"Apa ini?" tanya Boy tajam. Ekspresi wajahnya sedingin es dan sorot matanya sepanas api. Aku hanya bisa menelan ludah yang terasa seperti bulatan kelereng turun di sepanjang kerongkonganku. "Siapa yang ngambil foto ini?" tanya Boy lagi ketika aku tak menyahut. 'Dia nggak marah sama aku?' batinku. "Boy... Di situ kamu bisa liat nama orang yang udah upload foto itu, 'kan," celetuk Nava, membantuku menjawab Boy yang tampak emosional. "Aku nggak yakin dia yang udah ngambil fotonya," sahut Boy saat menekuri layar ponselku yang masih dipegangnya. "Terus? Siapa orangnya, Ris? Kamu tau, 'kan?" tanya Nava cemas. Aku menganggukkan kepala dengan pelan. Tak ada gunanya lagi aku menutupi perbuatan Prima. Toh, dia tidak bisa memegang kata-katanya waktu itu. Bukankah Boy tidak pernah bertemu dengan Cinta lagi? Yang waktu itu saja 'kan gara-gara dia mengabulkan permohonanku. "Prima," sebutku lirih. Seketika roman muka Boy menjadi semakin keruh. Sorot matanya semakin menusuk. "Aku mau bolo
"Beneran nggak apa-apa nih, aku tinggal kamu sendiri, Ris? Maaf ya, mamaku harus nungguin Eyang di rumah sakit. Jadi...", kata Nava dengan ekspresi wajah tidak enak hati bercampur cemas. "Iya, nggak apa-apa kok, Va. Kamu ke rumah sakit aja. Moga-moga eyang kamu cepet sembuh ya," potongku tenang. Aku tidak ingin bersantai Nava karena saat ini keluarganya lebih membutuhkan dia. Toh, kami sudah sempat saling menumpahkan isi hati satu sama lain tentang kejadian di kampus tadi. Meski sebentar, kami sudah sampai muak membahasnya, bahkan kami sudah berhenti bicara sendiri. "Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Baik-baik ya, Ris. Kita sahabat selamanya, oke? Biarin aja mereka ngatain kita cupu, aneh, dan lain-lain. Toh, nyatanya mereka yang suka gangguin kita. Justru mereka yang aneh, 'kan?" ujar Nava sambil memelukku. “Iya, Va,” sahutku. Sepeninggal Nava, ponselku berdering. Sebuah kontak nama tak asing yang tertera di layar alat komunikasi itu membuat air mataku merebak mengaburkan
"Kamu sakit?" komentar Boy begitu dia sudah berada di dapur hendak menontonku memasak seperti yang biasanya dia lakukan. Pagi itu aku memang agak kesiangan bangun karena hampir semalaman aku galau teringat semua yang sudah terjadi kemarin. Ada trauma yang menghantui, walaupun aku sudah berkali-kali mengatakan pada Nava dan Boy aku baik-baik saja. "Muka kamu pucat banget," kata Boy lagi. Tahu-tahu dia bergerak cepat ke arahku dan mengulurkan tangannya ke dahiku. "Udah, nggak usah masak. Biar aku beli di luar aja." Boy mengambil alih wajan yang ku pegang dan menaruhnya lagi ke tempatnya semula. Kemudian dia menggandengku keluar dari dapur. "Kamu istirahat aja," ucap Boy sembari membukakan pintu kamarku. Aku melangkah masuk ke ruang pribadiku itu dengan patuh. Lagipula aku tak punya daya yang cukup untuk sekedar membantahnya. Bahkan aku juga menerima begitu saja termometer yang dia berikan kepadaku sebelum dia benar-benar pergi membeli makanan. - Va, aku nggak bisa ke kampus hari ini
"Masih sakit?" tanya Boy sambil menatapku geli. Sementara aku berusaha mengunyah nasi plus ikan bakar dengan susah payah karena rasa perih di bibir sampai lidah dan bagian dalam mulutku masih sangat terasa. "Lagian kamu mikirin apa sih sampai teh panas aja kamu minum segala?" goda Boy. Duh, malunya aku! Tidak mungkin 'kan aku bilang padanya kalau aku mendadak teringat set dalamanku yang bergambar 'Hello Kitten'! Selain itu ada pula yang polos tapi modelnya seksi dengan hiasan renda-renda cantik. Aku suka bereksperimen saja sih kalau soal baju dalam. Aku tak yakin dia tidak melihatnya. Pasti dia hanya pura-pura buta. Aku tidak menanggapi gurauan yang dilontarkan Boy itu saking inginnya menghilang saja dari hadapannya biar tidak terlihat semakin culun lagi. Ponsel Boy berbunyi. Dia segera mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. Yang jelas, mukanya langsung berubah ekspresinya menjadi kaku, bahkan penuh amarah yang tampak ditahan-tahan. "Terserah Papa aja kalau mau blokir kart
