"Gawat! Aku bisa ketahuan kalau Amilie terus melihat ke arah sini!" gumamnya dengan mata terbelalak, dan ia sendiri mencoba menyembunyikan tubuhnya sendiri di mobil itu.Theo yang melihat mobil putih terus di sana tanpa pergi pun membuatnya penasaran. Tapi ..."Biarkan saja! Mungkin orang yang numpang santai saja di sana. Lagian, itu 'kan jalanan umum!" kata Theo. Lalu, melanjutkan langkah kakinya kembali. Amilie yang masih penasaran pun membuat dirinya seolah ingin pergi ke sana dan memastikan langsung."Amilie!" seru Theo sembari berjalan.Tetapi, ia tidak mendengar suara orang menyahut. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh."Jangan pergi ke sana sendiri! Ayo kita masuk ke dalam! Sebentar lagi, kita harus menyiapkan semuanya!" "Tunggu sebentar saja, Mas!" sahut Amilie.Namun, Theo pun tetap tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Lantas, ia pun menarik pergelangan tangan istrinya dan sontak memangkunya."Kamu masih tidak mau mendengarkan suamimu?" ujarnya."Mas, turunk
"Nak, Papa perlu kamu di sini! Sekarang kamu datang!" pintanya."Tunggu di sana, ya, Pa! Aku akan segera datang!" Merasakan ada sesuatu hal yang tidak beres. Terlebih saat ditelpon ia mendengar suara Sanjaya yang begitu berbeda dari biasanya. Yang biasanya terdengar tegas, kini energi untuk bicara pun seolah menghilang.Tuutt.Panggilan berakhir. Theo diam sejenak, ia masih berpikir tentang apa yang harus dilakukannya saat itu."Mas! Apa ada sesuatu lagi?" tanya Amilie."Papa!" Theo menghela nafas sembari mondar-mandir.Theo menoleh ke arah Amilie sebentar. Kedua alis Amilie bertautan yang membuat dahinya mengerut. Ia menyimpan tanya dalam benaknya."Kenapa dengan Papa, Mas? Apa terjadi sesuatu padanya?" Theo menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu. Tapi, seperti Papa sedang membutuhkan pertolongan aku!" begitu katanya. "Ya sudah, Mas. Biar aku saja yang menyiapkan semuanya untuk nanti malam, kamu boleh pergi sekarang ke rumah Papa. Takutnya, dia sangat membutuhkan kamu karena a
Cupp! Amilie tiba-tiba memberikan sebuah kecupan mesra yang membuat Theo tidak bisa berkata-kata lagi. Ia langsung diam mematung dengan pipi memerah."Apa aku bermimpi?" Amilie menggeleng sembari tersenyum. "Kamu tidak sedang bermimpi. Itu hanya hadiah kecil sebagai tanda terima kasihku buat kamu, Mas," ucapnya.Theo menoleh ke arah Amilie dan langsung membalas kecupan itu. Tetapi, Theo membalasnya di bibir.Hati dua insan itu menjadi berdebar. Pipinya menghangat dan membuat keduanya seakan kegerahan."Mas, sudah. Katanya kamu mau pergi ke rumah Papa!" ujar Amilie mengingatkan.Theo pun langsung bangkit begitu mendengar hal itu dari Amilie. "Benar juga.""Kalau begitu aku pergi sekarang!" ujarnya sembari melambaikan tangan. "Kamu jangan lupa dengan pesan aku sebelumnya!""Iya, Mas. Tenang saja, di sini aku pasti akan baik-baik saja. Kamu juga baik-baik di perjalanannya!" balas Amilie.Tetapi, Theo sudah berjalan keluar dari kamar dan tidak lagi menyahutnya.Manajer itu pun tak ada d
"Cepat kau serahkan wanita itu sekarang juga sebelum kuhantamkan tubuhmu ke tembok!" Namun, manajer itu tetap diam dan tidak menjawab. Ia menjadi bingung, entah apa yang harus dilakukannya sekarang."Dia tidak ada di sini. Aku sendiri dan menunggu rumah ini karena memang tidak ada orang," ujarnya bohong.Manajer itu terpaksa harus berbohong, karena jika tidak demikian maka tentu saja orang itu tidak akan pergi. Ia juga merasa bingung dengan apa yang harus dikatakannya tersebut."Bohong! Aku yakin dia pasti ada di sini!" balasnya dengan sebuah gertakan keras.Gertakan yang sampai ke telinga Amilie. Membuatnya kaget dan bertanya-tanya. Namun, kemudian ia mengingat saat-saat dimana dirinya diculik"Jangan-jangan itu mereka!" ujarnya dengan kedua mata terbelalak. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Seketika ketenangannya terenggut. Rasa khawatir pun kembali muncul."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana cara aku menolongnya dan supaya aku lolos dari mereka," gumam Amilie s
