Aku menatap Romi dengan tatapan takjub plus terharu. Haruskah aku bilang 'Terima kasih, orang baik!'? "Habisin makannya. Kalau masih ada sisa di piring kamu, nanti aku bilangin ke semua temen kamu," tukas Romi. "Bilangin apa?" tanyaku panik. Katanya aku tak punya rahasia apapun? Kenapa sekarang dia mengancam? "Bilangin kalau kamu kayak bocil. Makan sepiring ajanggak dihabisin," timpal Romi. Matanya menatapku tajam. Tapi entah kenapa ada kilatan usil juga di sana. Aku tersenyum malu. Ketahuan deh, aku sudah berprasangka buruk padanya. "Masih bisa senyum-senyum kamu? Kalau punya waktu buat cengengesan mending habisin nasinya sekarang juga," celetuk Romi. Aku tahu, dia cuma bersikap sok galak. "Ya..." sahutku riang sembari melanjutkan makanku yang sempat tertunda karena pembicaraan penting barusan. Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah mempertemukan aku dengan banyak orang baik seperti Nava, Febri cs, dan juga Romi. Pakde Joko dan keluarganya juga baik terhadapku dengan cara mereka s
Pagi itu mbak Poppy muntah-muntah. Hampir setiap pagi dia begitu. Begitu pula saat dia mencium bau bumbu masakan, atau bau nasi matang di magic com, atau apapun juga yang baunya tak enak bagi indera penciumannya. Aku pernah menyeduhkan teh hangat yang manis untuk diminum mbak Poppy sehabis dia memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi. Tapi dia malah muntah lagi. Bahkan bau teh juga membuat kakak sepupuku itu mual. Berbanding terbalik denganku yang doyan semua makanan sampai-sampai aku merasa tidak enak sendiri karena takut tanpa sadar sudah menghabiskan jatah makanan untuk mbak Poppy, meski aku kadang-kadang aku membeli makanan di luar sebagai tambahan. "Setiap orang hamil itu beda-beda, Nduk. Poppy tiap pagi muntah-muntah kayak gitu bukan berarti dia atau bayinya lemah, bukan juga kandungannya bermasalah," kata Bude Rahmi dengan tajam seperti sedang menegurku."Ya, De," sahutku singkat. Meskipun pikiran ingin sekali membantah ucapan bude. Aku tidak sedang membandingkan kandunga
Bu Wirya mengangguk sembari tersenyum lebar menanggapi ucapan Bude Rahmi. Sementara aku mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan yang diduduki olehnya dan Bu Wirya dengan badan gemetar dan kikuk. Aku menatap dua wanita paruh baya di hadapanku dengan perasaan campur baur. Tersinggung, jelas ada. Belum lagi marah, bingung, malu, kecewa, sedih, dan lain sebagainya. Semuanya berdesakan di dalam dadaku. Ternyata Bude Rahmi membelikanku dan memintaku memakai gaun cantik sepanjang lutut ini untuk membuatku tampil memikat di depan Bu Wirya dan anaknya. "Nama kamu siapa, Nduk?" tanya Bu Wirya hangat. Selayaknya seorang ibu terhadap anak perempuannya. Namun, Aku yang sedang terluka menerima sikapnya itu sebagai hal yang sangat menakutkan.Hampir semalaman aku tak bisa tidur. Jika tidak teringat kehidupan lain di perutku, pasti aku akan begadang. Seperti biasanya, pagi ini aku mesti menunggu mbak Poppy selesai muntah di kamar mandi baru aku pergi mandi."Risa, Bu..." sahutku lirih.
