“Enggak mau pokoknya, Bu. Neng nggak mau tinggal di sini lagi. Neng mau kita pindah aja. Titik! Nggak pake koma, apalagi Puspa. Tau, kan, Bu ... siapa Titik Puspa?"
Selesai menghabiskan sepuluh kantong kripik singkong pedas, aku langsung duduk di kursi sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. Sementara tatapan, sengaja aku fokuskan pada Ibu. Perasaanku benar-benar kacau setelah mendapati kekasih hati, ternyata mempunyai persinggahan hati yang lain. Lebih hancur lagi, setelah baru saja menerima kabar dari kertas yang tanpa menyentuhnya saja dapat kutebak isinya apa.
Surat undangan!
“Ibu lihat sendiri, kan? Untuk apa coba dia mengirim kertas undangan itu padaku?” Lantas aku menunjuk kertas yang teronggok di lantai kamar, setelah tadi kutepis dari tangan Ibu saat menyodorkannya padaku.
“Pamer, Bu. Dia mau pamer. Astaga! Sengaja biar hatiku semakin teriris-iris!” lanjutku. Kali ini seraya menarik kedua kaki sampai naik dan melipatnya di kursi. Duduk bersila, aku pun menopang pipi dengan kedua tangan. “Jahat memang dia, tuh. Tega gitu, lihat aku datang ke pernikahannya? Ish! Nggak banget. Siapa pulak yang mau datang?"Seperti biasa, Ibu pun hanya menggeleng-geleng tiap kali melihat aku merajuk yang katanya percis anak kecil. Bahkan Ibu tertawa-tawa pelan, seperti tak peduli dengan apa yang aku rasakan sekarang ini.
“Jadi, daripada aku sama Ibu datang ke acaranya ... mending, mulai sekarang kita siap-siap buat pindah rumah aja, Bu.” Aku bicara lagi. Karena rasanya, tak puas jika belum mengomel sampai ke akar-akarnya.
“Neng ... Neng. Kamu itu memang aneh, ya?” Ibu yang sedari tadi duduk di ranjang pun berduri dan melangkah maju ke belakangku. “Lagian, memangnya gampang pindah rumah? Susahlah!” lanjutnya, sambil memegang kedua sisi pundakku.
Suaranya begitu halus dan menenangkan. Begitu juga sentuh tangannya yang lembut juga menghangatkan. Namun, tetap saja, amarah dalam hati dan otakku ini tak dapat luluh begitu saja. Rasanya, detak jantungku begitu menggebu-gebu.
“Ya, tinggal jual aja rumah ini, Bu. Terus kita beli cilok. Eh, maksud Neng beli rumah di tempat lain gitu. Kan, gampang!” Aku merajuk sembari melipat kedua tangan di dada. Sementara bibir cemberut, yang semoga saja tak mirip curut. “Aneh apanya coba?”
“Ya, anehlah.” Ibu berdecak, lagi-lagi sambil tertawa. “Kemarin kan kamu sendiri yang menolak lamaran Bian. Lalu, sekarang kenapa macam cacing kepanasan? Biarlah si bian nikah sama wanita lain. Toh, sudah jodohnya. Kita mah tinggal datang, terus kasih doa supaya pernikahannya langgeng dan tanpa ada perselingkuhan."
Bibirku, seketika kian merengut. Kesal, karena apa yang dibicarakan Ibu adalah benar. Aku yang salah, karena saat Bian menunjukkan keseriusan, aku tolak dengan alasan masih ingin memantapkan diri dan juga hati.
“Terus ... soal jual rumah, Neng pikir jual cilok yang sekali keliling langsung habis? Duh, Gusti. Ini anak kenapa, sih?” ibu mengomel lagi. Kali ini, sentuh tangannya beralih ke kepala. Dan, ia menguceknya seperti bukan pada gadis dewasa.
“Ish ... Ibu! Kenapa jadi Ibu yang ngomel-ngomel, sih? Kan, yang lagi kesel tuh Neng.” Aku langsung beringsut, mengubah posisi duduk sampai bersihadap dengannya. Kemudian mendongak, masih dengan ekspresi kesal.
