"Ya Tuhan ...." Ratri tak tahan mendengar ucapan wanita itu, yang terdengar sangat kurang ajar.
Ratri bisa menyimpulkan, jika wanita itu adalah istrinya Rusdi. Namun, sejak kapan mereka menikah? Rahang Ratri bergemelatuk menahan amarah. Namun, sebisa mungkin ia redam. Ia tak ingin membuat kekacauan di cafe itu. "Kamu yang sabar, Tiana ... Sudah seminggu ini kan aku bersama kalian terus. Bahkan hari ulang tahun anakku saja, aku nomor duakan demi ulang tahun Cherly yang kebetulan dihari dan tanggal yang sama. Percayalah, aku cinta sama kamu. Nanti akhir pekan, aku pulang lagi ke rumah kita." Rusdi berusaha memberi pengertian kepada wanita yang bernama Tiana. "Tiana," batin Ratri. Ia teringat akan kontak yang bernama Tiana, yang pernah menghubungi nomor Rusdi, dimalam ulang tahun Gina. Ia juga teringat akan ucapan Lulu yang memuji-muji nama Tiana. "Jadi Tiana anggota keluarga Ibu itu maksudnya ini? Terus alasan Mas Rusdi pulang telat, dia sedang merayakan ulang tahun anak itu? Tega kamu, Mas ... Kamu lebih mementingkan anak orang lain dari pada darah daging kamu sendiri," batin Ratri semakin nyeri. Setelah selesai makan, Rusdi meminta pelayan cafe untuk membungkus sisa makanan mereka untuk dibawa pulang. Sedangkan Ratri masih terus memperhatikannya tanpa Rusdi sadari. Ratri memutuskan untuk pulang, setelah mengetahui kenyataan tentang suaminya itu. Perih, sudah pasti. Namun, ia harus kuat demi Gina. "Antar saya pulang, Bang!" ajak Ratri ketika ia telah keluar dari cafe itu. Sepanjang perjalanan pulang, Ratri terus meratapi kenyataan pahit yang ia dapatkan, bahwa ternyata selama ini suaminya menyimpan rahasia besar. Berawal dari tidak kesengajaan bertemu di cafe saat bersama Rara. Kini, kenyataan lainnya pun bermunculan. "Tega kamu, Mas ... ternyata kamu diam-diam menikah lagi di belakang aku," batin Ratri menangis. Sampai di depan rumah, Ratri segera membayar ongkos ojek, lalu masuk ke dalam rumah. Tak ayal, selama Ratri berada di dalam rumah seorang diri, pikirannya kacau. Entah langkah apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui kenyataan ini. Untuk sedikit mengobati rasa sakit hatinya. Kembali, Ratri melanjutkan tulisan cerbungnya di grup aplikasi biru. Ratri mencurahkan segala kesakitan yang ia alami. Seperti sebelumnya, setelah menuliskan kisahnya, perasaan Ratri sedikit merasa tenang, walau pun tidak sepenuhnya. Ratri menghembuskan nafas kasar, kemudian beranjak mengambil air minum dari dapur. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Ratri membiarkan Gina untuk menginap malam ini di rumah Marni. Toh Gina sendiri yang ingin sekali menginap di rumah tantenya itu. Lagi pula, Marni dengan senang hati bersedia menjaga Gina malam ini. Ratri kemudian membuka kembali aplikasi biru miliknya. Di ikon lonceng di layar atasnya, terdapat banyak notifikasi like dan juga komentar. Ternyata mereka pembaca yang setia membaca tulisan Ratri di salah satu grup itu. Lagi-lagi tak menyangka, mereka begitu menyukai cerita yang Ratri tulis. Disaat Ratri tengah sibuk membaca komentar-komentar mereka. Ponsel yang ia pegang tiba-tiba berdering, dan tertera nama Rara yang sedang melakukan panggilan ke nomornya. "Halo, Ra!" sapa Ratri. "Halo, Ratri ... Eh aku nggak nyangka loh, ternyata kamu pandai juga membuat cerbung. Barusan aku lihat ada postingan kamu muncul di beranda aku. Awalnya aku