"Kamu bilang mantan br*ngsek kamu itu idola kampus, Ris? Pengin aku tonjok-tonjok dia, terus habis itu aku buang ke laut!" geram Wawa. "Kurang itu, Wa! Harusnya digeprek dulu terus dikasih air garam," celetuk Devi tak kalah geramnya. "Psikopat beneran deh kalian berdua," komentar Nela dengan wajah mengernyit ngeri. "Cowok mesum sok kegantengan kayak mantannya Risa itu emang harus digituin," timpal Wawa. "Biarin aja mereka. Aku juga ikut gemes sama mantannya Risa," kata Marwah pada Nela. "Jadi... Sekarang di perut kamu..." Febri memandang perutku dengan ragu-ragu. “Ya,” sahutku pelan. Febri langsung mengulurkan tangan untuk kemudian dia taruh di atas perutku. "Halo, Dek!" kata Febri. Teman-teman lain juga berebut untuk menyapa anakku. "Emangnya dedek bayinya denger kita ngomong sama dia?" tanya Devi. “Denger kok,” sahutku. "Tapi kok perut kamu belum gede, Ris?" celetuk Wawa. “Ya iyalah, orang baru 6 minggu. Iya kan, Ris?” ucap Nela. Aku mengiyakan sambil tertawa karena tanga
“Nyari aku ya, Non?” tegur seseorang. Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Nava yang tengah mendekati kuda. "Risaaa!" pekik Nava heboh sambil merentangkan kedua lengan lebar-lebar dan memelukku erat. “Akhirnya kita ketemu ya, Va. Makasih lho udah jemput aku di sini,” kataku sambil balas memeluk sahabatku itu. "Iya. Kangen banget aku tuh sama kamuuu...! Tadi aku sempet takut salah orang. Habisnya dari tadi ada lumayan banyak ibu-ibu hamil seliweran di sini. Tapi ternyata emang kamu yang paling cantik," kata Nava. "Kalau mau gombal sama cowok aja kali, jangan sama aku," timpalku geli. "Ngapain ngerayu cowok? Orang cowok gak perlu diragukan aja udah gombal kok. Lagian aku cuma ngomong apa adanya aja kok ke kamu. Kamu tambah cantik lho, Ris," kilah Nava. Kemudian menyalakannya dan turun kembali ke perutku. Dia mengulurkan tangan dan mengusap-usap perutku yang membesar itu dengan sayang. "Hai, Dek. Ini Tante Nava lho. Yang suka telponan sama video call-an sama ibu kamu itu," ucap
"Masa sih?" celetuk Nava. Dia ikut berdiri dan menempatkan diri di sebelahku. "Ya, Dek. Yah... Paling nggak budemu yang paling mengkhawatirkan kamu. Dia yang minta tolong ke aku buat ngawal kamu selama di kereta api dan mastiin kamu bener-bener selamat sampai di rumah ini," ujar Pak Burhan. "Budemu tuh ujung-ujungnya, Ris. Pakdemu kayaknya udah nggak ikut-ikutan deh," decih Nava sambil menoleh kepadaku. "Iya. Nggak mungkin Pakde Joko yang nyuruh," sahutku membenarkan ucapan Nava. Aku sendiri sangat percaya pada ketulusan Pakde Joko akhir-akhir ini. Lain halnya dengan Bude Rahmi dan mbak Poppy yang semakin antipati terhadapku. "Tapi pakdemu sebenernya setuju sama aku, toh? Buktinya waktu itu dia nggak nolak kamu dijodohin sama aku," kata Pak Burhan dengan nada arogan. "Itu karena dipikirnya Bapak baik. Tapi nyatanya? Sekarang terbukti 'kan kamu bukan laki-laki baik-baik? Kalau laki-laki yang bener pasti nggak bakal ngikutin Risa sampai ke sini, padahal udah jelas-jelas dia nolak p
Aku menekuri huruf-huruf kecil di lembaran kertas koran yang terbentang di hadapanku dengan wajah masam. Tak ada satupun lowongan pekerjaan yang cocok untukku. Rata-rata persyaratannya harus sarjana lulusan diploma 3 atau S1. Belum lagi harus mempunyai pengalaman kerja. Belum apa-apa aku sudah tak memenuhi persyaratan. Apalagi dengan kondisi fisikku yang tak mendukung untuk pekerjaan-pekerjaan itu. 'Padahal uang dari Bapak udah menipis banget.' batinku cemas. "Makan dulu, Ris. Aku udah nyicipin bubur ayam bikinan kamu, lho. Enak banget. Bisa dijual lho itu," kata Nava yang berjalan mendekatiku di ruang tengah. Seketika wajahku terangkat menatap sahabatku itu. Sebuah ide terbersit di kepalaku. "Ada apa? Kok kamu ngeliatin aku aneh gitu?" tanya Nava bingung. "Makasih ya, Va. Gara-gara kamu, aku jadi dapet ide nih," cetusku antusias. "Ide apa?" Nava mendudukkan diri di sampingku. Dia tampak penasaran menyimak ucapanku selanjutnya. "Mulai besok, aku mau jualan bubur ayam di teras,"
