“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”
Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.
Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.
“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan, kalau ada yang lihat ... gue nggak dikira ngomong sendiri.”
“Loh, itu ngomong sendiri, Mbak?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Membuat aku seketika menoleh, kemudian mendongak.
Asem! Mentang-mentang ini minimarket, masuk nggak ngomong salam dulu. Mana main nguping obrolan orang pula. Fix, ini Emak hobinya pasti nyinyir bin gosip. Biar tak dikira gila juga, aku pun bangkit sembari mempersembahkan senyuman paling menawan di seantero perkampungan. Lantas aku berdalih.
“Lagi latihan syuting, Mbak. Insya Allah mau jadi artis.”
“Oh, gitu?”
Raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Ya, kali aku serius. Emang cuman alasan, kok. Awokawok.
“Iya, Mbak.” Aku langsung membenahi kerudung, untuk kemudian berlagak songong. “Udah cocok belum?” sambungku, sembari memelak pinggang juga mendongakkan sedikit wajah biar kayak model-model dalam majalah yang tiap hari nangkring di rak samping meja kasir. Tak lupa kutarik kedua belah sudut bibir untuk memberi kesan manis.
“Cocok, Mbak.” Mbak di depanku itu menyengir kuda. “Cocok jadi pembantu rumah tangga tapinya!” Ia menambahkan, sampai membuat aku tercengo.
Astaga ...! Mataku hampir saja meloncat begitu mendengar kejujurannya yang luar biasa menyebalkan. Masa, cantik begini dikata cocok jadi pembantu? Mana tawanya puas banget lagi setelah itu. Ngeselin.
“Malah bengong, Mbak. Kenapa?”
Jelas-jelas jawabannya barusan yang bikin aku tertohok, bahkan sampai tertampar, malah nanya. Boleh nabok orang nggak nih kira-kira? Tangan udah gatal dari tadi pula ini gara-gara nungguin yang punya minimarket, tapi tak kunjung datang.
“Saya mau bayar ini, Mbak. Tapi di depan nggak ada orang,” lanjutnya seraya mengangkat barang belanjaannya itu setinggi dada. Dia juga tertawa kecil.
Pamer. Gedean juga punyaku. Eh!
“Oh ... ok, Mbak. Mari,” jawabku setelah berhasil menahan telapak tangan yang bahkan sudah mengepal. Kemudian aku berjalan lebih dulu, melewati rak-rak yang dipenuhi camilan ini. Padahal, kalau saja nabok orang nggak bakal bikin aku dipecat, udah kutabok bolak-balik dia.
Begitu sampai di meja kasir, aku langsung menghitung barang belanjaannya itu dengan hati mendongkol. Seratus empat puluh tujuh ribu pun tertera di layar komputer, sebelum aku menyebutkannya dengan lantang.
“Ada uang kecil, Mbak?” tanyaku, setelah dia menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. Toko baru buka. Dalam laci memang nggak ada uang sebanyak yang dibutuhkan sekarang.
“Nggak ada, Mbak. Uangku gede semua,” timpalnya, lagi-lagi sambil tertawa kecil.
“Uang pas ada?” Aku mendesis, kesal menghadapi pelanggan untuk pertama kali setelah sekian tahun bekerja di minimarket ini.
“Oh ... kalau itu kayaknya ada. Sebentar.”
Akhirnya, wanita itu merogoh tas. Semoga saja bukan bom yang dia ambil, atau apa gitu buat menodongku yang ketahuan lagi sendirian. Tapi, yang bego tuh aku apa dia, sih? Uang kecil, sama uang pas apa bedanya coba? Masa dia nggak tau? Aih!
Ya Allah ... ini masih pagi, loh. Tapi kenapa pada ngeselin semua, sih? Nggak Ibu, nggak Bian. Terus Kang Cihu sama si Mbak yang masih mengobok-ngobok tasnya ini. Mereka kek sekongkol apa gimana gitu buat ngerjain aku?
“Resek!” Aku merutuk, sambil memasukkan barang belanjaan wanita di hadapanku ini ke dalam kantong keresek khusus minimarket.
Dia yang entah mendengarku atau tidak itu pun langsung mengangkat wajah, setelah sedari tadi menunduk melihat isi dompet. “Apa, Mbak? Kantong keresek?” tanyanya sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan.
Nah, kan. Budek ternyata.
“Bukan. Itu, tuh ... ada belek di mata Mbak!” Aku pun menimpalinya, sekalian mengerjainya. Nggak apa-apalah sekali-kali ngerjain orang. Jangan aku mulu yang kerjain, dirampok pula jodohnya.
“Wah ... iyakah?” Dia langsung meletakkan uangnya di meja. Lalu mengucek-ngucek mata. “Duh. Makasih sudah dikasih tahu, ya.” Dia pun tersenyum-senyum. Malu mungkin, karena dikira ada belek beneran. Padahal, itu cuman candaan.
“Makanya Mbak. Kalau ke mana-mana tuh ngaca dulu.” Aku hampir tergelak, senang bukan main karena berhasil membodohi orang di hadapanku ini. “Atau, bawa kaca segede duit yang Mbak bilang tadi aja bagus, tuh.”