"Habis muntah ya, Ris?" tanya Bude Rahmi yang sedang menggoreng ikan gurameh. "Ya, De," jawabku lirih. Badanku masih terasa lemas setelah habis-habisan di kamar mandi. Setelahnya aku melanjutkan mandi pula demi bisa tetap berangkat ke kampus. "Duduk dulu. Aku bikinin teh hangat apa susu? Pilih aja," kata Bude Rahmi. Aku menurut duduk di kursi dapur. Sekalian mengistirahatkan fisik yang mendadak kurang daya ini. "Muntah kamu?" cetus mbak Poppy yang lewat hendak ke kamar mandi. Wajahnya tampak senang. Tanpa dia tutup-tutupi lagi. Aku tak menjawab pertanyaan yang sepertinya hanya retorika saja. "Ya gitu deh rasanya morning sick, Ris," ujar mbak Poppy jumawa sembari tetap melangkah menuju ke kamar mandi. 'Keterlaluan banget kamu, Mbak. Nggak nyangka, kamu bakal setega itu sama aku.' batinku perih. "Gimana?" tegur Bude Rahmi. "A... Aku bikin sendiri aja susunya, De. Cuma mau duduk bentar buat ngilangin gemetarku," sahutku te
"Kalau telepon liat-liat tempat. Kamu ganggu tidurku," kata Romi sambil berjalan keluar dari ruang kelas di belakang bangku yang aku duduki. Rambutnya sedikit acak-acakan dan mukanya kusut khas orang baru bangun tidur, meskipun hal itu tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Demi apa coba? Kok bisa aku bertemu dengan Romi di sudut kampus yang sepi ini? Bukankah kata Febri dia sedang mendaki Gunung X? "Katanya Febri... Kamu lagi naik gunung..." cetusku spontan. Bercampur dengan rasa panik dan syok juga. Apakah Romi mendengar pembicaraanku dengan Nava barusan? Semuanya??? "Aku baru pulang tadi. Tapi aku nggak bisa tidur di sana. Berisik. Makanya aku tidur di sini. Tapi barusan aku bangun gara-gara denger suaramu," sahut Romi dengan nada mengeluh. Dia menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya menjadi semakin awut-awutan. Tapi anehnya malah membuat Romi terlihat seksi. 'Kalau cewek-cewek penggemarnya pada liat dia yang rambutnya gitu, Kira-kira pada jatuh pingsan nggak ya?' ba
"Ta... Tapi, De..." bantahku, yang langsung dimentahkan oleh Bude Rahmi. "Masakanku belum mateng. Pasti kamu udah laper, 'kan? Terus kasian itu anak kamu kalau makanmu ditunda-tunda," kata Bude Rahmi. "Iya, Dek. Kasian bayi kamu," timpal Pak Burhan mendukung ucapan Bude Rahmi. Aku mengembuskan napas berat. Merasa sudah kalah set karena Bude Rahmi dan Pak Burhan menyebut-nyebut anakku sebagai alasan. 'Dek. Ibu nggak suka pergi sama laki-laki itu. Tapi, bagaimanapun juga, betul kata mereka. Kasian kamu kalau Ibu makannya nunggu masakan Bude Rahmi mateng.' Ku usap perutku sekilas tanpa kentara. "Gimana, Dek?" tanya Pak Burhan mendesakku. "Baik. Saya mau ikut Pak Burhan," sahutku. "Nah, kalau gitu, langsing aja. Toh kamu juga udah siap pergi 'kan, Ris. Pakai baju yang kamu pakai ke kampus itu aja udah cukup 'kan, Nduk?" celetuk Bude Rahmi. "Ya, De," jawabku. 'Tentunya pakai baju dari kampus ini aja udah cukup. Nggak perlu ganti pakai gaun cantik yang Bude beliin kemaren.' pikirku
"Kalau budemu udah tau soal aku, pasti kamu udah tau 'kan Dek kerjaku apa?" cetus Pak Burhan di tengah-tengah perjalanan pulang."Ya," sahutku."Besok kamu mau nggak aku ajak ke tempat kerjaku? Karyawan-karyawanku pada baik semua kok," kata Pak Burhan."Saya besok nggak bisa pergi sama Bapak. Besok-besoknya juga nggak bisa. Saya nggak bisa nikah sama Bapak," tukasku. Aku mengerahkan segenap keberanian untuk menegaskan perasaanku kepada Pak Burhan sebelum Bude Rahmi menginterupsi pembicaraan kami lagi."Kenapa?" celetuk Pak Burhan bingung.'Udah jelas-jelas nolak. Kok masih ditanya kenapa juga?' batinku tak kalah bingungnya."Ya saya merasa nggak cocok aja sama Bapak. Masih banyak perempuan lain yang..."Pak Burhan memotong ucapanku, "Tapi aku udah cocok sama kamu, Dek.""Pasti ada yang lebih cocok sama Pak Burhan," bantahku."Siapa? Aku udah pernah ikut biro jodoh, pernah dijodohin juga sama tetangga yang janda. Pernah sama saudara jauh yang juga janda punya anak tiga. Tapi semuanya..
"Kemaren kamu tau dari mana La, aku lagi makan di restoran itu?" tanyaku pada Nela. Kebetulan kami bertemu di depan kampus dan berjalan bersama ke ruang kelas. "Ada sepupu aku update status foto lagi makan di restoran XXX itu kemaren. Aku liat kamu lagi duduk di belakangnya. Jadi aku kirim chat ke kamu deh. Eh, kamu makan sama om kamu ya?" balas Nela. "Bukan. Cuma kenalan," jawabku kikuk. "Masa sih? Dia itu om-om, lho. Sini, Ris. Kita duduk di sini dulu," cetus Nela heran. Dia menarik tanganku untuk duduk bersamanya di sebuah bangku kayu yang panjang di selasar yang kami lewati. "Ada apa, Ris? Ini nggak kayak yang aku sangka, 'kan?" tanya Nela dengan sorot mata penuh selidik. Aku tertawa garing, "Emangnya... Kamu nyangkanya apa?""Maaf, ya. Jujur aja, aku nyangka kamu jalan sama om-om itu... Buat... Cari uang?" kata Nela terbata-bata. Namun, tatapan matanya tak pernah lepas dariku. Aku maklum, siapapun yang melihatku makan bersama-sama laki-laki yang lebih tua dariku pasti mengi