Bab. 2. Trio Somplakers
“Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho. Teman satu pekerjaanku di minimarket milik Pak Dodot itu menggeleng-geleng tak percaya sembari menggosok-gosok rambutnya yang sedikit basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya, kita langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”
Pandangan yang semula ke arahku, Kho alihkan pada Tania yang datang bersamanya di tengah hujan. Ia seolah meminta kebenaran atas pernyataannya barusan. Dan, Tania yang baru saja duduk di sampingku ini pun mengangguk, membenarkan.
“Tul, tuh, Tik. Sumpah, sebenarnya gue nggak percaya! Takutnya, nama lu emang bukan Kartika,” katanya, hampir membuatku tertawa.
Ya, masa iya, namaku bukan Kartika? Di KTP jelas, kok, tulisannya. Meski, fotonya amat sangat menyebalkan. Udah mah tanpa make up, pakai kerudung nyengsol pula. Sampai heran, yang ngambil foto kok nggak ada inisiatif buat benerin kerudungku dulu gitu?
Halah! Kok, jadi bahas foto KTP? Awokawok.
“Iya, Kho.” Pelan suaraku saat menjawab pertanyaannya yang bahkan sudah bisa ditebak, begitu aku tahu bahwa merekalah yang datang bertamu, maka akan bertanya perihal pernikahan Bian. “Kalian nggak salah baca nama pengantin wanitanya, kok. Si Bian emang mo kawin sana cewek lain!”
“Lah, emang lu kapan putus sama si Bian, sih?” selidiknya, seolah tak cukup dengan undangan pernikahan Bian yang katanya sudah mereka terima itu. “Kok, gue sama Tania nggak tahu? Malah, gue pikir lu baik-baik aja sama dia. Iya, nggak, Tan?”
“Hooh!” timpal Tania, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Padahal, aku nggak yakin kalau dia ini serius nyimak. Biasanya pun emang cuman ikutan mangut. Ngarti kagak!
“Dah sebulan kayaknya.”
Masih pelan, karena aku sama sekali tak tertarik untuk menaikkan oktafnya. Apalagi kalau Cuma untuk bahas si mantan, tutup mulut aja mestinya. Namun, aku mana bisa mendiamkan makhluk terbawel di kedua sampingku ini? Kalau nggak dijawab, habis tubuhku diunyeng-unyeng.
“Astaga ... kok lu nggak bilang, sih sama gue?” Kali ini Tania yang berkomentar dengan nada kesalnya yang cetar membahenol. Tumben. Itu artinya, dia memang nyimak. “Tahu gitu kan, si Bian bisa gue unyel-unyel dulu palanya, Tik!” lanjutnya, antusias.
“Iya. Kenapa lu nggak bilang, sih?” tambah si Kho, yang selalu tak sabaran. Rambutnya sudah kembali kering. Sehingga ia, kemudian menyimpan handuk yang baru selesai dipakainya itu di sandaran kursi. Sebelum akhirnya ia buru-buru berbalik ke arahku.
“Karena ... gue pikir dia cuma marah, dan bakal minta balikan lagi.” Kali ini, suaraku terdengar sedikit nyaring saat menjelaskan alasan apa yang membuatku enggan bercerita selain kepada Ibu. “Eh, tahunya ... dia malah menghamili anak orang.”
“What? Apa lu bilang?”
Tania langsung berbalik badan sepenuhnya, lalu menaikkan sebelah kaki ke kursi sampai dirinya bersihadap denganku. Astaga! Bar-bar sekali dia. Namun, belum sempat aku menanggapi keterkejutannya itu, Kho pun melakukan hal sama sampai membuatku yang duduk di tengah-tengah mereka bingung harus melihat ke arah mana. Sakit pula karena terimpit.
“Gue nggak salah denger, 'kan?”
Si Kho mendesak, pake segala menarik-narik tanganku lagi. Padahal, yang harusnya kesel, marah dan sableung kan aku. Kenapa jadi mereka yang riweuh coba? Kebiasaan! Yang dapat lotre siapa, yang ambil hadiahnya siapa. Kan, asem!
“Nggak, kalian nggak salah denger, kok. Orang Bian sendiri yang bilang sama gue minggu kemarin. Makanya, acara pernikahannya itu mendadak banget.”
Sampai di sini, aku tak lagi dapat menahan sesak. Jujur, rasanya itu seperti sedang makan ice cream ... terus, tiba-tiba ice creamnya jatuh karena ketiban bola. Apes! Apes seapes-apesnya. Air mata yang sedari tadi aku tahan pun, sedikit dapat mendobrak pertahanan. Meski aku berhasil kembali menahannya dengan senyum yang aku pasang sekuat mungkin.
Bukan mengapa. Tapi, aku tuh ingat apa yang dipesankan Ibu. Katanya, nangis karena cowok selingkuh enggak banget. Jadi, mulai sekarang, aku bakal ngurang-ngurangin jatah nangis. Biar nanti aja nangisnya, kalau mereka sudah nggak ada.
