"Nah, kamu saya antar kamu sampai sini saja.""Terima kasih, Dok."Dokter Lusi pun membalikkan badannya dan siap pergi. Tetapi, Amilie yang baru mengingat sesuatu pun langsung menghentikannya."Tunggu sebentar, Dok!" seru Amilie. Ia kembali menyusul Dokter Lusi.Dokter Lusi pun menoleh. "Ada apa kamu memanggil saya lagi?" tanyanya."Boleh saya minta nomor Dokter?" tanya balik Amilie."Mana ponselnya?" Amilie ingat bahwa dirinya saat pergi, ia sama sekali tidak membawa ponsel itu."Ponselnya tidak saya bawa. Kalau begitu, boleh saya pinjam ponsel Dokter?" Dokter itu pun mengambil ponselnya dari dalam saku jubah putih yang dipakainya. Lalu, menyodorkannya ke arah Amilie.Amilie menerima sodoran itu dan langsung mengetiknya. "Sudah, Dok. Terima kasih lagi, lain kali kita mengobrol lagi. Bisa, 'kan? Aku akan mentraktirmu makan," katanya.Lalu, Amilie pun melangkah pergi. Sedangkan Dokter Lusi, ia hanya diam mematung seraya melihat Amilie yang sudah melangkah masuk ke ruang rawatnya.
Dokter itu menoleh ke sana kemari, memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya saat ini."Saya tidak pernah menyetujui hal ini! Kenapa kamu melakukan semua ini padanya?" bisik Dokter Lusi."Oohh ... Jadi, kamu masih belum paham dengan peringatan saya! Kamu juga tidak takut 'kan kalau tiba-tiba kehilangan pekerjaanmu di sana!" gertaknya. Dokter Lusi membelalak, ia juga mengepalkan salah satu tangannya penuh amarah. Tetapi, dirinya tetap menahan emosi yang kian membara itu."Tidak, aku tidak bisa begini. Kalau dia melakukan semua itu padaku, maka ... Aku tidak akan bisa membiayai sekolah anakku. Dia masih terlalu dini untuk merasakan kesulitan. Tapi ... Bagaimana ...?" batin Dokter Lusi.Keadaan membuatnya semakin bimbang. Tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi dirinya pun tidak bisa menyanggupi hal itu begitu mudahnya. "Uang sepuluh juta untuk pengobatan penyakit anakmu akan segera kamu dapatkan, asal ... Kamu mau mau bekerja sama denganku! Bagaimana?" Stephen tidak menyerah, ia
"Ma! Sudah siap makan malamnya?" tanya Sanjaya. Rosalina langsung terhenyak kaget, begitu suaminya tiba-tiba ada di belakang dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menyajikan teh hangat itu untuk suaminya."Pa, Papa habis dari mana saja?" tanya Rosalina basa-basi. Sebetulnya, ini merupakan cara dirinya untuk menghilangkan rasa gugup.Sebab, ia takut jika Sanjaya sangat curiga dengan gerak-geriknya. Terlebih lagi, Sanjaya datang saat dirinya masih mengaduk teh."Iya. Memangnya kenapa? Apa ada yang spesial untuk Papa malam ini?" sahutnya dengan pandangan menyapu meja makan yang dipenuhi makanan.Tap Tap Tap!"Pa, Papa mendengar suara, tidak?" tanya Rosalina begitu mendengar suara yang kian mendekat ke arah sana.Sanjaya terdiam, ia mencoba mendengarkan apa yang sebelumnya didengar oleh Rosalina."Iya, Ma. Suaranya semakin mendekat."Bersamaan saat Sanjaya menoleh, Stephen datang ke sana. Ia memenuhi permintaan Rosalina. Untuk kali ini saja, demi sebuah misi yang harus ia tuntaskan
Pada pagi harinya ....Theo yang semalam menemani Amilie tidur pun, kali ini bangun lebih awal dari istrinya."Mas, tumben kamu bangun lebih awal?""Harusnya aku tanya sama kamu, kenapa kamu begitu santai, padahal kita mau pulang!""Ini masih terlalu pagi, Mas. Kalau cuma siap-siap begitu tidak akan sulit. Lagi pula, barang yang ada di sini tidak banyak, 'kan?" sahutnya."Hmm~~"Theo pun kemudian membereskan semuanya, agar saat mereka hendak pulang tidak perlu repot-repot lagi.Karena tahu bahwa Amile dan Theo akan pulang hari ini. Perawat yang biasanya melayani Amilie pun datang menghampiri. "Bu Amilie, hari ini pulang, ya?" ujar perawat itu tiba-tiba.Amilie mengangguk. "Iya, Sus.""Kalau begitu, hati-hati di jalannya. Semoga nanti bayi yang ada di dalam kandungannya lahir dengan selamat," begitu katanya.Amilie memejamkan mata, ia meng-Aamiinkan atas do'a perawat itu.Lalu, setelah mengatakan hal itu. Perawat itu pun kemudian pergi dari sana. "Amilie, ayo! Kita harus pulang lagi