“Yang ngomel tuh siapa, sih? Ibu cuman perintilin masalahnya, biar kamu itu sadar, Neng. Coba, deh kamu pikirin lagi. Ini tuh masalah jodoh. Kita nggak tahu karena itu semua adalah rahasia Tuhan. Lagian, harusnya kamu bersyukur dong. Saat Bian ketahuan selingkuh, itu artinya, Tuhan udah bukain jalan buat kamu. Dia kasih tahu, kalau bian bukan lelaki yang baik untuk kamu, Neng!"
“Iya. Tapi kan kemarin tuh bukannya aku nolak, Bu. Aku cuman minta waktu. Minta waktu, sampai aku benar-benar siap gitu, Bu. Eh, taunya dia malah begitu. Gimana nggak bikin aku kesel coba?"
“Lah, sama saja atuh.” Ibu tergelak pelan, menertawakanku sudah pasti. “Coba kamu pikir, Neng. Bian kan lima tahun lebih tua darimu. Itu artinya, usia Bian sudah sangat matang. Dan ... di usia segitu matang, kamu pikir Bian bisa nahan keinginannya?”
“Ya, masa nggak bisa nunggu sampai beberapa waktu gitu?” Aku masih mendongak, melihat Ibu yang masih saja tertawa-tawa kecil. Ngeselin. Tapi, emang pantas diketawain, sih.
“Nahan syahwat sampai beberapa waktu gitu? Berapa lama, Neng?” Ibu mencubit pelan pipi tirusku. “Kalau dia bisa nahan, nggak bakal anak orang sampai hamil, Neng.”
“Y-ya, iya, sih. Tapi tetep ajalah, Bu. Dia itu udah bikin aku sakit hati. Dan itu rasanya nggak enak, Bu. Nggak enak banget pokoknya!” Aku kembali pada duduk semula, membelakangi Ibu. “Apalagi kalau ingat seberapa lama aku berhubungan dengannya. Masa, cuman gara-gara aku minta waktu buat menikah, dia tega ninggalin aku?”
“Jodoh emang jorok, Neng. Sejorok Neng.”
Ibu, dengan gaya santainya masih saja tertawa pelan. Duh ... makin ngeselin lama-lama. Kalau saja nggak bakal bikin aku durhaka, udah kuajak gelut dia. Ya, masa ... anak sendiri diketawain begitu. Ini kan lagi sedih ceritanya.
“Apaan coba, malah bawa-bawa Neng?” Aku makin cemberut, kesal karena Ibu terus saja membela Bian yang jelas-jelas ninggalin aku pas lagi sayang-sayangnya. "Wangi gini juga."
“Ya, memang iya. Jodoh itu sejorok Neng yang jarang mandi, yang langsung ngubek-ngubek kulkas buat cari makan tiap bangun tidur. Padahal belum cebok, belum cuci muka. Coba kalau rajin, pasti jodohnya nggak bakal mau jauh-jauh dari Neng.” Tawa Ibu seketika menggelar.
“Auk, ah. Ibu nggak asyik! Masa, dari tadi yang dibela si Bian terus? Neng jadi curiga!” Aku mendesah, semakin kesal. Lalu melipat kedua tangan di meja sebelum menumpukan kepala di sana, dengan posisi wajah menoleh ke arah Ibu yang sudah berdiri di samping kiri.
“Lah, curiga apa kamu? Jangan aneh-aneh, deh.” Tawa Ibu pun seketika berhenti. Berganti seringai heran di wajahnya yang masih tampak muda. Padahal, kalau dihitung, usia Ibu hampir mencapai kepala lima.
“Curiga, kalau Ibu tuh seneng liat aku sama Bian pisah! Secara, dulu tuh Ibu sempat nggak suka, kan, sama bian?"
