Seraya menunggu ibuku salat, aku sempatkan untuk membuka data terlebih dulu. Barangkali, ada Bara yang kelimpungan gegara Facebook-ku nggak aktif-aktif. Apalagi setelah aku nggak sempat balas pesannya yang tadi malam.
Benar saja, begitu data tersambung, notifikasi pun ternyata penuh oleh jempol Bara yang mampir di setiap postinganku. Bahkan, foto dan status yang kutunjukkan untuk Bian dia beri love sebagai jejak.
Astaga!
Aku menggeleng, tak menyangka kalau dia tiba-tiba akan seantusias itu untuk mengetahui tentang diriku. Beralih pada Messenger, pesan Bara pun menjadi satu-satunya yang aku buka.
“Kamu nggak suka puisinya? Kok nggak balas, sih? Malah off sepanjang malam, bahkan nggak aktif-aktif saat kucek di pagi hari.
“Aku minta maaf kalau memang aku terlalu lancang. Tapi, jujur saja ... tiba-tiba aku merasa nyaman. Apalagi setelah melihat foto-fotomu hampir di sepanjang malam, aku suka.”
Suka? Secepat itu? Hanya karena be
Setelah bicara banyak sama Kang Cihu, tiba-tiba Ibu langsung mengajak aku pulang. Sampai tak sempat pamit pada Kho dan Tania, apalagi Pak Dodot. Selain karena mereka sibuk, Ibu benar-benar menyuruhku untuk buru-buru.Entah kenapa, aku tak tahu sampai setibanya di rumah, Ibu langsung membuka kunci dan ladi terbirit-birit ke dalam.“Ibu kenapa, sih?!” teriakku sambil mengunci leher si Monic. Lalu melesat, menyusul Ibu ke dalam.“Ibu kebelet, Neng. Sumpah nggak nahan!” jawabnya, sambil membanting pintu kamar mandi.Astaga! Ternyata cuma karena kebelet? “Kenapa nggak buang air di sana aja? Kan, ada toilet.” Aku memelak pinggang di depan pintu kamar mandi dengan napas terengah. Sesek, kek waktu diputusin pacar.“Malulah. Untung tadi baru kerasa mules biasa. Duh ... leganya.” Ibu mendengkus, diiringi suara kentut.“Ih! Ibu jorok.”Aku bergidik seraya berbalik badan, lalu melesat me
Sesampainya di ruang tamu, aku menggeleng tanpa bisa berhenti senyum. Tingkah laku Bara tetiba berubah lucu, apalagi kalau sudah bicara panjang kali lebar di ruang chat. Rasanya malas untuk berhenti kalau saja tak lagi sibuk begini.“Kenapa kamu? Senyum-senyum sendiri, udah kek orang habis obat.” Ibu yang entah dari mana itu tiba-tiba muncul di hadapanku.“Mulai, deh. Jangan rusak mood-ku kenapa? Lagi senang ini,” kataku seraya mengikat dus dengan tali rapiah. Isinya masih perabot dapur, yang sudah dikemas sejak kemarin.“Ok, Bos!” jawab Ibu sambil tergelak. “BTW, bajumu sudah dikemas semua?”“Sudah, Bu.”“Mobil gimana? Datang jam berapa kira-kira?”“Mungkin jam lima.” Aku mengangguk-angguk, meyakinkannya. “Tapi, tiga mobil kiranya cukup nggak, ya?”“Nggaklah. Tapi nggak apa-apa. Sisanya bisa nyusul. Bukan orang lain ini yang beli rum
Sukses dibuat tak keruan karena genggam, tatap, juga senyum Kang Cihu, akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang. Tepatnya setelah aku sampai dengan selamat di tempat tujuan, lalu turun dan menginjakkan kaki di sana sambil menghirup udara segar di batas hari.Waktu sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Itu artinya, sebentar lagi akan terdengar seruan azan dari beberapa masjid terdekat. Namun, yang membuatku terkesima sekarang adalah senja. Di mana aku dapat melihat panorama jingga dengan begitu jelas, tanpa satu pun awan yang menghalangi keindahannya.“Sebut nama Allah saat mengagumi apa pun, Neng.”Aku langsung mengerjap, begitu mendengar suara berat Kang Cihu. Dia benar. Buru-buru aku pun menyebut nama Allah, Tuhan Pemilik Dari Segala Keindahan dan Kenikmatan Di Dunia Ini.“Pinter.”“Udah dari lahir, Kang. Terkodrat.”“Percaya,” timpalnya sembari ter
Sejak sore, awan di atas sana sudah menggulung-gulung, tampak tebal dan hitam. Namun, karena hawa yang tetap terasa panas di tengah-tengah kelebat angin, kupikir hujan tak kan turun secepat ini.Ternyata aku salah, karena kira-kira satu jam setelah azan isya berkumandang, hujan turun diiringi gelegar guntur dan kilauan kilat. Seolah saling menyahut, saling memamerkan kelebihan masing-masing dengan disertai kelebat angin. Menakutkan, sekaligus mengagumkan.Untungnya, barang-barangku sudah selesai dipindahkan ke dalam rumah. Ponsel yang tadi kubanting pun diselamatkan Kang Cihu, tanpa kutahu.Mobil-mobil yang disewa Pak Dodot pun sudah sedari tadi menghilang dari pandangan. Sopir-sopirnya itu SMP, setelah makan pulang. Pak Dodot apalagi. SMK, Setelah makan kabur.Malah, kata Bu Ana yang minta maaf karena tak bisa membantu beres-beres, Pak Dodot sudah pergi ke langit. Molor, gitu maksudnya. Sementara itu, yang lain justru terjebak
“Haha! Serius amat, sih? Aku cuma bercanda kali,” selorohnya di tengah-tengah ketegangan yang aku rasa. “Mpe tegang gitu mukanya.”“Heleh! Kek bisa liat wajahku aja kamu. Gelap, loh ini.”Aku tertawa kikuk seraya menarik diri, berjalan mundur perlahan untuk menjauhinya. Dia memang benar, keteganganku barusan udah kek ibu-ibu yang lagi nunggu waktu lahiran. Bikin deg-degan, bikin keringetan, dan tentunya bikin kentut tertahan.“Kamu kali yang tegang? Ih, atut ...!” lanjutku sambil bergidik. Pura-pura ngeri, padahal lagi ngeluarin kentut perlahan-lahan biar nggak sampai bunyi.“Eh, maksudnya apa?” Dia tergelak sambil melangkah maju, sepertinya sengaja mengikutiku.“Hayo, loh. Otaknya jangan ngeres!”Tanganku refleks menangkup mulut. Selain karena takut tiba-tiba tercium aroma kurang sedap, aku pun ingat bahwa otakku yang justru sudah terkontaminasi pikiran-pikiran aneh. Ta
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K