"Di sini, Ris?" tanya mas Angger kepadaku. Aku yang duduk persis di bangku belakang bangkunya mengiyakan. "Iya, mas. Yang di seberang warung itu," tunjukku.Mas Angger menepikan mobil, tepat di depan rumah Nava."Wah, ternyata banyak yang nganterin Risa nih." Nava menyambut kami sambil meringis jenaka. Rupanya dia sudah menungguku di teras."Iya nih, Va. Sekalian jalan-jalan ngemong si kecil nih," timpal mbak Salma. Dia mengelus lembut puncak kepala Vano yang duduk di sebelahnya di bangku dekat sopir."Asyik dong Vano," kata Nava meledek Vano yang diam saja, malah terlihat mengantuk. Aku yang sudah turun dari mobil bergegas menutup pintunya dan melangkah mendekati Nava. "Katanya kalian mau ujian besok, Va? Kok masih ada tugas aja?" celetuk mbak Poppy yang mendadak membuka jendela kaca mobil. Aku berpura-pura memasang tampang biasa saja mendengar perkataan mbak Poppy yang terdengar wajar namun terasa menusuk di hatiku itu. "Iya, Mbak. Dosennya baik banget sama mahasiswanya soalnya.
Seketika wajahku memanas mendapat perlakuan mesra dari Boy yang tanpa hujan tanpa angin itu. Meski secepat kilat, jejak panasnya di pipiku tidak langsung hilang."Kamu... udah tau dari pakde, 'kan? Soal keinginan Bapak..." ucapku lirih. Aku sangat tidak enak hati pada Boy. Bukan menyalahkan Bapak karena sudah memberi wasiat itu, namun karena reaksi Pakde Joko dan Bude Rahmi ternyata begitu penuh penghakiman dan aku takut Boy sebenarnya merasa tersudut tapi tidak mengungkapkannya kepadaku."Ya," jawab Boy datar.Aku mendongak menatap Boy dengan heran.Kok dia tampak biasa-biasa saja ya?"Begitu lulus, aku harus ngelanjutin kuliah S2 di Amerika. Kemaren aku udah gitu sama om kamu," terang Boy dengan nada serius dan lugas. Dia sepertinya tahu kegundahan yang terpancar di bola mataku.Jadi... Karena dia bilang mau melanjutkan kuliah S2 di luar negeri, makanya Pakde Joko menyebut dirinya tidak menghargai Bapak dan pesan terakhirnya?"Ada apa?" celetuk Boy begitu melihatku terus bungkam."N
"Bu... Bukan gitu, Mbak," kataku menyanggah ucapan mbak Poppy yang tajam dan menyakitkan itu dengan gugup. "Aku yang ngajak Risa ke sini, Mbak. Soalnya dia belum sarapan, sedangkan tenaganya udah habis buat dia pakai nangis," sela Boy tepat di saat mbak Poppy hendak membuka mulutnya lagi. Dia langsung bungkam sambil melengos mendengar ucapan Boy."Ayo, kita duduk di sini aja. Boleh, 'kan?" kata mas Angger dengan nada ramah pada Boy. Tampak sekali dia berusaha menjadi pencair suasana di antara kami yang mulai tidak netral. Terutama dari pihak mbak Poppy. Entah apa yang dia rasakan dan pikirkan sehingga dia sampai sesinis itu terhadapku."Silakan," jawab Boy singkat dan acuh tak acuh."Kalau kita tau kamu mau makan di sini juga, mendingan tadi kita bareng-bareng aja ke sininya, Ris," celetuk mbak Salma. Sok polos tetapi tujuannya menyindirku sangat terasa menusuk di hatiku."Tadi aku emang mau ngerjain tugas di rumah Nava kok, Mbak." Aku berusaha menjawab mbak Salma dengan sikap yang b
Pakde Joko yang sedang duduk-duduk di teras memperhatikan aku dan Boy yang baru saja turun dari sepeda motor dengan tatapan datarnya. Aku tahu dia sebenarnya sedang menilai kami, namun dia sembunyikan di balik sikap diamnya. "Tugasmu udah selesai, Ris?" sapa Pakde Joko begitu kami mencapai teras. "Udah, De," jawabku. "Lho, kok ada Boy segala? Kalian satu kelompok atau gimana? Kok kamu ndak bilang-bilang waktu pamitan tadi pagi?" tanya Pakde Joko bagaikan berondongan tembakan. "Saya yang nggak bilang-bilang kalau saya gabung ke kelompoknya Risa sama Nava, Om. Risa nggak saya kasih tau sebelumnya," timpal Boy sopan. "Kenapa nggak kamu kasih tau? Biar bisa ketemu diem-diem atau gimana? Soalnya, terus terang aja, Boy. Aku ini orangnya nggak terlalu suka basa-basi. Apalagi, sebagai pakdenya Risa dan sekarang merangkap jadi orang tua yang menggantikan bapak ibunya menjaga dia, aku nggak terlalu suka Risa deket-deket sama laki-laki kayak kamu," kata Pakde Joko. Aku terkesiap mendengarny