"Bukan, Bu," kataku. Ku putuskan untuk menjawab jujur dan apa adanya saja pada Bi Tinah. Bagaimanapun juga dia juga mendapat amanat dari almarhum Ibu untuk menjagaku. "Terus, laki-laki itu juga bukan suami kamu?" tanya Bu Tinah lagi. Aku mengangguk. "Tapi saya disuruh oleh budenya dek Risa untuk menjaganya, Bu. Perkenalkan, nama saya Burhan." Pak Burhan maju dan menyalami Bu Tinah. "Terus, suami kamu di mana, Ris?" celetuk mbak Rika yang masih berdiri di teras. Tentu saja kejadian itu menambah asupan rasa penasarannya. "Nanti 'kan kamu tau, Ka. Ngomong-ngomong bukannya kamu mau makan bubur ayam yang kamu beli itu? Fani juga udah nunggu kamu, 'kan? Pasti dia udah laper," tegur Bu Tinah. Sepertinya sengaja mengusir mbak Rika secara halus. Mbak Rika akhirnya pergi setelah sempat mendengkus kesal dan mencuri-curi pandang pada Pak Burhan. "Silakan masuk, Pak. Kita bicara di dalam saja," ujar Bu Tinah pada Pak Burhan yang mengangguk sopan. Aku dan Nava sempat bertatapan mata. Sahabat
"Boy... Ke sini?" tanyaku terkejut. Kalau Boy beberapa hari yang lalu datang ke rumah ini, berarti besok-besok ada kemungkinan dia datang lagi, kan? Aku lelah mesti sembunyi dan kabur lagi darinya."Ngapain b*jingan itu ke sini-sini?!" celetuk Nava emosional. "Aku nggak keluar rumah waktu itu. Cuma liat dari balik jendela. Cici sekeluarga juga lagi pergi. Jadi nggak ada yang bisa tanya sama dia ada perlu apa dia berdiri di depan rumah ini. Yang jelas, dia keliatan kayak orang kalut, bolak-balik ngacak-ngacakin rambutnya. Dia berdiri lumayan lama kok di depan jalan itu," tutur bu Tinah. Dia menunjuk sebuah spot di tepi jalan depan rumah itu."Alah, akting itu! Di depanku kalau dia nanyain Risa dia juga ngacak-ngacak rambutnya sampai berantakan gitu. Bikin dia jadi tambah cakep sih, tapi aku nggak terpengaruh," timpal Nava. Kalimat terakhir yang dia ucapkan terdengar sangat absurd, sehingga aku menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung."Jadi menurut kamu dia tambah cakep? Kamu
"Maaf, Ris. Aku udah nunjukin muka itu s*tan ke kamu," lontar Nava dengan wajah menyesal. "Tapi itu nggak masalah, Va. Tadi aku pikir aku udah sembuh dari trauma dan udah move on dari kejadian waktu itu. Nyatanya belum," kataku. "Ya, emang nggak mudah sih pastinya jadi kamu. Kalau aku jadi kamu kayaknya aku juga bakal lama nyembuhin traumaku. Aku aja nih yang tadi iseng banget nunjuk-nunjukin foto statusnya Cinta ke kamu." Nava memukul kepalanya. "Nggak usah segitunya merasa bersalah," hiburku. "Mbak, nomor antriannya 115 bukan, ya? Kayaknya mbaknya yang dipanggil deh," cetus seseorang yang berjalan melewatiku dan Nava. "Iya, Bu. Makasih, ya," sahut Nava. Sedangkan aku sibuk mencari tisu di dalam tas untuk ku gunakan mengelap air mata. *** "Ris. Besok kita jadi 'kan jualan nasi rames aja? Kemaren bapak-bapak yang pada beli nasi rames yang kita bawa ke toko yang lagi dibangun di ujung jalan itu minta kita jualan di rumah aja 'kan gara-gara liat kamu lagi hamil? Ntar mereka aja y
"Lucunyaaa, Baby X!" cetus Febri begitu layar ku arahkan pada Xander yang sedang tertidur pulas di kasur. "Itu namanya dibedong 'kan ya, Ris? Nyaman banget keliatannya," kata Wawa."Itu dia baru mandi, jadi bedongannya masih rapi. Beberapa menit lagi biasanya sih udah acak-acakan," timpalku sambil tertawa kecil mengungkapkan kebiasaan Alexander yang tidak suka memakai kain bedong. "Coba kamu bangunin dia, Ris. Ini ada tante-tante cantik lho, pengin liat mata tajemnya Xander yang kayak di status WazzApp-nya Mama," celetuk Devi."Kamu pikir dia satpam kampus? Suruh dibangunin karena ada maling helm, gitu?" sambar Wawa. Kami semua tertawa."Tapi emang mata tajemnya Xander sesuatu banget nggak sih? Masih bayi aja udah bikin cewek klepek-klepek liatnya. Gimana kalau udah gede? Uhh, pasti meresahkan!" debat Devi."Betul sih itu," ujar Nela."Tumben nih bu RW sealiran sama Devi," sindir Marwah. "Tapi emang betul 'kan matanya Xander bagus?" dalih Nela. "Emang," sahut Marwah santai. Sontak
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend