"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.
Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah? Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu. "Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana. "Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana. "Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu, Mas ... Kamu lebih mementingkan anak orang lain dari pada darah daging kamu sendiri," batin Ratri semakin nyeri. Setelah selesai makan, Rusdi meminta pelayan cafe untuk membungkus sisa makanan mereka untuk dibawa pulang. Sedangkan Ratri masih terus memperhatikannya tanpa Rusdi sadari. Ratri memutuskan untuk pulang, setelah mengetahui kenyataan tentang suaminya itu. Perih, sudah pasti. Namun, ia harus kuat demi Gina. "Antar saya pulang, Bang!" ajak Ratri ketika ia telah keluar dari cafe itu. Sepanjang perjalanan pulang, Ratri terus meratapi kenyataan pahit yang ia dapatkan, bahwa ternyata selama ini suaminya menyimpan rahasia besar. Berawal dari tidak kesengajaan bertemu di cafe saat bersama Rara. Kini, kenyataan lainnya pun bermunculan. "Tega kamu, Mas ... ternyata kamu diam-diam menikah lagi di belakang aku," batin Ratri menangis. Sampai di depan rumah, Ratri segera membayar ongkos ojek, lalu masuk ke dalam rumah. Tak ayal, selama Ratri berada di dalam rumah seorang diri, pikirannya kacau. Entah langkah apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui kenyataan ini. Untuk sedikit mengobati rasa sakit hatinya. Kembali, Ratri melanjutkan tulisan cerbungnya di grup aplikasi biru. Ratri mencurahkan segala kesakitan yang ia alami. Seperti sebelumnya, setelah menuliskan kisahnya, perasaan Ratri sedikit merasa tenang, walau pun tidak sepenuhnya. Ratri menghembuskan nafas kasar, kemudian beranjak mengambil air minum dari dapur. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Ratri membiarkan Gina untuk menginap malam ini di rumah Marni. Toh Gina sendiri yang ingin sekali menginap di rumah tantenya itu. Lagi pula, Marni dengan senang hati bersedia menjaga Gina malam ini. Ratri kemudian membuka kembali aplikasi biru miliknya. Di ikon lonceng di layar atasnya, terdapat banyak notifikasi like dan juga komentar. Ternyata mereka pembaca yang setia membaca tulisan Ratri di salah satu grup itu. Lagi-lagi tak menyangka, mereka begitu menyukai cerita yang Ratri tulis. Disaat Ratri tengah sibuk membaca komentar-komentar mereka. Ponsel yang ia pegang tiba-tiba berdering, dan tertera nama Rara yang sedang melakukan panggilan ke nomornya. "Halo, Ra!" sapa Ratri. "Halo, Ratri ... Eh aku nggak nyangka loh, ternyata kamu pandai juga membuat cerbung. Barusan aku lihat ada postingan kamu muncul di beranda aku. Awalnya aku nggak percaya itu kamu. Tapi setelah melihat profil kamu, eh ternyata benar itu kamu," ujar Rara. "Kok kamu bisa tahu, Ra?" tanya Ratri. "Aku kan termasuk anggota di grup baca itu. Kebetulan aku suka banget baca cerbung online. Aku masuk di banyak grup, hanya untuk mencari bacaan yang menurut aku menarik. Setelah melihat tulisan kamu, kok aku suka banget ya. Oh iya, apa kamu masukin cerita kamu ke sebuah platform menulis? Maksud aku ... Aplikasi menulis novel gitu. Lumayan kan kalau ceritanya menarik terus banyak pembaca, cerita kamu bisa menghasilkan uang," jawab Rara. Ratri membenarkan posisi duduknya. "Aku belum pernah menulis online, Ra. Hanya cerita di grup saja yang