"Tadi... Apa yang bude bilang itu... Beneran atau..." kataku saat aku dan Boy sudah melepas helm masing-masing di area parkir kampus. Di sepanjang perjalanan barusan aku terus-menerus terpikir ucapan Bude Rahmi tentang Cinta yang akan melanjutkan kuliah di negara dan kampus yang sama dengan Boy setelah kami lulus nanti. Tetapi, aku baru berani menanyakannya pada Boy sekarang. "Ya," sahut Boy acuh tak acuh. Membuat emosiku campur-aduk tak karuan. "Kenapa kamu cuma bilang sama Pakde Joko? Apa aku... Nggak boleh tau soal itu?" cetusku terluka. Boy yang sedang menggantungkan helm-nya di kaca spion kendaraannya dengan sikap sembarangan menoleh ke arahku dengan raut muka heran. "Soalnya aku tau itu bakal bikin kamu kepikiran. Padahal kita mau ujian. Aku ngasih tau om kamu karena dia yang tanya-tanya melulu. Kenapa? Kamu cemburu, ya? Nggak usah. Aku tetep nggak mau kok sama dia," kata Boy sambil berjalan mendahuluiku. 'Gimana aku nggak cemburu, Boy? Dulu, waktu aku masih sebatas penggagu
"Aku udah janji sama om kamu bakal langsung nganterin kamu pulang sehabis dari kampus," kata Boy. Sejak tadi memang aku menampakkan raut muka keheranan ketika dia melajukan sepeda motornya ke arah rumahku. Bukankah dia minta lukanya diobati? Bukan berarti aku ngotot menuntut harus ada sesuatu yang romantis bakal terjadi sih. Cuma heran saja, kok dia malah mengantarku pulang. "Ya..." sahutku sambil turun dari kendaraan roda dua itu. "Kamu bisa telpon aku kalau butuh apa-apa," pesan Boy. Aku hanya mengangguk, tak sanggup bersuara karena tenggorokanku tercekat. Ada sebuah rasa tercekik sehubungan dengan semua situasi yang melingkupiku saat ini. "Udah sana, buruan kamu masuk. Nanti om kamu pikir aku nyulik kamu, 'kan bahaya," ujar Boy. Aku bergeming. Terlalu banyak pikiran membuatku jadi lamban bergerak. "Ada apa? Perlu aku temenin masuk ke rumah?" tanya Boy. "Ng... Nggak usah," jawabku. "Terus kenapa kamu masih berdiri di situ?" celetuk Boy keheranan. 'Aku belum mau pula
- Jangan cari tau siapa aku. Aku cuma orang yang tau siapa Boy yang sebenarnya. Dia ngebohongin kamu selama ini. Kamu cewek b*go, Risa! -Dahiku mengernyit membaca pesan singkat itu.'Maksudnya apa?' batinku bingung. Aku memikirkan setiap kata-kata di dalam pesan itu, bahkan ketika aku sudah sampai di rumah. "Kamu kenapa, Nduk? Kok kamu keliatan kayak orang bingung gitu?" tegur Bude Rahmi. "Ng... Nggak kenapa-napa, Bude. Aku cuma capek," jawabku. "Owalah! Kamu kecapekan habis ujian, ya. Yo wes (ya udah), istirahat sana, Ris," kata Bude Rahmi. "Ya, De," sahutku sembari melangkah masuk ke kamar. Tapi rupanya di sana ada mbak Poppy yang sedang rebahan di atas tempat tidur. Dia tampak asyik memainkan ponselnya hingga tak menyadari kehadiranku. Aku memutuskan untuk mengambil baju ganti di lemari, kemudian keluar untuk pergi ke kamar mandi membawa baju itu. "Kamu udah pulang, Ris?" sapa mbak Poppy saat aku masuk lagi ke kamar dengan memakai setelan kulot berbahan santung favoritku. "
“Kirain kamu nggak dibolehin nginep di sini,” kata Nava riang saat aku tiba di rumahnya. "Tadinya aku pikir juga gitu, Va. Tapi ternyata Pakde Joko ngijinin," timpalku sambil melangkah masuk mengikuti Nava ke ruang tengah. "Kita nonton serial Korea sampai pagi, yuk. Aku udah d******d sampai tamat. Serial yang lagi viral dibahas di Freshbook itu lho." Nava mengajakku duduk di sofa yang berseberangan dengan meja prasmanan tempat televisi. "Itu 'kan yang katanya romantis banget tapi juga lucu," sahutku. "Iya, itu. Cemilannya juga udah komplit nih. Yuk, kita nonton sekarang kalau kamu mau," ujar Nava antusias. "Tapi aku belum mandi, Va," kataku jujur. "Pantesan masih bau asem," canda Nava. “Kamu juga belum mandi, kan?” celetukku balik. Kali ini Nava bertanya-kekeh mengiyakan. "Habis mandi baru kita nonton itu deh," cetusku. "Oke," jawab Nava. Aku membayangkannya. Tiba-tiba teringat pesan misterius dari nomor asing. "Ada apa?" tanya Nava penuh perhatian. Aku menceritaka