My Lover is Cheating

My Lover is Cheating

last updateLast Updated : 2021-06-14
By:  AlphQueenOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating. 1 review
33Chapters
2.8Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya karena sudah menghamili wanita lain, akhirnya membuat seorang gadis bernama Kartika ini frustasi berat. Setiap hari hobinya makan, terus gadang sampai tubuhnya menyusut drastis. Namun, untungnya selalu ada tiga teman yang kerap memberinya nasihat. Sehingga gadis berwajah ayu ini bangkit perlahan-lahan. Karena tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, gadis ini pun akhirnya memutuskan untuk kembali mencari cinta sejati. Akan tetapi, siapa sangka kalau jodohnya justru adalah orang yang sudah begitu dekat dengannya selama ini.

View More

Chapter 1

Bab. 1. Surat Undangan Dari Jodohnya Orang

“Enggak mau pokoknya, Bu. Neng nggak mau tinggal di sini lagi. Neng mau kita pindah aja. Titik! Nggak pake koma, apalagi Puspa. Tau, kan, Bu ... siapa Titik Puspa?"

Selesai menghabiskan sepuluh kantong kripik singkong pedas, aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.  Sementara tatapan, sengaja aku fokuskan pada Ibu. Perasaanku benar-benar kacau setelah mendapati kekasih hati, ternyata mempunyai persinggahan hati yang lain. Lebih hancur lagi, setelah baru saja menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa.

Surat undangan!

“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.

“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar hatiku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Duduk bersila, aku pun menopang pipi dengan kedua tangan. “Jahat memang dia, tuh. Tega gitu, lihat aku datang ke pernikahannya? Ish! Nggak banget. Siapa pulak yang mau datang?"

Seperti biasa, Ibu pun hanya menggeleng-geleng tiap kali melihat aku merajuk yang katanya percis anak kecil. Bahkan Ibu tertawa-tawa pelan, seperti tak peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang ini.

“Jadi, daripada aku sama Ibu datang ke acaranya ... mending, mulai sekarang kita siap-siap buat pindah rumah aja, Bu.” Aku bicara lagi. Karena rasanya, tak puas jika belum mengomel sampai ke akar-akarnya.

“Neng ... Neng. Kamu itu memang aneh, ya?” Ibu yang sedari tadi duduk di ranjang pun berduri dan melangkah maju ke belakangku. “Lagian, memangnya gampang pindah rumah? Susahlah!” lanjutnya, sambil memegang kedua sisi pundakku. 

Suaranya begitu halus dan menenangkan. Begitu juga sentuh tangannya yang lembut juga menghangatkan. Namun, tetap saja, amarah dalam hati dan otakku ini tak dapat luluh begitu saja. Rasanya, detak jantungku begitu menggebu-gebu.

“Ya, tinggal jual aja rumah ini, Bu. Terus kita beli cilok. Eh, maksud Neng beli rumah di tempat lain gitu. Kan, gampang!” Aku merajuk sembari melipat kedua tangan di dada. Sementara bibir cemberut, yang semoga saja tak mirip curut. “Aneh apanya coba?”

“Ya, anehlah.” Ibu berdecak, lagi-lagi sambil tertawa. “Kemarin kan kamu sendiri yang menolak lamaran Bian. Lalu, sekarang kenapa macam cacing kepanasan? Biarlah si bian nikah sama wanita lain. Toh, sudah jodohnya. Kita mah tinggal datang, terus kasih doa supaya pernikahannya langgeng dan tanpa ada perselingkuhan."

Bibirku, seketika kian merengut. Kesal, karena apa yang dibicarakan Ibu adalah benar. Aku yang salah, karena saat Bian menunjukkan keseriusan, aku tolak dengan alasan masih ingin memantapkan diri dan juga hati.

“Terus ... soal jual rumah, Neng pikir jual cilok yang sekali keliling langsung habis? Duh, Gusti. Ini anak kenapa, sih?” ibu mengomel lagi. Kali ini, sentuh tangannya beralih ke kepala. Dan, ia menguceknya seperti bukan pada gadis dewasa. 

“Ish ... Ibu! Kenapa jadi Ibu yang ngomel-ngomel, sih? Kan, yang lagi kesel tuh Neng.” Aku langsung beringsut, mengubah posisi duduk sampai bersihadap dengannya. Kemudian mendongak, masih dengan ekspresi kesal.

