“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.
“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”
“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.
“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”
“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terbaik.” Sambil melerai pelukan Ibu, aku menjawab dua temanku itu dengan perasaan luar biasa senang. Meski, di akhir kalimatnya ada kata candaan. Aku tak peduli. Terpenting, hari ini aku bahagia.
“Selamat ulang tahu juga, ya Tika. Maaf kalau kerjaan Pak Dodot tadi bikin kamu merasa kesal.” Bu Ana menghampiriku perlahan, sambil mengulas senyum. Sementara tangannya terulur, menyodorkan sebuah kado. “Semoga suka, ya sama kadonya.”
“Duh, Bu. Padahal mah nggak perlu repot-repot begini. Yang banyak aja gitu kadonya sekalian. Ehehe!” Aku langsung menangkup mulut, merasa keterlaluan setelah keceplosan. “Mulutku! Maaf, Bu.”
“Nggak apa-apa. Insya Allah nanti, ya.” Bu Ana pun mengelus puncak kepalaku sebentar, setelah aku menerima kado darinya itu.
“Asyik!” Aku pun berlonjak senang. Tak mengira kalau candaan barusan, justru dikabulkan.
“Lha, alu sama Tania juga mau, Bu. Iya, nggak, Tan?” Kho langsung menyikut temannya itu sambil cengengesan.
“Iyalah, Bu. Ehehe!” Tania menyengir kikuk. Namun, belum sempat Bu Ana menimpali mereka berdua, Pak Dodot langsung membubarkan semuanya.
“Dah-dah! Balik kerja lagi sana,” titah Pak Dodot, seperti sengaja merusak suasana.
Namun, Tania dan Kho justru berbisik untuk mengerjai Pak Dodot yang nyebelinnya suka ngalah-ngalahin tokoh ibu mertua dalam sinetron ikan terbang. Aku mengangguk saja, tanpa berencana untuk ikut mengolesi Pak Dodot dengan cream di kue tart.
“Ok, Gays. Satu ... dua ... tiga. Let's go!” bisik Tania, seraya mencolek cream tersebut dengan Kho. Kemudian mengoleskannya ke pipi Pak Dodot sambil tergelak.
“Somplakers ...!” Pak Dodot pun berseru lantang sambil terpejam. “Bonus yang kalian minta hari ini batal, ya! BATAAAAALL ...!”
Mendengar perihal bonus yang dibatalkan Pak Dodot, pandanganku justru terpancing oleh senyum yang mengembang tipis juga sekilas dari bibir Kang Cihu. Dia, agaknya, sedari tadi memang dia di balik pintu kaca minimarket sembari memperhatikan apa yang terjadi di sini.
Aih! Kok, tetiba jadi mikirin dia? Jan-jangan! Jan-jangan! Jan-jangan ... Kang Cihu punya pelet?
***
“Gara-gara lu, sih!”
Kho mengomel begitu aku dan Tania menyusulnya keluar dari minimarket. Kesal dia gara-gara nggak jadi dapat bonus dari Pak Dodot. Aku kesel juga, sih. Tapi kejutan tadi, sukses mengembalikan semangatku kembali.
“Bukan rezeki kita. Nggak apa-apalah. Kita bisa rayu Pak Bos lagi nanti,” jawabku dengan santai.
“Bener, tuh kata si Tika. Tenang aja, sih.” Tania menyengir girang, begitu aku belain. Alisnya juga gerak-gerak saat menghibur Kho. Ada-ada saja mereka.
“Tapi sumpah, ya. Gue bener-bener berterima kasih sama kalian. Terima kasih juga karena sudah mengingat hari ulang tahun gue.” Aku merentangkan kedua tangan, hendak memeluk keduanya. “Kado dari kalian apalagi. Gue suka banget baju sama sepatunya. Cocok!”
“Duh! Kalian ini lagi ngapain, sih? Udah sana pulang! Bukan malah ngalangin jalan kayak gini!” seru Pak Dodot dari belakang. Tiap jam empat sore, dia memang selalu pulang. Barulah setelah magrib, dia kembali ke minimarket untuk menemani karyawan lelakinya sampai pukul sebelas malam.
Aku dan dua somplakers pun mendelik, memutar bola mata sambil berbalik menghadapnya. Dia sedang memelak pinggang. “Iya, Pak Bos. Kita mau pulang sekarang, kok. Bye!”
