"Habis muntah ya, Ris?" tanya Bude Rahmi yang sedang menggoreng ikan gurameh. "Ya, De," jawabku lirih. Badanku masih terasa lemas setelah habis-habisan di kamar mandi. Setelahnya aku melanjutkan mandi pula demi bisa tetap berangkat ke kampus. "Duduk dulu. Aku bikinin teh hangat apa susu? Pilih aja," kata Bude Rahmi. Aku menurut duduk di kursi dapur. Sekalian mengistirahatkan fisik yang mendadak kurang daya ini. "Muntah kamu?" cetus mbak Poppy yang lewat hendak ke kamar mandi. Wajahnya tampak senang. Tanpa dia tutup-tutupi lagi. Aku tak menjawab pertanyaan yang sepertinya hanya retorika saja. "Ya gitu deh rasanya morning sick, Ris," ujar mbak Poppy jumawa sembari tetap melangkah menuju ke kamar mandi. 'Keterlaluan banget kamu, Mbak. Nggak nyangka, kamu bakal setega itu sama aku.' batinku perih. "Gimana?" tegur Bude Rahmi. "A... Aku bikin sendiri aja susunya, De. Cuma mau duduk bentar buat ngilangin gemetarku," sahutku te
"Kalau telepon liat-liat tempat. Kamu ganggu tidurku," kata Romi sambil berjalan keluar dari ruang kelas di belakang bangku yang aku duduki. Rambutnya sedikit acak-acakan dan mukanya kusut khas orang baru bangun tidur, meskipun hal itu tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Demi apa coba? Kok bisa aku bertemu dengan Romi di sudut kampus yang sepi ini? Bukankah kata Febri dia sedang mendaki Gunung X? "Katanya Febri... Kamu lagi naik gunung..." cetusku spontan. Bercampur dengan rasa panik dan syok juga. Apakah Romi mendengar pembicaraanku dengan Nava barusan? Semuanya??? "Aku baru pulang tadi. Tapi aku nggak bisa tidur di sana. Berisik. Makanya aku tidur di sini. Tapi barusan aku bangun gara-gara denger suaramu," sahut Romi dengan nada mengeluh. Dia menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya menjadi semakin awut-awutan. Tapi anehnya malah membuat Romi terlihat seksi. 'Kalau cewek-cewek penggemarnya pada liat dia yang rambutnya gitu, Kira-kira pada jatuh pingsan nggak ya?' ba
"Ta... Tapi, De..." bantahku, yang langsung dimentahkan oleh Bude Rahmi. "Masakanku belum mateng. Pasti kamu udah laper, 'kan? Terus kasian itu anak kamu kalau makanmu ditunda-tunda," kata Bude Rahmi. "Iya, Dek. Kasian bayi kamu," timpal Pak Burhan mendukung ucapan Bude Rahmi. Aku mengembuskan napas berat. Merasa sudah kalah set karena Bude Rahmi dan Pak Burhan menyebut-nyebut anakku sebagai alasan. 'Dek. Ibu nggak suka pergi sama laki-laki itu. Tapi, bagaimanapun juga, betul kata mereka. Kasian kamu kalau Ibu makannya nunggu masakan Bude Rahmi mateng.' Ku usap perutku sekilas tanpa kentara. "Gimana, Dek?" tanya Pak Burhan mendesakku. "Baik. Saya mau ikut Pak Burhan," sahutku. "Nah, kalau gitu, langsing aja. Toh kamu juga udah siap pergi 'kan, Ris. Pakai baju yang kamu pakai ke kampus itu aja udah cukup 'kan, Nduk?" celetuk Bude Rahmi. "Ya, De," jawabku. 'Tentunya pakai baju dari kampus ini aja udah cukup. Nggak perlu ganti pakai gaun cantik yang Bude beliin kemaren.' pikirku
"Kalau budemu udah tau soal aku, pasti kamu udah tau 'kan Dek kerjaku apa?" cetus Pak Burhan di tengah-tengah perjalanan pulang."Ya," sahutku."Besok kamu mau nggak aku ajak ke tempat kerjaku? Karyawan-karyawanku pada baik semua kok," kata Pak Burhan."Saya besok nggak bisa pergi sama Bapak. Besok-besoknya juga nggak bisa. Saya nggak bisa nikah sama Bapak," tukasku. Aku mengerahkan segenap keberanian untuk menegaskan perasaanku kepada Pak Burhan sebelum Bude Rahmi menginterupsi pembicaraan kami lagi."Kenapa?" celetuk Pak Burhan bingung.'Udah jelas-jelas nolak. Kok masih ditanya kenapa juga?' batinku tak kalah bingungnya."Ya saya merasa nggak cocok aja sama Bapak. Masih banyak perempuan lain yang..."Pak Burhan memotong ucapanku, "Tapi aku udah cocok sama kamu, Dek.""Pasti ada yang lebih cocok sama Pak Burhan," bantahku."Siapa? Aku udah pernah ikut biro jodoh, pernah dijodohin juga sama tetangga yang janda. Pernah sama saudara jauh yang juga janda punya anak tiga. Tapi semuanya..
