Aku menekuri huruf-huruf kecil di lembaran kertas koran yang terbentang di hadapanku dengan wajah masam. Tak ada satupun lowongan pekerjaan yang cocok untukku. Rata-rata persyaratannya harus sarjana lulusan diploma 3 atau S1. Belum lagi harus mempunyai pengalaman kerja. Belum apa-apa aku sudah tak memenuhi persyaratan. Apalagi dengan kondisi fisikku yang tak mendukung untuk pekerjaan-pekerjaan itu. 'Padahal uang dari Bapak udah menipis banget.' batinku cemas. "Makan dulu, Ris. Aku udah nyicipin bubur ayam bikinan kamu, lho. Enak banget. Bisa dijual lho itu," kata Nava yang berjalan mendekatiku di ruang tengah. Seketika wajahku terangkat menatap sahabatku itu. Sebuah ide terbersit di kepalaku. "Ada apa? Kok kamu ngeliatin aku aneh gitu?" tanya Nava bingung. "Makasih ya, Va. Gara-gara kamu, aku jadi dapet ide nih," cetusku antusias. "Ide apa?" Nava mendudukkan diri di sampingku. Dia tampak penasaran menyimak ucapanku selanjutnya. "Mulai besok, aku mau jualan bubur ayam di teras,"
"Bukan, Bu," kataku. Ku putuskan untuk menjawab jujur dan apa adanya saja pada Bi Tinah. Bagaimanapun juga dia juga mendapat amanat dari almarhum Ibu untuk menjagaku. "Terus, laki-laki itu juga bukan suami kamu?" tanya Bu Tinah lagi. Aku mengangguk. "Tapi saya disuruh oleh budenya dek Risa untuk menjaganya, Bu. Perkenalkan, nama saya Burhan." Pak Burhan maju dan menyalami Bu Tinah. "Terus, suami kamu di mana, Ris?" celetuk mbak Rika yang masih berdiri di teras. Tentu saja kejadian itu menambah asupan rasa penasarannya. "Nanti 'kan kamu tau, Ka. Ngomong-ngomong bukannya kamu mau makan bubur ayam yang kamu beli itu? Fani juga udah nunggu kamu, 'kan? Pasti dia udah laper," tegur Bu Tinah. Sepertinya sengaja mengusir mbak Rika secara halus. Mbak Rika akhirnya pergi setelah sempat mendengkus kesal dan mencuri-curi pandang pada Pak Burhan. "Silakan masuk, Pak. Kita bicara di dalam saja," ujar Bu Tinah pada Pak Burhan yang mengangguk sopan. Aku dan Nava sempat bertatapan mata. Sahabat
"Boy... Ke sini?" tanyaku terkejut. Kalau Boy beberapa hari yang lalu datang ke rumah ini, berarti besok-besok ada kemungkinan dia datang lagi, kan? Aku lelah mesti sembunyi dan kabur lagi darinya."Ngapain b*jingan itu ke sini-sini?!" celetuk Nava emosional. "Aku nggak keluar rumah waktu itu. Cuma liat dari balik jendela. Cici sekeluarga juga lagi pergi. Jadi nggak ada yang bisa tanya sama dia ada perlu apa dia berdiri di depan rumah ini. Yang jelas, dia keliatan kayak orang kalut, bolak-balik ngacak-ngacakin rambutnya. Dia berdiri lumayan lama kok di depan jalan itu," tutur bu Tinah. Dia menunjuk sebuah spot di tepi jalan depan rumah itu."Alah, akting itu! Di depanku kalau dia nanyain Risa dia juga ngacak-ngacak rambutnya sampai berantakan gitu. Bikin dia jadi tambah cakep sih, tapi aku nggak terpengaruh," timpal Nava. Kalimat terakhir yang dia ucapkan terdengar sangat absurd, sehingga aku menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung."Jadi menurut kamu dia tambah cakep? Kamu
"Maaf, Ris. Aku udah nunjukin muka itu s*tan ke kamu," lontar Nava dengan wajah menyesal. "Tapi itu nggak masalah, Va. Tadi aku pikir aku udah sembuh dari trauma dan udah move on dari kejadian waktu itu. Nyatanya belum," kataku. "Ya, emang nggak mudah sih pastinya jadi kamu. Kalau aku jadi kamu kayaknya aku juga bakal lama nyembuhin traumaku. Aku aja nih yang tadi iseng banget nunjuk-nunjukin foto statusnya Cinta ke kamu." Nava memukul kepalanya. "Nggak usah segitunya merasa bersalah," hiburku. "Mbak, nomor antriannya 115 bukan, ya? Kayaknya mbaknya yang dipanggil deh," cetus seseorang yang berjalan melewatiku dan Nava. "Iya, Bu. Makasih, ya," sahut Nava. Sedangkan aku sibuk mencari tisu di dalam tas untuk ku gunakan mengelap air mata. *** "Ris. Besok kita jadi 'kan jualan nasi rames aja? Kemaren bapak-bapak yang pada beli nasi rames yang kita bawa ke toko yang lagi dibangun di ujung jalan itu minta kita jualan di rumah aja 'kan gara-gara liat kamu lagi hamil? Ntar mereka aja y