nggak percaya itu kamu. Tapi setelah melihat profil kamu, eh ternyata benar itu kamu," ujar Rara. "Kok kamu bisa tahu, Ra?" tanya Ratri. "Aku kan termasuk anggota di grup baca itu. Kebetulan aku suka banget baca cerbung online. Aku masuk di banyak grup, hanya untuk mencari bacaan yang menurut aku menarik. Setelah melihat tulisan kamu, kok aku suka banget ya. Oh iya, apa kamu masukin cerita kamu ke sebuah platform menulis? Maksud aku ... Aplikasi menulis novel gitu. Lumayan kan kalau ceritanya menarik terus banyak pembaca, cerita kamu bisa menghasilkan uang," jawab Rara. Ratri membenarkan posisi duduknya. "Aku belum pernah menulis online, Ra. Hanya cerita di grup saja yang aku tulis," ujar Ratri. "Aduh, Say ... Coba deh kamu masukin cerita kamu itu ke aplikasi menulis novel online. Siapa tahu itu ladang rejeki kamu," sahut Rara. Ratri terdiam, mencerna ucapan Rara. "Ya sudah, Ra ... Nanti aku coba. Aku juga mesti banyak belajar," ujar Ratri. "Ya sudah kalau begitu, aku sih hanya kasih saran saja, ya! Soalnya sayang cerita sebagus ini kalau nggak jadi uang. Ya sudah ya, Rat ... Suami aku manggil. Bye, Rat!" Rara mengakhiri teleponnya. Ratri terdiam, menimang-nimang ucapan Rara. "Apa aku coba saja, ya? Benar juga saran Rara. Aku coba saja deh sekarang," batin Ratri kemudian mulai mengunduh aplikasi menulis novel lalu mendaftar. Disaat Ratri tengah sibuk dengan ponselnya, terdengar suara motor di depan kemudian berhenti tepat di depan rumahnya. Ceklek! Pintu terbuka dari luar, menampakkan Rusdi yang berpenampilan seperti biasa. Ia memakai seragam office boy dan tas yang seperti biasa ia bawa. Ratri hanya menatapnya penuh sakit. Baju, mobil, tas, dan sepatu mewah. Kemanakan semua itu? "Suaminya baru pulang kok nggak disambut. Tadi di telepon katanya rindu," imbuh Rusdi mendekati Ratri. Ratri menyalami Rusdi, yang telah duduk di sebelahnya. "Biar aku ambilkan minum." Ratri bergegas menuju dapur. "Kemana, Gina?" tanya Rusdi. "Ada, dia menginap di rumah Marni," jawab Ratri seperlunya, setelah ia kembali membawa air minum. Rusdi menatap Ratri penuh tanya atas sikapnya. Ia mendekat mengamati wajah Ratri. "Kenapa kamu cemberut saja? Apa kamu sudah nggak kangen sama aku?" tanya Rusdi. Ratri terdiam, tangannya meremas ujung hijabnya. "Padahal aku sudah bawakan makanan enak loh buat kamu sama Gina. Sengaja aku beli lebih banyak dari biasanya." Rusdi bangkit lalu mengambil bungkusan makanan yang masih tergantung di motor yang ia parkir di depan rumah. Melihat tingkah suaminya, membuat Ratri kesal dan mual. Ingin rasanya ia cabik-cabik wajah suaminya dan juga istri barunya. "Berhubung Gina nggak ada, jadi ini buat kamu saja. Ini aku beli khusus buat kalian berdua. Kamu pasti suka dengan makanannya. Kebetulan tadi aku mendapatkan uang tips lagi dari karyawan yang menyuruh aku membelikan makanan. Jadi uang kembaliannya dikasih aku deh. Ayo makan, Rat! Biar Gina besok saja aku belikan lagi makanannya," imbuh Rusdi setelah kembali dan membawakan bungkusan makanan itu. Ratri menatap bungkusan makanan itu dengan getir. Ia seperti mengenali bungkusan makanan itu. "Kenapa hanya dilihatin saja? Ayo buka terus makan. Maafkan aku, Rat ... Baru kali ini aku bisa membelikanmu makanan enak. Sebelum-sebelumnya aku belum pernah. Doakan aku, ya, semoga rejekiku melimpah. Jadi aku bisa membelikan apa yang kamu mau," ujar Rusdi. Dalam hati, Ratri berdecih. Apa iya, Ratri harus mendoakan suami pembohong seperti Rusdi? Sementara nafkah yang ia berikan jauh dari kata layak untuk jaman yang sudah serba mahal seperti sekarang ini. Tangan Ratri meraih bungkusan makanan itu. Perlahan ia membukanya dan melihat isi makanan yang ada di dalamnya. Ratri mengambil makanan itu kemudian melemparkannya ke wajah Rusdi."Apa-apaan ini, Ratri?" sentak Rusdi, kaget dengan sikap Ratri yang tiba-tiba bersikap tidak sopan seperti itu.Rusdi mengelap makanan yang menempel di wajahnya.Amarah Ratri meledak seketika, saat melihat makanan yang ada di hadapannya. Makanan sisa bekas Rusdi, Tiana dan anaknya. Dada Ratri naik turun dengan tatapan nyalang ke arah Rusdi."Aku tidak butuh makanan bekas kamu dan istri baru kamu, Mas!" berang Ratri.Tubuh Ratri bergetar hebat, ia merasa jijik atas kelakuan Rusdi."Maksud kamu?" tanya Rusdi.Ratri berdecih, ia tersenyum miring dan membuang muka ketika Rusdi bertanya seperti itu."Aku tidak Sudi memakan makanan bekas kalian. Apa kurang jelas? Katakan, apakah makanan yang setiap hari kamu kasih ke Gina, apakah itu juga merupakan makanan bekas?" tanya Ratri dengan penuh penekanan."Makanan bekas apa? Aku beli baru kok, dari uang tips. Kamu jangan coba-coba menuduh aku, ya. Istri baru, istri baru yang mana?" Imbuh Rusdi, namun terlihat gelagapan.Ratri menghela nafas kasar
"Gina sayang, sepertinya acara belanja kita nggak jadi hari ini. Mungkin lain kali saja. Nggak apa-apa, ya!" ujar Rusdi.Ratri menoleh ke arah Gina, terlihat ada raut kecewa di wajah manisnya. Kemudian menoleh ke arah Rusdi, dan menatapnya tajam."Kamu yang merusak kebahagian Gina malam ini." Setelah berucap demikian, Ratri kemudian keluar dan membawa Gina kembali ke dalam rumahnya."Kenapa ayah membatalkan acara belanja kita, Bu? Siapa yang menelpon?" tanya Gina, terlihat sekali ia begitu sedih.Tidak seharusnya Rusdi bersikap seperti itu. Seakan membawa Gina terbang tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja."Gina yang sabar, ya! Nanti kalau Ibu punya uang, Ibu pasti beliin Gina baju yang bagus. Sekarang kita istirahat saja. Biarkan ayah pergi dengan urusannya." Ratri berusaha menenangkannya, walau pun tak bisa dipungkiri, ia pun merasa kecewa dan sakit atas sikap Rusdi yang seperti itu.Hari-hari telah berlalu, bahkan minggu dan bulan pun telah berganti. Semenjak malam itu, Rusdi t
"Loh, mana berasnya?" gumam Ratri.Beras sebanyak dua puluh lima kilo yang tadi disimpan di teras, kini telah raib entah kemana. Ratri mencari ke sana kemari. Namun, tetap saja beras yang baru saja dibelinya tidak ada.Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Ratri."Ratri, beras yang ada di teras, Ibu bawa pulang. Kebetulan persediaan stok beras Ibu sudah habis. Nggak usah marah, karena uang yang kamu pakai belanja itu juga pasti hasil jerih payah Rusdi. Anggap saja itu sebagai ganti uang bulanan Ibu dari kamu.""Ya Tuhan ... Ibu ada-ada saja." Ratri menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan sikap mertuanya itu. Lanjut ia membawa sembako lainnya masuk ke dalam rumah.Dua bulan kemudian, Rusdi belum kunjung pulang. Entah apa yang ada di dalam pikiran Rusdi. Sama saja ia telah menelantarkan anak beserta istrinya. Bahkan nafkah pun tak ia beri selama dua bulan ini. Namun, Ratri enggan untuk menyusul Rusdi, walau pun ia tahu jika tidak berada di rumah ibunya, pasti Rusdi b