"Kemaren kamu tau dari mana La, aku lagi makan di restoran itu?" tanyaku pada Nela. Kebetulan kami bertemu di depan kampus dan berjalan bersama ke ruang kelas. "Ada sepupu aku update status foto lagi makan di restoran XXX itu kemaren. Aku liat kamu lagi duduk di belakangnya. Jadi aku kirim chat ke kamu deh. Eh, kamu makan sama om kamu ya?" balas Nela. "Bukan. Cuma kenalan," jawabku kikuk. "Masa sih? Dia itu om-om, lho. Sini, Ris. Kita duduk di sini dulu," cetus Nela heran. Dia menarik tanganku untuk duduk bersamanya di sebuah bangku kayu yang panjang di selasar yang kami lewati. "Ada apa, Ris? Ini nggak kayak yang aku sangka, 'kan?" tanya Nela dengan sorot mata penuh selidik. Aku tertawa garing, "Emangnya... Kamu nyangkanya apa?""Maaf, ya. Jujur aja, aku nyangka kamu jalan sama om-om itu... Buat... Cari uang?" kata Nela terbata-bata. Namun, tatapan matanya tak pernah lepas dariku. Aku maklum, siapapun yang melihatku makan bersama-sama laki-laki yang lebih tua dariku pasti mengi
""Nggak usah, Pak. Misalnya saya mau pulang ke tempat pakde saya, saya bisa sendiri. Jangan jelekin temen-temen saya juga. Mereka cuma mau belain saya dari orang yang tidak sopan kayak Anda," kataku dingin. Kemudian aku memamerkan badan dan masuk ke mobil Wawa diikuti teman-teman baikku."Pulang sendiri aja, Pak! Ini kampus ya, bukan kantor biro jodoh!" celetuk Devi saat mobil yang membawa kami hendak melaju meninggalkan area parkir itu. "Bocah ed*n (anak gila)!" maki Pak Burhan pada Devi. Sontak Devi dan Wawa persaudaraan laki-laki itu dengan tawa heboh mereka. Bahkan mereka kompak mengacungkan jari tengahnya."Emang dasar preman kalian berdua tuh," komentar Febri ketika sosok Pak Burhan sudah tertinggal jauh di belakang sana. "Tapi laki-laki itu takut 'kan sama kita?" timpal Devi dengan tawa yang masih berderai. “Kita rela kok jadi preman demi belain Risa,” kata Wawa. Dia sudah berpikir dengan serius. Mungkin karena harus fokus menyetir. "Iya, Ris. Kita semua, bakalan rela jadi
"Yaelah! Gitu aja pakai disembunyiin. Kayak ada affair apaan," decih Wawa. "Pantesan kamu keliatan ilfeel gitu ya Mar, waktu Romi gandeng tangan kamu pas challenge OSPEK dulu," cetus Febri. Marwah hanya nyengir kuda.Romi yang sekarang berdiri menyandar ke ambang pintu langsung mendebat pernyataan Febri. "Aku juga ilfeel kok. Kata siapa cuma dia?""Nggak tuh. Kamu keliatan menikmati. Sama cewek manapun 'kan kamu gitu. Gampang nyaman sama tiap cewek dan suka bikin nyaman mereka," timpal Febri. "Termasuk kamu. Gitu 'kan, Feb?" celetuk Devi iseng. "Nggak dong. Aku udah punya ayang. Selama ini kita LDR-an. Kalian aja yang pada nggak tau," dengkus Febri pongah. "Hah?! Orang mana?" tanyaku dan Wawa cs berbarengan. "Orang kampus sebelah," kata Febri. Sontak dia mendapat hujatan dan gelitikan dari kami yang berada di dekatnya. Bahkan aku ikut menggelitik perutnya. "Ampuuunnn!!! Eh, Romi! Ngapain kamu malah pergi sih?! Tolongin gue kek!" teriak Febri diselingi tawa terbahak-bahak karena
"Apa kamu udah mikirin bener-bener, Nduk?" tanya Pakde Joko dengan raut muka suram. "Ya, De. Aku nggak bisa nikah sama Pak Burhan," tegasku."Kalau boleh tahu, apa kurangnya anakku di mata kamu, Nduk? Biar jadi jelas alesanmu dan bisa jadi bahan perbaikan untuk Burhan," kata Bu Wirya. Binar matanya yang lembut keibuan menjadi penetral suasana hatiku yang kacau-balau saat ini. "Hanya... Nggak cocok, Bu," sahutku. "Cuma karena itu, Nduk? Coba kamu pikir baik-baik. Tolong kamu pertimbangkan lagi matang-matang. Kamu ada anak lho Ris sekarang. Apa kamu nggak kasian sama anakmu kalau dia nanti diejekin temen-temennya karena nggak ada bapaknya? Apa kamu juga nggak kasian sama pakdemu yang nantinya ikut nanggung beban?" celetuk Bude Rahmi tajam."Maaf De kalau anakku jadi beban Bude sekeluarga. Makanya aku keluar dari rumah ini biar nggak membebani kalian lagi," kataku sarkastis. Aku tak terima anakku disebut sebagai 'beban'.'Kamu matahari Ibu, Dek. Jangan dengerin kata-katanya eyang Rahm