"Kamu yakin mau tidur di sana?" tanya Theo."Iya, itu tidak masalah. Lagi pula, aku sudah terbiasa seperti ini.""Terbiasa bagaimana?"Hingga akhirnya, perdebatan kecil diantara mereka pun berakhir. Keduanya malah terbangun di tempat yang sama.Amilie tidur di sofa dalam keadaan bersandar pada bahu Theo. Theo yang sudah bangun pun hanya bisa menunggu Amilie sampai terbangun. Dirinya tidak tega jika harus membangunkannya."Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Amilie saat dirinya baru membuka kedua matanya."Kalau masih mengantuk, kamu tidur lagi saja," sahutnya.Tetapi, karena mengingat hari ini Theo jadwal pulang ke rumah. Itu membuat Amilie bangkit dari tidurnya.Kriiieettt! Pintu terbuka.Sebenarnya ini pun tidak terlalu pagi, karena sudah hampir memasuki waktu siang. Kira-kira sudah pukul 07.45.Amilie langsung terkesiap saat tiba-tiba saja Dokter Lusi memasuki ruangan itu."Dokter Lusi?" Tentu saja Amilie merasa aneh dengan kehadirannya itu."Kamu beritahu keberadaan kita di sini?" tan
"Sekarang, kamu jemput saya ke rumah! Kita pergi ke rumah Theo!" ajak Sanjaya kepada Dikta.Dikta berpikir heran, padahal biasanya Sanjaya mengemudikan mobilnya sendiri. Tetapi, kali ini berbeda. Tanpa berpikir panjang, Dikta pun menyetujuinya. "Baik, Pak. Kalau begitu jam berapa kita akan pergi ke rumah Pak Theo?" tanya Dikta dengan sopan.Sanjaya seolah berpikir sejenak, lalu setelah itu barulah ia memberi kepastian."Kamu sekarang saja ke rumah saya, setelah itu kita pergi sama-sama!""Baik!""Ya sudah, saya siap-siap dulu."Setelah mengatakan kalimat singkatnya, ia pun langsung mematikan telepon itu. Dikta yang selesai bicara dengan atasannya pun membuatnya sedikit aneh. "Pak Bos biasanya pergi sendiri. Tapi kali ini ...?" Namun, untuk mengetahui jawabannya. Ia pun melepas bersiap-siap untuk kemudian pergi menjemput Sanjaya di rumahnya.Sementara itu, Sanjaya yang sedang di meja makan pun langsung bangkit untuk bersiap-siap. Rosalina yang juga mendengar dan mengetahui bahwa s
"Theo. Papa minta maaf karena datang begitu saja ke rumah ini!" ujar Sanjaya tiba-tiba."Kalau begitu, ayo masuk, Pa!" ajak Theo kepada Ayahnya."Ayo, semuanya masuk!" ajak Amilie kepada semua yang ada di teras itu.Lantas, semuanya masuk ke dalam rumah itu. Karena kuncinya ada di tangan David, sehingga David harus membukanya terlebih dahulu.Kesadaran akan rumah itu yang tanpa ada seorang pembantu, membuat Amilie bergegas pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman untuk mereka.Walaupun kondisi rumah belum dibereskan, untungnya semuanya dapat memahami keadaan tersebut. Di ruang tamu, semuanya mengobrol. Sanjaya yang melihat kondisi rumah rumah yang tampak berantakan itu membuatnya syok."Kenapa bisa sampai begini?" tanya Sanjaya kepada Theo.Lalu, Theo pun memberitahunya. "Ini semua karena dua orang yang mencoba menculik Amilie!" jawab Theo.Dirinya masih merasa geram dengan kedua pemalu tersebut. Tetapi, kini ia merasa sedikit lebih tenang begitu dirinya sadar bahw
Waktu terus berjalan. David yang sudah menikmati camilan -- biskuit itu pun kemudian bangkit dari duduknya."Bro, sepertinya harus pulang, nih!" begitu katanya.Mereka berjabat tangan, lalu saling menepuk pundak masing-masing dari sisi yang berbeda."Terima kasih banyak, Bro!" "Iya, sama-sama!" jawabnya.Lantas, David pun meninggalkan rumah itu. Kini, tinggal-lah mereka berdua yang ada di sana. Sanjaya dan Dikta entah pergi ke mana, karena sampai kini pun mereka belum kembali."Mas, sekarang kamu istirahat di kamar! Setengah jam lagi, aku akan panggil kamu kalau makanan sudah siap!" pinta Amilie."Tidak, Amilie. Aku akan bantu kamu memasak.""Tapi, kondisi kamu sedang kurang baik, Mas.""Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil saja, kok."Amilie menatap wajah suaminya, yang tengah menatap dirinya seolah tengah meyakinkan. Tetapi, Amilie pun mencoba untuk meyakinkan suaminya bahwa istirahat itu baik untuk kondisi Theo saat ini."Maass ...!"Theo pun akhirnya memenuhi keinginan Amilie
Sanjaya memasuki rumah, Theo pun bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Ayahnya pergi."Pa, ayo kita makan dulu!""Loh ...?" Sanjaya langsung tercengang. Dirinya yang sudah berharap lebih malah untuk diajak makan.Theo menoleh. "Kenapa, Pa? Apa ada yang salah?" Sanjaya bangun dari lamunannya, lalu menyahut Anaknya itu. "Tidak ada. Ayo!" Mereka pun berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah tersedia nasi goreng dengan ayam goreng. Amilie yang sudah duduk di sana pun langsung menyambut Sanjaya dengan ramah. "Silakan, Pa! Maaf, kalau aku hanya bisa menyiapkan makanan ini saja!" kata Amilie sembari tersenyum."Tidak apa-apa."Amilie menyiduk nasi goreng itu, lalu menyiapkannya untuk Theo. Ia juga hendak menyiapkan untuk Sanjaya, namun ..."Tidak usah, Nak. Biar Papa ambil sendiri saja nasinya!" Sanjaya menahan Amilie.Setelah mengambil nasi goreng pun, Sanjaya tidak langsung makan. Ia terus menatap wajah Theo yang fokus pada piringnya. Amilie yang melihat hal itu pun langsung men
"Percayalah, aku sama sekali tidak ada maksud buruk sama Papa. Tapi, kamu juga jangan curiga hanya karena ini. Karena aku yakin kamu belum tahu apa yang sudah aku tahu."Amilie mencoba melepaskan pelukan itu. "Tapi, Mas, menurut aku itu terlalu berlebihan kalau syaratnya seperti itu!" sergah Amilie.Theo menghela nafas, ia memijat pangkal hidungnya. Mencoba tenang dan berbicara tanpa penekanan. "Sayang, sekarang terserah kamu mau bilang apa. Tapi, aku tahu apa yang harus aku lakukan dengan hidupku. Aku hanya perlu keadilan saja!" Theo membalikkan badannya. Dirinya berusaha menghindari berdebat dengan Amilie, karena dirinya tidak mau jika perdebatan membuat hubungan mereka kembali renggang.Padahal, kini hubungan mereka sudah baik dan saling terbuka satu sama lain. "Terserah kamu mau berpikir apa tentang aku, tapi ... Yang aku lakukan hanyalah demi sebuah keadilan yang tidak pernah Mama dapatkan sampai pada akhirnya ia meninggal!"Lalu, Theo pun melangkah pergi dari hadapan Amilie.
"Apa hasilnya kurang memuaskan, Pak?" tanya Dikta sambil mengemudi.Sanjaya hanya diam sembari memikirkan apa yang dikatakan Theo sebelumnya di rumah itu. 'Aku masih merasa heran, kenapa anak itu sepertinya sangat membenci Rosa? Apa yang membuat dia sampai sebegitu bencinya?'Pikirannya terus saja berpikir akan hal itu. Dirinya menjadi tidak mendengar apa yang Dikta tanyakan."Pak!" seru Dikta saat melihat Sanjaya yang terus tertegun tanpa henti.Sanjaya pun berkedip, ia bangun dari lamunannya dan langsung bertanya. "Kenapa kamu memanggil saya dengan keras? Memangnya saya budeg?!" "Tadi saya tanya, tadi Anda tidak menjawabnya. Jadi, saya pikir Anda tidak mendengarnya!" jelas Dikta."Saya hanya merasa bimbang saja. Sekarang, saya juga merasa heran, kenapa Theo begitu ingin menggali masa lalu Ibu tirinya?" ungkap Sanjaya.Dikta yang ada di sampingnya hanya bisa menyimak tanpa mampu memberi saran untuk atasannya. "Tadi kamu bilang saya tidak menyahut. Setelah saya jawab, giliran kamu
Makanan yang sebelumnya dipesan pun datang ke meja."Silakan dan selamat menikmati makanannya~," ucap pelayan restoran itu dengan ramah. Lalu, ia melangkah pergi dari sana menuju tempatnya semula."Makanannya sudah datang, tapi saya tidak bisa menunggu apa yang akan Anda katakan. Karena setelah ini saya harus kembali ke kantor!" ungkap Santoso.Lantas, Sanjaya yang mendengar hal itu pun akhirnya memilih jalan terakhirnya untuk langsung bicara tanpa ada lagi drama seperti yang terjadi sebelumnya."Baik, Pak. Kalau begitu, saya bicara sekarang saja ...!"Kedua jari tangan saling menggenggam, Sanjaya mengatur nafasnya untuk bicara."Sebenarnya ... Kondisi perusahaan sedang dalam keadaan buruk. Apalagi, setelah ada masalah yang membuat saya jengkel. Namun, saya tidak menceritakan dengan lengkap. Saya hanya mau minta tolong dengan Anda, itu pun kalau Anda berkenan untuk membantu ...."Tutur kata Sanjaya ini membuat Santoso langsung menyimpulkan bahwa Sanjaya bermaksud untuk menjadi investor
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,