“Lah ... mana ada begitu?” Ibu kembali tertawa-tawa. Namun, kali ini semakin kencang seraya bangkit dari duduknya. “Ada-ada saja kamu. Dah, sana mandi. Atau hujan-hujanan tuh. Udah jam sepuluh juga. Makan aja diduluin, iler sama upil masih nempel!”
“Mana ada upil sama iler, Bu!” Aku langsung berdiri tegak, melihat Ibu yang berjalan santai ke arah pintu. Ngeselin emang. Masa anak sendiri dikata ada upil sama iler? Tadi, kan abis wudu.
Ya, walaupun habis salat tidur lagi sih emang. Awok awok.
“Coba ngaca!” titah Ibu begitu sampai di ambang pintu. Lalu, dengan santainya Ibu bilang, “Gimana Bian nggak berpaling coba? Ya, Allah Gusti.”
“Ibu!!!!!!” seruku seraya loncat dari ranjang, lalu menatap lekat bayangan wajah sendiri di balik cermin. Barangkali, Ibu memang benar. “Astagah!” seruku lagi sambil berlari ke kamar mandi.
Aih!
Ternyata, ilerku memang sepanjang jalan kenangan.
Huaaaaa.
***
Wajahku cantik, tubuhku pun tak kalah seksi dari artis-artis dalam sinetron. Tapi ,kenapa dengan mudahnya Bian berpaling ke lain hati? Apa iya hanya karena aku meminta waktu? Atau, hanya karena dia nggak bisa menahan keinginannya, sampai-sampai menghamili anak orang?
“Ya, Rabb. Sakit kali hati ini. Kira-kira, ada bengkelnya apa tidak?"
Aku mendesis begitu kembali masuk ke kamar, lalu melempar tubuh ke ranjang sambil merentangkan kedua tangan dengan perasaan semakin kacau dan risau. Epeknya, ingatan-ingatan tentang Bian seketika berputar, seolah menari-nari dalam pandangan.
Bian yang dengan keromantisannya saat nyatain cinta. Lalu, hampir tak pernah absen saat mengantar dan menjemputku seusai kerja, sampai aku membuat Monic menjadi pengangguran. Belum lagi saat malam minggu datang menyapa, Bian menjadikannya malam spesial untuk mengajakku nonton bioskop atau sekadar jalan-jalan di sekitar perumahan.
Dia, mantan kekasihku itu sama sekali nggak ada cacat-cacatnya. Bahkan, tak pernah sekalipun dia meminta sesuatu yang menjurus ke seks. Tapi, sekarang?
“Argh! Kenapa gue nggak bisa move on dari dia, sih? Padahal, udah sebulan Bian mutusin—“
“Masih mikirin Bian?”
“Ya Allah, Bu. Bikin kaget aja tau nggak?”
Aku langsung terperanjat, bangun begitu suara Ibu tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Entah sejak kapan Ibu di sana. Tapi, sudah pasti ibu menguping apa yang baru saja aku katakan.
“Gimana mau move on kalau begitu terus?” tanyanya, seolah tak peduli dengan keterkejutanku barusan. Padahal, aku hampir jantungan.
“Ish ... siapa yang mikirin Bian, Bu?”
“Ya, kali ibu nggak denger. Mata kamu juga basah. Pasti habis nangis-nangis lagi, kan?” selidik Ibu, persis Pak Satpam perumahan kalau ada pengunjung baru yang datang. Segala ditanyain, ampe ke status-statusnya.
Kali janda, gitu katanya.
“Mana ada nangis, Bu? Neng habis dari kamar mandi barusan, basuh muka. Kan Ibu sendiri yang bilang tadi, kalau Neng ada upil sama iler!"
“Yakin?”
Ibu kembali menyelidik, dengan intonasi sedikit lebih pelan. Hampir tak terdengar, kalah saing oleh gemerencik di luar sana.Hujan memang sedang mengguyur kota, setelah waktu memasuki musim hujan sejak sebulan lalu. Tepat ketika hatiku potek, langit seolah ikut merundung atas kesedihan yang kurasakan.
