Keesokan harinya, Theo langsung mendapat telepon. Kala itu, ia masih tidur dengan Amilie.Tetapi suara bising ponsel itu membangunkannya. Ia mengucek matanya, melihat ke jam di rumah sakit itu yang sudah menunjukkan pukul 06.30."Sudah pagi rupanya," gumam Theo.Tidur terlalu malam, membuatnya bangun agak siang. Untungnya tidak terlalu siang. Hanya saja ..."Siapa pagi-pagi yang meneleponku?" Pertanyaan itu muncul di kepala begitu mendengar dering ponsel yang terus berbunyi tanpa henti.Lantas, ia pun menjawabnya begitu salah satu manajer restorannya menghubungi dirinya."Halo, Pa? Saya punya kabar baik untuk Anda," ucapnya dengan antusias. Matanya berbinar seolah tengah melihat sesuatu hal yang indah dan yang membuatnya bersemangat.Theo pun terkesiap. "Kabar baik apa? Katakan saja!" jawabnya dengan santai."Anda datang saja ke restoran sekarang, nanti saya akan memperlihatkan laporannya.""Istriku sedang sakit, jadi ... Tolong katakan saja sekarang!""Baiklah, Pak."Sedikit kecewa
"Amilie, sekarang aku bantu ka--...."Langkah kakinya terhenti begitu melihat perawat itu ada di sana. Pesawat itu menoleh begitu mendengar suara orang berbicara."Kenapa berhenti di sana, Pak. Saya sudah membantu Bu Amilie sarapan pagi, jadi setelah ini dia bisa istirahat," begitulah katanya.Theo melihat ke arah Amilie, lalu berlanjut ke mangkuk yang ada di telapak tangan istrinya tersebut."Dia makan itu? Bukannya dia tidak suka makanan yang disediakan oleh rumah sakit?" batinnya."Mas, kenapa masih berdiam diri di sana?" ujar Amilie. Praak! Amilie menaruh mangkuk itu di meja.Lantas, Theo pun melanjutkan langkah kakinya menuju Amilie."Bu Amilie, kalau sudah selesai sarapannya. Ini obatnya sudah boleh diminum," katanya seraya menyodorkan obat itu kepada Amilie.Amilie menerimanya. "Apa saya tiap hari harus minum obat ini, Sus?" tanyanya.Perawat itu mengangguk sembari tersenyum. "Iya~"Perlahan, Amilie mengambil air putih yang ada di dalam gelas tinggi. Lalu, ia memasukkan obat
"Mana dia? Kenapa belum juga datang?" gumamnya kesal.Rosalina terus memandangi jam tangannya. Ia menunggu kedatangan anaknya, tetapi sampai kini belum juga datang. "Anak itu, selalu cari masalah saja," umpatnya.Stephen datang ke restoran itu. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut di restoran itu. Hingga, ia melihat Rosalina -- Ibunya yang mengenakan baju merah tengah menunggu.Lantas, dirinya pun bergegas ke meja nomor 10. Rosalina pun melihat anaknya yang menuju ke meja itu."Dia baru datang setelah terlambat lima belas menit.""Maaf, Ma. Tadi--....""Ah, sudah, lebih baik sekarang kamu duduk. Mama mau bicarakan sesuatu sama kamu!" katanya."Bicarakan soal apa, sih, Ma? Jangan lama-lama, nanti Papa marah lagi sama aku karena terlambat datang ke kantor.""Sebenarnya apa yang kamu lakukan sampai membuat Papamu itu marah? Cepat bilang sama Mama!" bisik Rosalina dengan mata yang sesekali melihat ke sekitar. "Tidak ada, Ma. Aku tidak melakukan hal aneh apapun. Memangnya Papa m
Rosalina menghela nafas dalam-dalam sembari mengangkat kedua alisnya secara bersamaan."Mau pesan apa, Bu?" tanya seorang pramusaji sembari memegang pulpen dan buku catatan kecil."Ayam pedas dan jus jeruk.""Dessert-nya mau apa, Bu?" tanya pramusaji itu lagi."Sudah, itu saja.""Baik, ditunggu ya, pesanannya," sahutnya sembari tersenyum ramah.Rosalina mengambil ponselnya. "Sepertinya aku harus minta ditemani."Amanda yang sedang duduk santai di tempat tidur itu pun kemudian langsung membuka ponselnya begitu melihat panggilan masuk."Tante Rosa, mau apa dia menghubungiku pagi-pagi?" Ia pun kemudian menjawabnya."Halo, Tante? Tante apa kabar?" ujar Amanda berushaa bersikap seramah mungkin kepada Rosalina.Ceklek! Pintu terbuka. Amanda menoleh ke arah pintu."Siapa itu, Nak?" tanya Dania.Tetapi, Amanda melambaikan tangannya. Ia seolah meminta Dania untuk mendekat ke arahnya.Dania pun mendekat, ia melihat ke arah ponsel Amanda."Ingat kata Mama, kamu jangan terlalu dekat berhubunga
