Akan tetapi, Ratri melihat Rusdi memasuki mobil mewah itu. Apakah benar itu mobilnya?
Sungguh, apa yang dilihat Ratri itu sungguh menyakiti hatinya.Dengan tubuh gemetar, Ratri kemudian bersiap menaiki ojek yang sudah disewanya tadi. Karena sebelum pergi ke kantor Rusdi, Ratri sempat meminjam uang kepada Marni."Bang, ikuti mobil itu!" tunjuk Ratri pada mobil yang dikendarai Rusdi."Jaga jarak ya, Bang. Jangan sampai kita ketahuan," ujar Ratri yang disambut oleh anggukan tukang ojek itu.Mobil Rusdi keluar dari parkiran, kemudian melaju membelah jalanan yang sedikit padat.Ketika Ratri fokus menatap mobil yang dikendarai Rusdi. Ratri merasa ponsel di dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya ia enggan untuk mengangkatnya. Namun, takut jika yang menelpon ada keperluan penting."Mas Rusdi," gumam Ratri ketika layar ponsel itu tertera nama Rusdi."Halo, Mas!" sapa Ratri."Halo, Rat, kok berisik sekali. Kamu ada dimana?" tanya Rusdi."Eh ini aku ... Ada di jalan. Kebetulan aku habis beli sabun cuci piring di warung pinggir jalan," jawab Ratri sekenanya."Oh ... Ini, Rat, a
"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah?Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu."Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana."Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana."Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu,
"Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
Gina kemudian mematikan teleponnya, lalu menyelesaikan aktivitas mencuci piringnya."Ayok kita pulang, Sayang. Em ... Lena, terima kasih, ya. Kamu sudah repot-repot masak banyak buat kami," ucap Rusdi.Lena tersenyum sambil mengangguk kecil."Tak apa, Mas. Aku senang kita bisa makan bersama seperti ini," sahut tante Lena.Rusdi dan Gina pun berpamitan pulang. Sampai di rumah, Gina masuk ke dalam kamar. Ia terdiam, teringat akan percakapan Cherly dengan seorang lelaki di sambungan telepon tadi."Kok aku kayak nggak asing dengan suara itu, siapa kira-kira lelaki yang bersama Cherly tadi?" Dalam hati, Gina bertanya-tanya.Malam semakin larut, Gina pun memutuskan untuk istirahat. Ia berusaha membuang jauh pikiran buruk tentang Cherly. Toh yang ia tahu, Cherly adalah saudarinya yang baik. Tidak mungkin Cherly berbuat yang tidak-tidak. Itulah yang Gina lakukan, berpikir positif walau pun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih bertanya-tanya.Keesokan harinya, Gina yang telah samp
"Gina!" Wanita yang sudah tidak muda itu pun tak kalah terkejutnya saat melihat Gina."Ayah, apakah benar Tante Lena ini calon istri Ayah?" tanya Gina.Rusdi mengernyitkan dahinya, ia kemudian mengangguk membenarkan."Jadi, kamu sudah kenal dengan Tante Lena?" tanya Rusdi, yang disambut oleh anggukan kepala Gina."Tante Lena ini tantenya Tessa teman aku di kampus dan pemilik kedai bakso. Kebetulan aku dan Cherly juga sering jajan di sana," jawab Gina.Semua serba kebetulan, mungkin ini yang disebut dengan takdir. Tak menyangka jika Rusdi hendak menikah dengan wanita yang Gina kenal."Ya Tuhan, kok bisa kebetulan gini, ya. Tapi tidak apa-apa, Tante sangat bahagia setelah mengetahui ternyata kamu anaknya Mas Rusdi. Sebentar lagi kamu akan menjadi anakku, kamu anak baik dan Tante sangat menyukai kamu, Sayang. Sebaiknya kita ngobrol di dalam saja. Ayok, Mas, Gina, silahkan masuk!" seru tante Lena.Rusdi dan Gina pun masuk, dan dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu."Aku mau tahu dan sang
