"Ya, De." Aku menjawab ucapan Pakde Joko dengan terharu. "Terus, ke depan kamu mau gimana, Ris? Perut kamu bakal makin besar 'kan, Nduk. Apa kamu mau tetep masuk kuliah? Atau kamu mau ngajuin cuti dulu?" Pertanyaan yang diajukan oleh Pakde Joko kali ini membuat tercenung. Perkataannya mengena telak di hatiku sebab benar adanya. Akhir-akhir ini aku juga sedang memotong. "Rencananya aku mau ambil cuti semester depan, De. Aku juga mau balik ke rumah Bapak. Aku pengin lahiran di sana sekalian mau deket sama Makam Bapak," kataku. "Tapi nanti kamu balik lagi ke sini ya, Ris. Sayang kuliahmu lho, Nduk. Lagian budemu sama kakak-kakakmu 'kan di sini. Mereka bisa bantu-bantu kamu ngurus anakmu juga." Pakde Joko memandangku lekat-lekat. "Makasih banyak, De. Tapi... Aku pengin berusaha hidup mandiri. Aku nggak mau ngerepotin Pakde dan keluarga di sini lebih banyak lagi. Aku nggak mungkin terus-terusan kayak gini," ujarku hati-hati. "Lho, ngerepotin opo, Ris? Kamu itu bagian dari keluargaku,
"Kamu bilang mantan br*ngsek kamu itu idola kampus, Ris? Pengin aku tonjok-tonjok dia, terus habis itu aku buang ke laut!" geram Wawa. "Kurang itu, Wa! Harusnya digeprek dulu terus dikasih air garam," celetuk Devi tak kalah geramnya. "Psikopat beneran deh kalian berdua," komentar Nela dengan wajah mengernyit ngeri. "Cowok mesum sok kegantengan kayak mantannya Risa itu emang harus digituin," timpal Wawa. "Biarin aja mereka. Aku juga ikut gemes sama mantannya Risa," kata Marwah pada Nela. "Jadi... Sekarang di perut kamu..." Febri memandang perutku dengan ragu-ragu. “Ya,” sahutku pelan. Febri langsung mengulurkan tangan untuk kemudian dia taruh di atas perutku. "Halo, Dek!" kata Febri. Teman-teman lain juga berebut untuk menyapa anakku. "Emangnya dedek bayinya denger kita ngomong sama dia?" tanya Devi. “Denger kok,” sahutku. "Tapi kok perut kamu belum gede, Ris?" celetuk Wawa. “Ya iyalah, orang baru 6 minggu. Iya kan, Ris?” ucap Nela. Aku mengiyakan sambil tertawa karena tanga
“Nyari aku ya, Non?” tegur seseorang. Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Nava yang tengah mendekati kuda. "Risaaa!" pekik Nava heboh sambil merentangkan kedua lengan lebar-lebar dan memelukku erat. “Akhirnya kita ketemu ya, Va. Makasih lho udah jemput aku di sini,” kataku sambil balas memeluk sahabatku itu. "Iya. Kangen banget aku tuh sama kamuuu...! Tadi aku sempet takut salah orang. Habisnya dari tadi ada lumayan banyak ibu-ibu hamil seliweran di sini. Tapi ternyata emang kamu yang paling cantik," kata Nava. "Kalau mau gombal sama cowok aja kali, jangan sama aku," timpalku geli. "Ngapain ngerayu cowok? Orang cowok gak perlu diragukan aja udah gombal kok. Lagian aku cuma ngomong apa adanya aja kok ke kamu. Kamu tambah cantik lho, Ris," kilah Nava. Kemudian menyalakannya dan turun kembali ke perutku. Dia mengulurkan tangan dan mengusap-usap perutku yang membesar itu dengan sayang. "Hai, Dek. Ini Tante Nava lho. Yang suka telponan sama video call-an sama ibu kamu itu," ucap
"Masa sih?" celetuk Nava. Dia ikut berdiri dan menempatkan diri di sebelahku. "Ya, Dek. Yah... Paling nggak budemu yang paling mengkhawatirkan kamu. Dia yang minta tolong ke aku buat ngawal kamu selama di kereta api dan mastiin kamu bener-bener selamat sampai di rumah ini," ujar Pak Burhan. "Budemu tuh ujung-ujungnya, Ris. Pakdemu kayaknya udah nggak ikut-ikutan deh," decih Nava sambil menoleh kepadaku. "Iya. Nggak mungkin Pakde Joko yang nyuruh," sahutku membenarkan ucapan Nava. Aku sendiri sangat percaya pada ketulusan Pakde Joko akhir-akhir ini. Lain halnya dengan Bude Rahmi dan mbak Poppy yang semakin antipati terhadapku. "Tapi pakdemu sebenernya setuju sama aku, toh? Buktinya waktu itu dia nggak nolak kamu dijodohin sama aku," kata Pak Burhan dengan nada arogan. "Itu karena dipikirnya Bapak baik. Tapi nyatanya? Sekarang terbukti 'kan kamu bukan laki-laki baik-baik? Kalau laki-laki yang bener pasti nggak bakal ngikutin Risa sampai ke sini, padahal udah jelas-jelas dia nolak p
