"Baiklah, tapi saya hanya bisa memberi kamu waktu sepuluh menit saja. Tapi, jangan mencoba untuk kabur!" tegasnya.Lalu, sipir pun langsung membuka gembok sel tahanan. Dirinya tidak tega jika benar Stephen memang ingin menghubungi Ibunya.Stephen pun keluar dari sel penjara itu. Setelah itu, sipir itu kembali menggembok sel tahanan tersebut."Baik, silakan ke sana! Kamu hanya punya waktu sepuluh menit!" ujar sipir mengingatkan.Di samping seorang sipir di sampingnya, Stephen mengambil telepon itu dan mencoba menghubungi Ibunya. Sedang sipir, ia hanya melihat ke arah jam sembari melihat waktu yang sudah ditentukan tersebut."Waktu sudah berjalan, kalau bisa ... Katakan yang perlu dikatakan saja! Jangan banyak basa-basi!"Stephen tidak menyahutnya, yang ia tunggu hanyalah Rosalina agar segera menjawab teleponnya.Saat itu, Rosalina memang masih berada di rumahnya. Wanita itu tengah bersantai sejenak di dekat kolam."Sudah lama sekali aku tidak bersantai begini. Rasnaya nyaman sekali!" u
"Tidak! Mana mungkin dia masuk ke dalam penjara?!" Rosalina sungguh tak percaya dengan kabar buruk itu. Dirinya pun bergegas pergi kolam out menuju halaman rumah. "Ayo, kita harus pergi sekarang!" ajaknya kepada sopir yang terus berdiri di sana menemani Rosalina."Iya, Nyonya!" sahut sopirnya berlari kecil mengejar Rosalina yang sudah berjalan cukup jauh dari dirinya.Dengan langkah cepat, Rosalina terus berjalan tanpa henti. Dirinya benar-benar sudah tidak bisa merasakan ketenangan lagi."Mau pergi ke mana lagi sekarang dia? Kenapa dia tampak tidak peduli dengan suaminya sendiri? Tapi, kali ini ...." Sopir itu memicingkan matanya, seolah tengah menerawang Rosalina yang begitu terburu-buru saat akan pergi.Rosalina yang sudah sampai di dekat pintu mobil pun langsung menoleh begitu sopir itu belum sampai di sana."Berlarilah! Aku tidak punya banyak waktu lagi!" perintah Rosalina dengan suara teriakan keras sampai ke telinga sopir tersebut."Iya, Nyonya. Tunggu saya di sana!""Apa ses
"Kenapa, Pa? Apa yang terjadi?" tanya Amanda yang saat itu baru beberapa saat yang lalu sudah datang ke ruang keluarga, tetapi ia agak menguping pembicaraan mereka.Amanda datang begitu melihat Santoso yang tampak terus melamun. Ia bergabung bersama kedua orang tuanya yang tampaknya baru selesai bicara itu.Santoso yang tengah dalam keadaan tertegun pun merasa terbangunkan hingga dirinya refleks menoleh ke arah Amanda."Tidak apa-apa, Nak. Papa hanya sedikit memikirkan sesuatu saja."Karena pikir topik sebelumnya tidak begitu penting, sehingga ia pun beralih topik untuk menghindari bersitenggang diantara mereka."Eh, ngomong-ngomong ... Kita semua sudah lama sekali tidak bertemu dengan Amilie. Papa ingin tahu kabarnya. Bagaimana kalau kita pergi ke rumah mereka untuk melihat kondisinya sekarang?""Boleh saja, Pa. Tapi, Papa yakin kalau mereka masih akan menerima kita dengan baik?" celetuk Amanda."Why not? Kita ini orang tuanya. Tidak mungkin kalau kita diusir oleh mereka ...!""Ya su
Stephen berjalan menemui orang itu, lalu dirinya pun duduk berhadapan dengan orang yang sudah menunggu dirinya. "Kalian ini kemana saja?!" tanya Stephen dengan nada agak berbisik.Tetapi, sipir itu berdiri dan memantau dirinya."Seperti biasa, kalian hanya punya waktu sepuluh menit untuk bicara. Setelah itu, masing-masing harus kembali ke tempat!"Mereka hanya mendengarkan saja, tetapi tak satupun dari mereka yang menyahut. Kini, mereka hanya fokus dengan obrolan yang akan mereka bicarakan. Terutama dua orang yang menjadi anak buahnya tersebut."Untuk apa kalian datang ke sini kalau memang kalian yang membawa namaku di dalam masalah ini!" Stephen bangkit dari duduknya karena kesal. Terlihat, pria itu yang seakan pergi meninggalkan keduanya. Karena sudah terlanjur marah. "Aku 'kan sudah bilang, jangan katakan yang sejujurnya! Dasar bodoh!""Duduk dulu, Bos!" pinta salah seorang anak buahnya ketika dirinya masih dalam keadaan berdiri sembari berkacak pinggang.Lantas, Stephen duduk d
