"Mas, seharian kamu menemani aku di sini. Seharusnya, sekarang kamu istirahat saja, Mas," kata Amilie.Matanya sudah agak menyipit, bahkan beberapa kali Amilie melihat suaminya yang menguap."Aku belum mengantuk, Amilie. Nanti saja kalau sudah benar-benar mau tidur," jawabnya.Namun, Amilie tidak percaya dengan perkataan Theo. Sebab, ia tahu jika suaminya pasti menunggu dirinya tidur terlebih dahulu baru bisa tidur."Mas, kamu tidur saja. Jangan menunggu aku tertidur.""Sebenarnya aku memang mengantuk, tapi tapi entah kenapa tidak bisa tidur," ucapnya, jujur.Amilie mengangguk samar. "Oh, jadi karena itu."Ting! Ponsel berdenting. Ia mengambil ponselnya untuk melihat sebuah pesan yang masuk tersebut.[Nak, tolong kamu jangan abai begini. Apa kamu tidak bisa memikirkannya lagi?]Kalimat itu Theo baca dalam hati. Ia hendak mengabaikan pesan tersebut dan tidak terlalu mempedulikannya lagi.Sanjaya terus memandangi ponsel itu, tetapi kemudian ia menaruhnya. Namun, meskipun begitu ia tet
Keesokan harinya, Theo langsung mendapat telepon. Kala itu, ia masih tidur dengan Amilie.Tetapi suara bising ponsel itu membangunkannya. Ia mengucek matanya, melihat ke jam di rumah sakit itu yang sudah menunjukkan pukul 06.30."Sudah pagi rupanya," gumam Theo.Tidur terlalu malam, membuatnya bangun agak siang. Untungnya tidak terlalu siang. Hanya saja ..."Siapa pagi-pagi yang meneleponku?" Pertanyaan itu muncul di kepala begitu mendengar dering ponsel yang terus berbunyi tanpa henti.Lantas, ia pun menjawabnya begitu salah satu manajer restorannya menghubungi dirinya."Halo, Pa? Saya punya kabar baik untuk Anda," ucapnya dengan antusias. Matanya berbinar seolah tengah melihat sesuatu hal yang indah dan yang membuatnya bersemangat.Theo pun terkesiap. "Kabar baik apa? Katakan saja!" jawabnya dengan santai."Anda datang saja ke restoran sekarang, nanti saya akan memperlihatkan laporannya.""Istriku sedang sakit, jadi ... Tolong katakan saja sekarang!""Baiklah, Pak."Sedikit kecewa
"Amilie, sekarang aku bantu ka--...."Langkah kakinya terhenti begitu melihat perawat itu ada di sana. Pesawat itu menoleh begitu mendengar suara orang berbicara."Kenapa berhenti di sana, Pak. Saya sudah membantu Bu Amilie sarapan pagi, jadi setelah ini dia bisa istirahat," begitulah katanya.Theo melihat ke arah Amilie, lalu berlanjut ke mangkuk yang ada di telapak tangan istrinya tersebut."Dia makan itu? Bukannya dia tidak suka makanan yang disediakan oleh rumah sakit?" batinnya."Mas, kenapa masih berdiam diri di sana?" ujar Amilie. Praak! Amilie menaruh mangkuk itu di meja.Lantas, Theo pun melanjutkan langkah kakinya menuju Amilie."Bu Amilie, kalau sudah selesai sarapannya. Ini obatnya sudah boleh diminum," katanya seraya menyodorkan obat itu kepada Amilie.Amilie menerimanya. "Apa saya tiap hari harus minum obat ini, Sus?" tanyanya.Perawat itu mengangguk sembari tersenyum. "Iya~"Perlahan, Amilie mengambil air putih yang ada di dalam gelas tinggi. Lalu, ia memasukkan obat
"Mana dia? Kenapa belum juga datang?" gumamnya kesal.Rosalina terus memandangi jam tangannya. Ia menunggu kedatangan anaknya, tetapi sampai kini belum juga datang. "Anak itu, selalu cari masalah saja," umpatnya.Stephen datang ke restoran itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut di restoran itu. Hingga, ia melihat Rosalina -- Ibunya yang mengenakan baju merah tengah menunggu.Lantas, dirinya pun bergegas ke meja nomor 10. Rosalina pun melihat anaknya yang menuju ke meja itu."Dia baru datang setelah terlambat lima belas menit.""Maaf, Ma. Tadi--....""Ah, sudah, lebih baik sekarang kamu duduk. Mama mau bicarakan sesuatu sama kamu!" katanya."Bicarakan soal apa, sih, Ma? Jangan lama-lama, nanti Papa marah lagi sama aku karena terlambat datang ke kantor.""Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai membuat Papamu itu marah? Cepat bilang sama Mama!" bisik Rosalina dengan mata yang sesekali melihat ke sekitar. "Tidak ada, Ma. Aku tidak melakukan hal aneh apapun. Memangnya Papa m