***
Fix, Pak Dodot memang ngerjain aku. Buktinya, sampai jam sembilan tuh yang mau nganterin barang kagak nongol. Tapi, apa maksudnya coba? Kenapa bisa barengan telat sama si Kho juga Tania? Biasanya nggak kayak gini. Malah, kalau bukan aku yang kerajinan datang, Tania tuh yang selalu datang paling awal.
Sambil melayani pembeli yang sedari tadi datang dan pergi, aku mengomel dalam hati. Kesal, karena Pak Dodot sama dua somplakers masih aja nggak bisa dihubungi. Mereka sepertinya memang janjian, sengaja biar aku sibuk sendiri di tokonya yang selalu ramai ini.
“Nggak tau apa mereka, kalau hari ini yang datang banyak banget?” Aku merutuk, setengah berbisik agar pelanggan terakhir di hadapanku ini tak mengira aku gila. Sudah cukup aku dibikin kesal oleh Kang Cihu dan pelanggan pertama hari ini “Delapan puluh ribu, A,” kataku, seraya menyodorkan setruk belanjaan.
“Oh, iya, Teh!” katanya sembari merogoh dompet. Kemudian menyerahkan beberapa isinya itu padaku. “Pas, ya, Teh. Makasih.”
Kemudian aku mengangguk sembari menimpalinya. Lantas mengambil uang pas darinya itu sebelum duduk. Satu jam berdiri tanpa henti melayani pembeli membuat kakiku terasa nyeri. Apalagi jemari yang tersembunyi di balik kaos kaki, pegal sampai berasa ingin melepas dan melemparnya jauh-jauh saja dari sini.
Tapi sayangnya, kakiku juga tak bisa kena dingin lama-lama. Bisa kumat asam urat atau rematik yang kerap membuat sekujur kaki terasa bagai disayat.
“Awas aja kalau kalian datang bersamaan. Aku palakin satu-satu pokoknya. Seratus ribu, seorang!”
Haha!
“Neng geulis!”
Aku langsung menoleh begitu mendengar suara panggilan, yang tak lain adalah dari Kang Cihu. Maunya apa sih bujang yang satu ini? Kok hobi banget gitu ngerecokin orang? “Apa?” tanyaku, yang sudah pasti terlihat sinis.
“Neng Kho sama Neng Tania nggak datang?” tanyanya sambil menyengir lebar. Selebar pantat si Mbak yang resek tadi. “Kok, dari tadi sibuk sendiri?”
“Kalau tahu ngapain nanya Kang?”
Aku menunduk lagi, lalu menyusupkan wajah di antara kedua lengan yang bertumpu pada meja. Malas menanggapi bujang yang mungkin seumur denganku itu. Padahal, sebenarnya dia baik dan tampan. Pakaian serta rambutnya juga rapi. Tapi ya masa, lepas dari Bian ... aku mesti godain dia?
“Ya ... kan siapa tahu Neng geulis mau Akang bantuin?” tanyanya, disertai cengiran juga cengengesan.
“Nggak usah, Kang. Makasih!” jawabku sambil menutup mata, masih dalam posisi sama; duduk bersandar dengan santai. Meski tak sesantai isi otak juga pikiran.
Tak lama, suara pintu tertutup pun terdengar. Aku pikir dia pergi Baguslah. Istirahat dulu sebentar, kayaknya emang enak. Bodo amatlah sama barang yang belum sempat aku beresin. Yang punya minimarketnya aja nggak peduli. Ya, nggak? Iyalah!
“Eh ... tapi itu suara apaan gedebak-gedebuk?” Aku pun refleks membuka mata seiring dengan kepala mendongak. Anehnya, tak ada siapa-siapa setelah aku melihat ke berbagai penjuru minimarket.
“Suaranya kek dari ....” Pandanganku pun mengedar lagi. “Gudang!”
Buru-buru aku bangkit berdiri, kemudian berlari secepat kelinci jantan ke belakang sana. Takutnya, memang perampok beneran, kan? Duh ... Pak Dodot mana, sih? Kawan-kawan juga. Kalian di manaaaa?”
“Suaranya makin jelas masa!” Aku langsung bergeming di depan pintu gudang. Berani, tapi takut. Gimana dong? Duh! Kalau lagi cemas kayak begini, rasanya pengen bisa munculin jim di depan mata. Atau, paling nggak Superman gitu buat nolongin aku.
“Aduh ... tolongin aku Ya Allah. Tolong beri aku jodoh. Eh ... bukan-bukan. Beri aku kekuatan maksudnya. Tapi, kalau iya juga nggak apa-apa, sih!” gumamku sambil melihat ke sekitar. Mencari barang yang bisa dijadikan pemukul.
“Nah ... itu!” seruku pelan sambil menunjuk dan mengambil sapu di pojok ruangan. “Ok!” Sapu pun sudah kupegang kuat-kuat sambil berjalan pelan ke arah pintu. “Bismillah. Beri aku kekuatan Ya Allah,” desisku sekali lagi.
