"Ternyata ada yang lebih jahat daripada kita!" ucap salah seorang teman tahanannya sembari tertawa terbahak-bahak.Stephen melirik ke arah mereka dengan kesal!"Ma, aku tidak bermaksud begitu. Aku pikir yang datang menemui aku itu mereka. Tapi, kalau dari tadi aku tahu itu Mama, pasti akan segera ke sana!" ucapnya menyesal.Rosalina menghela nafas kesal, ia melipat kedua tangannya di dada. "Makanya, kamu tanya-tanya dulu, jangan sembarangan menduga saja!" "Iya, Ma, maaf. Tapi, aku mohon sama Mama, tolong bantu keluarkan aku dari sini!" pinta Stephen kepada Rosalina. Wajahnya seolah meminta belas kasih dari Ibunya yang masih ada di sana.Rosalina menoleh dan menatap wajah Stephen kembali setelah sebelumnya ia hanya memalingkan wajah ke arah lain." Tenang saja, Mama pasti akan mengeluarkan kamu. Tapi untuk saat ini kamu harus bersabar, karena Mama harus bicara dulu sama Papamu!" begitu katanya."Benar, Ma. Papa 'kan punya pengacara, dia pasti bisa mengeluarkan aku dari sini, 'kan?"R
"Kamu yakin mau tidur di sana?" tanya Theo."Iya, itu tidak masalah. Lagi pula, aku sudah terbiasa seperti ini.""Terbiasa bagaimana?"Hingga akhirnya, perdebatan kecil diantara mereka pun berakhir. Keduanya malah terbangun di tempat yang sama.Amilie tidur di sofa dalam keadaan bersandar pada bahu Theo. Theo yang sudah bangun pun hanya bisa menunggu Amilie sampai terbangun. Dirinya tidak tega jika harus membangunkannya."Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Amilie saat dirinya baru membuka kedua matanya."Kalau masih mengantuk, kamu tidur lagi saja," sahutnya.Tetapi, karena mengingat hari ini Theo jadwal pulang ke rumah. Itu membuat Amilie bangkit dari tidurnya.Kriiieettt! Pintu terbuka.Sebenarnya ini pun tidak terlalu pagi, karena sudah hampir memasuki waktu siang. Kira-kira sudah pukul 07.45.Amilie langsung terkesiap saat tiba-tiba saja Dokter Lusi memasuki ruangan itu."Dokter Lusi?" Tentu saja Amilie merasa aneh dengan kehadirannya itu."Kamu beritahu keberadaan kita di sini?" tan
"Sekarang, kamu jemput saya ke rumah! Kita pergi ke rumah Theo!" ajak Sanjaya kepada Dikta.Dikta berpikir heran, padahal biasanya Sanjaya mengemudikan mobilnya sendiri. Tetapi, kali ini berbeda. Tanpa berpikir panjang, Dikta pun menyetujuinya. "Baik, Pak. Kalau begitu jam berapa kita akan pergi ke rumah Pak Theo?" tanya Dikta dengan sopan.Sanjaya seolah berpikir sejenak, lalu setelah itu barulah ia memberi kepastian."Kamu sekarang saja ke rumah saya, setelah itu kita pergi sama-sama!""Baik!""Ya sudah, saya siap-siap dulu."Setelah mengatakan kalimat singkatnya, ia pun langsung mematikan telepon itu. Dikta yang selesai bicara dengan atasannya pun membuatnya sedikit aneh. "Pak Bos biasanya pergi sendiri. Tapi kali ini ...?" Namun, untuk mengetahui jawabannya. Ia pun melepas bersiap-siap untuk kemudian pergi menjemput Sanjaya di rumahnya.Sementara itu, Sanjaya yang sedang di meja makan pun langsung bangkit untuk bersiap-siap. Rosalina yang juga mendengar dan mengetahui bahwa s
"Theo. Papa minta maaf karena datang begitu saja ke rumah ini!" ujar Sanjaya tiba-tiba."Kalau begitu, ayo masuk, Pa!" ajak Theo kepada Ayahnya."Ayo, semuanya masuk!" ajak Amilie kepada semua yang ada di teras itu.Lantas, semuanya masuk ke dalam rumah itu. Karena kuncinya ada di tangan David, sehingga David harus membukanya terlebih dahulu.Kesadaran akan rumah itu yang tanpa ada seorang pembantu, membuat Amilie bergegas pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman untuk mereka.Walaupun kondisi rumah belum dibereskan, untungnya semuanya dapat memahami keadaan tersebut. Di ruang tamu, semuanya mengobrol. Sanjaya yang melihat kondisi rumah rumah yang tampak berantakan itu membuatnya syok."Kenapa bisa sampai begini?" tanya Sanjaya kepada Theo.Lalu, Theo pun memberitahunya. "Ini semua karena dua orang yang mencoba menculik Amilie!" jawab Theo.Dirinya masih merasa geram dengan kedua pemalu tersebut. Tetapi, kini ia merasa sedikit lebih tenang begitu dirinya sadar bahw