“Iyalah!” Buru-buru kuusap air di wajah yang memang tercampur air mata. Tapi, Ibu memang nggak boleh tahu kalau aku masih saja menangisi kepergian Bian.
“Ya, sudah kalau begitu. Ikut ibu, yuk. Ada tamu tuh di depan.” Tiba-tiba, wajah ngeselin Ibu berubah. Berganti seringai seperti biasanya, santai.
“Woah ... hujan-hujan begini siapa yang datang bertamu, Bu?” Aku langsung beranjak duduk bersila. Semangat jika ada yang datang berkunjung. Karena biasanya, kalau bukan Martabak sebagai buah tangan, pasti sekantong keresek buah-buahan.
“Lihat aja sendiri. Ibu mau bikin minuman hangat dulu buat mereka. Kasihan, kehujanan soalnya,” timpalnya sambil melengos.
“E-eh ... tungguin Neng, Bu.” Aku langsung beranjak turun, lalu menyusul Ibu yang sudah keluar dari kamar. “Kasih tahu dulu, siapa yang datang? Kenapa Neng mesti nemuin tamunya?”
“Ya, siapa lagi kalau bukan temen-temenmu atuh, Neng? Ya, masa ibu harus panggil tetangga? Kan, mereka mau nemuin kamu.” Kening Ibu pun seketika mengerut, sampai mencipta lipatan-lipatan kecil di sana.
“Huft ....” Aku menghela napas, merasa lega. “Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Kan, Neng nggak perlu senewen, Bu.”
“Lah ... emang kamu pikir siapa yang datang? Kenapa juga harus senewen?”
“Neng pikir Bian yang datang. Eh, maksudku ... aku pikir Bibi yang datang,Bu.”
“Hilih! Ibu bilang juga apa. Kamu itu masih aja mikirin Bian.” Ibu tergelak pelan, merasa menang, kurasa. “Gimana bisa move on kalau begitu terus?”
“Sebenarnya aku dah coba buat move on, Bu. Tapi adaaa aja gitu godaan setan terkutuk yang bikin aku inget dia mulu!” Aku menyengir sambil bersandar di kusen pintu. Lantas bergaya bak anak kecil minta jajan, manja.
“Dahlah sana. Pusing ibu, kalau kamu terus mikirin Bian. Apalagi malah nyalahin setan! Marah ntar dia.” Ibu melengos, masih dengan sisa tawanya.
Huaaaaa.
“Kalau gitu aku mau Bian aja deh, Bu. Eh! Aku mau cilok aja maksudnya, Bu. Ya Allah ... nyesek banget ini hati. Bawa ke bengkel, kek, gitu!" ujarku sambil mendongak barang sekejap. Berharap, Tuhan akan mendengar apa yang kuharapkan.
“Iya-iya. Nanti ibu bikinin cilok.” Sambil berjalan ke arah dapur Ibu tergelak lagi. “Mau cilok goang kek. Cilok bumbu kacang kek. Atau cilok apa gitu, asal Neng jangan minta pindah terus! Ya Allah. Begini amat punya anak gadis yang kalau ada apa-apa, pasti minta cilok.”
“Ibu!” rutukku, begitu mendengar kata terakhir yang digumamkannya.
“Iya-iya, Neng. Ya Allah Gusti.” Ibu menggeleng, bahkan menepuk kening.
“Jangan ketawa mulu, Bu.”
“Iya, Neng. Iyaaaaa!” serunya, begitu jarak sudah semakin jauh.
Tapi, Ibu masih aja tertawa.Ngeselin!
