"Boy... Ke sini?" tanyaku terkejut. Kalau Boy beberapa hari yang lalu datang ke rumah ini, berarti besok-besok ada kemungkinan dia datang lagi, kan? Aku lelah mesti sembunyi dan kabur lagi darinya."Ngapain b*jingan itu ke sini-sini?!" celetuk Nava emosional. "Aku nggak keluar rumah waktu itu. Cuma liat dari balik jendela. Cici sekeluarga juga lagi pergi. Jadi nggak ada yang bisa tanya sama dia ada perlu apa dia berdiri di depan rumah ini. Yang jelas, dia keliatan kayak orang kalut, bolak-balik ngacak-ngacakin rambutnya. Dia berdiri lumayan lama kok di depan jalan itu," tutur bu Tinah. Dia menunjuk sebuah spot di tepi jalan depan rumah itu."Alah, akting itu! Di depanku kalau dia nanyain Risa dia juga ngacak-ngacak rambutnya sampai berantakan gitu. Bikin dia jadi tambah cakep sih, tapi aku nggak terpengaruh," timpal Nava. Kalimat terakhir yang dia ucapkan terdengar sangat absurd, sehingga aku menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung."Jadi menurut kamu dia tambah cakep? Kamu
"Maaf, Ris. Aku udah nunjukin muka itu s*tan ke kamu," lontar Nava dengan wajah menyesal. "Tapi itu nggak masalah, Va. Tadi aku pikir aku udah sembuh dari trauma dan udah move on dari kejadian waktu itu. Nyatanya belum," kataku. "Ya, emang nggak mudah sih pastinya jadi kamu. Kalau aku jadi kamu kayaknya aku juga bakal lama nyembuhin traumaku. Aku aja nih yang tadi iseng banget nunjuk-nunjukin foto statusnya Cinta ke kamu." Nava memukul kepalanya. "Nggak usah segitunya merasa bersalah," hiburku. "Mbak, nomor antriannya 115 bukan, ya? Kayaknya mbaknya yang dipanggil deh," cetus seseorang yang berjalan melewatiku dan Nava. "Iya, Bu. Makasih, ya," sahut Nava. Sedangkan aku sibuk mencari tisu di dalam tas untuk ku gunakan mengelap air mata. *** "Ris. Besok kita jadi 'kan jualan nasi rames aja? Kemaren bapak-bapak yang pada beli nasi rames yang kita bawa ke toko yang lagi dibangun di ujung jalan itu minta kita jualan di rumah aja 'kan gara-gara liat kamu lagi hamil? Ntar mereka aja y
"Lucunyaaa, Baby X!" cetus Febri begitu layar ku arahkan pada Xander yang sedang tertidur pulas di kasur. "Itu namanya dibedong 'kan ya, Ris? Nyaman banget keliatannya," kata Wawa."Itu dia baru mandi, jadi bedongannya masih rapi. Beberapa menit lagi biasanya sih udah acak-acakan," timpalku sambil tertawa kecil mengungkapkan kebiasaan Alexander yang tidak suka memakai kain bedong. "Coba kamu bangunin dia, Ris. Ini ada tante-tante cantik lho, pengin liat mata tajemnya Xander yang kayak di status WazzApp-nya Mama," celetuk Devi."Kamu pikir dia satpam kampus? Suruh dibangunin karena ada maling helm, gitu?" sambar Wawa. Kami semua tertawa."Tapi emang mata tajemnya Xander sesuatu banget nggak sih? Masih bayi aja udah bikin cewek klepek-klepek liatnya. Gimana kalau udah gede? Uhh, pasti meresahkan!" debat Devi."Betul sih itu," ujar Nela."Tumben nih bu RW sealiran sama Devi," sindir Marwah. "Tapi emang betul 'kan matanya Xander bagus?" dalih Nela. "Emang," sahut Marwah santai. Sontak
"Te..." Xander membuntuti Nava yang sudah memakai setelan kerja."Apa, Sayang? Duh, kok makin hari kamu makin mirip aja sih sama seseorang? Tante jadi keder nih. Aneh aja rasanya, ada orang yang mukanya sama persis sama dia ngikutin Tante dan bucin banget sama Tante kayak gini," cerocos Nava. Dia nyengir kuda sewaktu aku berdeham-deham keras untuk memperingatkannya agar jangan menyinggung-nyinggung soal Boy di depan Xander. Meskipun anak itu belum sepenuhnya mengerti apa inti ucapannya, menurutku akan lebih baik jika aku dan Nava tak mengungkapkan apapun yang berhubungan dengan Boy di depannya."Tante mau ke mana?" tanya Xander lagi. Dia menarik-narik ujung blazer Nava dengan ekspresi penasaran. Nava segera membungkukkan badan supaya wajahnya bisa sejajar dengan wajah Xander."Tante Va mau cari kerja dulu ya, Sayang," kata Nava. "Ke mana?" cecar Xander. Seketika tawaku pecah. "Xander nggak puas kalau kamu jawabannya belum pasti kayak gitu, Va," celetukku. "Lha, emang aku mau cari k