Waktu terus berjalan. David yang sudah menikmati camilan -- biskuit itu pun kemudian bangkit dari duduknya."Bro, sepertinya harus pulang, nih!" begitu katanya.Mereka berjabat tangan, lalu saling menepuk pundak masing-masing dari sisi yang berbeda."Terima kasih banyak, Bro!" "Iya, sama-sama!" jawabnya.Lantas, David pun meninggalkan rumah itu. Kini, tinggal-lah mereka berdua yang ada di sana. Sanjaya dan Dikta entah pergi ke mana, karena sampai kini pun mereka belum kembali."Mas, sekarang kamu istirahat di kamar! Setengah jam lagi, aku akan panggil kamu kalau makanan sudah siap!" pinta Amilie."Tidak, Amilie. Aku akan bantu kamu memasak.""Tapi, kondisi kamu sedang kurang baik, Mas.""Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil saja, kok."Amilie menatap wajah suaminya, yang tengah menatap dirinya seolah tengah meyakinkan. Tetapi, Amilie pun mencoba untuk meyakinkan suaminya bahwa istirahat itu baik untuk kondisi Theo saat ini."Maass ...!"Theo pun akhirnya memenuhi keinginan Amilie
Sanjaya memasuki rumah, Theo pun bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Ayahnya pergi."Pa, ayo kita makan dulu!""Loh ...?" Sanjaya langsung tercengang. Dirinya yang sudah berharap lebih malah untuk diajak makan.Theo menoleh. "Kenapa, Pa? Apa ada yang salah?" Sanjaya bangun dari lamunannya, lalu menyahut Anaknya itu. "Tidak ada. Ayo!" Mereka pun berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah tersedia nasi goreng dengan ayam goreng. Amilie yang sudah duduk di sana pun langsung menyambut Sanjaya dengan ramah. "Silakan, Pa! Maaf, kalau aku hanya bisa menyiapkan makanan ini saja!" kata Amilie sembari tersenyum."Tidak apa-apa."Amilie menyiduk nasi goreng itu, lalu menyiapkannya untuk Theo. Ia juga hendak menyiapkan untuk Sanjaya, namun ..."Tidak usah, Nak. Biar Papa ambil sendiri saja nasinya!" Sanjaya menahan Amilie.Setelah mengambil nasi goreng pun, Sanjaya tidak langsung makan. Ia terus menatap wajah Theo yang fokus pada piringnya. Amilie yang melihat hal itu pun langsung men
"Percayalah, aku sama sekali tidak ada maksud buruk sama Papa. Tapi, kamu juga jangan curiga hanya karena ini. Karena aku yakin kamu belum tahu apa yang sudah aku tahu."Amilie mencoba melepaskan pelukan itu. "Tapi, Mas, menurut aku itu terlalu berlebihan kalau syaratnya seperti itu!" sergah Amilie.Theo menghela nafas, ia memijat pangkal hidungnya. Mencoba tenang dan berbicara tanpa penekanan. "Sayang, sekarang terserah kamu mau bilang apa. Tapi, aku tahu apa yang harus aku lakukan dengan hidupku. Aku hanya perlu keadilan saja!" Theo membalikkan badannya. Dirinya berusaha menghindari berdebat dengan Amilie, karena dirinya tidak mau jika perdebatan membuat hubungan mereka kembali renggang.Padahal, kini hubungan mereka sudah baik dan saling terbuka satu sama lain. "Terserah kamu mau berpikir apa tentang aku, tapi ... Yang aku lakukan hanyalah demi sebuah keadilan yang tidak pernah Mama dapatkan sampai pada akhirnya ia meninggal!"Lalu, Theo pun melangkah pergi dari hadapan Amilie.
"Apa hasilnya kurang memuaskan, Pak?" tanya Dikta sambil mengemudi.Sanjaya hanya diam sembari memikirkan apa yang dikatakan Theo sebelumnya di rumah itu. 'Aku masih merasa heran, kenapa anak itu sepertinya sangat membenci Rosa? Apa yang membuat dia sampai sebegitu bencinya?'Pikirannya terus saja berpikir akan hal itu. Dirinya menjadi tidak mendengar apa yang Dikta tanyakan."Pak!" seru Dikta saat melihat Sanjaya yang terus tertegun tanpa henti.Sanjaya pun berkedip, ia bangun dari lamunannya dan langsung bertanya. "Kenapa kamu memanggil saya dengan keras? Memangnya saya budeg?!" "Tadi saya tanya, tadi Anda tidak menjawabnya. Jadi, saya pikir Anda tidak mendengarnya!" jelas Dikta."Saya hanya merasa bimbang saja. Sekarang, saya juga merasa heran, kenapa Theo begitu ingin menggali masa lalu Ibu tirinya?" ungkap Sanjaya.Dikta yang ada di sampingnya hanya bisa menyimak tanpa mampu memberi saran untuk atasannya. "Tadi kamu bilang saya tidak menyahut. Setelah saya jawab, giliran kamu