"Lucunyaaa, Baby X!" cetus Febri begitu layar ku arahkan pada Xander yang sedang tertidur pulas di kasur. "Itu namanya dibedong 'kan ya, Ris? Nyaman banget keliatannya," kata Wawa."Itu dia baru mandi, jadi bedongannya masih rapi. Beberapa menit lagi biasanya sih udah acak-acakan," timpalku sambil tertawa kecil mengungkapkan kebiasaan Alexander yang tidak suka memakai kain bedong. "Coba kamu bangunin dia, Ris. Ini ada tante-tante cantik lho, pengin liat mata tajemnya Xander yang kayak di status WazzApp-nya Mama," celetuk Devi."Kamu pikir dia satpam kampus? Suruh dibangunin karena ada maling helm, gitu?" sambar Wawa. Kami semua tertawa."Tapi emang mata tajemnya Xander sesuatu banget nggak sih? Masih bayi aja udah bikin cewek klepek-klepek liatnya. Gimana kalau udah gede? Uhh, pasti meresahkan!" debat Devi."Betul sih itu," ujar Nela."Tumben nih bu RW sealiran sama Devi," sindir Marwah. "Tapi emang betul 'kan matanya Xander bagus?" dalih Nela. "Emang," sahut Marwah santai. Sontak
"Te..." Xander membuntuti Nava yang sudah memakai setelan kerja."Apa, Sayang? Duh, kok makin hari kamu makin mirip aja sih sama seseorang? Tante jadi keder nih. Aneh aja rasanya, ada orang yang mukanya sama persis sama dia ngikutin Tante dan bucin banget sama Tante kayak gini," cerocos Nava. Dia nyengir kuda sewaktu aku berdeham-deham keras untuk memperingatkannya agar jangan menyinggung-nyinggung soal Boy di depan Xander. Meskipun anak itu belum sepenuhnya mengerti apa inti ucapannya, menurutku akan lebih baik jika aku dan Nava tak mengungkapkan apapun yang berhubungan dengan Boy di depannya."Tante mau ke mana?" tanya Xander lagi. Dia menarik-narik ujung blazer Nava dengan ekspresi penasaran. Nava segera membungkukkan badan supaya wajahnya bisa sejajar dengan wajah Xander."Tante Va mau cari kerja dulu ya, Sayang," kata Nava. "Ke mana?" cecar Xander. Seketika tawaku pecah. "Xander nggak puas kalau kamu jawabannya belum pasti kayak gitu, Va," celetukku. "Lha, emang aku mau cari k
"Anakmu?" Kedua mata elang milik Boy sekarang menatapku dengan pandangan menyelidik."Ya. Aku udah punya anak. Sekarang aku udah nggak ada waktu buat main-main lagi, apalagi dipermainkan kayak dulu," tanggapku sarkastis. "Siapa bapaknya?" cecar Boy. Dia mengamat-amati Xander yang menatapnya balik dengan berani. Kedua pasang mata dan rupa yang bagaikan pinang dibelah dua itu beradu pandang tanpa ada yang terlihat ingin mengalah. Gegas aku mengangkat tubuh kecil Xander untuk membawanya ke bagian dalam rumah, untuk menghindarkannya dari orang yang paling tak ku inginkan berada di dekatnya. "Ris. Siapa bapaknya?" Boy mengikuti langkahku. "Lebih baik kamu pergi aja dari sini. Nggak usah ikut campur urusan. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa," cetusku dingin."Pelgi," kata Xander menirukanku."Papa kamu di mana?" tanya Boy pada Xander. Dia tak menghiraukan ucapanku dan anak itu, meskipun jelas-jelas kami sudah bersikap kasar kepadanya."Nggak ada," sahut Xander polos."Kenapa nggak ad
"Maaf," ulang Boy sembari meraih bahuku. Sontak aku menepis tangannya dan menjauh darinya. Segenap rasa jijik pasca kejadian waktu itu di 829 Billiard & Bar "Jangan sentuh-sentuh! Mau berapa kalipun kamu minta maaf sekarang, udah nggak ada gunanya sama sekali," kataku. "Ya. Tapi seenggaknya aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Aku bener-bener dijebak waktu itu. Aku bener-bener nggak sadar waktu ngelakuin hal buruk itu ke kamu. Aku nggak paham kenapa kamu mendadak nggak bisa dihubungin. Nomer HP kamu ganti. Tanya ke Nava juga dia nggak mau ngasih tau apapun soal kamu. Kamu boleh pukul aku atau apapun yang pengin kamu lakuin ke aku sekarang, Ris. Tapi, tolong habis itu biarin aku nebus semua kesalahanku ke kamu dan Xander," timpal Boy mengiba. Tidak terlihat seperti seorang idola kampus yang bersinar sehingga dipuja banyak cewek. Detik itu dia terlihat sebagai seseorang yang kehilangan cakarnya. Dia tampak biasa-biasa saja, bahkan mengenaskan. "