Bab. 2. Trio Somplakers“Ini serius si Bian mau kawin?” tanya Kho. Teman satu pekerjaanku di minimarket milik Pak Dodot itu menggeleng-geleng tak percaya sembari menggosok-gosok rambutnya yang sedikit basah oleh handuk. “Dan ... itu bukan sama lu, Tik? Duh, Gusti. Gue sama Tania baru dapat undangan tadi. Makanya, kita langsung cus kemari buat nanya sama lu langsung.”Pandangan yang semula ke arahku, Kho alihkan pada Tania yang datang bersamanya di tengah hujan. Ia seolah meminta kebenaran atas pernyataannya barusan. Dan, Tania yang baru saja duduk di sampingku ini pun mengangguk, membenarkan.“Tul, tuh, Tik. Sumpah, sebenarnya gue nggak percaya! Takutnya, nama lu emang bukan Kartika,” katanya, hampir membuatku tertawa.Ya, masa iya, namaku bukan Kartika? Di KTP jelas, kok, tulisannya. Meski, fotonya amat sangat menyebalkan. Udah mah tanpa make up, pakai kerudung
Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi. Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania
Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti &
“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan,
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
“Cantik?” Aku kembali melihatnya yang masih bertolak pinggang. Kang Cihu mengangguk mantap. “Ini lebih dari sekadar cantik, Kang.”Pelan kakiku melangkah maju seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman belakang. Di batas benteng rumahnya terdapat sebuah kolam dengan air pancuran di setiap penjurunya.Namun, bukan hanya itu yang membuatku begitu terkesima. Melainkan lilin bertuliskan nama lengkapku yang mengambang rapi di sana. Lalu, Kerlip lampu yang mengelilingi benteng berhiaskan dedaunan liar pun semakin memperindah suasananya.Sementara itu, tepat di hadapanku, sebuah meja dengan dua kursi saling menghadap sepertinya sengaja dia siapkan, untuk aku duduk berdua saja dengannya. Lagi-lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. Sebelum akhirnya berbalik dan mendapati Kang Cihu tepat di depan mata.“Kang?!” Aku mendongak, menatap wajahnya dalam jarak begitu dekat dengan napas memburu. “I-itu?”
Gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa begitu membuka mata, selain cahaya remang-remang dari balik jendela kamar. Merasa haus, aku pun hendak bangun untuk pergi ke dapur. Namun, baru saja bergerak, kepala rasanya berat. Bahkan sakit.Urung melanjutkan niat untuk mengambil air ke dapur, aku kembali tidur barang sebentar. Mengumpulkan nyawa yang baru saja kembali dari alam mimpi, biasanya mampu membuat kepalaku hilang. Eh, maksudku sakitnya yang hilang.Omong-omong soal mimpi, aku tersenyum-senyum sendiri begitu mengingat setiap detailnya. Mulai dari bertengkar dengan Ibu karena masalah baju, sampai Kang Cihu yang ternyata anak Pak Dodot dan Bu Ana.“Ada-ada saja! Jelas nggak mungkinlah.” Aku mendesis sambil menggeleng tak percaya. “Ini, pasti karena aku yang begitu penasaran tentang siapa Kang Cihu sebenarnya.”Merasa sedikit lebih baik, aku beringsut untuk menyalakan lampu duduk di samping ranjang. Sekalian mau mencari ponsel yang bia
Entah apa yang dipikirkan Ibu sepanjang membuat kue. Namun, sedari membuat adonan wajahnya itu semeringah. Tampak beda dari biasa, apalagi pas nyanyi-nyanyi sambil goyang segala.Mending kalau suaranya enak didengar. Ini macam kaleng Kong Guan yang ditabuh anak-anak pake kayu. Selain rombeng, lirik lagu salah, nada pun entah ke mana. Kacau sudah suasana dapur sore tadi.Sekarang, setelah selesai salat Magrib, Ibu pun menyuruhku untuk buru-buru bersiap. Malah, dia sendiri yang mencari baju untukku. Ngambil yang merah, nggak cocok, lempar. Ngambil yang biru, nggak cocok, lempar lagi. Gitu terus sampai isi lemari keluar semua.“Gada baju agak bagusan dikit gitu? Buluk semua bajumu, Neng!” Ibu memelak pinggang di hadapanku sambil menggeleng-geleng. Sementara kamar, tak ayal kandang macan.Berantakan!“Aku begini aja udah! Kalo emang nggak ada yang cocok.”“Dih! Kek berani aja ke sana cuma pake kancut sama kutang doa
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K