“Yang ngomel tuh siapa, sih? Ibu cuman perintilin masalahnya, biar kamu itu sadar, Neng. Coba, deh kamu pikirin lagi. Ini tuh masalah jodoh. Kita nggak tahu karena itu semua adalah rahasia Tuhan. Lagian, harusnya kamu bersyukur dong. Saat Bian ketahuan selingkuh, itu artinya, Tuhan udah bukain jalan buat kamu. Dia kasih tahu, kalau bian bukan lelaki yang baik untuk kamu, Neng!"

“Iya. Tapi kan kemarin tuh bukannya aku nolak, Bu. Aku cuman minta waktu. Minta waktu, sampai aku benar-benar siap gitu, Bu. Eh, taunya dia malah begitu. Gimana nggak bikin aku kesel coba?"

“Lah, sama saja atuh.” Ibu tergelak pelan, menertawakanku sudah pasti. “Coba kamu pikir, Neng. Bian kan lima tahun lebih tua darimu. Itu artinya, usia Bian sudah sangat matang. Dan ... di usia segitu matang, kamu pikir Bian bisa nahan keinginannya?”

“Ya, masa nggak bisa nunggu sampai beberapa waktu gitu?” Aku masih mendongak, melihat Ibu yang masih saja tertawa-tawa kecil. Ngeselin. Tapi, emang pantas diketawain, sih.

“Nahan syahwat sampai beberapa waktu gitu? Berapa lama, Neng?” Ibu mencubit pelan pipi tirusku. “Kalau dia bisa nahan, nggak bakal anak orang sampai hamil, Neng.”

“Y-ya, iya, sih. Tapi tetep ajalah, Bu. Dia itu udah bikin aku sakit hati. Dan itu rasanya nggak enak, Bu. Nggak enak banget pokoknya!” Aku kembali pada duduk semula, membelakangi Ibu. “Apalagi kalau ingat seberapa lama aku berhubungan dengannya. Masa, cuman gara-gara aku minta waktu buat menikah, dia tega ninggalin aku?”

“Jodoh emang jorok, Neng. Sejorok Neng.”

Ibu, dengan gaya santainya masih saja tertawa pelan. Duh ... makin ngeselin lama-lama. Kalau saja nggak bakal bikin aku durhaka,  udah kuajak gelut dia. Ya, masa  ... anak sendiri diketawain begitu. Ini kan lagi sedih ceritanya.

“Apaan coba, malah bawa-bawa Neng?” Aku makin cemberut, kesal karena Ibu terus saja membela Bian yang jelas-jelas ninggalin aku pas lagi sayang-sayangnya. "Wangi gini juga."

“Ya, memang iya. Jodoh itu sejorok Neng yang jarang mandi, yang langsung ngubek-ngubek kulkas buat cari makan tiap bangun tidur. Padahal belum cebok, belum cuci muka. Coba kalau rajin, pasti jodohnya nggak bakal mau jauh-jauh dari Neng.” Tawa Ibu seketika menggelar.

“Auk, ah. Ibu nggak asyik! Masa, dari tadi yang dibela si Bian terus? Neng jadi curiga!” Aku mendesah, semakin kesal. Lalu melipat kedua tangan di meja sebelum menumpukan kepala di sana, dengan posisi wajah menoleh ke arah Ibu yang sudah berdiri di samping kiri.

“Lah, curiga apa kamu? Jangan aneh-aneh, deh.” Tawa Ibu pun seketika berhenti. Berganti seringai heran di wajahnya yang masih tampak muda. Padahal, kalau dihitung, usia Ibu hampir mencapai kepala lima.

“Curiga, kalau Ibu tuh seneng liat aku sama Bian pisah! Secara, dulu tuh Ibu sempat nggak suka, kan, sama bian?"

“Lah ... mana ada begitu?” Ibu kembali tertawa-tawa. Namun, kali ini semakin kencang seraya bangkit dari duduknya. “Ada-ada saja kamu. Dah, sana mandi. Atau hujan-hujanan tuh. Udah jam sepuluh juga. Makan aja diduluin, iler sama upil masih nempel!”

“Mana ada upil sama iler, Bu!” Aku langsung berdiri tegak, melihat Ibu yang berjalan santai ke arah pintu. Ngeselin emang. Masa anak sendiri dikata ada upil sama iler? Tadi, kan abis wudu.

Ya, walaupun habis salat tidur lagi sih emang. Awok awok.

“Coba ngaca!” titah Ibu begitu sampai di ambang pintu. Lalu, dengan santainya Ibu bilang, “Gimana Bian nggak berpaling coba? Ya, Allah Gusti.”

“Ibu!!!!!!” seruku seraya loncat dari ranjang, lalu menatap lekat bayangan wajah sendiri di balik cermin. Barangkali, Ibu memang benar. “Astagah!” seruku lagi sambil berlari ke kamar mandi.

