"Anakmu?" Kedua mata elang milik Boy sekarang menatapku dengan pandangan menyelidik."Ya. Aku udah punya anak. Sekarang aku udah nggak ada waktu buat main-main lagi, apalagi dipermainkan kayak dulu," tanggapku sarkastis. "Siapa bapaknya?" cecar Boy. Dia mengamat-amati Xander yang menatapnya balik dengan berani. Kedua pasang mata dan rupa yang bagaikan pinang dibelah dua itu beradu pandang tanpa ada yang terlihat ingin mengalah. Gegas aku mengangkat tubuh kecil Xander untuk membawanya ke bagian dalam rumah, untuk menghindarkannya dari orang yang paling tak ku inginkan berada di dekatnya. "Ris. Siapa bapaknya?" Boy mengikuti langkahku. "Lebih baik kamu pergi aja dari sini. Nggak usah ikut campur urusan. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," cetusku dingin."Pelgi," kata Xander menirukanku."Papa kamu di mana?" tanya Boy pada Xander. Dia tak menghiraukan ucapanku dan anak itu, meskipun jelas-jelas kami sudah bersikap kasar kepadanya."Nggak ada," sahut Xander polos."Kenapa nggak ad
"Maaf," ulang Boy sembari meraih bahuku. Sontak aku menepis tangannya dan menjauh darinya. Segenap rasa jijik pasca kejadian waktu itu di 829 Billiard & Bar "Jangan sentuh-sentuh! Mau berapa kalipun kamu minta maaf sekarang, udah nggak ada gunanya sama sekali," kataku. "Ya. Tapi seenggaknya aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Aku bener-bener dijebak waktu itu. Aku bener-bener nggak sadar waktu ngelakuin hal buruk itu ke kamu. Aku nggak paham kenapa kamu mendadak nggak bisa dihubungin. Nomer HP kamu ganti. Tanya ke Nava juga dia nggak mau ngasih tau apapun soal kamu. Kamu boleh pukul aku atau apapun yang pengin kamu lakuin ke aku sekarang, Ris. Tapi, tolong habis itu biarin aku nebus semua kesalahanku ke kamu dan Xander," timpal Boy mengiba. Tidak terlihat seperti seorang idola kampus yang bersinar sehingga dipuja banyak cewek. Detik itu dia terlihat sebagai seseorang yang kehilangan cakarnya. Dia tampak biasa-biasa saja, bahkan mengenaskan. "
"Bu... Om mana?" tanya Xander yang baru muncul di ruang tengah tempat aku dan Nava mengobrol. Anak yang baru bangun tidur siang itu mengucek matanya sambil mendekat kepadaku. "Om udah pulang, Dek," jawabku. Berakting seolah-olah perasaanku biasa saja terhadap orang yang ditanyakan oleh Xander. "Barusan kamu mimpi nggak?" celetuk Nava. Tampaknya dia berusaha membantuku mengalihkan perhatian Xander dari Boy. "Nggak," sahut Xander dengan nada polos. "Ayo kamu mandi dulu," ajakku. Xander menguap sambil menganggukan kepala saja menanggapiku. "Tante Va juga mandi dong. Bial nggak bau acem," kata Xander saat aku menggiringnya meninggalkan ruangan itu. "Iya, nanti. Tapi... Emangnya bau keringet Tante se-acem, ya?" sahut Nava. Dia mengendus-endus kedua ketiaknya dengan panik. Aku tertawa saja melihat tingkah sahabatku itu sementara Xander hanya berlalu dengan santai."Nggak bapak nggak anak. Pinter banget ya bikin cewek jadi ngerasa insecure," rutuk Nava. Suaranya terdengar jelas walaupu
"Stop!" tegasku lagi. Di saat yang sama, punggungku menabrak dinding.“Aku juga nggak mau ngapa-ngapain kok,” kata Boy sambil menghentikan langkah."Tapi kamu sengaja bikin aku takut. Maksud kamu apa?" cetusku kesal. Sisa kepanikan masih melanda sekujur badanku. "Nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma otomatis aja ndeketin kamu. Maaf kalau aku udah bikin takut," ujar Boy.“Lima menit kamu sudah habis,” tukasku."Ya. Tapi aku pengin ngajak Xander jalan-jalan sebentar. Boleh nggak?" "Tentu saja tidak boleh," sambarku dingin."Tapi aku bapaknya. Aku juga pengin deket-deket sama dia," bantah Boy."Kalau kamu mau maksain jalan pikiran kamu itu, ngapain ketemu kamu pakai nanya aku ngebolehin kamu ngajak dia pergi atau nggak?" dengkusku."Sekarang kamu beda ya. Udah berani mendebat aku. Eh, nggak ding. Dari dulu kamu juga sebenernya orangnya berani, cuma belum sepercaya diri sekarang," celetuk Boy. Kata-katanya sarkastis. Tapi entah kenapa aku hanya terpesona mendengarnya. Terpesona karena ter