"Aku tidak butuh uang kamu, Mas. Kenapa kamu harus repot-repot membaginya denganku?" ujar Ratri, ketika melihat nominal uang yang diberikan oleh Rusdi.Rusdi terkejut, ia kemudian memungut uang itu dari lantai."Lima ratus ribu?" batin Rusdi terkejut."Tapi-""Cukup, Mas! Kalau kamu sudah tidak bisa bersikap adil, ceraikan aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa tersiksa lagi dengan ikatan pernikahan yang penuh dengan drama ini," potong Ratri.Rusdi terdiam sambil menatap uang pecahan seratus ribu yang berjumlah lima lembar itu."Ceraikan aku, Mas. Maka kamu tidak harus repot-repot menafkahiku lagi," lirih Ratri penuh penekanan.Rusdi menggeleng pelan sambil menatap Ratri.Ratri membuang muka ketika melihat ekspresi Rusdi."Aku ...."Ceklek!"Ayah!" Ratri dan Rusdi menoleh ke arah pintu kamar. Tampak Gina baru saja bangun tidur."Kok bangun, Nak?" tanya Ratri."Aku dengar suara Ayah, jadi aku bangun," jawab Gina."Ayah kapan ke sini? Ayah tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Gina.Rus
"Bu, kenapa di rumah Nenek banyak sekali orang?" tanya Gina menatap Ratri.Ratri baru ingat, jika tradisi di keluarga Rusdi, selalu mengadakan pertemuan antar keluarga dan kerabat setiap tahunnya selain lebaran. Dan tempat mertuanyalah yang menjadi tempat berkumpulnya mereka. Namun, kenapa sama sekali tidak ada yang memberitahu Ratri, atau sekedar mengingatkannya tentang acara tahunan ini? Bukankah Ratri juga masih bagian dari keluarga mereka?"Ibu baru ingat, setiap satu tahun kan suka ada pertemuan keluarga. Jadi di rumah Nenek pasti banyak orang seperti ini," jawab Ratri.Ratri pun mengajak masuk Gina ke dalam rumah mertuanya."Assalamualaikum ...." ucap Ratri.Serempak semua yang ada di dalam rumah menoleh setelah mendengar suara Ratri. Mereka kompak terdiam tak mengeluarkan suara apa pun. Ratri merasa aneh dengan tatapan mereka. Kemudian ia melirik cara berpakaiannya apakah ada yang salah? Di sana pula terlihat Tiana, bu Nunik, Lulu dan Cherly yang tengah digendong oleh Rusdi. Ru
Keadaan Gina semakin lemas ketika mereka telah berada di luar. Melihat keadaan anaknya, Ratri merasa khawatir dan segera menggendongnya menaiki angkot."Lebih baik aku bawa Gina ke dokter," gumam Ratri.Setelah berhenti di depan sebuah klinik. Dengan cepat Ratri menggendong Gina, supaya segera mendapatkan penanganan."Anak Ibu hanya butuh banyak istirahat. Mungkin dengan membuatnya ceria, kesehatannya akan cepat pulih. Saya tuliskan dulu resep obatnya. Nanti Ibu tebus obatnya di apotek," terang dokter yang menangani Gina.Ratri mengangguk, "Baik, Dok ... Saya mengerti."Setelah menebus obat, Ratri membawa Gina pulang ke rumahnya."Gina kenapa, Mbak?" tanya Marni ketika mereka berpapasan di jalan depan rumah Ratri."Gina sakit, Rat ... Sudah tiga hari dia belum sembuh," jawab Ratri.Marni tampak khawatir saat melihat keponakannya tertidur dalam gendongan Ratri."Aku ikut, Mbak ... Biar aku bantu jagain Gina," imbuh Marni yang disambut oleh anggukan kepala Ratri.Satu dua hari keadaan G
