""Nggak usah, Pak. Misalnya saya mau pulang ke tempat pakde saya, saya bisa sendiri. Jangan jelekin temen-temen saya juga. Mereka cuma mau belain saya dari orang yang tidak sopan kayak Anda," kataku dingin. Kemudian aku memamerkan badan dan masuk ke mobil Wawa diikuti teman-teman baikku."Pulang sendiri aja, Pak! Ini kampus ya, bukan kantor biro jodoh!" celetuk Devi saat mobil yang membawa kami hendak melaju meninggalkan area parkir itu. "Bocah ed*n (anak gila)!" maki Pak Burhan pada Devi. Sontak Devi dan Wawa persaudaraan laki-laki itu dengan tawa heboh mereka. Bahkan mereka kompak mengacungkan jari tengahnya."Emang dasar preman kalian berdua tuh," komentar Febri ketika sosok Pak Burhan sudah tertinggal jauh di belakang sana. "Tapi laki-laki itu takut 'kan sama kita?" timpal Devi dengan tawa yang masih berderai. “Kita rela kok jadi preman demi belain Risa,” kata Wawa. Dia sudah berpikir dengan serius. Mungkin karena harus fokus menyetir. "Iya, Ris. Kita semua, bakalan rela jadi
"Yaelah! Gitu aja pakai disembunyiin. Kayak ada affair apaan," decih Wawa. "Pantesan kamu keliatan ilfeel gitu ya Mar, waktu Romi gandeng tangan kamu pas challenge OSPEK dulu," cetus Febri. Marwah hanya nyengir kuda.Romi yang sekarang berdiri menyandar ke ambang pintu langsung mendebat pernyataan Febri. "Aku juga ilfeel kok. Kata siapa cuma dia?""Nggak tuh. Kamu keliatan menikmati. Sama cewek manapun 'kan kamu gitu. Gampang nyaman sama tiap cewek dan suka bikin nyaman mereka," timpal Febri. "Termasuk kamu. Gitu 'kan, Feb?" celetuk Devi iseng. "Nggak dong. Aku udah punya ayang. Selama ini kita LDR-an. Kalian aja yang pada nggak tau," dengkus Febri pongah. "Hah?! Orang mana?" tanyaku dan Wawa cs berbarengan. "Orang kampus sebelah," kata Febri. Sontak dia mendapat hujatan dan gelitikan dari kami yang berada di dekatnya. Bahkan aku ikut menggelitik perutnya. "Ampuuunnn!!! Eh, Romi! Ngapain kamu malah pergi sih?! Tolongin gue kek!" teriak Febri diselingi tawa terbahak-bahak karena
"Apa kamu udah mikirin bener-bener, Nduk?" tanya Pakde Joko dengan raut muka suram. "Ya, De. Aku nggak bisa nikah sama Pak Burhan," tegasku."Kalau boleh tahu, apa kurangnya anakku di mata kamu, Nduk? Biar jadi jelas alesanmu dan bisa jadi bahan perbaikan untuk Burhan," kata Bu Wirya. Binar matanya yang lembut keibuan menjadi penetral suasana hatiku yang kacau-balau saat ini. "Hanya... Nggak cocok, Bu," sahutku. "Cuma karena itu, Nduk? Coba kamu pikir baik-baik. Tolong kamu pertimbangkan lagi matang-matang. Kamu ada anak lho Ris sekarang. Apa kamu nggak kasian sama anakmu kalau dia nanti diejekin temen-temennya karena nggak ada bapaknya? Apa kamu juga nggak kasian sama pakdemu yang nantinya ikut nanggung beban?" celetuk Bude Rahmi tajam."Maaf De kalau anakku jadi beban Bude sekeluarga. Makanya aku keluar dari rumah ini biar nggak membebani kalian lagi," kataku sarkastis. Aku tak terima anakku disebut sebagai 'beban'.'Kamu matahari Ibu, Dek. Jangan dengerin kata-katanya eyang Rahm
"Ya, De." Aku menjawab ucapan Pakde Joko dengan terharu. "Terus, ke depan kamu mau gimana, Ris? Perut kamu bakal makin besar 'kan, Nduk. Apa kamu mau tetep masuk kuliah? Atau kamu mau ngajuin cuti dulu?" Pertanyaan yang diajukan oleh Pakde Joko kali ini membuat tercenung. Perkataannya mengena telak di hatiku sebab benar adanya. Akhir-akhir ini aku juga sedang memotong. "Rencananya aku mau ambil cuti semester depan, De. Aku juga mau balik ke rumah Bapak. Aku pengin lahiran di sana sekalian mau deket sama Makam Bapak," kataku. "Tapi nanti kamu balik lagi ke sini ya, Ris. Sayang kuliahmu lho, Nduk. Lagian budemu sama kakak-kakakmu 'kan di sini. Mereka bisa bantu-bantu kamu ngurus anakmu juga." Pakde Joko memandangku lekat-lekat. "Makasih banyak, De. Tapi... Aku pengin berusaha hidup mandiri. Aku nggak mau ngerepotin Pakde dan keluarga di sini lebih banyak lagi. Aku nggak mungkin terus-terusan kayak gini," ujarku hati-hati. "Lho, ngerepotin opo, Ris? Kamu itu bagian dari keluargaku,
