"Kasihan sekali kamu, sini biar Tante bantu!" ujar Rosalina mencoba membantu.Tetapi, Amanda menahan Rosalina. "Tidak usah, Tante. Aku masih bisa berjalan, kok," sahutnya. Lalu, Amanda pun melanjutkan langkah kaki itu dan duduk di sofa. Begitu juga dengan Rosalina yang kembali duduk."Jeng, bagaimana kalau kita adakan makan malam lagi keluarga besar kita!" ajaknya.Dania melihat ke arah jam tangannya. Matanya melirik sedikit ke arah Rosalina."Aduuhh ... Jeng, maaf sekali, tapi saya baru ingat kalau ada acara di luar. Sebentar lagi, Anak saya mau pergi rumah sakit untuk memeriksakan kembali kakinya," ucapnya beralasan dengan nada meyakinkan.Rosalina menoleh ke samping, bibirnya menyeringai. Seolah sudah menebak apa yang dipikirkan Dania saat ini."Kenapa tiba-tiba begini, saat aku baru saja datang? Apa dia sengaja membuat alasan itu untuk mengusir aku dari rumah ini?" batinnya sembari mengerutkan dahi."Jeng! Tidak apa-apa, 'kan?" tanya Dania berusaha membangunkan Rosalina yang dia
"Dasar anak nakal! Mama bilang jangan asal bicara! Ingat, kamu masih punya Mama!"Stephen yang mendengar respon Ibunya pun malah tambah kesal, karena ternyata bisa menganggap mudah masalah di dalam hidupnya itu."Aku sedang dalam masalah besar, Ma! Kita tidak bisa terus santai begini, Mama harus gerak cepat! Kita juga harus memikirkan cara, supaya Papa percaya sama aku!""Maksudnya apa? Kenapa kamu sampai sebegitu khawatirnya? Tenang saja, Nak, ada Mama di sini yang pasti akan membantu kamu.""Ma, aku harus mengatakan hal ini supaya Mama mengerti--...."Belum selesai dengan kalimat yang diucapkannya, Rosalina malah langsung memotongnya."Sudah dulu, Mama sedang di jalan. Nanti kita bicara lagi. Sekarang mending kamu fokus saja dengan urusan kantor, biar Mama yang bicara nanti sama Papa kamu!""Ma, mana mungkin aku--...."Tuuut ... Tuuut ... Tuuut ...Panggilan pun berakhir. Rosalina pun kemudian memfokuskan dirinya kembali melihat ke jalan."Aku harus mulai mengatur rencana dan janji d
Amilie menoleh ke samping, dan matanya langsung terbelalak begitu melihat Dokter Lusi di sana."Dokter ...?" ucapnya pelan."Saya mencari Dokter dari tadi!" katanya, lalu tiba-tiba memeluk dokter itu.Namun, ia langsung termenung heran karena dirinya tiba-tiba ditarik begitu saja."Tapi, kenapa Dokter menarik saya seperti tadi?" tanya Amilie.Lalu, Dokter itu pun melepaskan Amilie dari cengkraman tangannya. "Ayo, ikut saya!" ajaknya ke sebuah ruangan.Kebetulan, saat itu Amilie memang sedang berdiri di dekat ruangan Dokter Lusi. Sehingga, membuat dirinya langsung dibawa ke ruangan itu. "Kamu masih tidak mengerti apa yang saya katakan? Jangan pernah berkeliaran di rumah sakit ini, saya tidak mau masalah semakin menjalar ke mana-mana!""Saya mengerti dan saya tahu. Tapi, ... Saya belum selesai bicara waktu itu. Kenapa Anda mencoba menghindari saya?"Dokter Lusi mendekat ke arah Amilie. Lalu, mereka melakukan kontak kata yang intens. Amilie saat itu hanya terdiam melihat Dokter itu ya
"Nah, kamu saya antar kamu sampai sini saja.""Terima kasih, Dok."Dokter Lusi pun membalikkan badannya dan siap pergi. Tetapi, Amilie yang baru mengingat sesuatu pun langsung menghentikannya."Tunggu sebentar, Dok!" seru Amilie. Ia kembali menyusul Dokter Lusi.Dokter Lusi pun menoleh. "Ada apa kamu memanggil saya lagi?" tanyanya."Boleh saya minta nomor Dokter?" tanya balik Amilie."Mana ponselnya?" Amilie ingat bahwa dirinya saat pergi, ia sama sekali tidak membawa ponsel itu."Ponselnya tidak saya bawa. Kalau begitu, boleh saya pinjam ponsel Dokter?" Dokter itu pun mengambil ponselnya dari dalam saku jubah putih yang dipakainya. Lalu, menyodorkannya ke arah Amilie.Amilie menerima sodoran itu dan langsung mengetiknya. "Sudah, Dok. Terima kasih lagi, lain kali kita mengobrol lagi. Bisa, 'kan? Aku akan mentraktirmu makan," katanya.Lalu, Amilie pun melangkah pergi. Sedangkan Dokter Lusi, ia hanya diam mematung seraya melihat Amilie yang sudah melangkah masuk ke ruang rawatnya.