aku tulis," ujar Ratri. "Aduh, Say ... Coba deh kamu masukin cerita kamu itu ke aplikasi menulis novel online. Siapa tahu itu ladang rejeki kamu," sahut Rara. Ratri terdiam, mencerna ucapan Rara. "Ya sudah, Ra ... Nanti aku coba. Aku juga mesti banyak belajar," ujar Ratri. "Ya sudah kalau begitu, aku sih hanya kasih saran saja, ya! Soalnya sayang cerita sebagus ini kalau nggak jadi uang. Ya sudah ya, Rat ... Suami aku manggil. Bye, Rat!" Rara mengakhiri teleponnya. Ratri terdiam, menimang-nimang ucapan Rara. "Apa aku coba saja, ya? Benar juga saran Rara. Aku coba saja deh sekarang," batin Ratri kemudian mulai mengunduh aplikasi menulis novel lalu mendaftar. Disaat Ratri tengah sibuk dengan ponselnya, terdengar suara motor di depan kemudian berhenti tepat di depan rumahnya. Ceklek! Pintu terbuka dari luar, menampakkan Rusdi yang berpenampilan seperti biasa. Ia memakai seragam office boy dan tas yang seperti biasa ia bawa. Ratri hanya menatapnya penuh sakit. Baju, mobil, tas, dan sepatu mewah. Kemanakan semua itu? "Suaminya baru pulang kok nggak disambut. Tadi di telepon katanya rindu," imbuh Rusdi mendekati Ratri. Ratri menyalami Rusdi, yang telah duduk di sebelahnya. "Biar aku ambilkan minum." Ratri bergegas menuju dapur. "Kemana, Gina?" tanya Rusdi. "Ada, dia menginap di rumah Marni," jawab Ratri seperlunya, setelah ia kembali membawa air minum. Rusdi menatap Ratri penuh tanya atas sikapnya. Ia mendekat mengamati wajah Ratri. "Kenapa kamu cemberut saja? Apa kamu sudah nggak kangen sama aku?" tanya Rusdi. Ratri terdiam, tangannya meremas ujung hijabnya. "Padahal aku sudah bawakan makanan enak loh buat kamu sama Gina. Sengaja aku beli lebih banyak dari biasanya." Rusdi bangkit lalu mengambil bungkusan makanan yang masih tergantung di motor yang ia parkir di depan rumah. Melihat tingkah suaminya, membuat Ratri kesal dan mual. Ingin rasanya ia cabik-cabik wajah suaminya dan juga istri barunya. "Berhubung Gina nggak ada, jadi ini buat kamu saja. Ini aku beli khusus buat kalian berdua. Kamu pasti suka dengan makanannya. Kebetulan tadi aku mendapatkan uang tips lagi dari karyawan yang menyuruh aku membelikan makanan. Jadi uang kembaliannya dikasih aku deh. Ayo makan, Rat! Biar Gina besok saja aku belikan lagi makanannya," imbuh Rusdi setelah kembali dan membawakan bungkusan makanan itu. Ratri menatap bungkusan makanan itu dengan getir. Ia seperti mengenali bungkusan makanan itu. "Kenapa hanya dilihatin saja? Ayo buka terus makan. Maafkan aku, Rat ... Baru kali ini aku bisa membelikanmu makanan enak. Sebelum-sebelumnya aku belum pernah. Doakan aku, ya, semoga rejekiku melimpah. Jadi aku bisa membelikan apa yang kamu mau," ujar Rusdi. Dalam hati, Ratri berdecih. Apa iya, Ratri harus mendoakan suami pembohong seperti Rusdi? Sementara nafkah yang ia berikan jauh dari kata layak untuk jaman yang sudah serba mahal seperti sekarang ini. Tangan Ratri meraih bungkusan makanan itu. Perlahan ia membukanya dan melihat isi makanan yang ada di dalamnya. Ratri mengambil makanan itu kemudian melemparkannya ke wajah Rusdi."Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