Rosalina menghela nafas dalam-dalam sembari mengangkat kedua alisnya secara bersamaan."Mau pesan apa, Bu?" tanya seorang pramusaji sembari memegang pulpen dan buku catatan kecil."Ayam pedas dan jus jeruk.""Dessert-nya mau apa, Bu?" tanya pramusaji itu lagi."Sudah, itu saja.""Baik, ditunggu ya, pesanannya," sahutnya sembari tersenyum ramah.Rosalina mengambil ponselnya. "Sepertinya aku harus minta ditemani."Amanda yang sedang duduk santai di tempat tidur itu pun kemudian langsung membuka ponselnya begitu melihat panggilan masuk."Tante Rosa, mau apa dia menghubungiku pagi-pagi?" Ia pun kemudian menjawabnya."Halo, Tante? Tante apa kabar?" ujar Amanda berushaa bersikap seramah mungkin kepada Rosalina.Ceklek! Pintu terbuka. Amanda menoleh ke arah pintu."Siapa itu, Nak?" tanya Dania.Tetapi, Amanda melambaikan tangannya. Ia seolah meminta Dania untuk mendekat ke arahnya.Dania pun mendekat, ia melihat ke arah ponsel Amanda."Ingat kata Mama, kamu jangan terlalu dekat berhubunga
"Mama ini, kenapa sampai sebegitunya, sih?" umpatnya dengan lirikan sinis. Dirinya pun lekas bangkit dari duduknya di tempat tidur secara perlahan. Sendal yang ada di sana itu ia pakai, lalu berjalan keluar dari kamar dengan kakinya yang masih pincang."Aaaww ... Kenapa kakiku masih sakit? Padahal diperiksa oleh dokter dan juga tukang urut? Kalau begini, aku tidak bisa pergi ke mana-mana!" umpatnya kesal.Sementara itu, Rosalina yang ada di restoran tengah menikmati makanan yang telah dipesannya beberapa saat yang lalu. Meskipun tengah makan, tetapi matanya memperlihatkan bahwa dirinya seolah tengah memikirkan sesuatu."Apa aku pergi saja, ya. Tapi, sayang juga kalau aku tidak menghabiskan makanan ini."Dengan gesit, Rosalina melanjutkan makannya. Ia juga menyedot minumannya hingga tersisa setengah."Mbak!" serunya seraya mengangkat salah satu tangan.Lantas, pelayan restoran itu datang menghadap padanya sembari membawa bill makanan. "Ini total semua makanannya," kata pelayan itu s
"Aku hanya memastikan saja, Pa. Ya sudah, kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku!" sahutnya.Stephen beranjak dari kursi duduk, ia memutar tubuhnya lalu kemudian langkah keluar dari sana.Meskipun merasa kesal, tetapi ia mencoba menahannya. Agar tidak sampai tersulut emosi dan melakukan tindakan yang merugikan dirinya dan Tuhan hidupnya."Anak itu," umpatnya pelan sembari melihat Stephen yang melangkah pergi.Di dalam ruangannya, Stephen langsung menggebrak meja. Nafasnya berat dan seolah ingin mencengkeram. Hidungnya mengerut hingga memperlihatkan giginya. Dirinya tatapan tajam, ia mengarahkan pandangannya pada sebuah kursi."Dia terlalu mengekang hidup aku. Aku yakin, Papa pasti telah membuat rencana dengan Dikta! Aku harus menemuinya ...!" Dirinya membalikkan badan dan melangkah. Tetapi, baru dua langkah, ia langsung menghentikan kakinya."Tidak. Aku tidak boleh gegabah. Satu langkah saja salah, maka hidupku akan berakhir. Warisan itu pun pasti akan jatuh ke tangan Theo!"Kemba
"Serius, Pa, sumpah! Aku tidak mungkin melakukan hal gila seperti itu! Bukannya selama ini kalau aku mau sesuatu selalu bilang dulu sama Papa!" jelas Stephen mencoba meyakinkan Sanjaya atas tudingan mengenai dirinya.Namun, Sanjaya hanya menyeringai remeh. Dari raut wajahnya memperlihatkan bahwa dirinya tidak percaya dengan Anaknya tersebut. "Papa tidak mau mendengar alasan bohong kamu lagi! Seminggu ini kamu tidak perlu datang ke kantor! Untuk kelakuan kamu ini, Papa beri waktu satu minggu untuk mengakuinya! Dengan begitu, Papa bisa memberikan keringanan sama kamu!" Lantas, Sanjaya pun melangkah pergi dari ruangan itu. "Anak itu sungguh mengecewakan! Aku sama sekali tidak percaya ini, keluargaku sendiri yang menusuk aku dari belakang!" umpatnya sembari berjalan.Dikta yang mendengar desas-desus mengenai Sanjaya yang marah besar sampai mendatangi ruangan Stephen. Itu membuat dirinya bergegas menghampiri.Setelah dari ruang kerja Stephen, Sanjaya langsung pergi ke ruang kopi. Ia mem