Beranda / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 41 - Ketenangan

Share

BAB 41 - Ketenangan

Penulis: Kanita Faraya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-06 20:25:02

"Masih sakit?" tanya Boy sambil menatapku geli. Sementara aku berusaha mengunyah nasi plus ikan bakar dengan susah payah karena rasa perih di bibir sampai lidah dan bagian dalam mulutku masih sangat terasa.

"Lagian kamu mikirin apa sih sampai teh panas aja kamu minum segala?" goda Boy. Duh, malunya aku! Tidak mungkin 'kan aku bilang padanya kalau aku mendadak teringat set dalamanku yang bergambar 'Hello Kitten'! Selain itu ada pula yang polos tapi modelnya seksi dengan hiasan renda-renda cantik. Aku suka bereksperimen saja sih kalau soal baju dalam. Aku tak yakin dia tidak melihatnya. Pasti dia hanya pura-pura buta.

Aku tidak menanggapi gurauan yang dilontarkan Boy itu saking inginnya menghilang saja dari hadapannya biar tidak terlihat semakin culun lagi.

Ponsel Boy berbunyi. Dia segera mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. Yang jelas, mukanya langsung berubah ekspresinya menjadi kaku, bahkan penuh amarah yang tampak ditahan-tahan.

"Terserah Papa aja kalau mau blokir kart
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 42 - Badai

    "Ng... Nggak akan," jawabku sungguh-sungguh. Tepat pada saat itu, ponsel Boy berbunyi. "Iya Ma. Emangnya Pak Adul lagi ke mana? Aku nggak bisa," kata Boy begitu mengangkat telepon. Aku melirik Boy yang masih berbicara dengan orang di seberang sambungan panggilan jarak jauh itu. Raut mukanya terlihat lebih santai, bahkan lebih lembut, dibandingkan ketika dia berbicara dengan papanya. “Aku udah gak mau bahas itu, Ma.” "Nggak, Ma. Aku mau di sini aja." "Ngak usah. Aku udah nyaman di sini." "Biarin aja. Mama nggak usah khawatir." Aku enggan mengalihkan pandanganku dari cowok di sampingku yang tampak sabar menghadapi mamanya, entah dia mengajak bicara soal apa. Mungkin memaksakan sesuatu pada Boy, namun Boy malah menjawabnya dengan sayang. Aku bisa merasakannya. Tanpa sadar aku tersenyum memperhatikan Boy. Aku senang saja, idolaku di kampus itu ternyata seseorang yang sangat menghormati dan menjaga perasaan mamanya. Aku pikir, karena dia bermasalah dengan papanya, dia juga akan ant

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 43 - Ikhlas

    Aku ingin pingsan. Tapi tidak sampai pingsan juga. Aku hanya memejamkan mata sambil menangis memanggil-manggil Bapak. Hampir saja aku lupa bahwa aku menyentuh tanah, merasakan lemasnya setelah mendengar kabar yang disampaikan oleh Pakde Joko. Kalau tidak ada Boy yang mendekapku, mungkin aku sudah jatuh luruh ke lantai tempat empedu itu. Aku benar-benar ingin tahu rasanya pingsan sekarang. Aku butuh pingsan! Aku tak lagi peduli siapa aku, di mana aku, dengan siapa saja saat ini. Toh, duniaku sudah hancur. Aku cuma meluapkan saja perasaan kehilangan yang tak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata dan perbuatan saja. Saya ingin Pakde Joko kembali meneleponku dan mengatakan bahwa Bapak ternyata baik-baik saja. Bahwa kabar yang tadi hanyalah kesalahan informasi dan cuma ringkasan belaka. Aku sadar sekaligus juga tak sadar. Entah apa saja yang terjadi begitu Pakde Joko menutup telepon. Aku seperti zombie yang memasrahkan segala sesuatunya pada Boy, satu-satunya manusia yang bisa aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-08
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 44 - Wasiat Bapak