Aku menekuri huruf-huruf kecil di lembaran kertas koran yang terbentang di hadapanku dengan wajah masam. Tak ada satupun lowongan pekerjaan yang cocok untukku. Rata-rata persyaratannya harus sarjana lulusan diploma 3 atau S1. Belum lagi harus mempunyai pengalaman kerja. Belum apa-apa aku sudah tak memenuhi persyaratan. Apalagi dengan kondisi fisikku yang tak mendukung untuk pekerjaan-pekerjaan itu. 'Padahal uang dari Bapak udah menipis banget.' batinku cemas. "Makan dulu, Ris. Aku udah nyicipin bubur ayam bikinan kamu, lho. Enak banget. Bisa dijual lho itu," kata Nava yang berjalan mendekatiku di ruang tengah. Seketika wajahku terangkat menatap sahabatku itu. Sebuah ide terbersit di kepalaku. "Ada apa? Kok kamu ngeliatin aku aneh gitu?" tanya Nava bingung. "Makasih ya, Va. Gara-gara kamu, aku jadi dapet ide nih," cetusku antusias. "Ide apa?" Nava mendudukkan diri di sampingku. Dia tampak penasaran menyimak ucapanku selanjutnya. "Mulai besok, aku mau jualan bubur ayam di teras,"
"Bukan, Bu," kataku. Ku putuskan untuk menjawab jujur dan apa adanya saja pada Bi Tinah. Bagaimanapun juga dia juga mendapat amanat dari almarhum Ibu untuk menjagaku. "Terus, laki-laki itu juga bukan suami kamu?" tanya Bu Tinah lagi. Aku mengangguk. "Tapi saya disuruh oleh budenya dek Risa untuk menjaganya, Bu. Perkenalkan, nama saya Burhan." Pak Burhan maju dan menyalami Bu Tinah. "Terus, suami kamu di mana, Ris?" celetuk mbak Rika yang masih berdiri di teras. Tentu saja kejadian itu menambah asupan rasa penasarannya. "Nanti 'kan kamu tau, Ka. Ngomong-ngomong bukannya kamu mau makan bubur ayam yang kamu beli itu? Fani juga udah nunggu kamu, 'kan? Pasti dia udah laper," tegur Bu Tinah. Sepertinya sengaja mengusir mbak Rika secara halus. Mbak Rika akhirnya pergi setelah sempat mendengkus kesal dan mencuri-curi pandang pada Pak Burhan. "Silakan masuk, Pak. Kita bicara di dalam saja," ujar Bu Tinah pada Pak Burhan yang mengangguk sopan. Aku dan Nava sempat bertatapan mata. Sahabat
"Boy... Ke sini?" tanyaku terkejut. Kalau Boy beberapa hari yang lalu datang ke rumah ini, berarti besok-besok ada kemungkinan dia datang lagi, kan? Aku lelah mesti sembunyi dan kabur lagi darinya."Ngapain b*jingan itu ke sini-sini?!" celetuk Nava emosional. "Aku nggak keluar rumah waktu itu. Cuma liat dari balik jendela. Cici sekeluarga juga lagi pergi. Jadi nggak ada yang bisa tanya sama dia ada perlu apa dia berdiri di depan rumah ini. Yang jelas, dia keliatan kayak orang kalut, bolak-balik ngacak-ngacakin rambutnya. Dia berdiri lumayan lama kok di depan jalan itu," tutur bu Tinah. Dia menunjuk sebuah spot di tepi jalan depan rumah itu."Alah, akting itu! Di depanku kalau dia nanyain Risa dia juga ngacak-ngacak rambutnya sampai berantakan gitu. Bikin dia jadi tambah cakep sih, tapi aku nggak terpengaruh," timpal Nava. Kalimat terakhir yang dia ucapkan terdengar sangat absurd, sehingga aku menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung."Jadi menurut kamu dia tambah cakep? Kamu
"Maaf, Ris. Aku udah nunjukin muka itu s*tan ke kamu," lontar Nava dengan wajah menyesal. "Tapi itu nggak masalah, Va. Tadi aku pikir aku udah sembuh dari trauma dan udah move on dari kejadian waktu itu. Nyatanya belum," kataku. "Ya, emang nggak mudah sih pastinya jadi kamu. Kalau aku jadi kamu kayaknya aku juga bakal lama nyembuhin traumaku. Aku aja nih yang tadi iseng banget nunjuk-nunjukin foto statusnya Cinta ke kamu." Nava memukul kepalanya. "Nggak usah segitunya merasa bersalah," hiburku. "Mbak, nomor antriannya 115 bukan, ya? Kayaknya mbaknya yang dipanggil deh," cetus seseorang yang berjalan melewatiku dan Nava. "Iya, Bu. Makasih, ya," sahut Nava. Sedangkan aku sibuk mencari tisu di dalam tas untuk ku gunakan mengelap air mata. *** "Ris. Besok kita jadi 'kan jualan nasi rames aja? Kemaren bapak-bapak yang pada beli nasi rames yang kita bawa ke toko yang lagi dibangun di ujung jalan itu minta kita jualan di rumah aja 'kan gara-gara liat kamu lagi hamil? Ntar mereka aja y