David menghentikan tawanya, ia melirik ke sana kemari, saat orang-orang di perpustakaan itu serempak melihat ke arahnya."Ini, coba baca buku ini. Lucu sekali," jawab David, ia memperlihatkan isi buku yang baru saja ia baca.Gina tersenyum garing, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Entah di mana letak lucunya. Namun, terlihat David begitu terhibur dengan isi buku itu."Lucu, ya?" tanya Gina.David mengangguk, ia kemudian melanjutkan bacaannya."Sst ... Sst, Gina!" Dari ambang pintu, kepala Cherly terlihat menyembul dan melambaikan tangan, menyuruh Gina mendekatinya.Gina yang melihat itu, segera bangkit berdiri kemudian mendekati Cherly."Iya, kenapa, Cher?" tanya Gina."Kamu yang kenapa? Apa kamu nggak sadar, orang yang ada di hadapan kamu itu si David, monster kampus ini. Apa kamu nggak takut dikerjain lagi sama orang itu?" tanya Cherly tak habis pikir.Gina menoleh ke arah David yang masih sibuk membaca buku. Dengan segera, Gina menarik tangan Cherly dan mengajaknya bicara di
Gina menuruti permintaan Rusdi, ia duduk di sebelah Rusdi setelah menyalami semua yang ada di ruang tamu.Penampilan Rusdi sedikit berbeda dari sebelumnya. Yang semula rambutnya sebagian telah berwarna putih, kini seluruhnya telah berganti warna menjadi hitam. Sehingga tampak terlihat muda dari sebelumnya."Sayang, kamu habis ke mana dulu? Kok baru pulang?" tanya Saga."Aku mampir dulu di kostan Cherly, Yah!" jawab Gina.Ratri menatap wajah Ratri yang terlihat sedikit berbeda."Kamu kenapa, Nak? Kok wajah kamu terlihat sembab?" tanya Ratri, yang disambut oleh gelengan kepala Gina."Aku tidak apa-apa, Bu. Aku hanya lelah saja, hari ini kan hari pertama aku kembali masuk kuliah. Aku jadi belum terbiasa lagi menjalani aktivitas di kampus. Makanya aku mampir dulu di kostan Cherly, untuk mengusir rasa lelahku," dalih Gina.Ratri mengangguk, walau pun perasaannya sebagai seorang ibu, tahu jika putrinya seperti sedang ada masalah. Namun, ia tak ingin memaksakan bertanya, ia takut jika memaks
Gina menerima tisu itu, kemudian menyeka air matanya."Terima kas ...." Gina menghentikan ucapannya, saat ia melihat seseorang yang baru saja menyodorkan tisu kepadanya."Kamu!" gumam Gina, ia menatap orang itu tanpa kedip."Hapus air mata kamu, jangan sampai kamu menjadi pusat perhatian orang-orang di tempat ini," ujar David.Gina mengedarkan pandangan ke berbagai arah. Tampak beberapa orang tengah memperhatikannya yang sedang terisak menangis."Aku antar kamu pulang! Tunjukkan alamat rumahmu di mana," ujar David.Gina membuang muka, ia merasa was-was jika bertemu dengan lelaki ini."Mau apa? Mau bully aku lagi?" tanya Gina.Mata David mendelik ke atas, ia membuang nafas kasar."Di saat-saat seperti ini, bisa-bisanya kamu curiga sama orang yang berniat baik sama kamu," sanggah David.Gina terdiam, ia menatap David begitu tajam."Tidak usah, aku bisa pulang sendiri," tolak Gina, ia kemudian beranjak dan pergi begitu saja meninggalkan David.Gina berjalan kaki menyusuri jalanan di bawa
"Hai, Denis!" seru Gina menyapa Denis setelah ia berada di depan gerbang kampus.Denis menoleh sambil tersenyum kecil. Ia kemudian menyerahkan helm kepada Gina, dan menyuruhnya untuk menaiki motornya."Kita bicaranya di taman saja," ujar Denis, yang langsung disambut oleh anggukan kepala Gina.Gina menaiki motor Denis, bergegas Denis pun menghidupkan dan mengendarai motor itu menuju taman kota.Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan sama sekali di antara mereka. Denis yang tengah fokus mengendarai motor, sementara Gina fokus menatap jalanan sekitar, hiruk pikuk dan bisingnya keadaan jalanan itu."Bagaimana keadaan mama kamu, aku kangen sama mama kamu," ujar Gina akhirnya lebih dulu membuka obrolan di antara mereka."Baik, keadaan mama aku baik dan sehat. Hanya saja harus siap obat untuk jaga-jaga di waktu darurat," sahut Denis.Gina tersenyum, ingin sekali ia menemui tante Rima. Sudah pasti wanita paruh baya itu akan sangat senang jika Gina datang menemuinya.Sesampainya di taman ko