"Mobil siapa, ini?" gumam Ratri, ketika menatap mobil mewah itu.Ratri kemudian berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Ia juga melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Gina, kenapa pintunya kebuka le ...." Ratri tidak meneruskan ucapannya, ketika ia melihat dua orang wanita sedang duduk di sofa ruang tamu. Sementara Gina duduk di lantai sambil menunduk."Ibu!" Gina berhambur memeluk saat Ratri masuk ke dalam rumah."Tiana, Lulu, mau apa kalian ke sini?" tanya Ratri.Tiana dan Lulu bangkit dari duduk mereka."Apa kabar, Ratri? Kedatangan kami ke sini hanya untuk melihat keadaan kalian. Bagaimanapun, kita ini adalah istrinya mas Rusdi, walaupun mas Rusdi lebih nyaman tinggal bersamaku. Em ... Maksud aku kesini baik kok, Rat. Kami ke sini hanya untuk mengirim makanan dan pakaian buat kalian," ujar Tiana.Sementara Lulu, ia menatap sekeliling rumah Ratri. Termasuk melihat penampilan Ratri yang sedikit berbeda."Maaf, Tiana ... Bukan saya menolak rejeki dari kamu. Tapi kami tidak kekurangan m
"Kesel banget aku, Kak. Masa si Ratri beraninya ngusir kita. Memangnya dia siapa? Orang miskin saja kok belagu." Sepanjang jalan, Lulu terus saja menggerutu tak hentinya. Ia merasa tersinggung atas pengusiran yang Ratri lakukan terhadapnya dan juga Tiana."Ya ... Aku juga kesal, Lu. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah ngusir kita, masa kita harus tetap diam di rumah itu. Tapi aku puas sih, ternyata dugaan kita semua benar. Ratri memang nggak bisa apa-apa . Dia hanya bisa bergantung kepada mas Rusdi. Tapi aku juga kesal sama mas Rusdi. Kenapa dia memberikan uang lebih kepada Ratri, sampai dia bisa membeli baju bagus dan bisa perawatan wajah? Sejak kapan mas Rusdi nggak terbuka sama aku," sahut Tiana, sambil fokus menyetir mobil."Aku akan bilang ini sama ibu dan mas Rusdi. Aku nggak terima diusir kayak gitu. Pengen rasanya aku acak-acak muka si Ratri itu sampai hancur dan berubah lebih jelek. Hehhh ... Geram aku, Kak," gerutu Lulu."Sudah-sudah, lebih baik kita makan saja, aku lapar. Na
"Gila, kamu sudah gila, Rika. Lepaskan, saya mau pulang!" sergah Saga, ia begitu emosi dengan tingkah gila Rika."Aku memang gila, Om. Aku gila karena Om, aku tergila-gila. Aku mohon, terima aku sebagai kekasih Om. Lambat laun, Om pasti akan nyaman denganku. Aku bisa membahagiakan Om, aku janji," sahut Rika.Saga terus memberontak ingin melepaskan diri. Namun, Rika tak membiarkannya lepas begitu saja. Sekuat tenaga ia kerahkan untuk menahan Saga supaya tidak pergi dari tempat itu.Saga akhirnya terdiam, ia menyentuh punggung tangan Rika."Kamu yakin akan ucapanmu itu?" tanya Saga mulai luluh.Mendengar pertanyaan itu, tentu Rika merasa senang. Seperti ada harapan yang menghampiri, di saat dirinya susah payah membuat Saga luluh."Tentu saja, Om. Aku tidak akan main-main dengan ucapanku. Aku cinta sama Om, apa pun akan aku lakukan demi Om. Asal Om terima cinta aku," jawab Rika."Apa pun?" tanya Saga."Tentu, Om!""Lepaskan dulu saya, saya tidak bisa bergerak leluasa jika kamu memeluk sa
"Ayah, jemput aku di rumah teman. Aku mau pulang, ini aku pakai nomor temanku. Ini aku Gina, jangan hubungi nomorku, ponsel aku mati." Saga menerima sebuah pesan dari nomor baru yang mengaku sebagai Gina. Kemudian mengirimkan alamat rumah yang Saga pun belum tahu rumah teman Gina yang mana."Oke, Ayah akan ke situ. Ayah bersiap dulu, sekarang sudah waktunya jam pulang," balas Saga.Saga bergegas membereskan semua berkas, menutup laptop dan menjinjing tas kerjanya hendak pulang.Saga mengemudikan mobilnya, hendak menuju tempat di mana Gina berada.Jalanan cukup macet, karena saat ini jam menunjukkan pukul 4 sore. Di mana kebanyakan orang-orang baru saja selesai bekerja, dan hendak pulang ke rumah masing-masing.Sampai Saga menunggu 15 menit di dalam kemacetan yang cukup parah. Akhirnya mobil Saga terbebas dari drama kemacetan yang menghambat setiap pergerakan di sore itu.Sore telah beranjak malam, Saga telah menemukan alamat yang dikirim Gina. Dengan cepat, ia turun dari dalam mobil,