Dokter itu menoleh ke sana kemari, memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya saat ini."Saya tidak pernah menyetujui hal ini! Kenapa kamu melakukan semua ini padanya?" bisik Dokter Lusi."Oohh ... Jadi, kamu masih belum paham dengan peringatan saya! Kamu juga tidak takut 'kan kalau tiba-tiba kehilangan pekerjaanmu di sana!" gertaknya. Dokter Lusi membelalak, ia juga mengepalkan salah satu tangannya penuh amarah. Tetapi, dirinya tetap menahan emosi yang kian membara itu."Tidak, aku tidak bisa begini. Kalau dia melakukan semua itu padaku, maka ... Aku tidak akan bisa membiayai sekolah anakku. Dia masih terlalu dini untuk merasakan kesulitan. Tapi ... Bagaimana ...?" batin Dokter Lusi.Keadaan membuatnya semakin bimbang. Tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi dirinya pun tidak bisa menyanggupi hal itu begitu mudahnya. "Uang sepuluh juta untuk pengobatan penyakit anakmu akan segera kamu dapatkan, asal ... Kamu mau mau bekerja sama denganku! Bagaimana?" Stephen tidak menyerah, ia
"Ma! Sudah siap makan malamnya?" tanya Sanjaya. Rosalina langsung terhenyak kaget, begitu suaminya tiba-tiba ada di belakang dirinya. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menyajikan teh hangat itu untuk suaminya."Pa, Papa habis dari mana saja?" tanya Rosalina basa-basi. Sebetulnya, ini merupakan cara dirinya untuk menghilangkan rasa gugup.Sebab, ia takut jika Sanjaya sangat curiga dengan gerak-geriknya. Terlebih lagi, Sanjaya datang saat dirinya masih mengaduk teh."Iya. Memangnya kenapa? Apa ada yang spesial untuk Papa malam ini?" sahutnya dengan pandangan menyapu meja makan yang dipenuhi makanan.Tap Tap Tap!"Pa, Papa mendengar suara, tidak?" tanya Rosalina begitu mendengar suara yang kian mendekat ke arah sana.Sanjaya terdiam, ia mencoba mendengarkan apa yang sebelumnya didengar oleh Rosalina."Iya, Ma. Suaranya semakin mendekat."Bersamaan saat Sanjaya menoleh, Stephen datang ke sana. Ia memenuhi permintaan Rosalina. Untuk kali ini saja, demi sebuah misi yang harus ia tuntaskan
Pada pagi harinya ....Theo yang semalam menemani Amilie tidur pun, kali ini bangun lebih awal dari istrinya."Mas, tumben kamu bangun lebih awal?""Harusnya aku tanya sama kamu, kenapa kamu begitu santai, padahal kita mau pulang!""Ini masih terlalu pagi, Mas. Kalau cuma siap-siap begitu tidak akan sulit. Lagi pula, barang yang ada di sini tidak banyak, 'kan?" sahutnya."Hmm~~"Theo pun kemudian membereskan semuanya, agar saat mereka hendak pulang tidak perlu repot-repot lagi.Karena tahu bahwa Amile dan Theo akan pulang hari ini. Perawat yang biasanya melayani Amilie pun datang menghampiri. "Bu Amilie, hari ini pulang, ya?" ujar perawat itu tiba-tiba.Amilie mengangguk. "Iya, Sus.""Kalau begitu, hati-hati di jalannya. Semoga nanti bayi yang ada di dalam kandungannya lahir dengan selamat," begitu katanya.Amilie memejamkan mata, ia meng-Aamiinkan atas do'a perawat itu.Lalu, setelah mengatakan hal itu. Perawat itu pun kemudian pergi dari sana. "Amilie, ayo! Kita harus pulang lagi
"Gawat! Aku bisa ketahuan kalau Amilie terus melihat ke arah sini!" gumamnya dengan mata terbelalak, dan ia sendiri mencoba menyembunyikan tubuhnya sendiri di mobil itu.Theo yang melihat mobil putih terus di sana tanpa pergi pun membuatnya penasaran. Tapi ..."Biarkan saja! Mungkin orang yang numpang santai saja di sana. Lagian, itu 'kan jalanan umum!" kata Theo. Lalu, melanjutkan langkah kakinya kembali. Amilie yang masih penasaran pun membuat dirinya seolah ingin pergi ke sana dan memastikan langsung."Amilie!" seru Theo sembari berjalan.Tetapi, ia tidak mendengar suara orang menyahut. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh."Jangan pergi ke sana sendiri! Ayo kita masuk ke dalam! Sebentar lagi, kita harus menyiapkan semuanya!" "Tunggu sebentar saja, Mas!" sahut Amilie.Namun, Theo pun tetap tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Lantas, ia pun menarik pergelangan tangan istrinya dan sontak memangkunya."Kamu masih tidak mau mendengarkan suamimu?" ujarnya."Mas, turunk
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,