"Ng... Nggak akan," jawabku sungguh-sungguh. Tepat pada saat itu, ponsel Boy berbunyi. "Iya Ma. Emangnya Pak Adul lagi ke mana? Aku nggak bisa," kata Boy begitu mengangkat telepon. Aku melirik Boy yang masih berbicara dengan orang di seberang sambungan panggilan jarak jauh itu. Raut mukanya terlihat lebih santai, bahkan lebih lembut, dibandingkan ketika dia berbicara dengan papanya. “Aku udah gak mau bahas itu, Ma.” "Nggak, Ma. Aku mau di sini aja." "Ngak usah. Aku udah nyaman di sini." "Biarin aja. Mama nggak usah khawatir." Aku enggan mengalihkan pandanganku dari cowok di sampingku yang tampak sabar menghadapi mamanya, entah dia mengajak bicara soal apa. Mungkin memaksakan sesuatu pada Boy, namun Boy malah menjawabnya dengan sayang. Aku bisa merasakannya. Tanpa sadar aku tersenyum memperhatikan Boy. Aku senang saja, idolaku di kampus itu ternyata seseorang yang sangat menghormati dan menjaga perasaan mamanya. Aku pikir, karena dia bermasalah dengan papanya, dia juga akan ant
Aku ingin pingsan. Tapi tidak sampai pingsan juga. Aku hanya memejamkan mata sambil menangis memanggil-manggil Bapak. Hampir saja aku lupa bahwa aku menyentuh tanah, merasakan lemasnya setelah mendengar kabar yang disampaikan oleh Pakde Joko. Kalau tidak ada Boy yang mendekapku, mungkin aku sudah jatuh luruh ke lantai tempat empedu itu. Aku benar-benar ingin tahu rasanya pingsan sekarang. Aku butuh pingsan! Aku tak lagi peduli siapa aku, di mana aku, dengan siapa saja saat ini. Toh, duniaku sudah hancur. Aku cuma meluapkan saja perasaan kehilangan yang tak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata dan perbuatan saja. Saya ingin Pakde Joko kembali meneleponku dan mengatakan bahwa Bapak ternyata baik-baik saja. Bahwa kabar yang tadi hanyalah kesalahan informasi dan cuma ringkasan belaka. Aku sadar sekaligus juga tak sadar. Entah apa saja yang terjadi begitu Pakde Joko menutup telepon. Aku seperti zombie yang memasrahkan segala sesuatunya pada Boy, satu-satunya manusia yang bisa aku
Pakde Joko sempat ragu saat Boy menyapa mereka. Namun, diam-diam aku melihat matanya memandang Boy dengan tatapan menilai. "Mas yang sering ke sini kan? Pacarnya Risa. Aku tetangganya Risa. Rumahku di sebelah kiri rumah ini," kata Bu Tinah. Dia mengulurkan tangannya sebelum Boy menjabatnya. “Iya, Bu,” sahut Boy singkat namun ramah. Nava yang berdiri tak jauh dariku dan Bude Rahmi menggeser posisi badannya untuk memberi akses pada Boy agar bisa berdiri di dekatku di depan kotak. Tak lupa, Boy juga menyapa Bude Rahmi yang kurang lebih bereaksi sama seperti yang dilakukan Pakde Joko tadi. 'Kenapa mereka sepertinya sudah tahu siapa Boy? Padahal, tanpa disuruh Bu Tinah, sepertinya mereka sudah mengetahui sesuatu tentang Boy. Apakah kamu memberitahuku, ya? Tapi saat itu? Boy 'hanya pacarku, bukan calon suamiku.' Saya terkejut. Namun perasaan itu menguap sesaat karena Boy mengajakku berbicara dengan suara setengah bergumam. "Maaf, aku baru sampai di sini lagi. Aku ada urusan kecil-kecila
Aku tak bisa menahan tangis ketika peti tempat Bapak beristirahat selamanya itu hampir tak terlihat karena semakin tertimbun tanah. Bude Rahmi dan Nava yang berdiri di sisi kira dan kananku menggenggam tangan serta merangkulku selama proses pemakaman itu berlangsung. Sedangkan Boy, sejak diajak bicara empat mata oleh Pakde Joko kemarin, dia agaknya menjaga jarak denganku. Mungkin saja Pakde memberikan peringatan mengenai pakaian dan semacamnya, 'kan? Mengingat Bude juga mengkritisinya dan tampak tak suka padanya. Tapi...Entahlah. Aku tak punya energi untuk mengurusi masalah itu sekarang. Fokusku untuk mengantarkan Bapak ke tempat istirahatnya saja. Saya ingin mengucapkan selamat tinggal padanya dengan seikhlas mungkin agar Bapak bisa beristirahat dalam kedamaian. "Ayo, Nduk. Kita pulang... Mataharinya udah di atas kepala ini lho. Panas pol," kata Bude Rahmi. "Nanti dulu, Bude. Biar aku di sini dulu sebentar. Ada Nava sama Boy kok," sahutku. Bude Rahmi