Perlahan, penutup kotak makanan itu terbuka, menampakkan sesuatu yang membuat Gina terpaku."Siapa kira-kira yang menitipkan ini pada Dudung? Apakah David lagi? Ah ... Rasanya nggak mungkin," gumam Gina.Di dalam kotak makanan itu, terdapat makanan yang dibentuk menyerupai wajah berkerudung."Ehem ... Apaan itu? Bagus banget," ujar Cherly yang mengejutkan Gina."Entah, tadi Dudung yang ngasih ini sama aku. Katanya ini titipan buatku," sahut Gina."Dudung? Apa jangan-jangan dari kak David? Soalnya kan waktu itu juga, dia yang disuruh David buat ngasih kertas surat buat kamu. Tapi ... Apa iya, ini dari kak David? Kok aku percaya nggak percaya ya!" timpal Tessa.Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa bingung."Ah entahlah, mau nggak nih Tes?" Gina menyodorkan kotak makanan tersebut kepada Tessa."Serius ini buat aku? Tapi sayang loh, ini bagus banget. Kok bisa sih dibentuk kayak wajah kamu? Jadi nggak tega makannya," sahut Tessa."Ya sudah kalau nggak mau, aku kasih saja sama satpam d
Gina dan Rusdi terbelalak mendengar suara Cherly yang sepertinya sedang ketakutan."Ayah, itu Cherly kenapa?" ujar Gina merasa khawatir, begitu pun dengan Rusdi.Mereka saling melempar pandang, dalam tatapan penuh kecemasan."Coba buka, apakah pintunya dikunci? Takutnya ada orang yang mau berbuat jahat kepada Cherly," imbuh Rusdi.Gina mengangguk, lantas ia memutar kenop pintu itu dengan cepat.Ceklek!Gina merasa lega, pintu kosan Cherly ternyata tidak dikunci. Sehingga memudahkan keduanya masuk ke dalam kamar Cherly tanpa hambatan apa pun.Gina dan Rusdi berlari masuk ke dalam. Langkah mereka terhenti, saat mendapati Cherly tengah duduk di atas kasur, dengan posisi membelakanginya."Cherly," panggil Gina.Cherly menoleh mendengar suara Gina. Ia tersenyum dengan keadaan wajah sudah dipenuhi keringat."Gina, kamu ke sini?" tanya Cherly.Gina dan Rusdi menatap heran ke arah Cherly. Baru saja mereka mendengar Cherly teriak ketakutan. Namun, yang mereka lihat saat ini, Cherly terlihat ba
"Kayaknya ada tamu," gumam Gina, setelah ia keluar dari mobil.Pintu utama tampak terbuka lebar, menjadikan Gina berasumsi seperti itu.Gina berjalan masuk menuju pintu utama. Saat kakinya melangkah mulai menapaki ruang tamu, ia terperanjat ketika melihat seseorang yang tengah duduk berkumpul di sofa bersama Ratri dan juga Saga."A-ayah," gumam Gina, ia begitu terpaku sehingga dirinya berdiam di ambang pintu."Gina!" Seru Rusdi, saat dirinya melihat Gina yang baru saja datang.Rusdi terlihat berubah setelah lama ditahan. Sebagian rambutnya telah memutih dan tubuhnya tampak kurus."Ayah!" Gina berjalan cepat, kemudian memeluk Rusdi begitu erat.Gina dan Rusdi menangis di dalam pelukan. Mereka menumpahkan rasa rindu yang salam ini terpendam di dalam diri mereka masing-masing."Ayah ada di sini?" Terdengar suara Gina parau karena tangisan yang tumpah."Iya, Nak. Ayah sudah bebas kemarin, kita bisa bertemu kapan pun yang kita mau. Ayah sudah bebas, Nak," sahut Rusdi dengan suara bergetar.