“Astaga naga ... gue nggak nyangka sumpah.” Tania langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendengkus. “Setahu gue, selama Bian sama lu ... dia alim-alim aja, 'kan? Terus, kok bisa tiba-tiba begitu?” tanyanya, kemudian. Ia menggeleng. Mungkin, saking tak menyangka.
“Lu kaget, Tan?” tanyaku, sambil mengelap ingus yang mulai naik turun gara-gara menahan tangis juga sesak di dada. Terus gue tatap sorot matanya yang tampak penasaran itu.
“Iyalah!” Tania berseru lantang, kesal kurasa. Dia yang semula bersandar itu pun kembali duduk tegak menghadapku. “Gimana nggak kaget gue? Ini si Bian nanem benih di perut orang, Tik. Tuhan!” lanjutnya, dengan nada serius.
“Apalagi gue, Tan! Bayangin aja. Kagetnya, tuh udah kek kesetrum listrik bermuatan tinggi tauk.” Pecah sudah air mata yang sedari mereka datang aku tahan. Lengkap dengan ingus dari kedua idung. “Malah nggak hanya itu. Abis kesetrum, gue berasa ketiban tangga, ketiban genteng, abis itu ketiban gentong aer juga. Bayangin, Ta. Bayangin ...!”
“Ya Allah ... kasihan bener nasib sahabat somplak gue ini. Tolong beri dia ketabahan seluas samudera Ya Allah. Beri dia jodoh yang lebih kaya dari Bian juga Ya Allah,” timpal Tania sambil mengangkat kedua tangan. “Biar nih anak bisa beli genteng sama gentong aer yang jatoh lagi. Ya, nggak, Kho?”
Astaga? Ya, tapi ... Aamiin, deh. Hu hu hu.
“Eh ...,” lanjutnya tiba-tiba. Tania pun menyipit, membuat mata sipitnya itu seperti siput. Eh bukan. Maksudku semakin sipit. Sementara itu, kedua alisnya yang lebat hampir bertaut. “Kata ibu, lu maksa-maksa mau pindah. Seriusan?”
“Maunya, sih, gitu. Tapi—“
“Lu nggak kasihan emang sama kita berdua?” serobot Kho, udah kayak kereta api yang lagi lepas landas. Nyerocos pula. “Awas aja lu kalau ujug-ujug ngilang. Gue ikutin sampai ke alam mimpi ntar.”
“Bujug! Serah-serah lu pada lah. Gue pusing serius. Pen tidur, tapi mata nggak mau merem. Pen jalan, hujannya lebat banget. Pen makan, takut makin gendut. Terus pen—“
“Cari pacar lagi aja coba!” usul Tania sambil menjentikkan jari mungilnya di depan wajahku yang cantik jelita ini. Sampai-sampai, aku tak sempat menyelesaikan ucapan. “Ya ... buat seru-seruan aja gitu,” lanjutnya.
“Nggak. Awas aja kalau kamu begitu Neng!”
Tiba-tiba Ibu pun muncul. Aku lihat, ditangannya ada nampan berisi tiga gelas minuman hangat. Susu jahe, Gaes. Membuat aku, Tania dan Kho seketika terkejut dan mendongak bersamaan. Percis Teletubbies, tapi kurang seorang.
“Lah, Ibu main nyambar aja. Emang, tadi aku sama temen-temen lagi bahas apa coba?” tanyaku, sekalian sambil melap ingus dan air mata. Sedihku ambyar sudah.
“Cari pacar buat seru-seruan. Iya, 'kan? Duh ... kalian ini. Temen lagi galau malah dikasih saran yang nggak-nggak. Gimana, sih?” Sambil menaruh tiga minuman hangat di meja, Ibu ngomel-ngomel. Dah biasa, sih. Tapi, kali ini kelihatan banget wajah marahnya. “Coba pikir. Gimana kalau nanti malah terjadi yang nggak-nggak sama anaknya ibu?” lanjutnya, seraya kembali berdiri tegak dan menatap Kho dan Tania bergantian.
Aku, sih, seneng aja nengok Tania sama si Kho diomelin. Jarang banget soalnya. Dah, biar mereka tahu rasa ajalah! Awokawok.
“Maaf, Bu.” Tania yang tadi tampak garang karena mendengar ulah Bian pun berubah lugu. Ia pun langsung menurunkan sebelah kakinya lagi ke lantai, seraya tertunduk lesu di sana.
“Ok, ibu maafin. Tapi, sebagai hukumannya ... kalian harus bantuin ibu di dapur.”
“Hah?” Kho yang sedari Ibu datang langsung mengunci mulut, seketika menganga sambil mendongak lagi. “Emang, ibu mau bikin apa?” tanyanya.
“Cilok!”
***
Tepat ketika azan Zuhur berkumandang, Kho dan Tania selesai bantuin Ibu membuat cilok di dapur. Sementara aku? Tentu saja cuma ngeliatin mereka berdua, tanpa membantu apa-apa. Ya, iya. Mau ikut bantu juga dilarang kok sama Ibu. Katanya, di dapur sempit. Kagak bakal muat kalau duduk semua.
