"Kalau budemu udah tau soal aku, pasti kamu udah tau 'kan Dek kerjaku apa?" cetus Pak Burhan di tengah-tengah perjalanan pulang."Ya," sahutku."Besok kamu mau nggak aku ajak ke tempat kerjaku? Karyawan-karyawanku pada baik semua kok," kata Pak Burhan."Saya besok nggak bisa pergi sama Bapak. Besok-besoknya juga nggak bisa. Saya nggak bisa nikah sama Bapak," tukasku. Aku mengerahkan segenap keberanian untuk menegaskan perasaanku kepada Pak Burhan sebelum Bude Rahmi menginterupsi pembicaraan kami lagi."Kenapa?" celetuk Pak Burhan bingung.'Udah jelas-jelas nolak. Kok masih ditanya kenapa juga?' batinku tak kalah bingungnya."Ya saya merasa nggak cocok aja sama Bapak. Masih banyak perempuan lain yang..."Pak Burhan memotong ucapanku, "Tapi aku udah cocok sama kamu, Dek.""Pasti ada yang lebih cocok sama Pak Burhan," bantahku."Siapa? Aku udah pernah ikut biro jodoh, pernah dijodohin juga sama tetangga yang janda. Pernah sama saudara jauh yang juga janda punya anak tiga. Tapi semuanya..
"Kemaren kamu tau dari mana La, aku lagi makan di restoran itu?" tanyaku pada Nela. Kebetulan kami bertemu di depan kampus dan berjalan bersama ke ruang kelas. "Ada sepupu aku update status foto lagi makan di restoran XXX itu kemaren. Aku liat kamu lagi duduk di belakangnya. Jadi aku kirim chat ke kamu deh. Eh, kamu makan sama om kamu ya?" balas Nela. "Bukan. Cuma kenalan," jawabku kikuk. "Masa sih? Dia itu om-om, lho. Sini, Ris. Kita duduk di sini dulu," cetus Nela heran. Dia menarik tanganku untuk duduk bersamanya di sebuah bangku kayu yang panjang di selasar yang kami lewati. "Ada apa, Ris? Ini nggak kayak yang aku sangka, 'kan?" tanya Nela dengan sorot mata penuh selidik. Aku tertawa garing, "Emangnya... Kamu nyangkanya apa?""Maaf, ya. Jujur aja, aku nyangka kamu jalan sama om-om itu... Buat... Cari uang?" kata Nela terbata-bata. Namun, tatapan matanya tak pernah lepas dariku. Aku maklum, siapapun yang melihatku makan bersama-sama laki-laki yang lebih tua dariku pasti mengi
""Nggak usah, Pak. Misalnya saya mau pulang ke tempat pakde saya, saya bisa sendiri. Jangan jelekin temen-temen saya juga. Mereka cuma mau belain saya dari orang yang tidak sopan kayak Anda," kataku dingin. Kemudian aku memamerkan badan dan masuk ke mobil Wawa diikuti teman-teman baikku."Pulang sendiri aja, Pak! Ini kampus ya, bukan kantor biro jodoh!" celetuk Devi saat mobil yang membawa kami hendak melaju meninggalkan area parkir itu. "Bocah ed*n (anak gila)!" maki Pak Burhan pada Devi. Sontak Devi dan Wawa persaudaraan laki-laki itu dengan tawa heboh mereka. Bahkan mereka kompak mengacungkan jari tengahnya."Emang dasar preman kalian berdua tuh," komentar Febri ketika sosok Pak Burhan sudah tertinggal jauh di belakang sana. "Tapi laki-laki itu takut 'kan sama kita?" timpal Devi dengan tawa yang masih berderai. “Kita rela kok jadi preman demi belain Risa,” kata Wawa. Dia sudah berpikir dengan serius. Mungkin karena harus fokus menyetir. "Iya, Ris. Kita semua, bakalan rela jadi
"Yaelah! Gitu aja pakai disembunyiin. Kayak ada affair apaan," decih Wawa. "Pantesan kamu keliatan ilfeel gitu ya Mar, waktu Romi gandeng tangan kamu pas challenge OSPEK dulu," cetus Febri. Marwah hanya nyengir kuda.Romi yang sekarang berdiri menyandar ke ambang pintu langsung mendebat pernyataan Febri. "Aku juga ilfeel kok. Kata siapa cuma dia?""Nggak tuh. Kamu keliatan menikmati. Sama cewek manapun 'kan kamu gitu. Gampang nyaman sama tiap cewek dan suka bikin nyaman mereka," timpal Febri. "Termasuk kamu. Gitu 'kan, Feb?" celetuk Devi iseng. "Nggak dong. Aku udah punya ayang. Selama ini kita LDR-an. Kalian aja yang pada nggak tau," dengkus Febri pongah. "Hah?! Orang mana?" tanyaku dan Wawa cs berbarengan. "Orang kampus sebelah," kata Febri. Sontak dia mendapat hujatan dan gelitikan dari kami yang berada di dekatnya. Bahkan aku ikut menggelitik perutnya. "Ampuuunnn!!! Eh, Romi! Ngapain kamu malah pergi sih?! Tolongin gue kek!" teriak Febri diselingi tawa terbahak-bahak karena