"Mama ini, kenapa sampai sebegitunya, sih?" umpatnya dengan lirikan sinis. Dirinya pun lekas bangkit dari duduknya di tempat tidur secara perlahan. Sendal yang ada di sana itu ia pakai, lalu berjalan keluar dari kamar dengan kakinya yang masih pincang."Aaaww ... Kenapa kakiku masih sakit? Padahal diperiksa oleh dokter dan juga tukang urut? Kalau begini, aku tidak bisa pergi ke mana-mana!" umpatnya kesal.Sementara itu, Rosalina yang ada di restoran tengah menikmati makanan yang telah dipesannya beberapa saat yang lalu. Meskipun tengah makan, tetapi matanya memperlihatkan bahwa dirinya seolah tengah memikirkan sesuatu."Apa aku pergi saja, ya. Tapi, sayang juga kalau aku tidak menghabiskan makanan ini."Dengan gesit, Rosalina melanjutkan makannya. Ia juga menyedot minumannya hingga tersisa setengah."Mbak!" serunya seraya mengangkat salah satu tangan.Lantas, pelayan restoran itu datang menghadap padanya sembari membawa bill makanan. "Ini total semua makanannya," kata pelayan itu s
"Aku hanya memastikan saja, Pa. Ya sudah, kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku!" sahutnya.Stephen beranjak dari kursi duduk, ia memutar tubuhnya lalu kemudian langkah keluar dari sana.Meskipun merasa kesal, tetapi ia mencoba menahannya. Agar tidak sampai tersulut emosi dan melakukan tindakan yang merugikan dirinya dan Tuhan hidupnya."Anak itu," umpatnya pelan sembari melihat Stephen yang melangkah pergi.Di dalam ruangannya, Stephen langsung menggebrak meja. Nafasnya berat dan seolah ingin mencengkeram. Hidungnya mengerut hingga memperlihatkan giginya. Dirinya tatapan tajam, ia mengarahkan pandangannya pada sebuah kursi."Dia terlalu mengekang hidup aku. Aku yakin, Papa pasti telah membuat rencana dengan Dikta! Aku harus menemuinya ...!" Dirinya membalikkan badan dan melangkah. Tetapi, baru dua langkah, ia langsung menghentikan kakinya."Tidak. Aku tidak boleh gegabah. Satu langkah saja salah, maka hidupku akan berakhir. Warisan itu pun pasti akan jatuh ke tangan Theo!"Kemba
"Serius, Pa, sumpah! Aku tidak mungkin melakukan hal gila seperti itu! Bukannya selama ini kalau aku mau sesuatu selalu bilang dulu sama Papa!" jelas Stephen mencoba meyakinkan Sanjaya atas tudingan mengenai dirinya.Namun, Sanjaya hanya menyeringai remeh. Dari raut wajahnya memperlihatkan bahwa dirinya tidak percaya dengan Anaknya tersebut. "Papa tidak mau mendengar alasan bohong kamu lagi! Seminggu ini kamu tidak perlu datang ke kantor! Untuk kelakuan kamu ini, Papa beri waktu satu minggu untuk mengakuinya! Dengan begitu, Papa bisa memberikan keringanan sama kamu!" Lantas, Sanjaya pun melangkah pergi dari ruangan itu. "Anak itu sungguh mengecewakan! Aku sama sekali tidak percaya ini, keluargaku sendiri yang menusuk aku dari belakang!" umpatnya sembari berjalan.Dikta yang mendengar desas-desus mengenai Sanjaya yang marah besar sampai mendatangi ruangan Stephen. Itu membuat dirinya bergegas menghampiri.Setelah dari ruang kerja Stephen, Sanjaya langsung pergi ke ruang kopi. Ia mem
Sementara Sanjaya dan Dikta terus berbincang mengenai masalah yang dihadapi Sanjaya ....Di tempat lain, tepatnya di ruang makan. Amanda menikmati makanan itu, tetapi matanya masih tertuju pada ponselnya yang diambil paksa oleh Dania."Habiskan makanannya! Ponselnya tidak akan Mama kembalikan sebelum kamu menyelesaikan makan!" ucapnya dengan tegas.Amanda pun tidak bisa berbuat banyak. Ia menerima itu, karena orang yang diharapkannya pun tak pernah membalas pesan yang dikirimkannya."Iya, Ma. Tapi, kakiku masih sakit. Apa Mama punya kenalan dokter lain, yang bisa mengobati sakit pada kaki aku yang keseleo ini. Aku tidak bisa terus begini, Ma, rasanya tidak enak sekali. Mau ke mana-mana pun menjadi sulit."Dania mengunyah makanan sembari sesekali melihat ke arah kaki Amanda yang memakai sebuah perban di kaki Anaknya tersebut."Nanti Mama carikan dokter yang lain, deh, buat kamu!" sahutnya.Ting, Tong! Bel rumah pun berbunyi.Seorang pelayan di rumah itu mendatangi keluarga tersebut di
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,