"Ris, ini apaan ya? Masa aku ditawarin kerja di Java Jaya Proud? Ini nggak ada hubungannya sama Boy dateng ke sini, 'kan?" kata Nava sambil duduk di kursi dapur. Sedangkan aku hanya menoleh sekilas padanya di sela-sela menggoreng pisang."Mungkin, Va. Tadi Boy tau kamu lagi nyari kerjaan dari Xander soalnya," timpalku."Ih! Kurang kerjaan banget tuh orang!" rutuk Nava. "Emangnya kamu ditawarin jadi apa di Java Jaya Proud? Itu cabangnya Java Jaya Group 'kan, ya? tanyaku. "Jadi staf HRD. Walaupun di cabang, tapi itu gila, 'kan? Nggak semua orang bisa dapet posisi itu," cetus Nava."Tapi nilai kamu bagus kok. IPK kamu aja 3,8." Aku meniriskan pisang goreng yang telah matang di atas sorok, lalu mendekati Nava di kursinya. Sahabatku itu tampak kebingungan. "Jujur aku ngerasa terbebani banget, Ris. Aku seneng dapet tawaran kerja. Apalagi ini dari perusahaan se-bonafit Java Jaya. Tapi kalau itu ada hubungannya sama Boy, namanya jadi nepotisme. Ya, 'kan?" ungkap Nava."Ya. Aku ngerti kok m
"Mau ke mana?" tanya Boy saat aku membukakan pintu untuknya. Matanya memindai blouse berwarna merah bata dan celana jeans yang aku kenakan dengan seksama. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Boy itu karena di saat yang sama Xander mendekati Boy. "Om, ayo jalan-jalan," kata Xander. "Ayo. Tapi kamu mau pergi sama ibu kamu, 'kan," sahut Boy. "Iya. Sama aku juga," celetuk Nava yang mengekori Xander. "Tumben kamu di rumah, Va," ujar Boy. "Iyalah. Xander ngerengek terus minta aku ngebolehin om pergi sama-sama kita. Ternyata om-om yang dia bilang itu kamu," sahut Nava. "Aku juga baru tau, ternyata selama ini kamu tinggalnya di sini. Kenapa bilangnya nge-kost sama aku?" cetus Boy, menyentil Nava. "'Kan aku nggak mau bongkar tempat tinggalnya Risa sama Xander," timpal Nava. "Bisa diterima sih. Kamu temen deketnya Risa," kata Boy. "Xander, kamu mau ke taman bermain atau ke kebun binatang?" tan
Pantai yang kami datangi sangat ramai. Di sepanjang pasir yang terhampar di sana, para wisatawan dari berbagai kota berseliweran atau sekedar berdiri menikmati deburan ombak atau berfoto bersama keluarga dan teman. Ada juga yang asyik menikmati kuliner yang berjajar-jajar di pinggir pantai itu. "Ade mau ke sana," kata Xander sambil menunjuk ke arah pantai. Mungkin karena di sana banyak anak-anak berbagai usia yang tampak gembira bermain ombak atau bermain pasirpasir bersama orang tuanya atau orang lebih tua yang mendampingi mereka. "Oke. Tapi Xander bawa baju ganti, 'kan?" timpal Boy. Kemudian dia menoleh kepadaku. "Bawa," jawabku singkat. Fokusku agak terpecah melihat ke kanan kiriku. Ada banyak wanita, bahkan ibu-ibu, yang terang-terangan menatap kagum pada Boy. Namun, sorot mata mereka berubah menjadi dingin saat menatapku. 'Mungkin karena sama-sama cewek.' Aku berusaha berpikir positif. "Itu istrinya?" celetuk seorang cewek ABG. "Mukanya biasa aja ya," sahut teman atau saud
“Tolong, jangan kayak gini,” ucapku seraya menarik tangan yang masih Boy genggam. Kecemasan dalam diri saya semakin meningkat, meskipun saya berusaha menenangkan diri. "Kenapa? Apa kamu sudah ada orang lain sekarang?" Tuka Boy. Dia akhirnya melepaskannya. "Aku berharap iya. Tapi berkat seseorang, aku jadi takut sekaligus semakin melindungi sama lawan jenis," sahutku sarkastis, untuk menyembunyikan salah tingkah di baliknya. "Aku harus apa biar bisa nebus semua yang udah aku lakuin ke kamu?" kata Bocah. "Nggak ada. Aku juga nggak tau. Karena semuanya udah terlanjur rusak," timpalku dengan pandangan yang diabur oleh air mata. "Aku nggak tau, dengan minta kamu nikah sama aku, itu bisa nebus semuanya atau nggak. Yang jelas, aku cuma kepengin deket sama kamu dan Xander terus. Lagian, itu juga wasiat bapak kamu, 'kan?" tutur Boy. "Ya. Tapi, dulu 'kan kita sudah sepakat kalau kamu tidak terikat sama pesan terakhir bapak itu," tanggapku."Dulu aku bilang aku mau kok nikah sama kamu. Itu
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend