"Ma! Sudah siap makan malamnya?" tanya Sanjaya. Rosalina langsung terhenyak kaget, begitu suaminya tiba-tiba ada di belakang dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menyajikan teh hangat itu untuk suaminya."Pa, Papa habis dari mana saja?" tanya Rosalina basa-basi. Sebetulnya, ini merupakan cara dirinya untuk menghilangkan rasa gugup.Sebab, ia takut jika Sanjaya sangat curiga dengan gerak-geriknya. Terlebih lagi, Sanjaya datang saat dirinya masih mengaduk teh."Iya. Memangnya kenapa? Apa ada yang spesial untuk Papa malam ini?" sahutnya dengan pandangan menyapu meja makan yang dipenuhi makanan.Tap Tap Tap!"Pa, Papa mendengar suara, tidak?" tanya Rosalina begitu mendengar suara yang kian mendekat ke arah sana.Sanjaya terdiam, ia mencoba mendengarkan apa yang sebelumnya didengar oleh Rosalina."Iya, Ma. Suaranya semakin mendekat."Bersamaan saat Sanjaya menoleh, Stephen datang ke sana. Ia memenuhi permintaan Rosalina. Untuk kali ini saja, demi sebuah misi yang harus ia tuntaskan
Pada pagi harinya ....Theo yang semalam menemani Amilie tidur pun, kali ini bangun lebih awal dari istrinya."Mas, tumben kamu bangun lebih awal?""Harusnya aku tanya sama kamu, kenapa kamu begitu santai, padahal kita mau pulang!""Ini masih terlalu pagi, Mas. Kalau cuma siap-siap begitu tidak akan sulit. Lagi pula, barang yang ada di sini tidak banyak, 'kan?" sahutnya."Hmm~~"Theo pun kemudian membereskan semuanya, agar saat mereka hendak pulang tidak perlu repot-repot lagi.Karena tahu bahwa Amile dan Theo akan pulang hari ini. Perawat yang biasanya melayani Amilie pun datang menghampiri. "Bu Amilie, hari ini pulang, ya?" ujar perawat itu tiba-tiba.Amilie mengangguk. "Iya, Sus.""Kalau begitu, hati-hati di jalannya. Semoga nanti bayi yang ada di dalam kandungannya lahir dengan selamat," begitu katanya.Amilie memejamkan mata, ia meng-Aamiinkan atas do'a perawat itu.Lalu, setelah mengatakan hal itu. Perawat itu pun kemudian pergi dari sana. "Amilie, ayo! Kita harus pulang lagi
"Gawat! Aku bisa ketahuan kalau Amilie terus melihat ke arah sini!" gumamnya dengan mata terbelalak, dan ia sendiri mencoba menyembunyikan tubuhnya sendiri di mobil itu.Theo yang melihat mobil putih terus di sana tanpa pergi pun membuatnya penasaran. Tapi ..."Biarkan saja! Mungkin orang yang numpang santai saja di sana. Lagian, itu 'kan jalanan umum!" kata Theo. Lalu, melanjutkan langkah kakinya kembali. Amilie yang masih penasaran pun membuat dirinya seolah ingin pergi ke sana dan memastikan langsung."Amilie!" seru Theo sembari berjalan.Tetapi, ia tidak mendengar suara orang menyahut. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh."Jangan pergi ke sana sendiri! Ayo kita masuk ke dalam! Sebentar lagi, kita harus menyiapkan semuanya!" "Tunggu sebentar saja, Mas!" sahut Amilie.Namun, Theo pun tetap tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Lantas, ia pun menarik pergelangan tangan istrinya dan sontak memangkunya."Kamu masih tidak mau mendengarkan suamimu?" ujarnya."Mas, turunk
"Nak, Papa perlu kamu di sini! Sekarang kamu datang!" pintanya."Tunggu di sana, ya, Pa! Aku akan segera datang!" Merasakan ada sesuatu hal yang tidak beres. Terlebih saat ditelpon ia mendengar suara Sanjaya yang begitu berbeda dari biasanya. Yang biasanya terdengar tegas, kini energi untuk bicara pun seolah menghilang.Tuutt.Panggilan berakhir. Theo diam sejenak, ia masih berpikir tentang apa yang harus dilakukannya saat itu."Mas! Apa ada sesuatu lagi?" tanya Amilie."Papa!" Theo menghela nafas sembari mondar-mandir.Theo menoleh ke arah Amilie sebentar. Kedua alis Amilie bertautan yang membuat dahinya mengerut. Ia menyimpan tanya dalam benaknya."Kenapa dengan Papa, Mas? Apa terjadi sesuatu padanya?" Theo menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu. Tapi, seperti Papa sedang membutuhkan pertolongan aku!" begitu katanya. "Ya sudah, Mas. Biar aku saja yang menyiapkan semuanya untuk nanti malam, kamu boleh pergi sekarang ke rumah Papa. Takutnya, dia sangat membutuhkan kamu karena a