Aih!

Ternyata, ilerku memang sepanjang jalan kenangan.

Huaaaaa.

*** 

Wajahku cantik, tubuhku pun tak kalah seksi dari artis-artis dalam sinetron. Tapi ,kenapa dengan mudahnya Bian berpaling ke lain hati? Apa iya hanya karena aku meminta waktu? Atau, hanya karena dia nggak bisa menahan keinginannya, sampai-sampai menghamili anak orang?

“Ya, Rabb. Sakit kali hati ini. Kira-kira, ada bengkelnya apa tidak?"

Aku mendesis begitu kembali masuk ke kamar, lalu melempar tubuh ke ranjang sambil merentangkan kedua tangan dengan perasaan semakin kacau dan risau. Epeknya, ingatan-ingatan tentang Bian seketika berputar, seolah menari-nari dalam pandangan.

Bian yang dengan keromantisannya saat nyatain cinta. Lalu, hampir tak pernah absen saat mengantar dan menjemputku seusai kerja, sampai aku membuat Monic menjadi pengangguran. Belum lagi saat malam minggu datang menyapa, Bian menjadikannya malam spesial untuk mengajakku nonton bioskop atau sekadar jalan-jalan di sekitar perumahan.

Dia, mantan kekasihku itu sama sekali nggak ada cacat-cacatnya. Bahkan, tak pernah sekalipun dia meminta sesuatu yang menjurus ke seks. Tapi, sekarang?

“Argh! Kenapa gue nggak bisa move on dari dia, sih? Padahal, udah sebulan Bian mutusin—“

“Masih mikirin Bian?”

“Ya Allah, Bu. Bikin kaget aja tau nggak?”

Aku langsung terperanjat, bangun begitu suara Ibu tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Entah sejak kapan Ibu di sana. Tapi, sudah pasti ibu menguping apa yang baru saja aku katakan.

“Gimana mau move on kalau begitu terus?” tanyanya, seolah tak peduli dengan keterkejutanku barusan. Padahal, aku hampir jantungan.

“Ish ... siapa yang mikirin Bian, Bu?”

“Ya, kali ibu nggak denger. Mata kamu juga basah. Pasti habis nangis-nangis lagi, kan?” selidik Ibu, persis Pak Satpam perumahan kalau ada pengunjung baru yang datang. Segala ditanyain, ampe ke status-statusnya.

Kali janda, gitu katanya.

“Mana ada nangis, Bu? Neng habis dari kamar mandi barusan, basuh muka. Kan Ibu sendiri yang bilang tadi, kalau Neng ada upil sama iler!"

“Yakin?”

Ibu kembali menyelidik, dengan intonasi sedikit lebih pelan. Hampir tak terdengar, kalah saing oleh gemerencik di luar sana.Hujan memang sedang mengguyur kota, setelah waktu memasuki musim hujan sejak sebulan lalu. Tepat ketika hatiku potek, langit seolah ikut merundung atas kesedihan yang kurasakan. 

“Iyalah!” Buru-buru kuusap air di wajah yang memang tercampur air mata. Tapi, Ibu memang nggak boleh tahu kalau aku masih saja menangisi kepergian Bian.

“Ya, sudah kalau begitu. Ikut ibu, yuk. Ada tamu tuh di depan.” Tiba-tiba, wajah ngeselin Ibu berubah. Berganti seringai seperti biasanya, santai.

“Woah ... hujan-hujan begini siapa yang datang bertamu, Bu?” Aku langsung beranjak duduk bersila. Semangat jika ada yang datang berkunjung. Karena biasanya, kalau bukan Martabak sebagai buah tangan, pasti sekantong keresek buah-buahan.

“Lihat aja sendiri. Ibu mau bikin minuman hangat dulu buat mereka. Kasihan, kehujanan soalnya,” timpalnya sambil melengos.

“E-eh ... tungguin Neng, Bu.” Aku langsung beranjak turun, lalu menyusul Ibu yang sudah keluar dari kamar. “Kasih tahu dulu, siapa yang datang? Kenapa Neng mesti nemuin tamunya?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan temen-temenmu atuh, Neng? Ya, masa ibu harus panggil tetangga? Kan, mereka mau nemuin kamu.” Kening Ibu pun seketika mengerut, sampai mencipta lipatan-lipatan kecil di sana.

“Huft ....” Aku menghela napas,  merasa lega. “Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Kan, Neng nggak perlu senewen, Bu.”

“Lah ... emang kamu pikir siapa yang datang? Kenapa juga harus senewen?”

“Neng pikir Bian yang datang. Eh, maksudku ... aku pikir Bibi yang datang,Bu.”