"Apa kamu udah mikirin bener-bener, Nduk?" tanya Pakde Joko dengan raut muka suram. "Ya, De. Aku nggak bisa nikah sama Pak Burhan," tegasku."Kalau boleh tahu, apa kurangnya anakku di mata kamu, Nduk? Biar jadi jelas alesanmu dan bisa jadi bahan perbaikan untuk Burhan," kata Bu Wirya. Binar matanya yang lembut keibuan menjadi penetral suasana hatiku yang kacau-balau saat ini. "Hanya... Nggak cocok, Bu," sahutku. "Cuma karena itu, Nduk? Coba kamu pikir baik-baik. Tolong kamu pertimbangkan lagi matang-matang. Kamu ada anak lho Ris sekarang. Apa kamu nggak kasian sama anakmu kalau dia nanti diejekin temen-temennya karena nggak ada bapaknya? Apa kamu juga nggak kasian sama pakdemu yang nantinya ikut nanggung beban?" celetuk Bude Rahmi tajam."Maaf De kalau anakku jadi beban Bude sekeluarga. Makanya aku keluar dari rumah ini biar nggak membebani kalian lagi," kataku sarkastis. Aku tak terima anakku disebut sebagai 'beban'.'Kamu matahari Ibu, Dek. Jangan dengerin kata-katanya eyang Rahm
"Ya, De." Aku menjawab ucapan Pakde Joko dengan terharu. "Terus, ke depan kamu mau gimana, Ris? Perut kamu bakal makin besar 'kan, Nduk. Apa kamu mau tetep masuk kuliah? Atau kamu mau ngajuin cuti dulu?" Pertanyaan yang diajukan oleh Pakde Joko kali ini membuat tercenung. Perkataannya mengena telak di hatiku sebab benar adanya. Akhir-akhir ini aku juga sedang memotong. "Rencananya aku mau ambil cuti semester depan, De. Aku juga mau balik ke rumah Bapak. Aku pengin lahiran di sana sekalian mau deket sama Makam Bapak," kataku. "Tapi nanti kamu balik lagi ke sini ya, Ris. Sayang kuliahmu lho, Nduk. Lagian budemu sama kakak-kakakmu 'kan di sini. Mereka bisa bantu-bantu kamu ngurus anakmu juga." Pakde Joko memandangku lekat-lekat. "Makasih banyak, De. Tapi... Aku pengin berusaha hidup mandiri. Aku nggak mau ngerepotin Pakde dan keluarga di sini lebih banyak lagi. Aku nggak mungkin terus-terusan kayak gini," ujarku hati-hati. "Lho, ngerepotin opo, Ris? Kamu itu bagian dari keluargaku,
"Kamu bilang mantan br*ngsek kamu itu idola kampus, Ris? Pengin aku tonjok-tonjok dia, terus habis itu aku buang ke laut!" geram Wawa. "Kurang itu, Wa! Harusnya digeprek dulu terus dikasih air garam," celetuk Devi tak kalah geramnya. "Psikopat beneran deh kalian berdua," komentar Nela dengan wajah mengernyit ngeri. "Cowok mesum sok kegantengan kayak mantannya Risa itu emang harus digituin," timpal Wawa. "Biarin aja mereka. Aku juga ikut gemes sama mantannya Risa," kata Marwah pada Nela. "Jadi... Sekarang di perut kamu..." Febri memandang perutku dengan ragu-ragu. “Ya,” sahutku pelan. Febri langsung mengulurkan tangan untuk kemudian dia taruh di atas perutku. "Halo, Dek!" kata Febri. Teman-teman lain juga berebut untuk menyapa anakku. "Emangnya dedek bayinya denger kita ngomong sama dia?" tanya Devi. “Denger kok,” sahutku. "Tapi kok perut kamu belum gede, Ris?" celetuk Wawa. “Ya iyalah, orang baru 6 minggu. Iya kan, Ris?” ucap Nela. Aku mengiyakan sambil tertawa karena tanga
“Nyari aku ya, Non?” tegur seseorang. Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Nava yang tengah mendekati kuda. "Risaaa!" pekik Nava heboh sambil merentangkan kedua lengan lebar-lebar dan memelukku erat. “Akhirnya kita ketemu ya, Va. Makasih lho udah jemput aku di sini,” kataku sambil balas memeluk sahabatku itu. "Iya. Kangen banget aku tuh sama kamuuu...! Tadi aku sempet takut salah orang. Habisnya dari tadi ada lumayan banyak ibu-ibu hamil seliweran di sini. Tapi ternyata emang kamu yang paling cantik," kata Nava. "Kalau mau gombal sama cowok aja kali, jangan sama aku," timpalku geli. "Ngapain ngerayu cowok? Orang cowok gak perlu diragukan aja udah gombal kok. Lagian aku cuma ngomong apa adanya aja kok ke kamu. Kamu tambah cantik lho, Ris," kilah Nava. Kemudian menyalakannya dan turun kembali ke perutku. Dia mengulurkan tangan dan mengusap-usap perutku yang membesar itu dengan sayang. "Hai, Dek. Ini Tante Nava lho. Yang suka telponan sama video call-an sama ibu kamu itu," ucap
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend