“Kirain kamu nggak dibolehin nginep di sini,” kata Nava riang saat aku tiba di rumahnya. "Tadinya aku pikir juga gitu, Va. Tapi ternyata Pakde Joko ngijinin," timpalku sambil melangkah masuk mengikuti Nava ke ruang tengah. "Kita nonton serial Korea sampai pagi, yuk. Aku udah d******d sampai tamat. Serial yang lagi viral dibahas di Freshbook itu lho." Nava mengajakku duduk di sofa yang berseberangan dengan meja prasmanan tempat televisi. "Itu 'kan yang katanya romantis banget tapi juga lucu," sahutku. "Iya, itu. Cemilannya juga udah komplit nih. Yuk, kita nonton sekarang kalau kamu mau," ujar Nava antusias. "Tapi aku belum mandi, Va," kataku jujur. "Pantesan masih bau asem," canda Nava. “Kamu juga belum mandi, kan?” celetukku balik. Kali ini Nava bertanya-kekeh mengiyakan. "Habis mandi baru kita nonton itu deh," cetusku. "Oke," jawab Nava. Aku membayangkannya. Tiba-tiba teringat pesan misterius dari nomor asing. "Ada apa?" tanya Nava penuh perhatian. Aku menceritaka
"Boy! Kamu kenapa?" Aku mengguncang-guncang badan Boy yang seperti tak bernyawa itu dengan seribu satu pikiran negatif yang membuatku hilang kendali. Aku mendengar suara seperti menggumam keluar dari mulut Boy. Ku dekatkan telingaku ke sana. Betul saja, Boy memang menggumamkan sesuatu barusan. Aku berniat menghubungi rumah sakit untuk minta dikirim mobil ambulans ke tempat ini. Namun, baru juga aku merogoh tas hendak mengambil ponsel, tangan Boy tiba-tiba saja mencekal pergelangan tanganku. Boy menggumam lagi. Aku mendekatkan telinga ke dekat mulutnya lagi agar bisa mendengar apa dikatakannya dengan jelas. "Per... gi..." ucap Boy dengan susah payah. "Pergi? Ke mana?" tanggapku heran. Boy hanya menggerakkan badannya, seperti ingin bangun tapi sulit. Melihatnya aku buru-buru menolongnya beringsut sampai dia duduk.Namun, sorot mata itu... 'Dia nggak lagi mabuk miras, 'kan?' pikirku saat mencium bau menyengat yang menguar dari tubuh Boy yang tengah ku bantu naik ke tempat tidur. A
"Ayo, Nava. Aku pamit dulu ya." Pakde Joko menyalami Nava sambil tangan yang bebas menepuk pelan pundak sahabatku itu. "Iya Pakde. Hati-hati," sahut Nava. Kemudian dia juga bersalaman dengan Bude Rahmi dan yang lainnya. Aku yang sengaja berpamitan paling akhir dengannya, segera memeluknya erat-erat begitu mendapat giliran.Bukan alasan tanpa aku berpura-pura seolah-olah aku dan Nava tidak akan pernah bertemu lagi. Sebab, tanpa sepengetahuan Nava, aku memang berniat tak akan kembali ke rumah lagi setelah keberangkatan ini. Aku bermaksud membicarakan hal itu dengan Pakde Joko sehingga kami sampai di Yogyakarta nanti. Misalnya aku kembali pun hanya sebentar, untuk mengurus surat administrasi untuk pindah universitas. 'Maaf, Va. Aku nggak bisa balik lagi ke sini setelah semua yang udah dia lakuin ke aku.' batinku. Tanpa terasa air mataku merebak. "Jangan pikirin cowok br*ngsek itu lagi, Ris. Demi kamu sendiri. Oke? Eh, siapa tau di Jogja kamu bisa ketemu cowok yang lebih cakep dan leb
Aku duduk di dalam ruang kelas yang sudah terisi oleh beberapa orang sembari mengamati semua hal yang tertangkap oleh pandangan mataku. Segerombol cewek yang baru masuk memilih bangku di dekatku. Salah satu dari mereka melirikku sekilas kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya itu dengan canggung karena aku masih belum cukup beradaptasi dengan tempat dan suasana di sekitarku itu. "Mbak, kayaknya aku belum pernah liat kamu deh di kampus ini. Kamu mahasiswa baru, ya?" tanya cewek yang tersenyum padaku tadi. Teman-temannya ikut menoleh ke arahku. Ada yang menyunggingkan senyum ramah, ada yang memasang ekspresi wajah datar saja. "Idih, sok gaul. Emangnya kamu tau muka semua mahasiswa di kampus ini?" celetuk temannya meledek. Yang lain tertawa geli, sementara cewek tadi tetap setia menunggu jawabanku tanpa mempedulikan mereka. "Iya, aku baru pindah ke sini." Cewek tadi bangkit dari bangkunya, lalu dia duduk di bangku kosong yang berada di sebelahku. "Aku Febri, Mbak," kata cewe
"Lisa!" Ada seseorang yang berseru di belakangku saat aku berjalan di selasar sehabis dari toilet. Aku cuek saja berjalan, sebab tak merasa bernama Lisa. Tapi, suara itu masih saja terdengar, bahkan semakin mendekat. "Lisa!" Romi menjajari langkahku. Aku menoleh kepadanya dengan kikuk. 'Jadi 'Lisa' yang dia panggil-panggil itu aku?' batinku. "Na... Namaku Risa," ralatku. "Ya. Risa. Lisa. Mirip sih. Kamu mau ke kelas, 'kan?" cetus Romi acuh tak acuh. "Ya," jawabku dengan volume suara yang ku naikkan sedikit. Takut dikerjai lagi olehnya seperti kemarin. "Kalau gitu, tolong kamu bilangin ke temen-temen, dosennya lagi pergi. Jam kuliahnya kosong," kata Romi. Dia menepuk pundakku dengan ekspresi wajah seolah-olah bilang 'aku percaya kamu bisa melaksanakan perintahku ini'. Aku diam sejenak, berusaha mencerna perkataannya dulu. "Oke," timpalku pelan setelah data terkumpul di kepala. Aku sungguh merasakan firasat yang tak mengenakkan tentang cowok di hadapanku itu. Namun, aku juga tak
1 bulan kemudian... "Nduk, kamu kok keliatan gendutan ya sekarang?" celetuk Bude Rahmi saat aku melintas di dapur hendak pergi ke kamar mandi. "Oh ya, De? Aku malah nggak sadar, lho. Berarti berat badanku pasti naik nih," kataku kikuk karena mendadak fisikku dikomentari. "Ya bagus 'kan Bu'e, berarti Risa banyak makan. Lebih sehat dibanding sebelumnya yang suka lupa makan," timpal Pakde Joko. Dia sedang duduk sembari menyeruput kopinya di dekat meja termos air panas. "Ya. Emang bagus itu," sahut Bude Rahmi. Tapi, entah kenapa, nada bicaranya seperti menyiratkan keraguan. Dia menatapku dengan aneh. Seperti sedang menaksir-naksir sesuatu pada diriku. 'Emangnya kenapa kalau aku tambah gendut?' pikirku kebingungan. Toh, aku sendiri tak mempermasalahkan berat badanku mau naik atau turun. "Aku berangkat dulu ya, De." Aku berpamitan pada Pakde Joko dan Bude Rahmi begitu keluar dari kamar mandi. Aku berusaha mengabaikan tatapan mata Bude Rahmi yang memindai badanku dari atas ke bawah, be
Dengan petunjuk yang aku berikan pada Romi, akhirnya kendaraan roda dua cowok itu berhenti tepat di depan rumah Pakde Joko. "Makasih ya, Rom," ucapku saat sudah memijakkan kaki di jalan aspal. "Ya," sahut Romi datar. Sementara kedua matanya sibuk memindai segala yang ada di sekitar rumah pakdeku. "Ini helm-nya," kataku sambil mengulurkan helm yang tadi dipinjam dari satpam kampus. Romi menerimanya tanpa mengatakan apapun. Aku yang bingung mesti berbicara apa lagi kepada Romi pun hanya bisa diam, berharap Romi saja yang akan mengatakan sesuatu untuk memecah suasana canggung ini. Terutama canggung untukku. Bagi Romi sepertinya biasa-biasa saja. "Udah, ya. Aku pergi dulu," kata Romi. Dia menatapku sebentar, lalu menyalakan mesin motor sepeda motornya dan pergi begitu saja sebelum aku sempat menjawab ucapan pamitnya. "Yang barusan itu siapa, Ris?" tanya mbak Poppy yang rupa-rupanya sudah berdiri di teras, entah sejak kapan. Dia memakai pakaian kerjanya. "Temen sekampus, Mbak," jawa
"Owalah...! Padahal kamu udah diperingatin sama aku dan pakdemu, lho. Kok bisa kamu tetep lanjut sama pacarmu itu, Ris?" ucap Bude Rahmi emosional. Aku yang masih menunduk sembari bercucuran air mata hanya menjawab dengan isakan. Rasanya sangat berat untuk sekedar menceritakan kebenaran pada Bude Rahmi yang sudah terlanjur menghakimiku. Apalagi kami sedang berada di rumah Bidan Wati, bukannya di rumah sendiri. Aku malu jika Bidan Wati ikut mendengar penuturanku. Meskipun ada hubungan saudara, tetap saja dia orang luar, dan hal yang akan aku ungkapkan pada Bude Rahmi adalah aib. Aku tidak ingin menambah luka di hatiku dengan memberinya kesempatan untuk ikut mengomentari atau malah merasa berhak menghakimiku karena terinspirasi sikap Bude Rahmi terhadapku. "Tenang, Wa. Ini 'kan belum jelas. Belum tentu Risa emang lagi hamil, 'kan. Nanti aku kasih test pack ya, Wa. Biar Risa disuruh pakai terus nanti bisa diliat hasilnya. Jadinya nanti ada kepastian, nggak cuma berdasarkan perasaan kit