"Mungkin itu petugas yang ada di sini, Mas," sahut Amilie.Namun, Theo masih merasa bahwa itu bukan mereka. Ada seseorang yang mencurigakan di luar sana yang membuat dirinya merasa tidak aman. "Sudah, Mas. Lebih baik, sekarang aku suapi kamu makan. Setelah ini baru kamu istirahat. Jangan terlalu memikirkan yang tidak pasti," kata Amilie.Theo hanya terdiam sembari sesekali melirik ke arah luar dari balik pintu."Tidak mungkin kalau hanya petugas. Kenapa aku merasa ada orang yang mencurigakan di sekitar sini?" batin Theo.Namun, dirinya tidak mau membahasnya lagi. Dirinya pun kemudian langsung mengalihkan topik kepada sesuatu hal yang dia inginkan sebelumnya."Sayang, ayo suapi aku sekarang!" pinta Theo dengan refleks.Amilie pun langsung menganga begitu mendengar suaminya yang memanggilnya begitu. "Hah, sayang?!""Umm--maksudnya Amilie, ayo suapi aku! Aku sudah sangat lapar!" pinta Theo, tetapi ia mengubah cara memanggil istrinya."Kenapa kamu tidak memanggil aku dengan kata 'Sayang
"Baiklah, tapi saya hanya bisa memberi kamu waktu sepuluh menit saja. Tapi, jangan mencoba untuk kabur!" tegasnya.Lalu, sipir pun langsung membuka gembok sel tahanan. Dirinya tidak tega jika benar Stephen memang ingin menghubungi Ibunya.Stephen pun keluar dari sel penjara itu. Setelah itu, sipir itu kembali menggembok sel tahanan tersebut."Baik, silakan ke sana! Kamu hanya punya waktu sepuluh menit!" ujar sipir mengingatkan.Di samping seorang sipir di sampingnya, Stephen mengambil telepon itu dan mencoba menghubungi Ibunya. Sedang sipir, ia hanya melihat ke arah jam sembari melihat waktu yang sudah ditentukan tersebut."Waktu sudah berjalan, kalau bisa ... Katakan yang perlu dikatakan saja! Jangan banyak basa-basi!"Stephen tidak menyahutnya, yang ia tunggu hanyalah Rosalina agar segera menjawab teleponnya.Saat itu, Rosalina memang masih berada di rumahnya. Wanita itu tengah bersantai sejenak di dekat kolam."Sudah lama sekali aku tidak bersantai begini. Rasnaya nyaman sekali!" u
"Tidak! Mana mungkin dia masuk ke dalam penjara?!" Rosalina sungguh tak percaya dengan kabar buruk itu. Dirinya pun bergegas pergi kolam out menuju halaman rumah. "Ayo, kita harus pergi sekarang!" ajaknya kepada sopir yang terus berdiri di sana menemani Rosalina."Iya, Nyonya!" sahut sopirnya berlari kecil mengejar Rosalina yang sudah berjalan cukup jauh dari dirinya.Dengan langkah cepat, Rosalina terus berjalan tanpa henti. Dirinya benar-benar sudah tidak bisa merasakan ketenangan lagi."Mau pergi ke mana lagi sekarang dia? Kenapa dia tampak tidak peduli dengan suaminya sendiri? Tapi, kali ini ...." Sopir itu memicingkan matanya, seolah tengah menerawang Rosalina yang begitu terburu-buru saat akan pergi.Rosalina yang sudah sampai di dekat pintu mobil pun langsung menoleh begitu sopir itu belum sampai di sana."Berlarilah! Aku tidak punya banyak waktu lagi!" perintah Rosalina dengan suara teriakan keras sampai ke telinga sopir tersebut."Iya, Nyonya. Tunggu saya di sana!""Apa ses
"Kenapa, Pa? Apa yang terjadi?" tanya Amanda yang saat itu baru beberapa saat yang lalu sudah datang ke ruang keluarga, tetapi ia agak menguping pembicaraan mereka.Amanda datang begitu melihat Santoso yang tampak terus melamun. Ia bergabung bersama kedua orang tuanya yang tampaknya baru selesai bicara itu.Santoso yang tengah dalam keadaan tertegun pun merasa terbangunkan hingga dirinya refleks menoleh ke arah Amanda."Tidak apa-apa, Nak. Papa hanya sedikit memikirkan sesuatu saja."Karena pikir topik sebelumnya tidak begitu penting, sehingga ia pun beralih topik untuk menghindari bersitenggang diantara mereka."Eh, ngomong-ngomong ... Kita semua sudah lama sekali tidak bertemu dengan Amilie. Papa ingin tahu kabarnya. Bagaimana kalau kita pergi ke rumah mereka untuk melihat kondisinya sekarang?""Boleh saja, Pa. Tapi, Papa yakin kalau mereka masih akan menerima kita dengan baik?" celetuk Amanda."Why not? Kita ini orang tuanya. Tidak mungkin kalau kita diusir oleh mereka ...!""Ya su