Bukan nggak bisa juga, tapi memang lagi nggak mau aja mainin sagu. Dan lagi mumpung ada dua sahabat yang mau bantuin Ibu, ongkang-ongkang kaki macam juragan gini kan jarang banget. Lagian, selama hampir dua tahun berteman baik, mereka cuma tahu makan aja. Padahal, bikin ciloknya tuh bikin keringetan. Kening basah, leher basah, ketek juga ikut basah.
Kayak mereka sekarang itulah. Wajah cemong, karena nggak sadar mengelap keringat dengan punggung tangan penuh sagu. Leher basah, karena yang namanya dekat kompor pasti rasanya gerah. Belum lagi kalau hidung tiba-tiba terasa gatal, uh ... rasanya nano-nano, deh. Senano-nano cilok buatan Ibu.
“Gara-gara lu, sih!” Usil, Kho berbisik sambil mencolek wajah Tania dengan tangan berlumur sagu. “Jadi kotor gini, kan kita?” tambahnya, kemudian berdiri. Mereka sudah selesai membulat-bulatkan cilok ternyata.
“Udah, sih. Lagian ... lu doyan juga ciloknya!” timpal Tania, yang juga ikut berdiri. Ia menepuk-nepuk pelan kedua tangannya, sebelum kemudian memelak pinggang sambil menghela napas panjang. Lantas, ia embuskan perlahan.
“Bener tuh kata Tania.” Tanpa memelankan suara, aku menimpali keduanya sambil ikut berdiri juga. Membuat Ibu yang lagi asyik mengolah bumbu cilok langsung berbalik, dengan ulekan masih di tangan.
“Apanya yang bener, Neng?” Ibu bertanya, bersamaan dengan sebelah alisnya yang terangkat.
“Aeh, Ibu. Itu, Bu ... cilok.” Aku menyengir, menggaruk pundak pula walau sebenarnya tak terasa gatal. Ini demi belain si Kho dan Tania. Kan, kasihan juga kalau sampai Ibu tahu, bahwa mereka mau bantuin karena terpaksa. Lebih kasihan lagi kalau ulekan yang Ibu pegang sampai melayang.
“Kenapa sama ciloknya?” tanya Ibu lagi. Kali ini, tangan Ibu kembali mengulek adonan ciloknya lagi.
“Enak, Bu. Ciloknya selalu enak. Gitu. Ya Allah, judes banget, sih. Biasa juga manis. Semanis cendol Kang Ujang Ibu, tuh. Iya, nggak, Gaes?”
“Iyalah!” timpal Kho dan Tania sambil tertawa-tawa kagok. Mungkin, mereka sama takutnya denganku. Karena tak biasanya, Ibu bersikap judes. Biasanya, ibuku itu selalu bersikap manis dan ramah.
“Lah, ibu cuma nanya juga. Mana ada jutek? Kalian aja yang takutnya berlebihan sama ibu. Ya, 'kan?”
Masih mengulek adonan cilok, tapi kepala Ibu menoleh barang sekejap ke arah Kho dan Tania. Kedua somplakers itu pun langsung menyengir. Merasa, mungkin.
“Ya, dah. Kalau gitu, Neng tinggal ke depan dulu, Bu. Kasihan temen-temen kepanasan di dapur.” Aku pun memilih mundur. Dari pada maju, tapi ujung-ujungnya gentar. Awokawok.
“Iya, Bu. Pamit bentar, ya.”
Kho dan Tania pun mengucapkan hal yang sama, bersamaan. Membuat Ibu seketika tertawa pelan sambil mengangguk-angguk. “Tapi, kalian jangan langsung pulang, ya. Selain karena baru azan, kalian juga harus makan ciloknya dulu.”
“Siap, Bu!” Lagi-lagi, Kho dan Tania berkata hal yang sama. Membuat suasana yang tadi sempat menegang, tiba-tiba mencair karena gelak tawa. Mereka akhirnya terlihat sedikit lega.
“Lagian ... mana mungkin aku dan Tania pulang tanpa mencicipi ciloknya dulu, Bu. Bahkan, kalau boleh aku mau minta buat dibawa pulang,” lanjut si Kho. Soal makanan, dia memang yang paling doyan. Apalagi kalau gratisan.
Beuh!
“Ya, sudah. Kalau begitu, kalian sekalian salat dulu aja sana. Terus, doain si Neng biar cepet-cepet move on dari si Bian.”
Ibuku mulai lagi. Padahal, dari tadi nggak ada yang bahas soal si Bian. Eh, malah dibahas juga. Kan, gimana bisa move on?
“Aamiin?” timpal Kho dan Tania, bersamaan lagi. Mereka, sepertinya akan bersekongkol kalau tak segera dipisahkan.
Baiklah! Menjauhkan mereka dari Ibu, seharusnya dimulai dari sekarang.
Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi. Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania
Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti &
“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan,
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K