"Gini, Ris. Kemaren aku 'kan ngajak pacarmu ngobrol berdua. Kamu juga pastinya udah dikasih tau sama budemu soal pesen-pesen terakhir bapakmu. Wasiatnya itu menyangkut Boy. Betul 'kan namanya itu?" kata Pakde Joko yang duduk di sofa seberangku di ruang tamu. Dia menatapku lekat-lekat menunggu responku."Betul, Pakde," timpalku sopan. "Nah. Ramlan pengin kamu sama Boy awet sampai nikah nantinya. Ya mungkin kalau dia masih hidup sekarang, aku bakal ngomong sama dia, sebelum dia ngomong keinginannya itu sama kamu. Sebabnya, ya karena pas aku liat sendiri anaknya, si Boy itu keliatan urakan. Sopan ya sopan. Tapi ada sesuatu yang bikin aku sama budemu kurang sreg gitu sama dia. Cara pembawaan dirinya berani seperti kata Ramlan. Tapi beraninya itu kayaknya bisa mengarah ke hal-hal yang negatif gitu lho, Nduk. Aku sama budemu khawatir, nanti kamu akan kebawa sifat urakannya itu." Pakde menyandarkan punggung ke sofa sembari mengembuskan napas berat. Tatapannya dia tujukan ke lukisan pemandan
"Di sini, Ris?" tanya mas Angger kepadaku. Aku yang duduk persis di bangku belakang bangkunya mengiyakan. "Iya, mas. Yang di seberang warung itu," tunjukku.Mas Angger menepikan mobil, tepat di depan rumah Nava."Wah, ternyata banyak yang nganterin Risa nih." Nava menyambut kami sambil meringis jenaka. Rupanya dia sudah menungguku di teras."Iya nih, Va. Sekalian jalan-jalan ngemong si kecil nih," timpal mbak Salma. Dia mengelus lembut puncak kepala Vano yang duduk di sebelahnya di bangku dekat sopir."Asyik dong Vano," kata Nava meledek Vano yang diam saja, malah terlihat mengantuk. Aku yang sudah turun dari mobil bergegas menutup pintunya dan melangkah mendekati Nava. "Katanya kalian mau ujian besok, Va? Kok masih ada tugas aja?" celetuk mbak Poppy yang mendadak membuka jendela kaca mobil. Aku berpura-pura memasang tampang biasa saja mendengar perkataan mbak Poppy yang terdengar wajar namun terasa menusuk di hatiku itu. "Iya, Mbak. Dosennya baik banget sama mahasiswanya soalnya.
Seketika wajahku memanas mendapat perlakuan mesra dari Boy yang tanpa hujan tanpa angin itu. Meski secepat kilat, jejak panasnya di pipiku tidak langsung hilang."Kamu... udah tau dari pakde, 'kan? Soal keinginan Bapak..." ucapku lirih. Aku sangat tidak enak hati pada Boy. Bukan menyalahkan Bapak karena sudah memberi wasiat itu, namun karena reaksi Pakde Joko dan Bude Rahmi ternyata begitu penuh penghakiman dan aku takut Boy sebenarnya merasa tersudut tapi tidak mengungkapkannya kepadaku."Ya," jawab Boy datar.Aku mendongak menatap Boy dengan heran.Kok dia tampak biasa-biasa saja ya?"Begitu lulus, aku harus ngelanjutin kuliah S2 di Amerika. Kemaren aku udah gitu sama om kamu," terang Boy dengan nada serius dan lugas. Dia sepertinya tahu kegundahan yang terpancar di bola mataku.Jadi... Karena dia bilang mau melanjutkan kuliah S2 di luar negeri, makanya Pakde Joko menyebut dirinya tidak menghargai Bapak dan pesan terakhirnya?"Ada apa?" celetuk Boy begitu melihatku terus bungkam."N
"Bu... Bukan gitu, Mbak," kataku menyanggah ucapan mbak Poppy yang tajam dan menyakitkan itu dengan gugup. "Aku yang ngajak Risa ke sini, Mbak. Soalnya dia belum sarapan, sedangkan tenaganya udah habis buat dia pakai nangis," sela Boy tepat di saat mbak Poppy hendak membuka mulutnya lagi. Dia langsung bungkam sambil melengos mendengar ucapan Boy."Ayo, kita duduk di sini aja. Boleh, 'kan?" kata mas Angger dengan nada ramah pada Boy. Tampak sekali dia berusaha menjadi pencair suasana di antara kami yang mulai tidak netral. Terutama dari pihak mbak Poppy. Entah apa yang dia rasakan dan pikirkan sehingga dia sampai sesinis itu terhadapku."Silakan," jawab Boy singkat dan acuh tak acuh."Kalau kita tau kamu mau makan di sini juga, mendingan tadi kita bareng-bareng aja ke sininya, Ris," celetuk mbak Salma. Sok polos tetapi tujuannya menyindirku sangat terasa menusuk di hatiku."Tadi aku emang mau ngerjain tugas di rumah Nava kok, Mbak." Aku berusaha menjawab mbak Salma dengan sikap yang b