"Ng... Nggak akan," jawabku sungguh-sungguh. Tepat pada saat itu, ponsel Boy berbunyi. "Iya Ma. Emangnya Pak Adul lagi ke mana? Aku nggak bisa," kata Boy begitu mengangkat telepon. Aku melirik Boy yang masih berbicara dengan orang di seberang sambungan panggilan jarak jauh itu. Raut mukanya terlihat lebih santai, bahkan lebih lembut, dibandingkan ketika dia berbicara dengan papanya. “Aku udah gak mau bahas itu, Ma.” "Nggak, Ma. Aku mau di sini aja." "Ngak usah. Aku udah nyaman di sini." "Biarin aja. Mama nggak usah khawatir." Aku enggan mengalihkan pandanganku dari cowok di sampingku yang tampak sabar menghadapi mamanya, entah dia mengajak bicara soal apa. Mungkin memaksakan sesuatu pada Boy, namun Boy malah menjawabnya dengan sayang. Aku bisa merasakannya. Tanpa sadar aku tersenyum memperhatikan Boy. Aku senang saja, idolaku di kampus itu ternyata seseorang yang sangat menghormati dan menjaga perasaan mamanya. Aku pikir, karena dia bermasalah dengan papanya, dia juga akan ant
Aku ingin pingsan. Tapi tidak sampai pingsan juga. Aku hanya memejamkan mata sambil menangis memanggil-manggil Bapak. Hampir saja aku lupa bahwa aku menyentuh tanah, merasakan lemasnya setelah mendengar kabar yang disampaikan oleh Pakde Joko. Kalau tidak ada Boy yang mendekapku, mungkin aku sudah jatuh luruh ke lantai tempat empedu itu. Aku benar-benar ingin tahu rasanya pingsan sekarang. Aku butuh pingsan! Aku tak lagi peduli siapa aku, di mana aku, dengan siapa saja saat ini. Toh, duniaku sudah hancur. Aku cuma meluapkan saja perasaan kehilangan yang tak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata dan perbuatan saja. Saya ingin Pakde Joko kembali meneleponku dan mengatakan bahwa Bapak ternyata baik-baik saja. Bahwa kabar yang tadi hanyalah kesalahan informasi dan cuma ringkasan belaka. Aku sadar sekaligus juga tak sadar. Entah apa saja yang terjadi begitu Pakde Joko menutup telepon. Aku seperti zombie yang memasrahkan segala sesuatunya pada Boy, satu-satunya manusia yang bisa aku
Pakde Joko sempat ragu saat Boy menyapa mereka. Namun, diam-diam aku melihat matanya memandang Boy dengan tatapan menilai. "Mas yang sering ke sini kan? Pacarnya Risa. Aku tetangganya Risa. Rumahku di sebelah kiri rumah ini," kata Bu Tinah. Dia mengulurkan tangannya sebelum Boy menjabatnya. “Iya, Bu,” sahut Boy singkat namun ramah. Nava yang berdiri tak jauh dariku dan Bude Rahmi menggeser posisi badannya untuk memberi akses pada Boy agar bisa berdiri di dekatku di depan kotak. Tak lupa, Boy juga menyapa Bude Rahmi yang kurang lebih bereaksi sama seperti yang dilakukan Pakde Joko tadi. 'Kenapa mereka sepertinya sudah tahu siapa Boy? Padahal, tanpa disuruh Bu Tinah, sepertinya mereka sudah mengetahui sesuatu tentang Boy. Apakah kamu memberitahuku, ya? Tapi saat itu? Boy 'hanya pacarku, bukan calon suamiku.' Saya terkejut. Namun perasaan itu menguap sesaat karena Boy mengajakku berbicara dengan suara setengah bergumam. "Maaf, aku baru sampai di sini lagi. Aku ada urusan kecil-kecila
Aku tak bisa menahan tangis ketika peti tempat Bapak beristirahat selamanya itu hampir tak terlihat karena semakin tertimbun tanah. Bude Rahmi dan Nava yang berdiri di sisi kira dan kananku menggenggam tangan serta merangkulku selama proses pemakaman itu berlangsung. Sedangkan Boy, sejak diajak bicara empat mata oleh Pakde Joko kemarin, dia agaknya menjaga jarak denganku. Mungkin saja Pakde memberikan peringatan mengenai pakaian dan semacamnya, 'kan? Mengingat Bude juga mengkritisinya dan tampak tak suka padanya. Tapi...Entahlah. Aku tak punya energi untuk mengurusi masalah itu sekarang. Fokusku untuk mengantarkan Bapak ke tempat istirahatnya saja. Saya ingin mengucapkan selamat tinggal padanya dengan seikhlas mungkin agar Bapak bisa beristirahat dalam kedamaian. "Ayo, Nduk. Kita pulang... Mataharinya udah di atas kepala ini lho. Panas pol," kata Bude Rahmi. "Nanti dulu, Bude. Biar aku di sini dulu sebentar. Ada Nava sama Boy kok," sahutku. Bude Rahmi