Sanjaya memasuki rumah, Theo pun bangkit dari duduknya dan langsung mengajak Ayahnya pergi."Pa, ayo kita makan dulu!""Loh ...?" Sanjaya langsung tercengang. Dirinya yang sudah berharap lebih malah untuk diajak makan.Theo menoleh. "Kenapa, Pa? Apa ada yang salah?" Sanjaya bangun dari lamunannya, lalu menyahut Anaknya itu. "Tidak ada. Ayo!" Mereka pun berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah tersedia nasi goreng dengan ayam goreng. Amilie yang sudah duduk di sana pun langsung menyambut Sanjaya dengan ramah. "Silakan, Pa! Maaf, kalau aku hanya bisa menyiapkan makanan ini saja!" kata Amilie sembari tersenyum."Tidak apa-apa."Amilie menyiduk nasi goreng itu, lalu menyiapkannya untuk Theo. Ia juga hendak menyiapkan untuk Sanjaya, namun ..."Tidak usah, Nak. Biar Papa ambil sendiri saja nasinya!" Sanjaya menahan Amilie.Setelah mengambil nasi goreng pun, Sanjaya tidak langsung makan. Ia terus menatap wajah Theo yang fokus pada piringnya. Amilie yang melihat hal itu pun langsung men
"Percayalah, aku sama sekali tidak ada maksud buruk sama Papa. Tapi, kamu juga jangan curiga hanya karena ini. Karena aku yakin kamu belum tahu apa yang sudah aku tahu."Amilie mencoba melepaskan pelukan itu. "Tapi, Mas, menurut aku itu terlalu berlebihan kalau syaratnya seperti itu!" sergah Amilie.Theo menghela nafas, ia memijat pangkal hidungnya. Mencoba tenang dan berbicara tanpa penekanan. "Sayang, sekarang terserah kamu mau bilang apa. Tapi, aku tahu apa yang harus aku lakukan dengan hidupku. Aku hanya perlu keadilan saja!" Theo membalikkan badannya. Dirinya berusaha menghindari berdebat dengan Amilie, karena dirinya tidak mau jika perdebatan membuat hubungan mereka kembali renggang.Padahal, kini hubungan mereka sudah baik dan saling terbuka satu sama lain. "Terserah kamu mau berpikir apa tentang aku, tapi ... Yang aku lakukan hanyalah demi sebuah keadilan yang tidak pernah Mama dapatkan sampai pada akhirnya ia meninggal!"Lalu, Theo pun melangkah pergi dari hadapan Amilie.
"Apa hasilnya kurang memuaskan, Pak?" tanya Dikta sambil mengemudi.Sanjaya hanya diam sembari memikirkan apa yang dikatakan Theo sebelumnya di rumah itu. 'Aku masih merasa heran, kenapa anak itu sepertinya sangat membenci Rosa? Apa yang membuat dia sampai sebegitu bencinya?'Pikirannya terus saja berpikir akan hal itu. Dirinya menjadi tidak mendengar apa yang Dikta tanyakan."Pak!" seru Dikta saat melihat Sanjaya yang terus tertegun tanpa henti.Sanjaya pun berkedip, ia bangun dari lamunannya dan langsung bertanya. "Kenapa kamu memanggil saya dengan keras? Memangnya saya budeg?!" "Tadi saya tanya, tadi Anda tidak menjawabnya. Jadi, saya pikir Anda tidak mendengarnya!" jelas Dikta."Saya hanya merasa bimbang saja. Sekarang, saya juga merasa heran, kenapa Theo begitu ingin menggali masa lalu Ibu tirinya?" ungkap Sanjaya.Dikta yang ada di sampingnya hanya bisa menyimak tanpa mampu memberi saran untuk atasannya. "Tadi kamu bilang saya tidak menyahut. Setelah saya jawab, giliran kamu
Makanan yang sebelumnya dipesan pun datang ke meja."Silakan dan selamat menikmati makanannya~," ucap pelayan restoran itu dengan ramah. Lalu, ia melangkah pergi dari sana menuju tempatnya semula."Makanannya sudah datang, tapi saya tidak bisa menunggu apa yang akan Anda katakan. Karena setelah ini saya harus kembali ke kantor!" ungkap Santoso.Lantas, Sanjaya yang mendengar hal itu pun akhirnya memilih jalan terakhirnya untuk langsung bicara tanpa ada lagi drama seperti yang terjadi sebelumnya."Baik, Pak. Kalau begitu, saya bicara sekarang saja ...!"Kedua jari tangan saling menggenggam, Sanjaya mengatur nafasnya untuk bicara."Sebenarnya ... Kondisi perusahaan sedang dalam keadaan buruk. Apalagi, setelah ada masalah yang membuat saya jengkel. Namun, saya tidak menceritakan dengan lengkap. Saya hanya mau minta tolong dengan Anda, itu pun kalau Anda berkenan untuk membantu ...."Tutur kata Sanjaya ini membuat Santoso langsung menyimpulkan bahwa Sanjaya bermaksud untuk menjadi investor