"Aaaarrghhhh!" Erangan keras diikuti darah yang mengucur deras dari lengannya, membuat Amilie tidak lagi mampu menahan diri. Dirinya tersungkur di lantai sembari menahan darah pada lengannya."Tetaplah di sana," pinta Theo kepada Amilie."Tidak, Mas. Aku tidak bisa membiarkan darah kamu mengucur deras. Kamu harus diobati, Mas!" ujar Mailie dengan mata berkaca-kaca."Jangan, Amilie!" suara itu mengecil. "Dengarkan aku, di depan pintu kamar sana ada orang yang tengah mengincarmu! Jadi, tolonglah Amilie, tetap di sana dan jangan keluar!""Apa kamu tidak sadar dengan keadaan kamu sekarang ini, Mas. Kamu pasti kesakitan, jadi jangan berting--...."Namun, Theo tetap tidak mau jika istrinya itu sampai datang kepadanya hanya untuk menolong luka pada lengannya."Tolonglah, Amilie. Kalau tidak, aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi!" pintanya.Lantas, Amilie pun hanya menurut dengan keinginan suaminya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menahan diri untuk tidak keluar kamar
BRAAKK! Penyidik itu menggebrak meja dengan mata membelalak mengarah pada mereka."Katakan sekarang! Saya tidak mau buang-buang waktu lagi, kalau kalian tidak mau jujur ... Maka kalian akan mendapatkan hukumannya!"Keduanya saling menatap satu sama lain. Tetapi, sampai kini pun mereka belum berani membuka mulut untuk mengatakannya."Tolong jangan hukum saya!" pinta salah seorang penjahat yang ada di sana.Namun, penyidik itu terus mencoba untuk mengungkap siapa orang dibalik semua ini. "Kalau memang bukan kalian pelakunya, maka katakan saja siapa orang yang sudah menyuruh kalian untuk melakukan ini semua!"Penyidik itu terus menginterogasi keduanya dengan pertanyaan yang sama."Aku tahu kalian berbohong!""Pak, kami2hanya suruhan saja. Kalau mau marah atau menyalahkan, lebih baik Anda salahkan saja orang yang melakukannya!"Tetapi, penyidik itu hanya menggelengkan kepalanya dengan kesal. Ia sudah mencoba bersabar untuk menghadapi mereka, tetapi kemudian ....Perlahan, ia mengambil s
Theo menoleh ke arah Amilie, ia mencoba memahami istrinya. Tetapi, tetap pada keputusan yang tidak bisa dibantah siapapun."Amilie, aku tahu kamu tidak tega melihatnya dipecat. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku tidak butuh karyawan yang tidak setia begitu," balasnya.Matanya terus mengarah pada wajah Amilie. Ia mencoba menyentuh pipinya lagi, berusaha memberikan pemahaman kepada istrinya dengan cara lembut."Tapi, Mas ... Apa tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?" Walaupun Theo sudah memberikan penjelasan kepadanya. Tetapi, ia bersikukuh membela manajer Theo itu.Theo memalingkan wajahnya dengan muka yang tampak agak kesal."Kenapa kamu terlalu membelanya? Apa kamu menyukai manajer itu?" duganya.Perasaan cemburu dalam benak Theo muncul begitu saja. Ia menjadi berpikir bahwa Amilie tidak terlalu memikirkan perasaan dan pikirannya, karena saat itu Amilie seolah begitu membela manajer tersebut. Amilie yang mendapat tuduhan itu pun langsung menjelaskan kepada suaminya. "Bukan begitu
Ting, Tong! Suara bel pintu rumah terus berbunyi. Stephen yang ada di dalam rumah menjadi terganggu dibuatnya."Siapa, sih, yang datang ke rumah ini dan memaksa mau masuk?!" batin Stephen.Saat itu dirinya tidak tahu dan bahkan tidak menduga bahwa yang ada di depan rumah itu adalah para polisi yang siap menangkap.Tok Tok Tok!Kali ini bunyinya berubah, mereka memilih untuk mengetuk pintu langsung. Karena, sudah berkali-kali menekan tombol itu. Tetapi, pemilik rumah itu tak kunjung keluar.Karena merasa penasaran, Stephen pun akhirnya berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu itu secara perlahan.Kriiieeet! Begitu pintu dibuka, kedua matanya langsung membelalak. Deg! "Aku kira siapa, ternyata polisi! Bagaimana ini? Apa mereka bermaksud untuk menangkapku?" batin Theo dengan denyut jantung yang menjadi cepat, lebih dari biasanya."Selamat siang, apakah Anda yang bernama Stephen?" tanya salah seorang polisi yang tengah berdiri di sana."Ya, tapi ... Maaf, ada apa, ya?" tanya Stephen --