"Aaaarrghhhh!" Erangan keras diikuti darah yang mengucur deras dari lengannya, membuat Amilie tidak lagi mampu menahan diri. Dirinya tersungkur di lantai sembari menahan darah pada lengannya."Tetaplah di sana," pinta Theo kepada Amilie."Tidak, Mas. Aku tidak bisa membiarkan darah kamu mengucur deras. Kamu harus diobati, Mas!" ujar Mailie dengan mata berkaca-kaca."Jangan, Amilie!" suara itu mengecil. "Dengarkan aku, di depan pintu kamar sana ada orang yang tengah mengincarmu! Jadi, tolonglah Amilie, tetap di sana dan jangan keluar!""Apa kamu tidak sadar dengan keadaan kamu sekarang ini, Mas. Kamu pasti kesakitan, jadi jangan berting--...."Namun, Theo tetap tidak mau jika istrinya itu sampai datang kepadanya hanya untuk menolong luka pada lengannya."Tolonglah, Amilie. Kalau tidak, aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi!" pintanya.Lantas, Amilie pun hanya menurut dengan keinginan suaminya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menahan diri untuk tidak keluar kamar
BRAAKK! Penyidik itu menggebrak meja dengan mata membelalak mengarah pada mereka."Katakan sekarang! Saya tidak mau buang-buang waktu lagi, kalau kalian tidak mau jujur ... Maka kalian akan mendapatkan hukumannya!"Keduanya saling menatap satu sama lain. Tetapi, sampai kini pun mereka belum berani membuka mulut untuk mengatakannya."Tolong jangan hukum saya!" pinta salah seorang penjahat yang ada di sana.Namun, penyidik itu terus mencoba untuk mengungkap siapa orang dibalik semua ini. "Kalau memang bukan kalian pelakunya, maka katakan saja siapa orang yang sudah menyuruh kalian untuk melakukan ini semua!"Penyidik itu terus menginterogasi keduanya dengan pertanyaan yang sama."Aku tahu kalian berbohong!""Pak, kami2hanya suruhan saja. Kalau mau marah atau menyalahkan, lebih baik Anda salahkan saja orang yang melakukannya!"Tetapi, penyidik itu hanya menggelengkan kepalanya dengan kesal. Ia sudah mencoba bersabar untuk menghadapi mereka, tetapi kemudian ....Perlahan, ia mengambil s
Theo menoleh ke arah Amilie, ia mencoba memahami istrinya. Tetapi, tetap pada keputusan yang tidak bisa dibantah siapapun."Amilie, aku tahu kamu tidak tega melihatnya dipecat. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku tidak butuh karyawan yang tidak setia begitu," balasnya.Matanya terus mengarah pada wajah Amilie. Ia mencoba menyentuh pipinya lagi, berusaha memberikan pemahaman kepada istrinya dengan cara lembut."Tapi, Mas ... Apa tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?" Walaupun Theo sudah memberikan penjelasan kepadanya. Tetapi, ia bersikukuh membela manajer Theo itu.Theo memalingkan wajahnya dengan muka yang tampak agak kesal."Kenapa kamu terlalu membelanya? Apa kamu menyukai manajer itu?" duganya.Perasaan cemburu dalam benak Theo muncul begitu saja. Ia menjadi berpikir bahwa Amilie tidak terlalu memikirkan perasaan dan pikirannya, karena saat itu Amilie seolah begitu membela manajer tersebut. Amilie yang mendapat tuduhan itu pun langsung menjelaskan kepada suaminya. "Bukan begitu
Ting, Tong! Suara bel pintu rumah terus berbunyi. Stephen yang ada di dalam rumah menjadi terganggu dibuatnya."Siapa, sih, yang datang ke rumah ini dan memaksa mau masuk?!" batin Stephen.Saat itu dirinya tidak tahu dan bahkan tidak menduga bahwa yang ada di depan rumah itu adalah para polisi yang siap menangkap.Tok Tok Tok!Kali ini bunyinya berubah, mereka memilih untuk mengetuk pintu langsung. Karena, sudah berkali-kali menekan tombol itu. Tetapi, pemilik rumah itu tak kunjung keluar.Karena merasa penasaran, Stephen pun akhirnya berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu itu secara perlahan.Kriiieeet! Begitu pintu dibuka, kedua matanya langsung membelalak. Deg! "Aku kira siapa, ternyata polisi! Bagaimana ini? Apa mereka bermaksud untuk menangkapku?" batin Theo dengan denyut jantung yang menjadi cepat, lebih dari biasanya."Selamat siang, apakah Anda yang bernama Stephen?" tanya salah seorang polisi yang tengah berdiri di sana."Ya, tapi ... Maaf, ada apa, ya?" tanya Stephen --