Namun, belum sempat aku meraih gagang pintu, seseorang membukanya cepat dari dalam. Dan karena takut, refleks mataku terpejam kuat. Sementara gagang sapu yang aku pegang langsung mengayun ke depan.
“Hiyaaaaaaaaaat!”
Pakjebuk! Dezig! Dezig!
Pukulanku rasanya tepat sasaran. Karena selain terasa menimpa sesuatu, orang yang ada di hadapanku itu tiba-tiba menjerit kesakitan. Bodo! Siapa suruh masuk ke sini tanpa izin. Coba kalau izin, nggak bakal kukasih izin juga sebenarnya.
Brak! Bruk! Brak! Bruk! Dezig!
Kali ini, yang kudengar menjadi suara ember di pukul. Penasaran, aku pun membuka mata dengan sekali gerakan cepat. “Aih! Kang Cihu?”
“Iya, ini Akang. Neng kenapa malah main pukul-pukulan gitu? Sakit tau!” jelasnya, seraya mengusap-usap tangan dan kepala.
“Akang yang ngapain? Kenapa ada di sini? Bikin aku senewen tau nggak?” Gagang sapunya aku jatuhin sampai terdengar suara ‘pak-gedebuk’.
Patah-patah, deh. Bodo amat pokoknya!
“Akang mau bantuin Neng biar nanti bosnya nggak marah kalau datang. Soalnya, lantai di depan itu kotor.”
“Yakin ... bukan karena mau nyuri?” Sebelah alisku seketika terangkat. Menyelidik, karena tak bisa mempercayainya begitu saja.
“Si Neng. Kayak baru kenal Akang aja!” ujarnya.
“Ya, kali mau nyuri minyak, atau ... bumbu cihu gitu?” Aku memelak pinggang, sok jagoan.
“Ish! Nggak baik itu suuzan.” Kang Cihu langsung menyimpan alat pel yang dipegangnya sedari tadi ke kailan di dinding sebelah pintu. “Ya, sudah kalau nggak mau dibantu. Akang keluar lagi aja, deh. Tapi Neng juga, kayaknya ada pembeli tuh di depan!” lanjutnya sambil melangkah maju. “Misi Neng.”
Aku langsung melangkah lebih ke samping, memberi jalan untuknya yang mau keluar dengan tergesa-gesa. “Ya, maaf.” Aku mendesis sambil menahan tawa. “Siapa suruh main nyelonong?”
“Buruan Neng! Ada yang beli, tuh!” teriaknya.
“Iya-iya!”
Aku langsung berbalik. Lalu kembali memasang kecepatan maksimal saat berlari, sampai melewati Kang Cihu yang baru sampai ke rak peralatan kecentilan.
“Misi-misi, ah!” lanjutku sambil tertawa. Lucu, sih kalau ingat kejadian barusan. Namun, sesampainya di depan, mataku langsung tertohok. Orang-orang yang berjejer di depan pintu itu benar-benar membuat aku seketika menangis.
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,
Tahu rasanya ada iler malang-melintang di area bibir dan pipi pas bangun tidur? Terus, di depan kalian orang-orang melihat itu. Jangan harap harga diri kalian masih ada di atas bintang kalau sampai itu terjadi, karena nyali saja rasanya ciut untuk bisa bertatap muka dengan mereka lagi.Andai hanya di depan Kho dan Tania, aku tak kan merasa semalu ini. Bodo amat, karena mereka sudah tahu luar dan dalamnya perihal aku. Tapi, kalau sama Pak Dodot dan tiga pegawai prianya yang cakep-cakep ... ambyar, Gaes. Ambyar!Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi setengah jam lalu. Lantas kembali berusaha fokus menyetir motor, untuk sampai di rumah dengan selamat. Sepoi angin kemudian mengelebat, menampar-nampar wajah serta tubuhku sampai terasa lumayan dingin.Merasa dejavu, aku pun ingat akan peristiwa-peristiwa saat berangkat dan pulang kerja bersama Bian. Dingin yang menyergap tubuhku saat ini, hampir tak pernah aku rasakan karena dia selalu menyelimutiku dengan
Diselingkuhin, diputusin, sampai ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya itu emang bikin frustrasi. Malas ngapa-ngapain, dan bikin aku hampir melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain juga rela mati demi orang yang tak peduli?Nanti, yang ada, begitu aku goak-goak gegara ngerasa sakit pas dijemput sama malaikat pencabut nyawa, si Bian malah indehoi semelehoi sama istrinya di malam yang entah ke berapa.Enak di dia, nggak enak di aku, dong? No! Daripada begitu, mending berselancar di dunia literasi yang katanya penuh dengan halusinasi. Banyakin temen, atau pacar sekalian buat happy-happy.“Coba kita lihat sekarang, apa dia ada mengirim pesan?” tanyaku pada diri sendiri, seraya menghidupkan data ponsel.Seperti biasa, begitu data kunyalakan, suara ‘tang-ting-tung-teng-tong’ dengan diiringi getaran langsung meramaikan suasana sepi di dalam kamar. Notifikasi Facebook, notifikasi W
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K