Theo menoleh ke arah Amilie, ia mencoba memahami istrinya. Tetapi, tetap pada keputusan yang tidak bisa dibantah siapapun."Amilie, aku tahu kamu tidak tega melihatnya dipecat. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku tidak butuh karyawan yang tidak setia begitu," balasnya.Matanya terus mengarah pada wajah Amilie. Ia mencoba menyentuh pipinya lagi, berusaha memberikan pemahaman kepada istrinya dengan cara lembut."Tapi, Mas ... Apa tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?" Walaupun Theo sudah memberikan penjelasan kepadanya. Tetapi, ia bersikukuh membela manajer Theo itu.Theo memalingkan wajahnya dengan muka yang tampak agak kesal."Kenapa kamu terlalu membelanya? Apa kamu menyukai manajer itu?" duganya.Perasaan cemburu dalam benak Theo muncul begitu saja. Ia menjadi berpikir bahwa Amilie tidak terlalu memikirkan perasaan dan pikirannya, karena saat itu Amilie seolah begitu membela manajer tersebut. Amilie yang mendapat tuduhan itu pun langsung menjelaskan kepada suaminya. "Bukan begitu
Ting, Tong! Suara bel pintu rumah terus berbunyi. Stephen yang ada di dalam rumah menjadi terganggu dibuatnya."Siapa, sih, yang datang ke rumah ini dan memaksa mau masuk?!" batin Stephen.Saat itu dirinya tidak tahu dan bahkan tidak menduga bahwa yang ada di depan rumah itu adalah para polisi yang siap menangkap.Tok Tok Tok!Kali ini bunyinya berubah, mereka memilih untuk mengetuk pintu langsung. Karena, sudah berkali-kali menekan tombol itu. Tetapi, pemilik rumah itu tak kunjung keluar.Karena merasa penasaran, Stephen pun akhirnya berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu itu secara perlahan.Kriiieeet! Begitu pintu dibuka, kedua matanya langsung membelalak. Deg! "Aku kira siapa, ternyata polisi! Bagaimana ini? Apa mereka bermaksud untuk menangkapku?" batin Theo dengan denyut jantung yang menjadi cepat, lebih dari biasanya."Selamat siang, apakah Anda yang bernama Stephen?" tanya salah seorang polisi yang tengah berdiri di sana."Ya, tapi ... Maaf, ada apa, ya?" tanya Stephen --
"Anak itu benar-benar ...!" umpatnya sembari terus mencoba menghubungi Stephen.Namun, saat ini ponsel Stephen memang tertinggal di rumahnya. Begitu ia ditangkap oleh polisi, ia tidak memiliki kesempatan untuk mengambil ponsel tersebut.Jadi, mau berapa kali pun Rosalina mencoba untuk menghubungi anaknya. Stephen tidak akan mengetahui hal itu."Apa yang terjadi dengan anak itu? Kenapa sekarang dia menjadi abai dengan teleponku? Apa sesuatu sedang terjadi padanya?" batin Rosalina.Hatinya menjadi tidak tenang. Gelisah tak karuan dan kini ia menjadi panik."Pa, apa Papa merasakan sesuatu?" tanya Rosalina.Sanjaya menoleh ke arah Rosalina dan langsung menggelengkan kepala. "Tidak, Ma. Memangnya apa yang Mama rasakan sampai bertanya begitu sama Papa?" tanya balik Sanjaya.Firasat seorang Ibu memang tidak pernah salah. Ikatan batin yang kuat membuat Rosalina merasa bahwa sesuatu hal yang buruk telah terjadi pada anaknya."Mama merasa gelisah dan tidak tenang. Dari tadi Mama hubungi, tapi d
"Mungkin itu petugas yang ada di sini, Mas," sahut Amilie.Namun, Theo masih merasa bahwa itu bukan mereka. Ada seseorang yang mencurigakan di luar sana yang membuat dirinya merasa tidak aman. "Sudah, Mas. Lebih baik, sekarang aku suapi kamu makan. Setelah ini baru kamu istirahat. Jangan terlalu memikirkan yang tidak pasti," kata Amilie.Theo hanya terdiam sembari sesekali melirik ke arah luar dari balik pintu."Tidak mungkin kalau hanya petugas. Kenapa aku merasa ada orang yang mencurigakan di sekitar sini?" batin Theo.Namun, dirinya tidak mau membahasnya lagi. Dirinya pun kemudian langsung mengalihkan topik kepada sesuatu hal yang dia inginkan sebelumnya."Sayang, ayo suapi aku sekarang!" pinta Theo dengan refleks.Amilie pun langsung menganga begitu mendengar suaminya yang memanggilnya begitu. "Hah, sayang?!""Umm--maksudnya Amilie, ayo suapi aku! Aku sudah sangat lapar!" pinta Theo, tetapi ia mengubah cara memanggil istrinya."Kenapa kamu tidak memanggil aku dengan kata 'Sayang
