“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”
Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.
Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.
Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.
“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
“Enggak mau pokoknya, Bu. Neng nggak mau tinggal di sini lagi. Neng mau kita pindah aja. Titik! Nggak pake koma, apalagi Puspa. Tau, kan, Bu ... siapa Titik Puspa?"Selesai menghabiskan sepuluh kantong kripik singkong pedas, aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. Sementara tatapan, sengaja aku fokuskan pada Ibu. Perasaanku benar-benar kacau setelah mendapati kekasih hati, ternyata mempunyai persinggahan hati yang lain. Lebih hancur lagi, setelah baru saja menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa.Surat undangan!“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar hatiku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Du
Bab. 2. Trio Somplakers“Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho. Teman satu pekerjaanku di minimarket milik Pak Dodot itu menggeleng-geleng tak percaya sembari menggosok-gosok rambutnya yang sedikit basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya, kita langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”Pandangan yang semula ke arahku, Kho alihkan pada Tania yang datang bersamanya di tengah hujan. Ia seolah meminta kebenaran atas pernyataannya barusan. Dan, Tania yang baru saja duduk di sampingku ini pun mengangguk, membenarkan.“Tul, tuh, Tik. Sumpah, sebenarnya gue nggak percaya! Takutnya, nama lu emang bukan Kartika,” katanya, hampir membuatku tertawa.Ya, masa iya, namaku bukan Kartika? Di KTP jelas, kok, tulisannya. Meski, fotonya amat sangat menyebalkan. Udah mah tanpa make up, pakai kerudung
Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi. Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania
Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti &
“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan,
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K