"Serius, Pa, sumpah! Aku tidak mungkin melakukan hal gila seperti itu! Bukannya selama ini kalau aku mau sesuatu selalu bilang dulu sama Papa!" jelas Stephen mencoba meyakinkan Sanjaya atas tudingan mengenai dirinya.Namun, Sanjaya hanya menyeringai remeh. Dari raut wajahnya memperlihatkan bahwa dirinya tidak percaya dengan Anaknya tersebut. "Papa tidak mau mendengar alasan bohong kamu lagi! Seminggu ini kamu tidak perlu datang ke kantor! Untuk kelakuan kamu ini, Papa beri waktu satu minggu untuk mengakuinya! Dengan begitu, Papa bisa memberikan keringanan sama kamu!" Lantas, Sanjaya pun melangkah pergi dari ruangan itu. "Anak itu sungguh mengecewakan! Aku sama sekali tidak percaya ini, keluargaku sendiri yang menusuk aku dari belakang!" umpatnya sembari berjalan.Dikta yang mendengar desas-desus mengenai Sanjaya yang marah besar sampai mendatangi ruangan Stephen. Itu membuat dirinya bergegas menghampiri.Setelah dari ruang kerja Stephen, Sanjaya langsung pergi ke ruang kopi. Ia mem
Sementara Sanjaya dan Dikta terus berbincang mengenai masalah yang dihadapi Sanjaya ....Di tempat lain, tepatnya di ruang makan. Amanda menikmati makanan itu, tetapi matanya masih tertuju pada ponselnya yang diambil paksa oleh Dania."Habiskan makanannya! Ponselnya tidak akan Mama kembalikan sebelum kamu menyelesaikan makan!" ucapnya dengan tegas.Amanda pun tidak bisa berbuat banyak. Ia menerima itu, karena orang yang diharapkannya pun tak pernah membalas pesan yang dikirimkannya."Iya, Ma. Tapi, kakiku masih sakit. Apa Mama punya kenalan dokter lain, yang bisa mengobati sakit pada kaki aku yang keseleo ini. Aku tidak bisa terus begini, Ma, rasanya tidak enak sekali. Mau ke mana-mana pun menjadi sulit."Dania mengunyah makanan sembari sesekali melihat ke arah kaki Amanda yang memakai sebuah perban di kaki Anaknya tersebut."Nanti Mama carikan dokter yang lain, deh, buat kamu!" sahutnya.Ting, Tong! Bel rumah pun berbunyi.Seorang pelayan di rumah itu mendatangi keluarga tersebut di
"Kasihan sekali kamu, sini biar Tante bantu!" ujar Rosalina mencoba membantu.Tetapi, Amanda menahan Rosalina. "Tidak usah, Tante. Aku masih bisa berjalan, kok," sahutnya. Lalu, Amanda pun melanjutkan langkah kaki itu dan duduk di sofa. Begitu juga dengan Rosalina yang kembali duduk."Jeng, bagaimana kalau kita adakan makan malam lagi keluarga besar kita!" ajaknya.Dania melihat ke arah jam tangannya. Matanya melirik sedikit ke arah Rosalina."Aduuhh ... Jeng, maaf sekali, tapi saya baru ingat kalau ada acara di luar. Sebentar lagi, Anak saya mau pergi rumah sakit untuk memeriksakan kembali kakinya," ucapnya beralasan dengan nada meyakinkan.Rosalina menoleh ke samping, bibirnya menyeringai. Seolah sudah menebak apa yang dipikirkan Dania saat ini."Kenapa tiba-tiba begini, saat aku baru saja datang? Apa dia sengaja membuat alasan itu untuk mengusir aku dari rumah ini?" batinnya sembari mengerutkan dahi."Jeng! Tidak apa-apa, 'kan?" tanya Dania berusaha membangunkan Rosalina yang dia
"Dasar anak nakal! Mama bilang jangan asal bicara! Ingat, kamu masih punya Mama!"Stephen yang mendengar respon Ibunya pun malah tambah kesal, karena ternyata bisa menganggap mudah masalah di dalam hidupnya itu."Aku sedang dalam masalah besar, Ma! Kita tidak bisa terus santai begini, Mama harus gerak cepat! Kita juga harus memikirkan cara, supaya Papa percaya sama aku!""Maksudnya apa? Kenapa kamu sampai sebegitu khawatirnya? Tenang saja, Nak, ada Mama di sini yang pasti akan membantu kamu.""Ma, aku harus mengatakan hal ini supaya Mama mengerti--...."Belum selesai dengan kalimat yang diucapkannya, Rosalina malah langsung memotongnya."Sudah dulu, Mama sedang di jalan. Nanti kita bicara lagi. Sekarang mending kamu fokus saja dengan urusan kantor, biar Mama yang bicara nanti sama Papa kamu!""Ma, mana mungkin aku--...."Tuuut ... Tuuut ... Tuuut ...Panggilan pun berakhir. Rosalina pun kemudian memfokuskan dirinya kembali melihat ke jalan."Aku harus mulai mengatur rencana dan janji d