    Pakde Joko sempat ragu saat Boy menyapa mereka. Namun, diam-diam aku melihat matanya memandang Boy dengan tatapan menilai. "Mas yang sering ke sini kan? Pacarnya Risa. Aku tetangganya Risa. Rumahku di sebelah kiri rumah ini," kata Bu Tinah. Dia mengulurkan tangannya sebelum Boy menjabatnya. “Iya, Bu,” sahut Boy singkat namun ramah. Nava yang berdiri tak jauh dariku dan Bude Rahmi menggeser posisi badannya untuk memberi akses pada Boy agar bisa berdiri di dekatku di depan kotak. Tak lupa, Boy juga menyapa Bude Rahmi yang kurang lebih bereaksi sama seperti yang dilakukan Pakde Joko tadi. 'Kenapa mereka sepertinya sudah tahu siapa Boy? Padahal, tanpa disuruh Bu Tinah, sepertinya mereka sudah mengetahui sesuatu tentang Boy. Apakah kamu memberitahuku, ya? Tapi saat itu? Boy 'hanya pacarku, bukan calon suamiku.' Saya terkejut. Namun perasaan itu menguap sesaat karena Boy mengajakku berbicara dengan suara setengah bergumam. "Maaf, aku baru sampai di sini lagi. Aku ada urusan kecil-kecila

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 45 - Beristirahat Dalam Kedamaian

    Aku tak bisa menahan tangis ketika peti tempat Bapak beristirahat selamanya itu hampir tak terlihat karena semakin tertimbun tanah. Bude Rahmi dan Nava yang berdiri di sisi kira dan kananku menggenggam tangan serta merangkulku selama proses pemakaman itu berlangsung. Sedangkan Boy, sejak diajak bicara empat mata oleh Pakde Joko kemarin, dia agaknya menjaga jarak denganku. Mungkin saja Pakde memberikan peringatan mengenai pakaian dan semacamnya, 'kan? Mengingat Bude juga mengkritisinya dan tampak tak suka padanya. Tapi...Entahlah. Aku tak punya energi untuk mengurusi masalah itu sekarang. Fokusku untuk mengantarkan Bapak ke tempat istirahatnya saja. Saya ingin mengucapkan selamat tinggal padanya dengan seikhlas mungkin agar Bapak bisa beristirahat dalam kedamaian. "Ayo, Nduk. Kita pulang... Mataharinya udah di atas kepala ini lho. Panas pol," kata Bude Rahmi. "Nanti dulu, Bude. Biar aku di sini dulu sebentar. Ada Nava sama Boy kok," sahutku. Bude Rahmi

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-10
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 46 - Peringatan

    "Gini, Ris. Kemaren aku 'kan ngajak pacarmu ngobrol berdua. Kamu juga pastinya udah dikasih tau sama budemu soal pesen-pesen terakhir bapakmu. Wasiatnya itu menyangkut Boy. Betul 'kan namanya itu?" kata Pakde Joko yang duduk di sofa seberangku di ruang tamu. Dia menatapku lekat-lekat menunggu responku."Betul, Pakde," timpalku sopan. "Nah. Ramlan pengin kamu sama Boy awet sampai nikah nantinya. Ya mungkin kalau dia masih hidup sekarang, aku bakal ngomong sama dia, sebelum dia ngomong keinginannya itu sama kamu. Sebabnya, ya karena pas aku liat sendiri anaknya, si Boy itu keliatan urakan. Sopan ya sopan. Tapi ada sesuatu yang bikin aku sama budemu kurang sreg gitu sama dia. Cara pembawaan dirinya berani seperti kata Ramlan. Tapi beraninya itu kayaknya bisa mengarah ke hal-hal yang negatif gitu lho, Nduk. Aku sama budemu khawatir, nanti kamu akan kebawa sifat urakannya itu." Pakde menyandarkan punggung ke sofa sembari mengembuskan napas berat. Tatapannya dia tujukan ke lukisan pemandan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-11
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 47 - Anggota Baru