Stephen berjalan menemui orang itu, lalu dirinya pun duduk berhadapan dengan orang yang sudah menunggu dirinya. "Kalian ini kemana saja?!" tanya Stephen dengan nada agak berbisik.Tetapi, sipir itu berdiri dan memantau dirinya."Seperti biasa, kalian hanya punya waktu sepuluh menit untuk bicara. Setelah itu, masing-masing harus kembali ke tempat!"Mereka hanya mendengarkan saja, tetapi tak satupun dari mereka yang menyahut. Kini, mereka hanya fokus dengan obrolan yang akan mereka bicarakan. Terutama dua orang yang menjadi anak buahnya tersebut."Untuk apa kalian datang ke sini kalau memang kalian yang membawa namaku di dalam masalah ini!" Stephen bangkit dari duduknya karena kesal. Terlihat, pria itu yang seakan pergi meninggalkan keduanya. Karena sudah terlanjur marah. "Aku 'kan sudah bilang, jangan katakan yang sejujurnya! Dasar bodoh!""Duduk dulu, Bos!" pinta salah seorang anak buahnya ketika dirinya masih dalam keadaan berdiri sembari berkacak pinggang.Lantas, Stephen duduk d
"Ternyata ada yang lebih jahat daripada kita!" ucap salah seorang teman tahanannya sembari tertawa terbahak-bahak.Stephen melirik ke arah mereka dengan kesal!"Ma, aku tidak bermaksud begitu. Aku pikir yang datang menemui aku itu mereka. Tapi, kalau dari tadi aku tahu itu Mama, pasti akan segera ke sana!" ucapnya menyesal.Rosalina menghela nafas kesal, ia melipat kedua tangannya di dada. "Makanya, kamu tanya-tanya dulu, jangan sembarangan menduga saja!" "Iya, Ma, maaf. Tapi, aku mohon sama Mama, tolong bantu keluarkan aku dari sini!" pinta Stephen kepada Rosalina. Wajahnya seolah meminta belas kasih dari Ibunya yang masih ada di sana.Rosalina menoleh dan menatap wajah Stephen kembali setelah sebelumnya ia hanya memalingkan wajah ke arah lain." Tenang saja, Mama pasti akan mengeluarkan kamu. Tapi untuk saat ini kamu harus bersabar, karena Mama harus bicara dulu sama Papamu!" begitu katanya."Benar, Ma. Papa 'kan punya pengacara, dia pasti bisa mengeluarkan aku dari sini, 'kan?"R
"Kamu yakin mau tidur di sana?" tanya Theo."Iya, itu tidak masalah. Lagi pula, aku sudah terbiasa seperti ini.""Terbiasa bagaimana?"Hingga akhirnya, perdebatan kecil diantara mereka pun berakhir. Keduanya malah terbangun di tempat yang sama.Amilie tidur di sofa dalam keadaan bersandar pada bahu Theo. Theo yang sudah bangun pun hanya bisa menunggu Amilie sampai terbangun. Dirinya tidak tega jika harus membangunkannya."Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Amilie saat dirinya baru membuka kedua matanya."Kalau masih mengantuk, kamu tidur lagi saja," sahutnya.Tetapi, karena mengingat hari ini Theo jadwal pulang ke rumah. Itu membuat Amilie bangkit dari tidurnya.Kriiieettt! Pintu terbuka.Sebenarnya ini pun tidak terlalu pagi, karena sudah hampir memasuki waktu siang. Kira-kira sudah pukul 07.45.Amilie langsung terkesiap saat tiba-tiba saja Dokter Lusi memasuki ruangan itu."Dokter Lusi?" Tentu saja Amilie merasa aneh dengan kehadirannya itu."Kamu beritahu keberadaan kita di sini?" tan
"Sekarang, kamu jemput saya ke rumah! Kita pergi ke rumah Theo!" ajak Sanjaya kepada Dikta.Dikta berpikir heran, padahal biasanya Sanjaya mengemudikan mobilnya sendiri. Tetapi, kali ini berbeda. Tanpa berpikir panjang, Dikta pun menyetujuinya. "Baik, Pak. Kalau begitu jam berapa kita akan pergi ke rumah Pak Theo?" tanya Dikta dengan sopan.Sanjaya seolah berpikir sejenak, lalu setelah itu barulah ia memberi kepastian."Kamu sekarang saja ke rumah saya, setelah itu kita pergi sama-sama!""Baik!""Ya sudah, saya siap-siap dulu."Setelah mengatakan kalimat singkatnya, ia pun langsung mematikan telepon itu. Dikta yang selesai bicara dengan atasannya pun membuatnya sedikit aneh. "Pak Bos biasanya pergi sendiri. Tapi kali ini ...?" Namun, untuk mengetahui jawabannya. Ia pun melepas bersiap-siap untuk kemudian pergi menjemput Sanjaya di rumahnya.Sementara itu, Sanjaya yang sedang di meja makan pun langsung bangkit untuk bersiap-siap. Rosalina yang juga mendengar dan mengetahui bahwa s
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,