"Baiklah, tapi saya hanya bisa memberi kamu waktu sepuluh menit saja. Tapi, jangan mencoba untuk kabur!" tegasnya.Lalu, sipir pun langsung membuka gembok sel tahanan. Dirinya tidak tega jika benar Stephen memang ingin menghubungi Ibunya.Stephen pun keluar dari sel penjara itu. Setelah itu, sipir itu kembali menggembok sel tahanan tersebut."Baik, silakan ke sana! Kamu hanya punya waktu sepuluh menit!" ujar sipir mengingatkan.Di samping seorang sipir di sampingnya, Stephen mengambil telepon itu dan mencoba menghubungi Ibunya. Sedang sipir, ia hanya melihat ke arah jam sembari melihat waktu yang sudah ditentukan tersebut."Waktu sudah berjalan, kalau bisa ... Katakan yang perlu dikatakan saja! Jangan banyak basa-basi!"Stephen tidak menyahutnya, yang ia tunggu hanyalah Rosalina agar segera menjawab teleponnya.Saat itu, Rosalina memang masih berada di rumahnya. Wanita itu tengah bersantai sejenak di dekat kolam."Sudah lama sekali aku tidak bersantai begini. Rasnaya nyaman sekali!" u
"Tidak! Mana mungkin dia masuk ke dalam penjara?!" Rosalina sungguh tak percaya dengan kabar buruk itu. Dirinya pun bergegas pergi kolam out menuju halaman rumah. "Ayo, kita harus pergi sekarang!" ajaknya kepada sopir yang terus berdiri di sana menemani Rosalina."Iya, Nyonya!" sahut sopirnya berlari kecil mengejar Rosalina yang sudah berjalan cukup jauh dari dirinya.Dengan langkah cepat, Rosalina terus berjalan tanpa henti. Dirinya benar-benar sudah tidak bisa merasakan ketenangan lagi."Mau pergi ke mana lagi sekarang dia? Kenapa dia tampak tidak peduli dengan suaminya sendiri? Tapi, kali ini ...." Sopir itu memicingkan matanya, seolah tengah menerawang Rosalina yang begitu terburu-buru saat akan pergi.Rosalina yang sudah sampai di dekat pintu mobil pun langsung menoleh begitu sopir itu belum sampai di sana."Berlarilah! Aku tidak punya banyak waktu lagi!" perintah Rosalina dengan suara teriakan keras sampai ke telinga sopir tersebut."Iya, Nyonya. Tunggu saya di sana!""Apa ses
"Kenapa, Pa? Apa yang terjadi?" tanya Amanda yang saat itu baru beberapa saat yang lalu sudah datang ke ruang keluarga, tetapi ia agak menguping pembicaraan mereka.Amanda datang begitu melihat Santoso yang tampak terus melamun. Ia bergabung bersama kedua orang tuanya yang tampaknya baru selesai bicara itu.Santoso yang tengah dalam keadaan tertegun pun merasa terbangunkan hingga dirinya refleks menoleh ke arah Amanda."Tidak apa-apa, Nak. Papa hanya sedikit memikirkan sesuatu saja."Karena pikir topik sebelumnya tidak begitu penting, sehingga ia pun beralih topik untuk menghindari bersitenggang diantara mereka."Eh, ngomong-ngomong ... Kita semua sudah lama sekali tidak bertemu dengan Amilie. Papa ingin tahu kabarnya. Bagaimana kalau kita pergi ke rumah mereka untuk melihat kondisinya sekarang?""Boleh saja, Pa. Tapi, Papa yakin kalau mereka masih akan menerima kita dengan baik?" celetuk Amanda."Why not? Kita ini orang tuanya. Tidak mungkin kalau kita diusir oleh mereka ...!""Ya su
Stephen berjalan menemui orang itu, lalu dirinya pun duduk berhadapan dengan orang yang sudah menunggu dirinya. "Kalian ini kemana saja?!" tanya Stephen dengan nada agak berbisik.Tetapi, sipir itu berdiri dan memantau dirinya."Seperti biasa, kalian hanya punya waktu sepuluh menit untuk bicara. Setelah itu, masing-masing harus kembali ke tempat!"Mereka hanya mendengarkan saja, tetapi tak satupun dari mereka yang menyahut. Kini, mereka hanya fokus dengan obrolan yang akan mereka bicarakan. Terutama dua orang yang menjadi anak buahnya tersebut."Untuk apa kalian datang ke sini kalau memang kalian yang membawa namaku di dalam masalah ini!" Stephen bangkit dari duduknya karena kesal. Terlihat, pria itu yang seakan pergi meninggalkan keduanya. Karena sudah terlanjur marah. "Aku 'kan sudah bilang, jangan katakan yang sejujurnya! Dasar bodoh!""Duduk dulu, Bos!" pinta salah seorang anak buahnya ketika dirinya masih dalam keadaan berdiri sembari berkacak pinggang.Lantas, Stephen duduk d