"Anakmu?" Kedua mata elang milik Boy sekarang menatapku dengan pandangan menyelidik."Ya. Aku udah punya anak. Sekarang aku udah nggak ada waktu buat main-main lagi, apalagi dipermainkan kayak dulu," tanggapku sarkastis. "Siapa bapaknya?" cecar Boy. Dia mengamat-amati Xander yang menatapnya balik dengan berani. Kedua pasang mata dan rupa yang bagaikan pinang dibelah dua itu beradu pandang tanpa ada yang terlihat ingin mengalah. Gegas aku mengangkat tubuh kecil Xander untuk membawanya ke bagian dalam rumah, untuk menghindarkannya dari orang yang paling tak ku inginkan berada di dekatnya. "Ris. Siapa bapaknya?" Boy mengikuti langkahku. "Lebih baik kamu pergi aja dari sini. Nggak usah ikut campur urusan. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," cetusku dingin."Pelgi," kata Xander menirukanku."Papa kamu di mana?" tanya Boy pada Xander. Dia tak menghiraukan ucapanku dan anak itu, meskipun jelas-jelas kami sudah bersikap kasar kepadanya."Nggak ada," sahut Xander polos."Kenapa nggak ad
"Maaf," ulang Boy sembari meraih bahuku. Sontak aku menepis tangannya dan menjauh darinya. Segenap rasa jijik pasca kejadian waktu itu di 829 Billiard & Bar "Jangan sentuh-sentuh! Mau berapa kalipun kamu minta maaf sekarang, udah nggak ada gunanya sama sekali," kataku. "Ya. Tapi seenggaknya aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Aku bener-bener dijebak waktu itu. Aku bener-bener nggak sadar waktu ngelakuin hal buruk itu ke kamu. Aku nggak paham kenapa kamu mendadak nggak bisa dihubungin. Nomer HP kamu ganti. Tanya ke Nava juga dia nggak mau ngasih tau apapun soal kamu. Kamu boleh pukul aku atau apapun yang pengin kamu lakuin ke aku sekarang, Ris. Tapi, tolong habis itu biarin aku nebus semua kesalahanku ke kamu dan Xander," timpal Boy mengiba. Tidak terlihat seperti seorang idola kampus yang bersinar sehingga dipuja banyak cewek. Detik itu dia terlihat sebagai seseorang yang kehilangan cakarnya. Dia tampak biasa-biasa saja, bahkan mengenaskan. "
"Bu... Om mana?" tanya Xander yang baru muncul di ruang tengah tempat aku dan Nava mengobrol. Anak yang baru bangun tidur siang itu mengucek matanya sambil mendekat kepadaku. "Om udah pulang, Dek," jawabku. Berakting seolah-olah perasaanku biasa saja terhadap orang yang ditanyakan oleh Xander. "Barusan kamu mimpi nggak?" celetuk Nava. Tampaknya dia berusaha membantuku mengalihkan perhatian Xander dari Boy. "Nggak," sahut Xander dengan nada polos. "Ayo kamu mandi dulu," ajakku. Xander menguap sambil menganggukan kepala saja menanggapiku. "Tante Va juga mandi dong. Bial nggak bau acem," kata Xander saat aku menggiringnya meninggalkan ruangan itu. "Iya, nanti. Tapi... Emangnya bau keringet Tante se-acem, ya?" sahut Nava. Dia mengendus-endus kedua ketiaknya dengan panik. Aku tertawa saja melihat tingkah sahabatku itu sementara Xander hanya berlalu dengan santai."Nggak bapak nggak anak. Pinter banget ya bikin cewek jadi ngerasa insecure," rutuk Nava. Suaranya terdengar jelas walaupu
"Stop!" tegasku lagi. Di saat yang sama, punggungku menabrak dinding.“Aku juga nggak mau ngapa-ngapain kok,” kata Boy sambil menghentikan langkah."Tapi kamu sengaja bikin aku takut. Maksud kamu apa?" cetusku kesal. Sisa kepanikan masih melanda sekujur badanku. "Nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma otomatis aja ndeketin kamu. Maaf kalau aku udah bikin takut," ujar Boy.“Lima menit kamu sudah habis,” tukasku."Ya. Tapi aku pengin ngajak Xander jalan-jalan sebentar. Boleh nggak?" "Tentu saja tidak boleh," sambarku dingin."Tapi aku bapaknya. Aku juga pengin deket-deket sama dia," bantah Boy."Kalau kamu mau maksain jalan pikiran kamu itu, ngapain ketemu kamu pakai nanya aku ngebolehin kamu ngajak dia pergi atau nggak?" dengkusku."Sekarang kamu beda ya. Udah berani mendebat aku. Eh, nggak ding. Dari dulu kamu juga sebenernya orangnya berani, cuma belum sepercaya diri sekarang," celetuk Boy. Kata-katanya sarkastis. Tapi entah kenapa aku hanya terpesona mendengarnya. Terpesona karena ter