Waktu terus berlalu. Tak terasa, setelah kejadian berdarah pada hari itu. Kini, sudah satu bulan setelahnya dan ini juga menjadi pertanda bahwa sebentar lagi Amilie akan melahirkan.Menurut perkiraan bidan di sana, Sekitar sehari lagi Amilie akan melahirkan. Semuanya telah dipersiapkan, termasuk segala keperluan berupa pakaian bayi dan ayunannya. "Mas, tak terasa usia pernikahan kita sudah sekitar tujuh bulan. Dan, aku pun akan melahirkan," ucap Amilie sembari berjalan perlahan dengan salah satu tangan mengelus perutnya, sedangkan tangan yang lain tolak pinggang."Iya, sayang. Aku harap hubungan kita menjadi lebih baik lagi ke depannya," sahut Theo.Di rumah sakit itu, tepatnya di dekat ruang persalinan . Mereka terus mengobrol sembari berjalan terus di lorong tersebut.Beberapa orang memandang ke arah mereka, mereka berdecak kagum saat melihat Theo dan Amilie yang begitu harmonis dan berbahagia.Hingga, tiba-tiba saja Amilie harus menghentikan langkahnya di sana. Padahal, baru saja m
"Tunggu dulu, Ma! Mama jangan asal sahut aja, karena aku pun belum selesai bicara!" ujar Stephen menegaskan. Rosalina pun menjadi penasaran dengan maksud Stephen. Rencana apalagi yang ada di kepalanya? Begitulah makna dari tatapan Rosalina kepada Stephen saat itu."Katakan sama Mama sekarang! Apa yang sudah kamu rencanakan untuk merubah hidup kita ini?" tanya Rosalina dengan antusias dan tubuh agak condong ke arah Stephen.Kali ini, ia tertarik dengan ucapan Stephen. Karena dirinya berpikir bahwa Stephen memiliki rencana yang mungkin bagus, tetapi belum diberitahukan kepada dirinya."Mama pasti sangat penasaran, ya?" Alih-alih langsung memberitahu rencana itu kepada Ibunya, Stephen malah seolah membuat Rosalina tambah penasaran dengan hal itu."Cepat beritahu Mama sekarang! Kalau tidak, Mama akan pergi dan tidak akan membantu kamu keluar dari sini!" gertaknya saat dibuat kesal dengan kelakuan Anaknya tersebut.Stephen terkekeh melihat Rosalina yang seperti itu. "Oke, Ma, oke. Sekar
"Aku harus mengikuti mereka," ucap wanita itu dengan wajah yang ditutup oleh krudungan yang dipakainya.Motor yang berseliweran di sekitar sana, membuat wanita itu tampak begitu mudahnya menghentikan salah seorang ojek online yang terus melewati sana.Tangannya langsung melambai kepada salah seorang pengendara motor yang menggunakan jaket ojek online. "Sini, Mas!" pintanya.Pengendara roda dua itu pun langsung menepikan motornya tepat di depan wanita mencurigakan tersebut. Dania dan Santoso yang baru saja melewatinya pun tidak menyadari keberadaan wanita itu, yang ternyata adalah Rosalina. "Aku tidak boleh sampai ketinggalan!" batinnya."Mau kemana Nenek ini?" tanya tukang ojek tersebut."Ikuti mobil putih yang depan. Jangan sampai ketinggian jejaknya Walaupun sedikit saja!"Beberapa saat yang lalu ia sempat pergi ke rumah Theo dan Amilie yang baru, tetapi begitu datang ke sana, rumah itu tampak sepi. Hingga, dirinya bertanya kepada sekitar yang ternyata mengetahui bahwa Amilie pe
"Sebentar lagi pasti akan bisa keluar dari penjara yang penuh sesak ini!" gumam Stephen sembari terus berkhayal. Dirinya mencoba menghibur diri dengan membayangkan keberahasilan atas sebuah rencana yang sedang dijalankan oleh Rosalina.Sementara itu, Amilie sedang menikmati kebahagiaannya dengan sang buah hati dan suami yang mencintai dirinya."Mas, aku dengar tadi seperti ada pesan masuk. Kamu sudah lihat belum?" tanya Amilie sembari memomong bayinya.Sebelumnya, Theo memang tidak memegang ponsel. Ia menikmati makanan yang baru dibelinya itu, karena memang belum makan sama sekali."Iya-kah?" sahut Theo yang masih dalam keadaan mulut penuh makanan."Iya, Mas.""Kalau begitu coba kamu buka aja!" Tetapi, saat itu Amilie hanya melirik saja ke arah ponsel tersebut tanpa menyentuhnya sama sekali. "Aku sedang menyusui bayi, Mas. Nanti saja sama kamu," jawab Amilie.Theo pun tidak menyahut, ia kembali melanjutkan makannya. Kali ini, makanan itu memang tinggal tersisa sedikit saja.Hingga