"Ternyata ada yang lebih jahat daripada kita!" ucap salah seorang teman tahanannya sembari tertawa terbahak-bahak.Stephen melirik ke arah mereka dengan kesal!"Ma, aku tidak bermaksud begitu. Aku pikir yang datang menemui aku itu mereka. Tapi, kalau dari tadi aku tahu itu Mama, pasti akan segera ke sana!" ucapnya menyesal.Rosalina menghela nafas kesal, ia melipat kedua tangannya di dada. "Makanya, kamu tanya-tanya dulu, jangan sembarangan menduga saja!" "Iya, Ma, maaf. Tapi, aku mohon sama Mama, tolong bantu keluarkan aku dari sini!" pinta Stephen kepada Rosalina. Wajahnya seolah meminta belas kasih dari Ibunya yang masih ada di sana.Rosalina menoleh dan menatap wajah Stephen kembali setelah sebelumnya ia hanya memalingkan wajah ke arah lain." Tenang saja, Mama pasti akan mengeluarkan kamu. Tapi untuk saat ini kamu harus bersabar, karena Mama harus bicara dulu sama Papamu!" begitu katanya."Benar, Ma. Papa 'kan punya pengacara, dia pasti bisa mengeluarkan aku dari sini, 'kan?"R
"Kamu yakin mau tidur di sana?" tanya Theo."Iya, itu tidak masalah. Lagi pula, aku sudah terbiasa seperti ini.""Terbiasa bagaimana?"Hingga akhirnya, perdebatan kecil diantara mereka pun berakhir. Keduanya malah terbangun di tempat yang sama.Amilie tidur di sofa dalam keadaan bersandar pada bahu Theo. Theo yang sudah bangun pun hanya bisa menunggu Amilie sampai terbangun. Dirinya tidak tega jika harus membangunkannya."Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Amilie saat dirinya baru membuka kedua matanya."Kalau masih mengantuk, kamu tidur lagi saja," sahutnya.Tetapi, karena mengingat hari ini Theo jadwal pulang ke rumah. Itu membuat Amilie bangkit dari tidurnya.Kriiieettt! Pintu terbuka.Sebenarnya ini pun tidak terlalu pagi, karena sudah hampir memasuki waktu siang. Kira-kira sudah pukul 07.45.Amilie langsung terkesiap saat tiba-tiba saja Dokter Lusi memasuki ruangan itu."Dokter Lusi?" Tentu saja Amilie merasa aneh dengan kehadirannya itu."Kamu beritahu keberadaan kita di sini?" tan
"Sekarang, kamu jemput saya ke rumah! Kita pergi ke rumah Theo!" ajak Sanjaya kepada Dikta.Dikta berpikir heran, padahal biasanya Sanjaya mengemudikan mobilnya sendiri. Tetapi, kali ini berbeda. Tanpa berpikir panjang, Dikta pun menyetujuinya. "Baik, Pak. Kalau begitu jam berapa kita akan pergi ke rumah Pak Theo?" tanya Dikta dengan sopan.Sanjaya seolah berpikir sejenak, lalu setelah itu barulah ia memberi kepastian."Kamu sekarang saja ke rumah saya, setelah itu kita pergi sama-sama!""Baik!""Ya sudah, saya siap-siap dulu."Setelah mengatakan kalimat singkatnya, ia pun langsung mematikan telepon itu. Dikta yang selesai bicara dengan atasannya pun membuatnya sedikit aneh. "Pak Bos biasanya pergi sendiri. Tapi kali ini ...?" Namun, untuk mengetahui jawabannya. Ia pun melepas bersiap-siap untuk kemudian pergi menjemput Sanjaya di rumahnya.Sementara itu, Sanjaya yang sedang di meja makan pun langsung bangkit untuk bersiap-siap. Rosalina yang juga mendengar dan mengetahui bahwa s
"Theo. Papa minta maaf karena datang begitu saja ke rumah ini!" ujar Sanjaya tiba-tiba."Kalau begitu, ayo masuk, Pa!" ajak Theo kepada Ayahnya."Ayo, semuanya masuk!" ajak Amilie kepada semua yang ada di teras itu.Lantas, semuanya masuk ke dalam rumah itu. Karena kuncinya ada di tangan David, sehingga David harus membukanya terlebih dahulu.Kesadaran akan rumah itu yang tanpa ada seorang pembantu, membuat Amilie bergegas pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dan minuman untuk mereka.Walaupun kondisi rumah belum dibereskan, untungnya semuanya dapat memahami keadaan tersebut. Di ruang tamu, semuanya mengobrol. Sanjaya yang melihat kondisi rumah rumah yang tampak berantakan itu membuatnya syok."Kenapa bisa sampai begini?" tanya Sanjaya kepada Theo.Lalu, Theo pun memberitahunya. "Ini semua karena dua orang yang mencoba menculik Amilie!" jawab Theo.Dirinya masih merasa geram dengan kedua pemalu tersebut. Tetapi, kini ia merasa sedikit lebih tenang begitu dirinya sadar bahw