“Bagus!” timpalnya sambil berjalan maju, menerobos sampai membuat aku, Tania, dan Kho menyingkir lebih ke pinggir untuk memberi jalan.
Hadeuh! Punya bos kok gini amat, ya? Amat aja nggak gini, kok.
“Hati-hati di jalan, Pak. Semoga selamat sampai tujuan. Titip salam buat Bu Bos, ya.” Tania melambaikan tangannya ke arah mobil, begitu Pak Dodot masuk dan menyalakan mesin. “Bilangin juga biar Bu Bos sering-sering main ke sini.”
“Dih! Apa, sih?” Kho menyikutnya. Dia memang kurang menyukai Bu Ana, karena kejutekannya yang hakiki. Padahal, Bu Ana hanya sedikit pendiam. Terap saja, Tania tak begitu menyukainya. Kecuali tiap kali dikasih bonus.
Mata duitan emang!
“Biar Bu Bos tahu, kalau lakinya itu super nyebelin!” timpal Tania sambil tergelak.
“Dah-dah. Kita pulang sekarang, yuk? Gue udah berasa mandi keringat ini. Pen berendam sumpah.”
“Let’s go, Tik. Kita cabut sekarang!” Kho pun mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi sambil mengepal, tanpa sadar kalau keteknya itu super basah.
Ups!
“Nggak mau jajan cihu dulu gitu, Neng geulis?”
Aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Kang cihu yang tampangnya lumayan itu sedang menggoreng cihu, sambil mencuri-curi pandang ke arahku. Duh ... kok berasa aneh ya ditatap gitu?
“Ditanya tuh Neng geulis.” Tiba-tiba si Kho tergelak. “Mau jajan cihu dulu nggak katanya?”
“Eh. Ng-nggak! Besok-besok lagi aja, ya Kang.”
Lalu aku berjalan lebih dulu ke motor, meninggalkan Kho dan Tania yang justru tertawa-tawa. “Kalian nggak mau pulang sekarang?” tanyaku, seraya memasang tampang kikuk.
“Maulah!”
Kho dan Tania pun menaiki motornya masih-masing, lalu melesat dari halaman minimarket, setelah aku lebih dulu keluar. Rumah kami bertiga memang tak sejalan. Itu kenapa, tiap hari ya bawa motor sendiri.
Dan yang paling jauh dari minimarket, ya aku. Makanya, kesalku bukan main saat disuruh datang pagi-pagi sekali, tapi yang mau mengantar barang malah nggak datang-datang. Mana ketemu Bian juga lagi di jalan. Kesel!
“Tapi, sudahlah ya. Semoga aja kali ini gue nggak ketemu dia lagi di jalan.”
Namun, belum kering ludah di bibir, aku justru melihat Bian sedang membonceng seorang perempuan dari belokan sebelah kanan. Mana nemplok banget, udah kayak Persani super jumbo.
“Astaga! Gue harus apa sekarang? Melesat jangan?” rutukku, dengan lutut bergetar. “Tapi di depan macet. Mati gue kalau sampai nabrak atau ditabrak orang!”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuangnya perlahan. Berusaha setenang mungkin, biar jantung dan hati nggak lari ke mana-mana. Repot juga kalau tiba-tiba jantung atau hatinya loncat, kan? Duh!
“Tapi gue nggak mau lihat mereka dari belakang gini. Pemandangan macam apaan coba?” Perasaanku semakin kesal. “Pemandangan romantis sepasang jodohnya orang gitu? Ya ampun. Nggak mau gue!”
Daripada terjadi apa-apa, aku langsung memutuskan untuk menepi ke sisi jalan. Seraya beristirahat barang sebentar, sekalian biar si Bian jauh dari pandangan dulu. Atau, setidaknya berjarak cukup jauh denganku.
“Resek emang! Bikin dada gue sesek napas aja kerjaannya.”
Aku mengomel sambil menumpukkan dagu pada setang, lalu menandang ke sembarang tempat. Sore-sore begini, jalanan memang selalu ramai. Nggak mobil, nggak motor, yang pakai sepeda juga ada. Banyak di antaranya justru nongkrong di pinggir jalan. Berkumpul ramai-ramai bersama teman, dan ... pacar.
Huft! Aku membuang napas kasar sambil terpejam. Menghindar dari pemandangan romantis sepasang jodohnya orang, eh ... malah liat muda-mudi lagi pacaran.
Jujur ... ngenes, Gaes.