"Perut aku sakit, aku mau ke toilet dulu, ya. Kalian berdua makan saja, nanti aku balik lagi ke sini," pamit Gina, ia memegangi perutnya yang terasa sakit."Iya cepat sana, jangan lama-lama," sahut Cherly.Gina mengangguk, kemudian berlari menuju toilet. Setelah menuntaskan urusannya di toilet, bergegas Gina keluar. Saat ia berjalan hendak kembali ke kantin, tak sengaja Gina melihat Denis yang baru saja keluar dari toilet pria.Gina tersenyum, kemudian ia hendak menghampiri lelaki itu. Namun, langkahnya terhenti saat David memanggil Denis.Karena jarak yang cukup jauh, dan suara riuh mahasiswa lain, membuat Gina tidak bisa mendengar percakapan di antara Denis dan David. Namun, dari ekspresi keduanya, tampak mereka bersitegang seperti tengah bertengkar. Tampak David menunjuk-nunjuk wajah Denis dengan jari telunjuknya.Merasa penasaran, Gina mencoba berjalan mendekat. Ia berdiri di balik tembok yang tak jauh dari tempat mereka berdiri."Ingat ya, kamu tidak usah sok jagoan. Kita tidak a
Sayangnya, lagi dan lagi nomor asing itu langsung mati saat Gina membalas. Pesan Gina tidak terkirim dan hanya centang satu abu-abu.Gina menggerutu kesal, ia kembali mengedarkan pandangan ke seluruh arah. Mencari seseorang yang mencurigakan. Namun, ia tak menemukan orang-orang yang terlihat mencurigakan. Semua tampak biasa saja, mereka terlihat tengah melakukan aktivitas biasa.Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Gina pun memilih kembali ke rumah. Jika lama-lama di luar, Gina khawatir jika pemilik nomor asing itu, akan berbuat jahat lebih dari waktu itu.Gina menyeberangi jalanan, ia kembali memasuki perumahan tempat tinggalnya.Tin!Gina menoleh ke belakang, ia melihat mobil Saga berhenti di belakang Gina.Gina mengerutkan dahi, bukankah pagi ini ayah sambungnya itu harusnya bekerja?Gina mendekati mobil itu, kemudian membuka pintunya."Kamu ngapain di jalan? Kamu tidak boleh keluar sendiri. Ingat, kita tidak tahu apakah ada orang jahat yang mengintai? Pokoknya Ayah tidak mau, kej
Gina menautkan kedua alisnya, tatkala Denis memanggilnya Cher."Em ... Maaf, Gin. Bukan ke kamu, aku kira kamu Chera sepupu aku. Dari tadi beberapa kali dia nelepon aku terus. Oh iya, ada apa kamu nelepon?" tanya Denis, tanpa Gina sadari, di seberang telepon Denis menahan kegugupannya."Oh sepupu kamu. Ini aku mau kasih tahu kamu, jam tangan kamu tadi jatuh di sini," jawab Gina.Denis merasa lega, ternyata Gina percaya dengan alasan yang dibuatnya. Denis kemudian melihat pergelangan tangannya, ternyata ia baru sadar jika jam tangannya memang sudah tidak ada di tangannya."Ya ampun, iya aku nggak sadar kalau jam aku jatuh. Kalau kamu nggak kasih tahu, mungkin aku akan terus lupa. Terima kasih sudah kasih tahu, nanti aku ambil ke rumah kamu," ucap Denis.Gina tersenyum mengangguk, mendengar suara Denis saja, membuat Gina merasa bahagia."Kok diam, ada yang ingin dibicarakan lagi?" tanya Denis.Gina tersenyum sembari tertunduk. Wajahnya memerah merona, walau pun sudah tentu Denis tidak a