"Anak itu benar-benar ...!" umpatnya sembari terus mencoba menghubungi Stephen.Namun, saat ini ponsel Stephen memang tertinggal di rumahnya. Begitu ia ditangkap oleh polisi, ia tidak memiliki kesempatan untuk mengambil ponsel tersebut.Jadi, mau berapa kali pun Rosalina mencoba untuk menghubungi anaknya. Stephen tidak akan mengetahui hal itu."Apa yang terjadi dengan anak itu? Kenapa sekarang dia menjadi abai dengan teleponku? Apa sesuatu sedang terjadi padanya?" batin Rosalina.Hatinya menjadi tidak tenang. Gelisah tak karuan dan kini ia menjadi panik."Pa, apa Papa merasakan sesuatu?" tanya Rosalina.Sanjaya menoleh ke arah Rosalina dan langsung menggelengkan kepala. "Tidak, Ma. Memangnya apa yang Mama rasakan sampai bertanya begitu sama Papa?" tanya balik Sanjaya.Firasat seorang Ibu memang tidak pernah salah. Ikatan batin yang kuat membuat Rosalina merasa bahwa sesuatu hal yang buruk telah terjadi pada anaknya."Mama merasa gelisah dan tidak tenang. Dari tadi Mama hubungi, tapi d
"Mungkin itu petugas yang ada di sini, Mas," sahut Amilie.Namun, Theo masih merasa bahwa itu bukan mereka. Ada seseorang yang mencurigakan di luar sana yang membuat dirinya merasa tidak aman. "Sudah, Mas. Lebih baik, sekarang aku suapi kamu makan. Setelah ini baru kamu istirahat. Jangan terlalu memikirkan yang tidak pasti," kata Amilie.Theo hanya terdiam sembari sesekali melirik ke arah luar dari balik pintu."Tidak mungkin kalau hanya petugas. Kenapa aku merasa ada orang yang mencurigakan di sekitar sini?" batin Theo.Namun, dirinya tidak mau membahasnya lagi. Dirinya pun kemudian langsung mengalihkan topik kepada sesuatu hal yang dia inginkan sebelumnya."Sayang, ayo suapi aku sekarang!" pinta Theo dengan refleks.Amilie pun langsung menganga begitu mendengar suaminya yang memanggilnya begitu. "Hah, sayang?!""Umm--maksudnya Amilie, ayo suapi aku! Aku sudah sangat lapar!" pinta Theo, tetapi ia mengubah cara memanggil istrinya."Kenapa kamu tidak memanggil aku dengan kata 'Sayang
"Baiklah, tapi saya hanya bisa memberi kamu waktu sepuluh menit saja. Tapi, jangan mencoba untuk kabur!" tegasnya.Lalu, sipir pun langsung membuka gembok sel tahanan. Dirinya tidak tega jika benar Stephen memang ingin menghubungi Ibunya.Stephen pun keluar dari sel penjara itu. Setelah itu, sipir itu kembali menggembok sel tahanan tersebut."Baik, silakan ke sana! Kamu hanya punya waktu sepuluh menit!" ujar sipir mengingatkan.Di samping seorang sipir di sampingnya, Stephen mengambil telepon itu dan mencoba menghubungi Ibunya. Sedang sipir, ia hanya melihat ke arah jam sembari melihat waktu yang sudah ditentukan tersebut."Waktu sudah berjalan, kalau bisa ... Katakan yang perlu dikatakan saja! Jangan banyak basa-basi!"Stephen tidak menyahutnya, yang ia tunggu hanyalah Rosalina agar segera menjawab teleponnya.Saat itu, Rosalina memang masih berada di rumahnya. Wanita itu tengah bersantai sejenak di dekat kolam."Sudah lama sekali aku tidak bersantai begini. Rasnaya nyaman sekali!" u
"Tidak! Mana mungkin dia masuk ke dalam penjara?!" Rosalina sungguh tak percaya dengan kabar buruk itu. Dirinya pun bergegas pergi kolam out menuju halaman rumah. "Ayo, kita harus pergi sekarang!" ajaknya kepada sopir yang terus berdiri di sana menemani Rosalina."Iya, Nyonya!" sahut sopirnya berlari kecil mengejar Rosalina yang sudah berjalan cukup jauh dari dirinya.Dengan langkah cepat, Rosalina terus berjalan tanpa henti. Dirinya benar-benar sudah tidak bisa merasakan ketenangan lagi."Mau pergi ke mana lagi sekarang dia? Kenapa dia tampak tidak peduli dengan suaminya sendiri? Tapi, kali ini ...." Sopir itu memicingkan matanya, seolah tengah menerawang Rosalina yang begitu terburu-buru saat akan pergi.Rosalina yang sudah sampai di dekat pintu mobil pun langsung menoleh begitu sopir itu belum sampai di sana."Berlarilah! Aku tidak punya banyak waktu lagi!" perintah Rosalina dengan suara teriakan keras sampai ke telinga sopir tersebut."Iya, Nyonya. Tunggu saya di sana!""Apa ses