"Mobil siapa, ini?" gumam Ratri, ketika menatap mobil mewah itu.Ratri kemudian berjalan masuk ke pelataran rumahnya. Ia juga melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Gina, kenapa pintunya kebuka le ...." Ratri tidak meneruskan ucapannya, ketika ia melihat dua orang wanita sedang duduk di sofa ruang tamu. Sementara Gina duduk di lantai sambil menunduk."Ibu!" Gina berhambur memeluk saat Ratri masuk ke dalam rumah."Tiana, Lulu, mau apa kalian ke sini?" tanya Ratri.Tiana dan Lulu bangkit dari duduk mereka."Apa kabar, Ratri? Kedatangan kami ke sini hanya untuk melihat keadaan kalian. Bagaimanapun, kita ini adalah istrinya mas Rusdi, walaupun mas Rusdi lebih nyaman tinggal bersamaku. Em ... Maksud aku kesini baik kok, Rat. Kami ke sini hanya untuk mengirim makanan dan pakaian buat kalian," ujar Tiana.Sementara Lulu, ia menatap sekeliling rumah Ratri. Termasuk melihat penampilan Ratri yang sedikit berbeda."Maaf, Tiana ... Bukan saya menolak rejeki dari kamu. Tapi kami tidak kekurangan m
"Kesel banget aku, Kak. Masa si Ratri beraninya ngusir kita. Memangnya dia siapa? Orang miskin saja kok belagu." Sepanjang jalan, Lulu terus saja menggerutu tak hentinya. Ia merasa tersinggung atas pengusiran yang Ratri lakukan terhadapnya dan juga Tiana."Ya ... Aku juga kesal, Lu. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah ngusir kita, masa kita harus tetap diam di rumah itu. Tapi aku puas sih, ternyata dugaan kita semua benar. Ratri memang nggak bisa apa-apa . Dia hanya bisa bergantung kepada mas Rusdi. Tapi aku juga kesal sama mas Rusdi. Kenapa dia memberikan uang lebih kepada Ratri, sampai dia bisa membeli baju bagus dan bisa perawatan wajah? Sejak kapan mas Rusdi nggak terbuka sama aku," sahut Tiana, sambil fokus menyetir mobil."Aku akan bilang ini sama ibu dan mas Rusdi. Aku nggak terima diusir kayak gitu. Pengen rasanya aku acak-acak muka si Ratri itu sampai hancur dan berubah lebih jelek. Hehhh ... Geram aku, Kak," gerutu Lulu."Sudah-sudah, lebih baik kita makan saja, aku lapar. Na
Keesokan paginya, suasana di kampung yang Gina tinggali saat ini, telah ramai dengan suara-suara orang-orang yang hendak pergi ke ladang.Gina yang telah bangun dari subuh, kini ia tengah membantu nek Sarti memasak di dapur."Setelah sarapan, Nenek mau pergi ke ladang. Mau melanjutkan memanen sayuran. Kamu tidak apa-apa, kan ditinggal sendiri di sini?" tanya nek Sarti. Ia tengah mengipasi nasi yang baru saja diangkat dari dandang.Gina menoleh ke arah nek Sarti, menghentikan aktivitas mengaduk masakannya."Pergi ke ladang? Aku mau ikut, Nek. Boleh?" sahut Gina."Jangan, nanti kamu capek. Biar Nenek saja yang pergi ke sana. Kamu tunggu saja di sini. Nenek tidak akan lama, kok!" tolak nek Sarti.Gina melanjutkan mengaduk masakannya. Wajahnya berubah cemberut saat nek Sarti melarangnya untuk ikut."Jangan cemberut, anak cantik. Ya sudah, kamu boleh ikut Nenek. Tapi, kamu tidak boleh capek-capek. Kamu kan tamu Nenek," ujar nek Sarti, akhirnya mengizinkan.Gina yang sebelumnya cemberut, ki
"Gina, kamu kenapa?" tanya nek Sarti, bingung melihat Gina yang terus menatap wanita yang sedang bersamanya.Gina segera menggelengkan kepalanya. Ia segera bergabung bersama mereka."Ini ibunya Farrel, dia Ayumi." Nek Sarti memperkenalkan wanita itu. Gina pun langsung menyalaminya.Melihat Ayumi, Gina menyimpan pertanyaan yang sangat membuatnya penasaran. Namun, ia merasa tidak enak, takut jika Ayumi akan tersinggung oleh pertanyaannya, jika Gina nekat bertanya."Aku sudah masak yang banyak, sebaiknya kita makan sekarang. Aku akan panggilkan Farrel dulu," ujar Ayumi.Nek Sarti mengangguk, ia pun segera menyiapkan makanan yang telah tersimpan di atas meja.Gina masih terus menatap Ayumi sampai ia menghilang di balik pintu."Apakah ada yang aneh dengan Ayumi?" tanya nek Sarti, membuat Gina menggelengkan kepalanya cepat."Ah nggak ada yang aneh kok, Nek. Hanya saja ... Aku seperti pernah melihatnya. Tapi mungkin, hanya mirip saja kali, ya dengan wanita yang pernah aku lihat. Oh iya, apak