Cupp! Amilie tiba-tiba memberikan sebuah kecupan mesra yang membuat Theo tidak bisa berkata-kata lagi. Ia langsung diam mematung dengan pipi memerah."Apa aku bermimpi?" Amilie menggeleng sembari tersenyum. "Kamu tidak sedang bermimpi. Itu hanya hadiah kecil sebagai tanda terima kasihku buat kamu, Mas," ucapnya.Theo menoleh ke arah Amilie dan langsung membalas kecupan itu. Tetapi, Theo membalasnya di bibir.Hati dua insan itu menjadi berdebar. Pipinya menghangat dan membuat keduanya seakan kegerahan."Mas, sudah. Katanya kamu mau pergi ke rumah Papa!" ujar Amilie mengingatkan.Theo pun langsung bangkit begitu mendengar hal itu dari Amilie. "Benar juga.""Kalau begitu aku pergi sekarang!" ujarnya sembari melambaikan tangan. "Kamu jangan lupa dengan pesan aku sebelumnya!""Iya, Mas. Tenang saja, di sini aku pasti akan baik-baik saja. Kamu juga baik-baik di perjalanannya!" balas Amilie.Tetapi, Theo sudah berjalan keluar dari kamar dan tidak lagi menyahutnya.Manajer itu pun tak ada d
"Cepat kau serahkan wanita itu sekarang juga sebelum kuhantamkan tubuhmu ke tembok!" Namun, manajer itu tetap diam dan tidak menjawab. Ia menjadi bingung, entah apa yang harus dilakukannya sekarang."Dia tidak ada di sini. Aku sendiri dan menunggu rumah ini karena memang tidak ada orang," ujarnya bohong.Manajer itu terpaksa harus berbohong, karena jika tidak demikian maka tentu saja orang itu tidak akan pergi. Ia juga merasa bingung dengan apa yang harus dikatakannya tersebut."Bohong! Aku yakin dia pasti ada di sini!" balasnya dengan sebuah gertakan keras.Gertakan yang sampai ke telinga Amilie. Membuatnya kaget dan bertanya-tanya. Namun, kemudian ia mengingat saat-saat dimana dirinya diculik"Jangan-jangan itu mereka!" ujarnya dengan kedua mata terbelalak. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Seketika ketenangannya terenggut. Rasa khawatir pun kembali muncul."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana cara aku menolongnya dan supaya aku lolos dari mereka," gumam Amilie s
"Aaaarrghhhh!" Erangan keras diikuti darah yang mengucur deras dari lengannya, membuat Amilie tidak lagi mampu menahan diri. Dirinya tersungkur di lantai sembari menahan darah pada lengannya."Tetaplah di sana," pinta Theo kepada Amilie."Tidak, Mas. Aku tidak bisa membiarkan darah kamu mengucur deras. Kamu harus diobati, Mas!" ujar Mailie dengan mata berkaca-kaca."Jangan, Amilie!" suara itu mengecil. "Dengarkan aku, di depan pintu kamar sana ada orang yang tengah mengincarmu! Jadi, tolonglah Amilie, tetap di sana dan jangan keluar!""Apa kamu tidak sadar dengan keadaan kamu sekarang ini, Mas. Kamu pasti kesakitan, jadi jangan berting--...."Namun, Theo tetap tidak mau jika istrinya itu sampai datang kepadanya hanya untuk menolong luka pada lengannya."Tolonglah, Amilie. Kalau tidak, aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi!" pintanya.Lantas, Amilie pun hanya menurut dengan keinginan suaminya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menahan diri untuk tidak keluar kamar
BRAAKK! Penyidik itu menggebrak meja dengan mata membelalak mengarah pada mereka."Katakan sekarang! Saya tidak mau buang-buang waktu lagi, kalau kalian tidak mau jujur ... Maka kalian akan mendapatkan hukumannya!"Keduanya saling menatap satu sama lain. Tetapi, sampai kini pun mereka belum berani membuka mulut untuk mengatakannya."Tolong jangan hukum saya!" pinta salah seorang penjahat yang ada di sana.Namun, penyidik itu terus mencoba untuk mengungkap siapa orang dibalik semua ini. "Kalau memang bukan kalian pelakunya, maka katakan saja siapa orang yang sudah menyuruh kalian untuk melakukan ini semua!"Penyidik itu terus menginterogasi keduanya dengan pertanyaan yang sama."Aku tahu kalian berbohong!""Pak, kami2hanya suruhan saja. Kalau mau marah atau menyalahkan, lebih baik Anda salahkan saja orang yang melakukannya!"Tetapi, penyidik itu hanya menggelengkan kepalanya dengan kesal. Ia sudah mencoba bersabar untuk menghadapi mereka, tetapi kemudian ....Perlahan, ia mengambil s
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,