"Gawat! Aku bisa ketahuan kalau Amilie terus melihat ke arah sini!" gumamnya dengan mata terbelalak, dan ia sendiri mencoba menyembunyikan tubuhnya sendiri di mobil itu.Theo yang melihat mobil putih terus di sana tanpa pergi pun membuatnya penasaran. Tapi ..."Biarkan saja! Mungkin orang yang numpang santai saja di sana. Lagian, itu 'kan jalanan umum!" kata Theo. Lalu, melanjutkan langkah kakinya kembali. Amilie yang masih penasaran pun membuat dirinya seolah ingin pergi ke sana dan memastikan langsung."Amilie!" seru Theo sembari berjalan.Tetapi, ia tidak mendengar suara orang menyahut. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh."Jangan pergi ke sana sendiri! Ayo kita masuk ke dalam! Sebentar lagi, kita harus menyiapkan semuanya!" "Tunggu sebentar saja, Mas!" sahut Amilie.Namun, Theo pun tetap tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Lantas, ia pun menarik pergelangan tangan istrinya dan sontak memangkunya."Kamu masih tidak mau mendengarkan suamimu?" ujarnya."Mas, turunk
"Nak, Papa perlu kamu di sini! Sekarang kamu datang!" pintanya."Tunggu di sana, ya, Pa! Aku akan segera datang!" Merasakan ada sesuatu hal yang tidak beres. Terlebih saat ditelpon ia mendengar suara Sanjaya yang begitu berbeda dari biasanya. Yang biasanya terdengar tegas, kini energi untuk bicara pun seolah menghilang.Tuutt.Panggilan berakhir. Theo diam sejenak, ia masih berpikir tentang apa yang harus dilakukannya saat itu."Mas! Apa ada sesuatu lagi?" tanya Amilie."Papa!" Theo menghela nafas sembari mondar-mandir.Theo menoleh ke arah Amilie sebentar. Kedua alis Amilie bertautan yang membuat dahinya mengerut. Ia menyimpan tanya dalam benaknya."Kenapa dengan Papa, Mas? Apa terjadi sesuatu padanya?" Theo menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu. Tapi, seperti Papa sedang membutuhkan pertolongan aku!" begitu katanya. "Ya sudah, Mas. Biar aku saja yang menyiapkan semuanya untuk nanti malam, kamu boleh pergi sekarang ke rumah Papa. Takutnya, dia sangat membutuhkan kamu karena a
Cupp! Amilie tiba-tiba memberikan sebuah kecupan mesra yang membuat Theo tidak bisa berkata-kata lagi. Ia langsung diam mematung dengan pipi memerah."Apa aku bermimpi?" Amilie menggeleng sembari tersenyum. "Kamu tidak sedang bermimpi. Itu hanya hadiah kecil sebagai tanda terima kasihku buat kamu, Mas," ucapnya.Theo menoleh ke arah Amilie dan langsung membalas kecupan itu. Tetapi, Theo membalasnya di bibir.Hati dua insan itu menjadi berdebar. Pipinya menghangat dan membuat keduanya seakan kegerahan."Mas, sudah. Katanya kamu mau pergi ke rumah Papa!" ujar Amilie mengingatkan.Theo pun langsung bangkit begitu mendengar hal itu dari Amilie. "Benar juga.""Kalau begitu aku pergi sekarang!" ujarnya sembari melambaikan tangan. "Kamu jangan lupa dengan pesan aku sebelumnya!""Iya, Mas. Tenang saja, di sini aku pasti akan baik-baik saja. Kamu juga baik-baik di perjalanannya!" balas Amilie.Tetapi, Theo sudah berjalan keluar dari kamar dan tidak lagi menyahutnya.Manajer itu pun tak ada d
"Cepat kau serahkan wanita itu sekarang juga sebelum kuhantamkan tubuhmu ke tembok!" Namun, manajer itu tetap diam dan tidak menjawab. Ia menjadi bingung, entah apa yang harus dilakukannya sekarang."Dia tidak ada di sini. Aku sendiri dan menunggu rumah ini karena memang tidak ada orang," ujarnya bohong.Manajer itu terpaksa harus berbohong, karena jika tidak demikian maka tentu saja orang itu tidak akan pergi. Ia juga merasa bingung dengan apa yang harus dikatakannya tersebut."Bohong! Aku yakin dia pasti ada di sini!" balasnya dengan sebuah gertakan keras.Gertakan yang sampai ke telinga Amilie. Membuatnya kaget dan bertanya-tanya. Namun, kemudian ia mengingat saat-saat dimana dirinya diculik"Jangan-jangan itu mereka!" ujarnya dengan kedua mata terbelalak. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Seketika ketenangannya terenggut. Rasa khawatir pun kembali muncul."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana cara aku menolongnya dan supaya aku lolos dari mereka," gumam Amilie s