Gina terbangun mendengar seseorang berbicara dengan begitu nyaring."Huam!" Gina menggeliatkan tubuhnya sambil terus menguap. Namun, saat matanya terbuka lebar, ia terkejut saat melihat orang yang baru saja membangunkannya."Ka-kamu!" Gina terbelalak saat melihat pria yang tak sengaja ia temui tadi di bangunan kosong."Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu bisa naik ke mobil ini?" tanya pria itu.Gina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum getir menatap pria itu."Maaf, aku terpaksa naik dan bersembunyi di mobil ini. Aku dikejar sama preman. Tidak ada pilihan lain jadi aku nekat sembunyi di sini," jawab Gina."Oh ... Jadi kamu pacarnya preman tadi? Tahu begini aku bilang saja kamu ada di mobil ini," celetuk pria itu.Gina membelalakkan matanya, ia kesal terhadap pria itu."Amit-amit, siapa juga yang mau jadi pacar dia. Kenal juga nggak! Oh iya, ini sekarang aku ada di mana?" tanya Gina.Pria itu mengangkat sebelah alisnya, hingga temannya yang pemilik mobil menghampiri."Lo
"Jangan menangis, Nona. Atau kamu akan mengundang orang jahat yang selalu berkeliaran di sini," ujar seorang pria, yang baru saja bangun dari tidurnya.Gina masih beringsut mundur menjauhi pria itu.Melihat ekspresi dan sikap Gina, membuat pria itu terkekeh dan terus menatap Gina."Jangan mendekat, atau aku teriak dan kamu akan tahu akibatnya," ancam Gina.Pria itu semakin terkekeh mendengar ancaman Gina."Lah, memangnya saya mau ngapain kamu? Hei, jangan GeEr, kamu! Siapa kamu, kepedean sekali saya mau berbuat macam-macam sama kamu," cetus pria itu.Gina terdiam, sambil mengawasi gerak-gerik pria itu."Sepertinya kamu habis menikah, kok bisa, ada seorang pengantin ada di tempat seperti ini? Oh ... Aku tahu jangan-jangan-""Diam, kamu! Bukan urusan kamu juga!" potong Gina, ia membuang muka."Oh, ok!"Pria itu kemudian mendekati Gina dan menatapnya dengan lekat. Membuat Gina kembali menjauh."Mau apa, kamu dekat-dekat? Jangan sampai aku teriak, ya! Kamu akan tahu akibatnya," ujar Gina.
"Mbak-mbak, bangun! Ini sudah sampai," ujar bapak-bapak kondektur.Gina terbangun dari tidurnya, ia kemudian bangkit dari kursi penumpang.Ternyata semua kursi penumpang telah kosong. Tampaknya hanya Gina penumpang yang terakhir saat itu.Gina turun dari bus tersebut, ia menatap sekeliling tempat itu yang tampak sangat asing, tempat yang tidak pernah ia kunjungi sama sekali sebelumnya."Aduh, perut aku lapar. Aku lupa kalau aku belum makan dari tadi," gumam Gina, sambil memegangi perutnya.Gina mengedarkan pandangan, mencari penjual makanan di tempat itu. Gina menemukan sebuah warteg di tempat itu. Bergegas Gina segera menghampiri sebuah warteg yang berada di pinggir jalan."Bu, aku pesan nasi ayam satu," ujar Gina, setelah ia masuk ke dalam warteg tersebut.Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Gina telah siap. Lantas Gina segera menyantapnya dengan sangat lahap.Suasana di tempat itu begitu ramai dan membuat Gina merasa gerah. Lantas Gina membuka jaket yang sedari tadi ia pakai.