“Hilih! Ibu bilang juga apa. Kamu itu masih aja mikirin Bian.” Ibu tergelak pelan, merasa menang, kurasa. “Gimana bisa move on kalau begitu terus?”

“Sebenarnya aku dah coba buat move on, Bu. Tapi adaaa aja gitu godaan setan terkutuk yang bikin aku inget dia mulu!”  Aku menyengir sambil bersandar di kusen pintu. Lantas bergaya bak anak kecil minta jajan, manja.

“Dahlah sana. Pusing ibu, kalau kamu terus mikirin Bian. Apalagi malah nyalahin setan! Marah ntar dia.” Ibu melengos, masih dengan sisa tawanya.

Huaaaaa.

“Kalau gitu aku mau Bian aja deh, Bu. Eh! Aku mau cilok aja maksudnya, Bu. Ya Allah ... nyesek banget ini hati. Bawa ke bengkel, kek, gitu!" ujarku  sambil mendongak barang sekejap. Berharap, Tuhan akan mendengar apa yang kuharapkan.

“Iya-iya. Nanti ibu bikinin cilok.” Sambil berjalan ke arah dapur Ibu tergelak lagi. “Mau cilok goang kek. Cilok bumbu kacang kek. Atau cilok apa gitu, asal Neng jangan minta pindah terus! Ya Allah. Begini amat punya anak gadis yang kalau ada apa-apa, pasti minta cilok.”

“Ibu!” rutukku, begitu mendengar kata terakhir yang digumamkannya.

“Iya-iya, Neng. Ya Allah Gusti.” Ibu menggeleng, bahkan menepuk kening.

“Jangan ketawa mulu, Bu.”

“Iya, Neng. Iyaaaaa!” serunya, begitu jarak sudah semakin jauh.

Tapi, Ibu masih aja tertawa. 

Ngeselin!

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Tata Yoona
lanjuuuutkaaaan 🥰
2021-06-19 11:13:10
0
33 Chapters
Bab. 1. Surat Undangan Dari Jodohnya Orang
“Enggak mau pokoknya, Bu. Neng nggak mau tinggal di sini lagi. Neng mau kita pindah aja. Titik! Nggak pake koma, apalagi Puspa. Tau, kan, Bu ... siapa Titik Puspa?"Selesai menghabiskan sepuluh kantong kripik singkong pedas, aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.  Sementara tatapan, sengaja aku fokuskan pada Ibu. Perasaanku benar-benar kacau setelah mendapati kekasih hati, ternyata mempunyai persinggahan hati yang lain. Lebih hancur lagi, setelah baru saja menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa.Surat undangan!“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar hatiku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Du
last updateLast Updated : 2021-05-30
Read more
Bab. 2. Trio Somplakers
Bab. 2. Trio Somplakers   “Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho. Teman satu pekerjaanku di minimarket milik Pak Dodot itu menggeleng-geleng tak percaya sembari menggosok-gosok rambutnya yang sedikit basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya, kita langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”Pandangan yang semula ke arahku, Kho alihkan pada Tania yang datang bersamanya di tengah hujan. Ia seolah meminta kebenaran atas pernyataannya barusan. Dan, Tania yang baru saja duduk di sampingku ini pun mengangguk, membenarkan.“Tul, tuh, Tik. Sumpah, sebenarnya gue nggak percaya! Takutnya, nama lu emang bukan Kartika,” katanya, hampir membuatku tertawa.Ya, masa iya, namaku bukan Kartika? Di KTP jelas, kok, tulisannya. Meski, fotonya amat sangat menyebalkan. Udah mah tanpa make up, pakai kerudung
last updateLast Updated : 2021-05-31
Read more
Bab. 3. Dikira Gila, Padahal Iya. Eh?!
Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi.  Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania
last updateLast Updated : 2021-05-31
Read more
Bab. 4. Ketemu Mantan di Jalan, Bikin Sial!
  Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti &
last updateLast Updated : 2021-06-01
Read more
Bab. 5. Hari yang Menyebalkan
 “Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar  ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan,
last updateLast Updated : 2021-06-02
Read more
Bab. 6. Kejutan Di Hari Spesial
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
last updateLast Updated : 2021-06-03
Read more
Bab. 7. Bonus Gagal
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
last updateLast Updated : 2021-06-03
Read more
Bab. 8. Jodohku Dipatok Ayam
  Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
last updateLast Updated : 2021-06-04
Read more
Bab. 9. Pecandu Sastra
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
last updateLast Updated : 2021-06-11
Read more
Bab. 10. Dikira Sekongkol
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
last updateLast Updated : 2021-06-13
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status