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,
Tahu rasanya ada iler malang-melintang di area bibir dan pipi pas bangun tidur? Terus, di depan kalian orang-orang melihat itu. Jangan harap harga diri kalian masih ada di atas bintang kalau sampai itu terjadi, karena nyali saja rasanya ciut untuk bisa bertatap muka dengan mereka lagi.Andai hanya di depan Kho dan Tania, aku tak kan merasa semalu ini. Bodo amat, karena mereka sudah tahu luar dan dalamnya perihal aku. Tapi, kalau sama Pak Dodot dan tiga pegawai prianya yang cakep-cakep ... ambyar, Gaes. Ambyar!Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi setengah jam lalu. Lantas kembali berusaha fokus menyetir motor, untuk sampai di rumah dengan selamat. Sepoi angin kemudian mengelebat, menampar-nampar wajah serta tubuhku sampai terasa lumayan dingin.Merasa dejavu, aku pun ingat akan peristiwa-peristiwa saat berangkat dan pulang kerja bersama Bian. Dingin yang menyergap tubuhku saat ini, hampir tak pernah aku rasakan karena dia selalu menyelimutiku dengan
Diselingkuhin, diputusin, sampai ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya itu emang bikin frustrasi. Malas ngapa-ngapain, dan bikin aku hampir melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain juga rela mati demi orang yang tak peduli?Nanti, yang ada, begitu aku goak-goak gegara ngerasa sakit pas dijemput sama malaikat pencabut nyawa, si Bian malah indehoi semelehoi sama istrinya di malam yang entah ke berapa.Enak di dia, nggak enak di aku, dong? No! Daripada begitu, mending berselancar di dunia literasi yang katanya penuh dengan halusinasi. Banyakin temen, atau pacar sekalian buat happy-happy.“Coba kita lihat sekarang, apa dia ada mengirim pesan?” tanyaku pada diri sendiri, seraya menghidupkan data ponsel.Seperti biasa, begitu data kunyalakan, suara ‘tang-ting-tung-teng-tong’ dengan diiringi getaran langsung meramaikan suasana sepi di dalam kamar. Notifikasi Facebook, notifikasi W
Esok pagi, setelah meminta izin untuk libur bekerja, aku bersiap-siap untuk meluncur ke lokasi di mana ada satu rumah yang kurasa memang cocok untuk ditempati. Selain tempatnya yang nggak jauh-jauh banget dari mini market, harga rumah tersebut terbilang murah. Bahkan, tak sampai mencapai harga jual rumah Ibu kemarin.Seandainya cocok, uang sisa yang dipegang Ibu bisa dibuat modal usaha dulu. Dagang apa gitu, biar Ibu langsung ada kegiatan sebagai warga baru di sana. Pada kenalan kan tuh nantinya? Terus, kalau sudah kenal ... biasanya suka main jodoh-jodohan. Nah, siapa tahu kalau jodohku itu masih nyempil di antara anak-anak mereka? Ho-ho-ho.“Neng ... dah siap belum?”Tiba-tiba, suara Ibu terdengar menggelegar dari luar kamar. Persis sepiker masjid. Aku rasa Ibu sudah tak sabar untuk segera pergi. Secara, Ibu memang hampir tak pernah jalan-jalan, karena selalu saja menolak saat kuajak pergi.Sibuklah, capeklah, panaslah. Dan banyak lagi alasa
Seraya menunggu ibuku salat, aku sempatkan untuk membuka data terlebih dulu. Barangkali, ada Bara yang kelimpungan gegara Facebook-ku nggak aktif-aktif. Apalagi setelah aku nggak sempat balas pesannya yang tadi malam.Benar saja, begitu data tersambung, notifikasi pun ternyata penuh oleh jempol Bara yang mampir di setiap postinganku. Bahkan, foto dan status yang kutunjukkan untuk Bian dia beri love sebagai jejak.Astaga!Aku menggeleng, tak menyangka kalau dia tiba-tiba akan seantusias itu untuk mengetahui tentang diriku. Beralih pada Messenger, pesan Bara pun menjadi satu-satunya yang aku buka.“Kamu nggak suka puisinya? Kok nggak balas, sih? Malah off sepanjang malam, bahkan nggak aktif-aktif saat kucek di pagi hari.“Aku minta maaf kalau memang aku terlalu lancang. Tapi, jujur saja ... tiba-tiba aku merasa nyaman. Apalagi setelah melihat foto-fotomu hampir di sepanjang malam, aku suka.”Suka? Secepat itu? Hanya karena be
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K