Gina mematung dengan perasaan was-was, takut jika oma Wulan mengenalinya, lalu marah dan memaksanya untuk masuk kembali ke dalam hotel. Gina tidak bisa membayangkan, jika pernikahan ini terjadi. Mungkin, pernikahan ini akan menjadi neraka baginya, karena didasari oleh kebohongan yang dilakukan oleh David.Gina tidak berani menoleh ke belakang. Ia terdiam bagaikan patung, tidak bergerak sama sekali.Oma Wulan kemudian berjalan dan berdiri di hadapan Gina."Uangnya jatuh, tadi saya melihat uang kamu nongol dan jatuh dari saku jaket. Lain kali, kamu hati-hati, ya kalau nyimpan uang," imbuh oma Wulan, kemudian menyerahkan uang pemberian Lena yang tidak sadar terjatuh dari saku jaket yang Gina kenakan.Gina lantas menerimanya, ia merasa lega karena ternyata oma Wulan tidak mencurigainya."Terima kasih, Bu!" ucap Gina, dengan suara yang terdengar serak dan batuk. Sengaja ia lakukan, untuk mengelabuhi oma Wulan.Oma Wulan mengangguk seraya tersenyum. Namun, dari belakang terdengar seseorang
Gina menatap seorang wanita yang berdiri di dekat pintu. Wanita itu tampak mengenakan dress selutut dan jaket, selendang yang menutupi kepalanya, serta kacamata hitam dan masker.Bergegas wanita itu menutup pintu itu rapat. Ia menghampiri Gina yang berada di dekat cermin itu."Siapa, kamu?" tanya Gina, ia menatap wanita itu dari atas hingga ke bawah.Wanita itu lantas membuka kacamata hitam dan maskernya. Menampakkan wajah yang pernah Gina lihat beberapa kali, beberapa waktu yang lalu."Ana, kamu Ana?" tanya Gina, ia terkejut melihat wanita itu berada di dalam kamar yang sama dengan Gina."Ssst ... Iya, aku Ana. Gina, apa kamu yakin mau menikah dengan David?" tanya Ana, ia tampak gelisah saat bertanya kepada Gina.Gina menganggukkan kepalanya pelan."Iya, aku dan David akan menikah hari ini. Memangnya kenapa?" tanya Gina.Ana mengusap perutnya yang belum terlalu membesar. Kemudian menatap Gina dengan tatapan sayu."Lalu, bagaimana dengan anak ini? Sementara ayahnya akan melangsungkan
"Em ... Maaf, Bu Wulan. Apakah pernikahan ini dilakukan atas dasar cinta?" tanya Lena.Oma Wulan menoleh ke arah Lena. Ia mengangkat sebelah alisnya, seakan menuntut jawaban atas pertanyaan Lena barusan."Kenapa kamu nanyanya seperti itu? Gina menerima tanpa ada penekanan. Jadi, saya rasa, kamu tidak perlu bertanya seperti itu," imbuh oma Wulan.Gina menunduk, sekilas ia melirik ke arah Lena. Lena pun sekilas mengamati Gina."Em ... Maaf, Bu Wulan. Maksud istri saya baik. Berharap pernikahan Gina bahagia dengan orang yang dicintainya. Kami, sebagai orang tua Gina juga, mengharapkan kebahagiaan putri kami dalam melakukan apa pun. Apalagi menikah, merupakan ibadah panjang. Kami ingin yang terbaik untuk Gina," timpal Rusdi berusaha menengahi, supaya tidak terjadi kesalahpahaman di antara Lena dan oma Wulan.Rusdi mengusap lengan Lena. Menyuruhnya untuk diam."Oh begitu? Kalian tidak usah khawatir. Saya kenal siapa calon suami Gina dan siapa ibunya. Sebagai Omanya Gina, saya juga berharap
"Gina!" panggil seseorang saat Gina baru saja turun dari dalam mobil, ia hendak masuk ke kampus.Gina menoleh ke belakang, dan mendapati Cherly yang tengah berlari menghampirinya.Dengan nafas tersengal, Cherly kemudian menarik tangan Gina, dan mengajaknya pergi ke taman kampus."Gina, coba jelaskan apakah benar, kamu mau menikah dengan David?" tanya Cherly.Gina terdiam, menatap Cherly yang seakan tengah menginterogasi lewat tatapan matanya yang tajam."Jawab, Gina!" sentak Cherly.Gina mengangguk mengiyakan pertanyaan Cherly. Membuat wanita itu terperangah mengetahui hal itu langsung dari Gina."Tapi kenapa, Gina? Memangnya tidak ada lelaki lain, yang bisa kamu nikahi apa? Kenapa harus David, Gina?" tanya Cherly tak habis pikir.Gina menghela nafas panjang, kemudian menatap Cherly."Ceritanya rumit, Cher. Ini masalah kemanusiaan. Aku tidak bisa menolak perjodohan ini," jawab Gina.Cherly mengernyitkan dahinya, menatap lekat ke arah Gina."Oh, jadi kamu dijodohkan sama keluarga kamu