"Kamu bilang mantan br*ngsek kamu itu idola kampus, Ris? Pengin aku tonjok-tonjok dia, terus habis itu aku buang ke laut!" geram Wawa. "Kurang itu, Wa! Harusnya digeprek dulu terus dikasih air garam," celetuk Devi tak kalah geramnya. "Psikopat beneran deh kalian berdua," komentar Nela dengan wajah mengernyit ngeri. "Cowok mesum sok kegantengan kayak mantannya Risa itu emang harus digituin," timpal Wawa. "Biarin aja mereka. Aku juga ikut gemes sama mantannya Risa," kata Marwah pada Nela. "Jadi... Sekarang di perut kamu..." Febri memandang perutku dengan ragu-ragu. “Ya,” sahutku pelan. Febri langsung mengulurkan tangan untuk kemudian dia taruh di atas perutku. "Halo, Dek!" kata Febri. Teman-teman lain juga berebut untuk menyapa anakku. "Emangnya dedek bayinya denger kita ngomong sama dia?" tanya Devi. “Denger kok,” sahutku. "Tapi kok perut kamu belum gede, Ris?" celetuk Wawa. “Ya iyalah, orang baru 6 minggu. Iya kan, Ris?” ucap Nela. Aku mengiyakan sambil tertawa karena tanga
“Nyari aku ya, Non?” tegur seseorang. Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Nava yang tengah mendekati kuda. "Risaaa!" pekik Nava heboh sambil merentangkan kedua lengan lebar-lebar dan memelukku erat. “Akhirnya kita ketemu ya, Va. Makasih lho udah jemput aku di sini,” kataku sambil balas memeluk sahabatku itu. "Iya. Kangen banget aku tuh sama kamuuu...! Tadi aku sempet takut salah orang. Habisnya dari tadi ada lumayan banyak ibu-ibu hamil seliweran di sini. Tapi ternyata emang kamu yang paling cantik," kata Nava. "Kalau mau gombal sama cowok aja kali, jangan sama aku," timpalku geli. "Ngapain ngerayu cowok? Orang cowok gak perlu diragukan aja udah gombal kok. Lagian aku cuma ngomong apa adanya aja kok ke kamu. Kamu tambah cantik lho, Ris," kilah Nava. Kemudian menyalakannya dan turun kembali ke perutku. Dia mengulurkan tangan dan mengusap-usap perutku yang membesar itu dengan sayang. "Hai, Dek. Ini Tante Nava lho. Yang suka telponan sama video call-an sama ibu kamu itu," ucap
"Masa sih?" celetuk Nava. Dia ikut berdiri dan menempatkan diri di sebelahku. "Ya, Dek. Yah... Paling nggak budemu yang paling mengkhawatirkan kamu. Dia yang minta tolong ke aku buat ngawal kamu selama di kereta api dan mastiin kamu bener-bener selamat sampai di rumah ini," ujar Pak Burhan. "Budemu tuh ujung-ujungnya, Ris. Pakdemu kayaknya udah nggak ikut-ikutan deh," decih Nava sambil menoleh kepadaku. "Iya. Nggak mungkin Pakde Joko yang nyuruh," sahutku membenarkan ucapan Nava. Aku sendiri sangat percaya pada ketulusan Pakde Joko akhir-akhir ini. Lain halnya dengan Bude Rahmi dan mbak Poppy yang semakin antipati terhadapku. "Tapi pakdemu sebenernya setuju sama aku, toh? Buktinya waktu itu dia nggak nolak kamu dijodohin sama aku," kata Pak Burhan dengan nada arogan. "Itu karena dipikirnya Bapak baik. Tapi nyatanya? Sekarang terbukti 'kan kamu bukan laki-laki baik-baik? Kalau laki-laki yang bener pasti nggak bakal ngikutin Risa sampai ke sini, padahal udah jelas-jelas dia nolak p
Aku menekuri huruf-huruf kecil di lembaran kertas koran yang terbentang di hadapanku dengan wajah masam. Tak ada satupun lowongan pekerjaan yang cocok untukku. Rata-rata persyaratannya harus sarjana lulusan diploma 3 atau S1. Belum lagi harus mempunyai pengalaman kerja. Belum apa-apa aku sudah tak memenuhi persyaratan. Apalagi dengan kondisi fisikku yang tak mendukung untuk pekerjaan-pekerjaan itu. 'Padahal uang dari Bapak udah menipis banget.' batinku cemas. "Makan dulu, Ris. Aku udah nyicipin bubur ayam bikinan kamu, lho. Enak banget. Bisa dijual lho itu," kata Nava yang berjalan mendekatiku di ruang tengah. Seketika wajahku terangkat menatap sahabatku itu. Sebuah ide terbersit di kepalaku. "Ada apa? Kok kamu ngeliatin aku aneh gitu?" tanya Nava bingung. "Makasih ya, Va. Gara-gara kamu, aku jadi dapet ide nih," cetusku antusias. "Ide apa?" Nava mendudukkan diri di sampingku. Dia tampak penasaran menyimak ucapanku selanjutnya. "Mulai besok, aku mau jualan bubur ayam di teras,"