    "Di sini, Ris?" tanya mas Angger kepadaku. Aku yang duduk persis di bangku belakang bangkunya mengiyakan. "Iya, mas. Yang di seberang warung itu," tunjukku.Mas Angger menepikan mobil, tepat di depan rumah Nava."Wah, ternyata banyak yang nganterin Risa nih." Nava menyambut kami sambil meringis jenaka. Rupanya dia sudah menungguku di teras."Iya nih, Va. Sekalian jalan-jalan ngemong si kecil nih," timpal mbak Salma. Dia mengelus lembut puncak kepala Vano yang duduk di sebelahnya di bangku dekat sopir."Asyik dong Vano," kata Nava meledek Vano yang diam saja, malah terlihat mengantuk. Aku yang sudah turun dari mobil bergegas menutup pintunya dan melangkah mendekati Nava. "Katanya kalian mau ujian besok, Va? Kok masih ada tugas aja?" celetuk mbak Poppy yang mendadak membuka jendela kaca mobil. Aku berpura-pura memasang tampang biasa saja mendengar perkataan mbak Poppy yang terdengar wajar namun terasa menusuk di hatiku itu. "Iya, Mbak. Dosennya baik banget sama mahasiswanya soalnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-12
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 48 - Sarapan

    Seketika wajahku memanas mendapat perlakuan mesra dari Boy yang tanpa hujan tanpa angin itu. Meski secepat kilat, jejak panasnya di pipiku tidak langsung hilang."Kamu... udah tau dari pakde, 'kan? Soal keinginan Bapak..." ucapku lirih. Aku sangat tidak enak hati pada Boy. Bukan menyalahkan Bapak karena sudah memberi wasiat itu, namun karena reaksi Pakde Joko dan Bude Rahmi ternyata begitu penuh penghakiman dan aku takut Boy sebenarnya merasa tersudut tapi tidak mengungkapkannya kepadaku."Ya," jawab Boy datar.Aku mendongak menatap Boy dengan heran.Kok dia tampak biasa-biasa saja ya?"Begitu lulus, aku harus ngelanjutin kuliah S2 di Amerika. Kemaren aku udah gitu sama om kamu," terang Boy dengan nada serius dan lugas. Dia sepertinya tahu kegundahan yang terpancar di bola mataku.Jadi... Karena dia bilang mau melanjutkan kuliah S2 di luar negeri, makanya Pakde Joko menyebut dirinya tidak menghargai Bapak dan pesan terakhirnya?"Ada apa?" celetuk Boy begitu melihatku terus bungkam."N

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-13
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 49 - Aku Baik-Baik Saja

    "Bu... Bukan gitu, Mbak," kataku menyanggah ucapan mbak Poppy yang tajam dan menyakitkan itu dengan gugup. "Aku yang ngajak Risa ke sini, Mbak. Soalnya dia belum sarapan, sedangkan tenaganya udah habis buat dia pakai nangis," sela Boy tepat di saat mbak Poppy hendak membuka mulutnya lagi. Dia langsung bungkam sambil melengos mendengar ucapan Boy."Ayo, kita duduk di sini aja. Boleh, 'kan?" kata mas Angger dengan nada ramah pada Boy. Tampak sekali dia berusaha menjadi pencair suasana di antara kami yang mulai tidak netral. Terutama dari pihak mbak Poppy. Entah apa yang dia rasakan dan pikirkan sehingga dia sampai sesinis itu terhadapku."Silakan," jawab Boy singkat dan acuh tak acuh."Kalau kita tau kamu mau makan di sini juga, mendingan tadi kita bareng-bareng aja ke sininya, Ris," celetuk mbak Salma. Sok polos tetapi tujuannya menyindirku sangat terasa menusuk di hatiku."Tadi aku emang mau ngerjain tugas di rumah Nava kok, Mbak." Aku berusaha menjawab mbak Salma dengan sikap yang b

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-14

Bab terbaru

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 110 - Nostalgia Nasi Goreng Kampung

    "Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 109 - Hadiah Kecil Untuk Diri Sendiri

    "Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 108 - Tante Bella

    "Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 107 - Arisan

    "Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 106 - Apakah Ini Cinta? Atau ...

    "Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 105 - CEO

    Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 104 - Makan Malam Bersama Calon Mertua

    "Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 103 - Papa

    Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 102 - Runtuh Tetapi Belum Luruh

    Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend

DMCA.com Protection Status