Lelaki itu menatap Gina, tanpa terganggu sedikit pun dengan bau yang berasal dari pakaian Gina."Mari aku bantu berdiri!" seru lelaki itu."Aku-""Gina, ya ampun!" Dari kejauhan, Tessa dan Cherly berlari saat melihat Gina sudah dalam kondisi kacau."Ya Tuhan ... Kenapa baju kamu bisa kotor seperti ini, Gina?" tanya Cherly, kemudian membantu Gina berdiri."Biasa, aku kena bully lagi. Aku sudah seperti seekor keledai. Jatuh di lubang yang sama," jawab Gina sambil tersenyum getir.Tessa dan Cherly menarik tangan Gina hendak membawanya ke kosan Cherly. Sementara laki-laki yang baru saja menabrak Gina, menatap Gina sampai ia tak terlihat lagi."Kok bisa kamu kena bully lagi?" tanya Cherly, setelah mereka berada di kosan.Kini, Gina telah berganti baju milik Cherly.Gina pun menceritakan awal kenapa ia sampai terkena bully lagi, sampai keadaannya lebih parah dari sebelumnya."Ya Tuhan ... Memang benar-benar ya mereka. Kesal sekali aku, semoga mereka mendapatkan balasan," timpal Tessa yang m
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Gina tengah mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus.Sebenarnya Gina merasa malas, setiap hari ia harus berhati-hati dengan keadaan kampus. Ah, bukan keadaan tepatnya, melainkan ketiga monster kampus yang selalu membuatnya kesal. Beberapa kali Gina mengalami bullying seperti dilempar telur, disiram air, dilempar tepung, dan masih banyak lagi. Tak habis pikir, ketiga monster kampus itu masih tetap saja aman di kampus itu. Dari sekian banyaknya mahasiswa di sana, tak ada seorang pun yang berani melawan atau melapor mereka. Pernah beberapa kali, Gina ingin melaporkan kasus bullying itu. Namun, selalu gagal karena ketiga monster itu tidak membiarkan Gina melakukannya."Sayang, sepertinya aku bakalan pulang cepat lagi nanti. Em ... Aku mau makan siang sama kamu berdua di pinggir danau," ujar Saga, saat mereka sedang sarapan pagi."Ehem ... Jadi hanya berdua nih? Aku sama Andres nggak diajak?" timpal Gina sambil melirik Andres."Hanya kami berdua,
Gina menggedikkan bahunya, ia juga merasa ragu sama seperti yang dirasakan Tessa.Kosan yang baru saja disewa Cherly terlihat tidak terawat. Bukan berarti kumuh, akan tetapi, keadaanya yang terlihat lembab."Entahlah, aku juga ragu, Tes. Kosan ini juga berada di paling ujung berbatasan dengan kebun pisang," sahut Gina."Em ... Apa kita kasih saran saja sama Cherly, buat cari lagi kosan yang lain? Aku saja sekarang ini, kok kurang nyaman, ya!" seru Tessa.Gina terdiam, ucapan Tessa ada benarnya juga. Namun, apakah Cherly setuju?"Tapi Cherly sudah membayar sewa selama beberapa bulan ke depan, Tes. Tapi ... Kita coba tanyakan saja nanti kalau dia sudah kembali," sahut Gina.Tak berselang lama, Cherly kembali dengan membawa 3 cup minuman dingin yang ditenteng di dalam kantong kresek bening."Ini buat kalian, huhhh haus banget," ujar Cherly, lantas memberikan 2 cup minuman itu kepada Gina dan Tessa."Terima kasih, Cher. Em ... Cher, kamu yakin mau tinggal di kosan ini?" tanya Gina memasti
"Aaargh!" Gina terkejut, saat seseorang menyiramkan 1 ember air ke seluruh tubuhnya, hingga bajunya basah kuyup.Ingin marah, akan tetapi di sana ia tidak mendapati siapa pun. Entah ini pekerjaan siapa, Gina tidak tahu."Perbuatan siapa ini?" teriak Gina lantang.Gina menoleh ke sana kemari, siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai mengenai hal itu. Namun, sayangnya tidak ada siapa pun di sana.Prok! Prok! Prok!Dari arah ruangan di samping Gina, pintu seketika terbuka lebar dan menampakkan 3 orang yang ia kenali. Salah satu dari mereka tepuk tangan dengan puas melihat Gina basah kuyup."Kamu!" gumam Gina.David tersenyum puas, menampakkan deretan gigi putihnya."Bagaimana, apakah kamu masih tidak takut sama saya?" tanya David.Kini Gina mengerti, ternyata ini perbuatan David, si monster kampus dan kedua temannya.Gina menyeka wajahnya yang penuh air dengan kasar. Ia tak habis pikir, kenapa orang seperti David masih dipertahankan di kampus itu. Padahal, banyak sekali orang-orang yang