Amilie menoleh ke samping, dan matanya langsung terbelalak begitu melihat Dokter Lusi di sana."Dokter ...?" ucapnya pelan."Saya mencari Dokter dari tadi!" katanya, lalu tiba-tiba memeluk dokter itu.Namun, ia langsung termenung heran karena dirinya tiba-tiba ditarik begitu saja."Tapi, kenapa Dokter menarik saya seperti tadi?" tanya Amilie.Lalu, Dokter itu pun melepaskan Amilie dari cengkraman tangannya. "Ayo, ikut saya!" ajaknya ke sebuah ruangan.Kebetulan, saat itu Amilie memang sedang berdiri di dekat ruangan Dokter Lusi. Sehingga, membuat dirinya langsung dibawa ke ruangan itu. "Kamu masih tidak mengerti apa yang saya katakan? Jangan pernah berkeliaran di rumah sakit ini, saya tidak mau masalah semakin menjalar ke mana-mana!""Saya mengerti dan saya tahu. Tapi, ... Saya belum selesai bicara waktu itu. Kenapa Anda mencoba menghindari saya?"Dokter Lusi mendekat ke arah Amilie. Lalu, mereka melakukan kontak kata yang intens. Amilie saat itu hanya terdiam melihat Dokter itu ya
"Nah, kamu saya antar kamu sampai sini saja.""Terima kasih, Dok."Dokter Lusi pun membalikkan badannya dan siap pergi. Tetapi, Amilie yang baru mengingat sesuatu pun langsung menghentikannya."Tunggu sebentar, Dok!" seru Amilie. Ia kembali menyusul Dokter Lusi.Dokter Lusi pun menoleh. "Ada apa kamu memanggil saya lagi?" tanyanya."Boleh saya minta nomor Dokter?" tanya balik Amilie."Mana ponselnya?" Amilie ingat bahwa dirinya saat pergi, ia sama sekali tidak membawa ponsel itu."Ponselnya tidak saya bawa. Kalau begitu, boleh saya pinjam ponsel Dokter?" Dokter itu pun mengambil ponselnya dari dalam saku jubah putih yang dipakainya. Lalu, menyodorkannya ke arah Amilie.Amilie menerima sodoran itu dan langsung mengetiknya. "Sudah, Dok. Terima kasih lagi, lain kali kita mengobrol lagi. Bisa, 'kan? Aku akan mentraktirmu makan," katanya.Lalu, Amilie pun melangkah pergi. Sedangkan Dokter Lusi, ia hanya diam mematung seraya melihat Amilie yang sudah melangkah masuk ke ruang rawatnya.
Dokter itu menoleh ke sana kemari, memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya saat ini."Saya tidak pernah menyetujui hal ini! Kenapa kamu melakukan semua ini padanya?" bisik Dokter Lusi."Oohh ... Jadi, kamu masih belum paham dengan peringatan saya! Kamu juga tidak takut 'kan kalau tiba-tiba kehilangan pekerjaanmu di sana!" gertaknya. Dokter Lusi membelalak, ia juga mengepalkan salah satu tangannya penuh amarah. Tetapi, dirinya tetap menahan emosi yang kian membara itu."Tidak, aku tidak bisa begini. Kalau dia melakukan semua itu padaku, maka ... Aku tidak akan bisa membiayai sekolah anakku. Dia masih terlalu dini untuk merasakan kesulitan. Tapi ... Bagaimana ...?" batin Dokter Lusi.Keadaan membuatnya semakin bimbang. Tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi dirinya pun tidak bisa menyanggupi hal itu begitu mudahnya. "Uang sepuluh juta untuk pengobatan penyakit anakmu akan segera kamu dapatkan, asal ... Kamu mau mau bekerja sama denganku! Bagaimana?" Stephen tidak menyerah, ia
"Ma! Sudah siap makan malamnya?" tanya Sanjaya. Rosalina langsung terhenyak kaget, begitu suaminya tiba-tiba ada di belakang dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menyajikan teh hangat itu untuk suaminya."Pa, Papa habis dari mana saja?" tanya Rosalina basa-basi. Sebetulnya, ini merupakan cara dirinya untuk menghilangkan rasa gugup.Sebab, ia takut jika Sanjaya sangat curiga dengan gerak-geriknya. Terlebih lagi, Sanjaya datang saat dirinya masih mengaduk teh."Iya. Memangnya kenapa? Apa ada yang spesial untuk Papa malam ini?" sahutnya dengan pandangan menyapu meja makan yang dipenuhi makanan.Tap Tap Tap!"Pa, Papa mendengar suara, tidak?" tanya Rosalina begitu mendengar suara yang kian mendekat ke arah sana.Sanjaya terdiam, ia mencoba mendengarkan apa yang sebelumnya didengar oleh Rosalina."Iya, Ma. Suaranya semakin mendekat."Bersamaan saat Sanjaya menoleh, Stephen datang ke sana. Ia memenuhi permintaan Rosalina. Untuk kali ini saja, demi sebuah misi yang harus ia tuntaskan